Bab 19: Kembang

Part ini aneh. Seriusan. Banyak narasi. Wkwkwk. 

PERINGATAN: adegan dewasa

.

.

.

-- Jakarta, 1986

Di usianya yang masih amat belia, enam belas tahun, Marni disebut sebagai 'kembang desa' di kampungnya di Jakarta Timur. Gadis itu sangat elok rupawan, menyerupai kuncup bunga melati yang mungil dan harum semerbak. Karena orangtuanya kurang berada, ia terpaksa putus sekolah di bangku SMP dan langsung dipersiapkan untuk dijodohkan.

Hampir semua pemuda di kampungnya, bahkan yang dari luar kampungnya, mengejar Marni untuk dijadikan istri mereka. Namun orangtua Marni bertekad hanya akan menerima pinangan lelaki yang sudah mapan, supaya dapat meningkatkan ekonomi keluarga mereka. Apalagi Marni, sebagai anak perempuan pertama, memiliki empat orang adik yang masih kecil. Kakak Marni yang lelaki semua merantau ke luar Jakarta dan jarang pulang. Jarang mengirimkan uang kepada orangtua mereka juga. Setidaknya mereka tidak membebani orangtua, begitu alasan mereka.

Dua tahun kemudian, tahun 1988, ketika Marni berusia delapan belas tahun, seorang pria yang usianya duabelas tahun lebih tua daripada Marni datang melamarnya dengan mobil pick-up dan menghaturkan dua karung beras kepada orangtua Marni. Tanpa ragu lagi, mereka mengizinkan pria itu untuk menikahi Marni. Pria itu bernama Yadi, seorang pedagang di Pasar Jaya, Jakarta Selatan.

"Mak," ujar Marni, "menurut Emak, Marni harus nikah sama Bang Yadi?"

"Iya, Neng, Nak Yadi kelihatannya baik dan bertanggungjawab. Dia bakal bisa menafkahi kamu dan keluargamu nanti," ujar ibu Marni.

Pernikahan secara adat Betawi diselenggarakan di kampung Marni. Yadi memberi mahar sebuah batangan emas seberat limaratus gram kepada ayah Marni. Seluruh kampung memuji keberuntungan ayah dan ibu Marni yang berhasil menikahkan putri pertama mereka kepada seorang juragan kaya.

Marni masih lugu dan polos, tak mengerti apa itu artinya cinta, meskipun ia sering mendengar lagu-lagu yang bertemakan cinta. Apalagi kata emak dan babenya, cinta akan tumbuh karena terbiasa. Ia menyiapkan hatinya untuk mengabdi kepada suaminya, menjadi istri yang taat dan berbakti. Suaminya memboyongnya ke Jakarta Selatan, dekat daerah Pasar Jaya, di mana ia menjadi bos dari beberapa toko kelontong.

Pada tahun pertama pernikahannya, Marni langsung hamil. Ia melahirkan anak pertamanya tahun 1989, seorang putri yang diberi nama Diah. Kebahagiaannya semakin lengkap setelah seorang putra yang diberi nama Cahyo lahir empat tahun kemudian. Selama awal-awal pernikahannya, Marni dan Yadi, beserta kedua anak mereka, merupakan potret keluarga bahagia. Mereka menjadi teladan saudara-saudara mereka dan dikagumi masyarakat di sekitar mereka. Yadi pernah menjabat ketua RT lalu ketua RW yang mengayomi warganya, serta dermawan terhadap orang yang berkekurangan. Sedangkan Marni adalah sosok istri dan ibu idaman semua orang, cantik, lembut, dan pandai mengurus rumah tangga.

Naas, menjelang usia pernikahannya yang kedelapan, tahun 1996, pasar tempat suaminya biasa berjualan terbakar, sehingga mereka kehilangan banyak aset mereka. Apalagi, seiring dengan pertumbuhan Jakarta, semua sektor mulai dikuasai oleh para konglomerat. Pasar-pasar tradisional dibongkar untuk dijadikan gedung perkantoran dan mal. Minimarket mulai merajalela di mana-mana. Pelanggan semakin malas berbelanja di toko kelontong atau pasar tradisional yang kotor dan bau. Yadi tidak mampu bertahan dalam persaingan dagang. Terakhir, ia kalah dari seorang konglomerat yang ingin membeli tanah tempat tokonya dulu berdiri. Konglomerat itu membeli tanahnya dengan harga sangat murah, bahkan sampai menyewa pengacara untuk merebut tanah itu.

