Bab 17: Kebebasan

Ibu pemilik warung memandang Wirada setengah curiga sementara pemuda itu menandaskan piringnya. Dua kali, nasi yang dihidangkannya memenuhi piring, dan dua kali juga, Wirada menyantapnya dengan ekspresi kelaparan yang sama. Walaupun perempuan separuh baya itu tahu bahwa pelanggannya adalah anggota preman yang baru saja digerebek polisi, ia terpaksa melayaninya karena Wirada tidak pernah mengacau di warungnya.

Wirada mengangkat piringnya dan menuangkan tetes terakhir kuah rendang ke lidahnya. Lalu meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya dan mengecap bibirnya.

"Udah?"

"Udah," cengir sang preman muda, entah mengabaikan nada sinis sang pemilik warung, atau memang tidak mempan di-sinis-i. "Makasih, Mpok."

Ia mengangkat kakinya dari bangku kayu yang diduduki dan beranjak meninggalkan tempat itu. Uang sepuluh ribuannya kini tersisa separuh, namun tenaganya telah kembali. Sebelum keluar, ia sempat melirik ke jam bundar di dinding warung. Masih pukul sepuluh pagi. Berarti masih tujuh jam sebelum ia bertemu lagi dengan Malika. Masih ada waktu untuk bersiap-siap. Walaupun Malika menyuruhnya datang ke warung bakwan Malang, ia tetap memutuskan untuk mengganti pakaian kumalnya.

Berarti butuh duit, pikirnya. Mana kaki gue masih sakit, dan gue sendirian pula.

Sambil merokok di bawah pohon -- ia menghabiskan sisa lima ribu rupiahnya untuk membeli rokok karena, toh, nanti ia juga mencuri lagi -- Wirada mencari strategi baru. Pertama, ia tak boleh terlalu rakus. Target biasa, sepuluh juta rupiah sehari, tentu tidak mungkin diwujudkannya kali ini. Ia cukup mencuri seperlunya saja. Kedua, karena ia tak dapat melarikan diri, ia harus ekstra hati-hati. Setelah memperoleh satu atau dua buah dompet, sebaiknya ia langsung turun dari angkot atau bus yang ditumpanginya. Terakhir, karena ia tak mengenakan kostum biasanya untuk mencuri -- celana longgar berkantong untuk menyimpan dompet-dompetnya -- ia harus langsung membuang dompet yang dicurinya.

Tak butuh waktu lama bagi Wirada untuk melancarkan aksinya. Ia mencari kantong kresek hitam yang diisi remasan kertas agar terlihat berisi. Lalu ia naik ke sebuah angkot yang ramai, penuh dengan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Dalam hati ia menggerutu. Ibu-ibu dari pasar mana punya uang, pasti sudah habis dibelanjakan. Lagipula mereka seringnya tidak membawa dompet, hanya uang yang digulung dan diikat karet. Seorang pemuda berjaket jins dengan ransel besar menaiki angkot -- tampaknya seorang mahasiswa. Wirada lagi-lagi mendesah. Biasanya mahasiswa juga berdompet tipis. Tapi bolehlah dicoba.

Mahasiswa itu celingukan mencari tempat duduk, namun angkot sudah penuh. Ibu yang duduk di pojok, setengah tertidur, menaruh belanjaannya di atas tempat duduk. Mahasiswa itu ingin membangunkan sang ibu, namun Wirada mencegahnya.

"Sini aje, Bang. Gue udah mau turun," ujarnya sambil bangkit berdiri.

"Oh, makasih," sahut mahasiswa tersebut.

Begitu mereka bertukar tempat, Wirada dengan sigap menarik dompetnya dari saku celana si mahasiswa dan memasukkannya ke dalam kantong plastiknya, lalu segera meminta supir angkot menghentikan mobilnya sebelum mahasiswa itu sadar ia telah kecurian.

Setelah agak jauh dari tempat ia turun, Wirada mengintip ke dalam isi dompet dan melihat uang duapuluh ribuan. Tidak lebih.