Karena frustrasi, Yadi melampiaskan kekesalannya pada lingkungan sekitarnya. Teman-temannya mulai menjauhinya. Yang paling parah, ia jadi sering memaki-maki Marni kapanpun istrinya berbuat kesalahan kecil. Mulai dari masakan yang kurang asin, baju yang kurang licin disetrika, hingga debu yang tersisa di lantai rumah. Padahal Marni juga sibuk mengurusi kedua anaknya. Diah kini berusia tujuh tahun, dan Cahyo berusia tiga tahun. Malahan, ia kembali mengandung anak ketiganya, yang sayangnya lahir prematur di usia tujuh bulan dan meninggal dunia.

Biaya perawatan Marni memakan uang yang tidak sedikit. Yadi mengamuk, sudah keluar uang banyak, anaknya tidak selamat pula. Orangtua Yadi membantu merawat Diah dan Cahyo selama Marni dirawat, namun mereka sebenarnya bergantung kepada Yadi, putra mereka yang dinilai paling sukses dibandingkan anak-anak lainnya.

Lambat laun, Yadi dan Marni jatuh miskin. Kebiasaan Yadi berjudi dan mabuk-mabukan memperparah kondisi keuangan mereka. Setelah pulih, Marni berusaha menolong ekonomi keluarganya, namun ia tak mampu berbuat banyak. Tidak ada yang mau mempekerjakannya sebagai pegawai toko -- kebanyakan memilih anak-anak muda yang belum berkeluarga karena lebih mudah mengurusnya. Marni mencoba berdagang gorengan, namun kurang laku, dan lagi-lagi Yadi memarahinya karena memboroskan tabungan mereka untuk menjual makanan yang tidak diinginkan siapapun.

Akhirnya, pada tahun 1999, Marni terpaksa melepas anak sulungnya, Diah, untuk bekerja sebagai pembantu kecil di rumah keluarga kelas menengah atas di Jakarta Barat. Marni sering menyembunyikan uang kiriman Diah supaya tidak dihabiskan suaminya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Biarlah ia dimaki-maki suaminya -- yang penting uangnya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari serta membiayai sekolah Cahyo. Marni sendiri masih bekerja sebagai pembantu panggilan dan menerima pesanan katering dan gorengan.

Hingga suatu hari ia bertemu dengan Kusno ...

.

.

.

-- Jakarta, 1999

Trisno adalah pemuda yang sangat cerdas. Ia menempuh pendidikan S1 yang terintegrasi dengan S2 di Munich, lalu melanjutkan ke jenjang S3 di Berlin. Kematian ibunya karena leukimia memicunya untuk mempelajari ilmu kesehatan dan tubuh manusia. Karena ia tidak memiliki jiwa sosial untuk menjadi dokter, ia memilih jurusan biokimia dan farmasi. Penelitian semasa PhD-nya berfokus pada pengembangan obat massal yang disesuaikan dengan kondisi genetika dan lingkungan pasien.

Pada tahun ketiga di program PhD-nya, yakni pada tahun 1999, ia pulang ke Jakarta untuk mengumpulkan sampel gen dan mengukur kondisi lingkungan. Ia sampai mengirim beberapa peralatan laboratoriumnya dengan kapal laut untuk keperluan penelitiannya di sebuah kampung di Jakarta. Ia membeli rumah kumuh yang direnovasi kecil-kecilan, supaya tidak membangkitkan kecurigaan warga. Padahal salah satu kamarnya dimodifikasi menjadi laboratorium sederhana untuk mengisolasi sampel. Sedangkan laboratorium yang lebih rumit dibangun di sebuah desa di kabupaten Bogor.

Dan di kampung kecil di Jakarta inilah ia pertama kali bertemu dengan Marni.