Yah, lumayan, lah, daripada kosong, gumamnya dalam hati sambil membuang dompet itu di tempat sampah.

Selanjutnya ia menumpangi bus, mencuri satu atau dua buah dompet, lalu berpindah bus. Ia mengulangi perbuatannya hingga tiba di Tanah Abang, di mana ia ingin mencari kaos dan celana panjang murah harga grosiran.

Di sudut gang yang sepi, Wirada berjongkok dan menghitung uang yang diperolehnya siang itu. Dari sebelas dompet yang diambilnya, ia berhasil mengumpulkan hampir limaratus ribu rupiah. Sungguh jumlah yang lumayan. Ia tersenyum sendiri ketika suara kasar seorang laki-laki dewasa mengejutkannya.

"Heh! Siapa lu?! Berani-beraninya main ke daerah kami!"

"Ampun, Bang, gue cuma numpang istirahat," ujar Wirada memelas, tanpa membalikkan tubuhnya.

"Istirahat atau ..." Lelaki itu menarik kerah jaket Wirada sehingga ia berdiri. Melihat Wirada yang menggenggam kresek berisi dompet, matanya memancarkan rasa iri.

"Lu nyopet, ya? Mana hasilnya, sini kasih gue!"

"Enak aje, gue yang kerja, kok, lu yang dapet?" bantah Wirada.

"Karena ini wilayah kekuasaan geng gue. Lu siape? Seenaknya masuk kemari," balas ketua preman itu.

"Gue anggota Macan Hitam."

"Hahahaha!" Spontan ketua preman itu dan kedua anak buahnya tertawa. "Maksud lu, geng preman yang baru diberantas polisi itu? Hahahaha!"

"Tutup mulut lu, Bang. Bau!" ujar Wirada sambil meninju hidung ketua preman itu dengan tangannya yang bebas.

Sambil memegangi hidungnya yang kesakitan, ketua preman itu berteriak, "Kurang ajar! Kejar dia!"

Wirada melempar kresek berisi dompetnya ke belakang, berharap dapat mengecoh mereka. Satu anak buah preman itu memeriksanya, sementara satu lagi tetap mengejarnya. Si ketua preman, masih mengerang kesakitan karena hidungnya patah, tidak mengejar. Namun ketika preman yang memeriksa kresek itu tahu dompet-dompet di dalamnya sudah kosong, ia turut mengejar Wirada.

Sambil berlari terpincang-pincang, Wirada tahu mereka pasti dapat segera menangkapnya. Menyelinap di antara kerumunan orang-orang yang memenuhi Pasar Tanah Abang, ia masuk ke tenda yang menjual DVD bajakan dan bersembunyi di kolong meja. Ketika ia melihat kaki-kaki preman yang mengejarnya melewati dirinya, ia menghembuskan napas lega.

Bangke, mau beli baju aja susah amat, sampe kejar-kejaran segala, gerutunya dalam hati.

Di salah satu toko pakaian, Wirada membeli kaos putih, jaket jins, dan celana jins seharga dua ratus ribu rupiah. Lalu ia membeli pakaian dalam seharga sepuluh ribu rupiah. Ia merasa sisa tiga ratus ribu cukup untuk bertahan selama beberapa hari sebelum ia perlu mencuri lagi. Ia mencari kamar mandi untuk menumpang mandi, lalu mengenakan pakaian barunya.

Ganteng. Kalau gini gue nggak kalah sama si Iqbaal-Iqbaal yang lagi ngetop itu. Mal bakal naksir gue, pujinya dalam hati, sambil bercermin.

Tiba-tiba secara impulsif ia berpikir untuk membeli ponsel. Selama ini ia tidak memilikinya, hanya dipinjamkan saat sedang beraksi supaya mudah dihubungi. Ia bimbang antara membeli atau tidak, karena uangnya akan habis jika ia membeli ponsel meskipun bekas.

Udahlah, beli aja, biar bisa SMS-an sama Mal, hehehe.

Ia menghampiri konter penjual ponsel bekas dan mencari smartphone dengan model sama seperti milik Macan Hitam yang sering digunakannya. Setelah penuh perjuangan menawar berkali-kali, memasang wajah memelas, pura-pura tidak jadi beli, akhirnya ia dan sang penjual menyepakati harganya. Setelah menyerahkan dua ratus ribu kepada sang penjual, ia pun mendapatkan ponsel yang diinginkannya.

Wirada berjalan meninggalkan konter dengan senyum puas di wajahnya. Sekarang ia sudah terlihat tampan, punya ponsel pula, siap ngapelin Mal. Meskipun uangnya hanya tersisa seratus ribu ribu rupiah yang ia gunakan pula untuk membeli gorengan seharga lima ribu rupiah, ia tetap merasa gembira. Akhirnya ia merasakan kebebasan yang sesungguhnya.

.

.

.

-- Polda Metro Jaya, Sudirman, 13:00 WIB

Frans baru saja menyelesaikan email berisi daftar pertanyaan yang perlu dilontarkan gadis itu saat bertemu Wirada lagi. Ia menyarankan agar Malika tidak perlu menanyakan semuanya sekaligus agar tidak memancing kecurigaan Wirada. Serta tidak perlu terlalu pusing dengan misi ini sebagai informan polisi, cukup mengerjakan sebisanya saja. Sisanya diserahkan kepada pihak kepolisian.

Setelah menekan tombol kirim, ia melipat tangannya dan memikirkan Aren. Gadis itu masih mendekam di sel tahanan Polda Metro Jaya. Ia tak mau membuka mulutnya, meskipun ia mau menyantap hidangan yang diberikan oleh pihak kepolisian. Frans mendesah dalam hati. Aren bahkan lebih keras kepala daripada Wirada.

Seandainya ada serum kebenaran ... Ah, sudahlah, Frans, jangan berkhayal terus. Lebih baik tingkatkan kerja kerasmu, pikirnya.

Frans beranjak dari tempat duduknya, bergegas menuju sel tahanan. Dalam perjalanan, ia melewati meja Binar dan meminta informasi posisi Wirada saat ini. Bocah tengik itu sedang berada di Tanah Abang, entah untuk apa, pasti sedang beraksi lagi. Ia menghela napas. Lagi-lagi ia terpaksa membiarkannya demi memperoleh informasi sekali lagi dari Wirada. Jika ia gagal menggali infromasi dari Wirada melalui Malika, ia sudah habis kesabaran dan akan menahannya.

Lihat aja, kalau gue berhasil bujuk Aren, gue bakal tangkep itu Wirada. Mana dia udah nggak berguna buat kepolisian.

Frans mulai kehabisan akal. Aren tak mau perlindungan dan tak dapat diiming-imingi uang. Mungkin ia perlu membujuknya dengan kebebasan, namun sebelumnya ia harus memasang pelacak di tubuh Aren. Hanya saja, tak semudah itu. Aren lebih cerdas dan berpengalaman daripada Wirada. Apalagi modus mereka kemungkinan sudah diketahui para preman. Bisa saja Aren sengaja membawa mereka ke jalan yang salah.

***

Di dalam sel, Aren duduk bersila di atas dipannya. Ketika pintunya terbuka, ia mengangkat wajahnya. Matanya dengan sigap menyapu siapa yang datang. Melihat Frans, ia hanya mendengus sambil sedikit menyeringai.

"Oh, itu lu, Kampret."

"Saya datang untuk bernegosiasi lagi dengan Anda, Mbak Aren. Siapa tahu Anda berubah pikiran," ujar Frans, dengan bahasa seformal mungkin.

Aren menggelengkan kepalanya. "Hanya satu yang gue mau. Kebebasan."

"Saya bisa membebaskan Anda, kalau Anda mau bekerja sama dengan kami."