***

Trisno mampu menjelaskan berbagai hal. Bagaimana sel bekerja dan menyusun tubuh manusia, bagaimana semua materi di dunia ini terbuat dari zat kimia, bagaimana obat bekerja menyembuhkan penyakit, bagaimana kondisi fisik seseorang diwariskan kepada keturunannya, dan masih banyak lagi yang dapat ia jelaskan.

Kecuali satu: mengapa ia dapat jatuh cinta pada Marni.

Secara fisik, perempuan berusia nyaris tigapuluh tahun yang telah melahirkan tiga anak itu seharusnya jauh dari menarik. Sisa-sisa kecantikannya masih ada, namun dibandingkan gadis muda yang masih dalam kondisi primanya, Marni tentu saja terlihat layu.

Jika cinta timbul karena kecocokan, karena kesetaraan pikiran, ini juga tak dapat menjelaskan cinta Trisno pada Marni. Perempuan itu tak memahami pembicaraannya yang terlalu ilmiah dan filosofis. Malahan, Trisno harus menyederhanakan cara bicaranya supaya Marni mengerti. Namun Marni sanggup mengimbanginya saat membahas perjuangan dan kesulitan hidup. Ketika Marni menceritakan sepenggal kisah hidupnya. Trisno, yang dibesarkan oleh keluarga di kalangan paling elit di Indonesia, memperoleh pencerahan mengenai kehidupan rakyat kecil.

Mungkin, akhirnya ia harus berserah pada kenyataan bahwa cinta memang tak dapat dipahami oleh otak.

***

Malam itu, lagi-lagi Yadi pulang dalam keadaan mabuk. Marni, bersyukur karena Cahyo sudah tidur, memapahnya ke tempat tidur dan berusaha mengganti pakaiannya yang penuh muntahan menjijikkan. Ketika Marni menarik kaos Yadi untuk melepaskannya, kaos itu sedikit tersangkut di kepalanya. Suaminya malah mengeluarkan makian sumpah serapah lewat mulutnya, berisi hinaan terhadap dirinya.

Marni tidak tahan lagi. Ia keluar dari kamarnya, membuka pintu rumahnya, dan berlari ke tengah jalan. Ia jatuh di atas lututnya, menutup wajahnya dengan tangan, dan menangis sejadi-jadinya. Apa salahnya sehingga ia harus menerima siksaan seberat ini? Ia hanya berusaha menjadi istri dan ibu yang baik, dan apa yang ia peroleh? Anak bungsunya meninggal saat masih bayi. Putri sulungnya tak lulus SD dan menjadi pembantu rumah tangga. Kini suaminya menjadi pemabuk dan selalu menghina dirinya. Ia merasa hidup ini sangat tidak adil.

Sepasang tangan menyentuh lengannya, menariknya berdiri. Marni menyingkirkan kedua tangan yang menutup wajahnya dan menangkap wajah Trisno. Lelaki itu memandanginya dengan prihatin, namun ada perasaan lain yang lebih kuat daripada itu. Perasaan yang tak pernah Marni terima dari lelaki manapun, termasuk Yadi.

Trisno membawa Marni ke dalam rumahnya. Tanpa mengatakan apapun, ia menutup pintunya dan memeluk Marni. Terus memeluknya sampai perempuan itu berhenti menangis.

"Marni," ujarnya.

Marni terperanjat. Ini pertama kali Trisno menyebut namanya langsung. "Pak ..."

"Jangan menangis," bisik Trisno sambil mencium jari Marni yang dibungkus plester. "Kamu punya aku. Kalau kamu merasa hidupmu terlalu susah ..."

Entah apa yang merasuki dirinya, namun Marni membuat keputusan yang berdampak besar. Kepada dirinya, kepada Trisno, dan kepada semua orang di dunia ini.

Marni menciumnya.

Dan lelaki itu membalasnya.

***

Trisno bukannya pertama kali bercinta dengan perempuan. Baik perempuan Indonesia maupun perempuan Jerman sudah pernah ditidurinya. Mereka semua masih muda, sepantaran dengannya, dan memiliki tubuh yang sangat indah.

Namun ketika ia menjelajahi setiap jengkal dari tubuh seorang ibu yang mengabaikan kondisi dirinya demi mempertahankan keluarganya -- tubuh yang tak lagi mulus dan kencang, penuh garis-garis dan lipatan yang memiliki kisahnya tersendiri -- ketika bibirnya menikmati leher perempuan harum melati yang tak sejenjang perempuan-perempuan lain yang pernah ia rasakan -- ketika kakinya membelit kaki yang bergurat-gurat urat dan berbekas luka karena terlalu banyak berjalan di jalanan yang tidak rata menggunakan sandal jepit -- di situlah Trisno merasakan kepuasan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Tatkala Marni meneriakkan namanya, sambil menanamkan kukunya di pinggang Trisno, dadanya naik turun tak teratur mengikuti napasnya, dan akhirnya melepaskan kelegaan, Trisno berada di puncak dunia.

***

Ketika Marni menemukan dirinya kembali mengandung, ia tahu inilah akibat dari kejadian malam itu, karena ia tak pernah berhubungan dengan Yadi lagi. Namun Marni berencana mengelabui suaminya, karena ia tahu Yadi pasti akan murka jika mengetahui perihal kehamilannya.

Hobi mabuk-mabukan sang suami menjadi kemudahan baginya. Marni berusaha meniduri Yadi -- akan tetapi, suaminya ternyata sudah lesu dan langsung tertidur saat Marni merayunya. Tak sekalipun ia berhasil membangunkan keperkasaan sang suami.

Ya sudah, pikir Marni. Toh, dia juga selalu tak sadarkan diri setiap hari. Kalau kubilang ini anaknya, dia pasti percaya.

Marni tidak tahu bahwa ada tetangga yang memergoki saat ia sering datang ke rumah Trisno, meskipun ia tak pernah singgah malam-malam lagi. Tetangga itu melaporkan kejadian itu pada Yadi saat pria itu sedang tak mabuk. Makin murkalah Yadi. Sebenarnya, jika Marni tak tidur dengan Trisno sekalipun, mungkin saja Yadi tetap akan memfitnahnya -- pria itu memang sudah sinting. Apalagi saat ia melihat perut Marni kian lama kian membesar. Di saat-saat kesadarannya, Yadi tahu kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan untuk menjadi seorang ayah lagi, walaupun Marni bersikeras bahwa bayi yang dikandungnya merupakan anak Yadi.

Sejak saat itu, Yadi tidak hanya memaki Marni, namun mulai memukulinya.

***

Sementara itu, Trisno tidak mengetahui bahwa Marni mengandung anaknya karena ia kembali ke Jerman untuk menyelesaikan studi PhD-nya setelah mengumpulkan sampel di Jakarta. Hingga pada tahun 2005, ketika ia pulang ke Jakarta untuk mendirikan perusahaan farmasi bersama dokter Galih, ia mengunjungi kampung tempat tinggal Marni, yang untungnya masih tinggal di sana. Cahyo, yang masih mengenalinya, seringkali mengunjungi rumahnya yang terletak di seberang rumahnya sendiri. Suatu saat, ia membawa adiknya yang berusia empat tahun lebih.

Yang mengejutkannya, wajah anak lelaki itu persis dirinya sewaktu berusia lima tahun.

.

.

.

-- Rawamangun, 19:30 WIB

"Dua setengah jam!" gerutu Trisno melihat Wirada masuk ke kedai kopi yang dihuninya sejak pukul lima sore tadi.

Wirada menyengir. "Salah sendiri nungguin gue. Gue cuma pengen tahu, lu masih di sini apa cuma sesumbar doang. Gue mastiin Mal aman sampai ke kosannya, sebelum gue balik kemari."

"Kamu meremehkanku, ya, Wirada?"

"Nggak, lah, Om Hantu. Gue tahu, kok, lu orang hebat. Nyatanya lu bisa melawan Bang Pret yang pake kostum canggih, terus kabur dari kejaran polisi sambil nyelamatin gue. Mana mungkin gue ngeremehin lu?"

"Terus? Kamu pikir saya main-main saat mengancam Malika?"

"Enggak," sahut Wirada. "Gue cuma nggak mau ngikutin perintah lu aja."

"Kamu itu bebal sekali, Wir," ucap Trisno.