"Jangan kira gue bodoh, Pret. Gue tahu lu bakal masang alat pelacak atau apapun di tubuh gue. Mana ada kebebasan tanpa syarat?"

"Apakah Anda tahu, seratus tigapuluh enam anggota Macan Hitam sudah kami tangkap kemarin? Percuma Anda membela Macan Hitam, tidak ada untungnya. Lebih baik Anda membantu kami, supaya hukuman Anda diperingan."

Aren melebarkan matanya. Macan Hitam sudah tumbang? Lalu bagaimana dengan Duren? Apakah ia ikut tertangkap? Lalu Wirada? Namun ia tidak boleh menunjukkan kecemasannya.

"Oh, kalau gitu tanya mereka aja. Ngapain tanya gue?"

"Saya tidak bisa memberitahu Anda mengapa saya memilih Anda sebagai informan." Frans menarik napas untuk meningkatkan kesabarannya. Terpaksa, ia menggunakan senjata terakhirnya. "Bagaimana kalau saya memberikan informasi tentang Wirada dan kekasihmu yang saya lihat di ponsel, jika kamu memberikan informasi tentang Macan Hitam kepada saya?"

Aren berpikir keras. Setidaknya ia harus tahu, Duren dan Wirada baik-baik saja. Hanya mereka berdua yang sebenarnya paling ia sayangi di dunia ini. Macan Hitam bukanlah apa-apa baginya. Ia hanya mempermainkan Frans. Sekarang Frans mengetahui titik lemahnya. Namun, jika Frans memegang janjinya dan membebaskan dirinya, mungkin ia dapat menemukan Duren dan Wirada untuk mengecoh Frans. Polisi ini sepertinya masih cukup bodoh.

"Baiklah, dengan satu tambahan lagi."

"Apa itu?"

"Bebasin gue, tanpa alat pelacak."

.

.

.

-- Bogor, 15:00 WIB

Duren membuka matanya. Ia melihat langit-langit dengan lampu putih yang sangat menyilaukan. Tangan dan kakinya diikat erat ke meja tandu. Ia menggerakan tubuhnya, namun ikatannya tidak mengendur. Bunyi logam beradu di sebelah pahanya mengherankan telinganya. Ia melirik ke bawah, ternyata peralatan pisau operasi. Semakin cepat dan keras, ia meronta-ronta, menggoyangkan meja tandu yang memiliki roda di bawahanya itu.

Ia berhenti ketika mendengar bunyi langkah kaki diiringi suara percakapan dua lelaki dewasa. Mereka masuk ke dalam ruangan tempat ia diikat.

"Kenapa dia belum bangun?" Itu suara Trisno.

"Mas yakin prosedur ini berhasil?" balas Wishnu.

"Pasti. Jika ini berhasil pada Wira, seharusnya ini juga berhasil pada orang dewasa. Semua tes yang kulakukan pada tubuhnya menunjukkan reaksi normal."

"Kalau begitu dia pasti cuma pura-pura tidur," ujar Wishnu. "Coba taruh kecoa di atas tubuhnya, dia pasti menggeliat kalau sudah bangun."

"Ada-ada saja kamu ini, Nu," kata Trisno.

"Yah, biarkan dia tidur. Dari catatan Mas yang kubaca, dia butuh beberapa hari untuk pulih sebelum bisa menjalankan proyek baruku. Kita lanjutkan pembicaraan di luar saja, Mas."

"Oke."

"Yang pasti, Ayah jangan sampai tahu kalau Mas sudah menemukan formula yang menyerupai proyek Nimrod ..."

Pintu ditutup kembali. Suara mereka menghilang di kejauhan.

Rasa panik meningkat di dada Duren. Apa yang mereka lakukan pada dirinya? Apakah Wira yang dimaksud itu Wirada? Apa yang mereka lakukan pada Wirada? Lalu apa itu proyek Nimrod? Apakah yang mereka rencanakan?