"Gue cuma nanya satu hal, bukan, dua hal. Pertama, kenapa lu nggak mau nunjukin muka lu ke gue? Kalau lu aja nggak percaya sama gue buat nunjukin hal mendasar seperti muka, kenapa gue harus percaya sama lu? Kedua, kenapa lu peduli banget sama gue? Apa pentingnya gue buat lu? Emangnya lu bokap gue?"

Emang, gerutu Trisno dalam hati. Haruskah saya menyesal karena meniduri Marni malam itu?

"Baiklah, yang pertama," ujar Trisno sambil melepas topi dan maskernya. "Saya pikir ini sudah saatnya kamu melihat wajah saya."

Wirada terperanjat melihat wajah Trisno. Sepertinya ia pernah melihatnya. Namun di mana? Ia tak mampu mengingatnya.

Di cermin, anjir! batinnya. Bukan, bukan cuma itu. Bukan di cermin.

Ketika ia menggali memorinya untuk mencari tahu di mana ia pernah melihat wajah Trisno, tiba-tiba kepalanya diserang rasa pusing yang amat sangat. Rasanya seperti ingin meledak. Wirada meletakkan kedua tangannya di sisi kepalanya, berusaha menahan rasa sakitnya.

"Ini, makanlah," ujar Trisno sambil menyodorkan obat ke tangan Wirada. Lalu mendorong gelas berisi air putih ke hadapan putranya.

Wirada menelan obat yang diberikan Trisno. Ajaib, sakit kepalanya langsung hilang. "Om, sebenarnya lu siapa, sih? Kenapa lu mirip banget sama gue? Dan sepertinya lu tahu banyak tentang kondisi gue."

"Makanya," sahut Trisno, "ikutlah denganku."

.

.

.

-- Bogor, 21:00 WIB

"Kadang aku masih heran, kenapa Mas Trisno bisa jatuh cinta pada wanita itu," ujar Wishnu sambil memandang foto Marni yang terpampang di papan tulis kaca. "Cantik, sih, tapi, yah ... sedikit low class."

Tidak seperti foto yang diselipkan di buku catatan Trisno, di mana wajah Marni masih pucat dan penuh luka, foto Marni di sini menunjukkan kecantikan wanita itu yang luar biasa. Entah apa yang dilakukan sang ahli farmasi dan biokimia untuk memperbaiki kerusakan di wajah Marni.

"Cinta nggak bisa ditebak, Nu," ujar Galih. "Marni baik, sejauh yang gue kenal. Dia bisa mengimbangi Trisno yang terlalu gila dengan penelitiannya. Lagian, apa yang dia lakukan pada Marni itu ..."

"Jahat?" cengir Wishnu.

"Dasar korban film," balas Galih. "Justru sebaliknya."

Wishnu tak menjawab. Tubuhnya berbalik sehingga kembali memandangi foto Marni.

"Gara-gara wanita ini pula, Mas Trisno menjadi Hantu Hitam, berkelana memeriksa keadaan semua markas Macan Hitam. Kekuatan cinta memang nggak bisa diremehkan," senyumnya.

"Lu sendiri, Nu? Gue nggak pernah lihat lu jatuh cinta," ujar Galih.

Wishnu tersenyum lagi. "Malahan, aku terlalu sering jatuh cinta sampai kelihatannya nggak pernah jatuh cinta. Terakhir, cintaku ditinggal di Barcelona."

"Itu mah cinta apa cinta-cintaan," komentar Galih.

Sang ketua utama Macan Hitam itu melirik ke adiknya yang duduk di sofa. Sejak tadi, Rani lebih memilih diam sambil membaca buku daripada ikut nimbrung ke percakapan saudara kembarnya dan sahabat kakak tirinya.

"Pasti Rani tahu, nih," celetuk Galih.

"Tahu apa?" tanya Rani, mengangkat kepalanya.

"Tahu siapa perempuan yang pernah dicintai Wishnu."

Rani tersenyum. "Tentu saja aku tahu." 

.

.

.

Bersambung.

(9 Agustus 2018)  

2300++ kata

Dobel apdet. Biasalah kalau lagi inspired gitu. XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top