Terlalu banyak pertanyaan. Namun Duren tahu, ia harus melepaskan diri dari tempat ini. Ia menggeliat sekali lagi, lalu meja tandu itu pun terguling, menjatuhkan nampan beroda di sebelahnya yang berisi pisau-pisau operasi.

Alarm menggema di seluruh ruangan. Duren mengambil salah satu pisau dan memotong tali yang mengikat tubuhnya. Agak lama, karena tali itu tebal menyerupai sabuk pengaman, sedangkan pisau operasi sangat kecil dan tipis. Namun akhirnya ia berhasil lepas.

"Gawat! Subjek tes NR-916 lepas!" seru perawat yang masuk ke dalam ruangan, bersiap melarikan diri lagi.

Duren mencengkeram leher perawat itu dengan tangannya. Lalu mengangkat tubuh perawat itu ke atas. Rasanya ringan sekali. Jadi ini yang mereka lakukan padanya. Memberikan kekuatan super? Tidak buruk, kalau saja ia dapat melarikan diri.

"Tolong ..." Suara perawat itu melemah dan berhenti begitu Duren mematahkan lehernya.

NGIIIINNGGG!!!

Suara berfrekuensi tinggi menyakitkan telinga Duren. Tiba-tiba sakit kepala yang amat parah menyerangnya. Ia terkapar di lantai, memeluk lututnya, sambil berteriak kesakitan.

Trisno kembali dengan masker penutup mulut berwarna hijau. "Kamu pikir kami memberimu kekuatan tanpa remote control-nya? Naif sekali, Nak."

Duren membelalakkan matanya menangkap sosok Trisno. Meskipun hanya dapat melihat matanya, ia hafal mata dan suaranya.

"Om ... Kusno?"

"Yah, ketahuan, deh," ujar Trisno. "Harusnya saya pakai voice synthesizer, ya. Tak apalah. Nanti saat kamu bangun, kamu juga nggak akan ingat kamu bertemu denganku." 

Ia menusuk tengkuk Duren dengan jarum suntik hingga pemuda itu kehilangan kesadarannya lagi.

.

.

.

-- Rawamangun, Jakarta Timur, 17:00 WIB

Sebelum masuk ke warung bakwan Malang tempat ia janjian bertemu dengan Malika, Wirada bercermin di kaca mobil yang cukup gelap. Ia mengusap rambutnya, memastikan gel -- yang dipakainya di minimarket tanpa membeli -- masih menata rambutnya dengan rapi. Ia berlatih tersenyum selama beberapa detik hingga penumpang mobil -- yang ternyata ada di dalam -- membunyikan klakson dan menurunkan kaca jendelanya.

"Udah ganteng, Dek," ledek seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk dan beriasan tebal.

Wirada buru-buru berlari ke dalam warung dan duduk di salah satu bangku kayu yang memunggungi tempat parkir. Ia membuka menu makanan yang terbuat dari karton dilaminating dan menutup wajahnya.

Anjir, ada orangnya! Gile, malu banget gue! Mana emak-emak gitu yang ngatain gue! Kalau cewek muda cantik, sih, langsung gue rayu.

Sebuah tangan menurunkan menu yang dipegang Wirada dalam posisi berdiri.

"Mal ... udah datang?"

Namun itu bukan Malika. Itu seorang pria berjaket hitam yang menutupi wajahnya dengan topi hitam, kacamata hitam, dan masker penutup wajah.

"Ha ... Hantu!"

"Baguslah, kamu sudah hafal dengan cara kerja saya," ujar pria tersebut.

Wirada memutar bola matanya. "Mau apa lu di sini?"

"Saya tahu siapa yang mau kamu temui," sahut Trisno. "Saya akan menunggu di warung sebelah. Kalau kamu sudah selesai bertemu dengannya, temui saya. Atau orang yang kamu temui itu akan celaka." 

.

.

.

Bersambung.

(5 Agustus 2018)

2200++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top