Bab 16: Restrukturisasi

"Wira melarikan diri," ujar dokter Galih.

"Lagi?" Trisno berdecak. "Bocah tengik itu! Harusnya kuikat seperti pocong. Kenapa susah sekali meyakinkan dia? Padahal sudah kutolong berkali-kali."

Galih menyengir. "Bocah tengik itu adalah putramu."

Trisno mendengus. "Aku tahu, tapi dia sangat sulit diatur. Pasti menurun dari ibunya."

Galih malah terbahak. "Yang berkeliaran ke mana-mana dengan kostum hantu siapa, ya?"

"Jangan mengejekku, Galih. Sekarang kita harus mencari Wira. Kamu memasang pelacak di tubuhnya?"

Dokter Galih menggeleng. "Nggak perlu, Trisno. Aku punya kenalan orang dalam, dia akan memberikan informasi padaku melalui pelacak yang dipasang oleh pihak kepolisian."

"Oh, ya? Siapa?"

"Kusebut namanya, kamu nggak akan kenal, No." Galih memandang jam tangannya. "Kata Bos Wishnu, kita harus bergegas ke Bogor. Acara pelantikan akan dilanjutkan di sana."

"Tapi Wira ...." Trisno menghembuskan napasnya pasrah. "Ya sudah, nanti kuculik lagi. Sekarang kita berangkat saja."

"Mungkin kalau kamu bilang kamu ayahnya, dia akan ikut denganmu seperti bebek."

Trisno menggeleng. "Kalau dia tahu itu, dia bisa mengorek-ngorek informasi penting lainnya. Wira masih ceroboh, bisa-bisa info ini jatuh ke pihak polisi. Aku harus melatihnya dulu sebelum bisa memercayainya."

.

.

.

-- Bogor, 22:00 WIB

Rumah sederhana di Bogor tempat Trisno menahan Wirada ternyata merupakan markas Macan Hitam lainnya yang terletak di luar Jakarta. Laboratorium yang berada tak jauh dari rumah tersebut memiliki lantai bawah tanah yang sangat luas, mirip dengan restoran Cita Rasa di Kota Tua. Sengaja dirancang demikian agar terlihat seperti rumah dan gubuk di tengah sawah dari atas permukaan tanah.

Wishnu tidak ingin mengambil risiko tertangkap lagi. Walaupun ia mendengar bahwa Polda Metro Jaya telah bekerja sama dengan Polrestabes Bogor -- satu-satunya daerah di Jabodetabek yang tidak dibawahi Polda Metro Jaya -- pihak kepolisian Bogor belum membentuk unit khusus seperti Singa Putih. Sejauh ini hanya Jakarta yang paling mengancam bagi Macan Hitam.

Wishnu masih bersikap tenang walaupun seratus tigapuluh enam anggotanya ditangkap oleh polisi. Lagipula, mereka hanya level satu dan dua, sehingga tidak ada informasi penting yang mereka ketahui. Itulah sebabnya Macan Hitam membentuk hierarki dan memutus rantai informasi dari atas ke bawah. Hanya anggota level empat ke atas yang dipercayakan informasi tersebut.

Ia memandang Duren yang diikat di tandu beroda seperti yang biasa digunakan untuk membawa pasien gawat darurat. Pemimpin Macan Hitam di Jatinegara itu tak sadarkan diri. Wishnu telah menerima rekomendasi dari Ruslan bahwa Duren memiliki potensi yang baik. Ia dapat dimanfaatkan sebagai algojo kepercayaan, seseorang yang dapat disuruh-suruh untuk melakukan hal-hal "kotor."

Di sofa yang bersandar ke salah satu sisi dinding ruangan, ketiga ketua level lima Macan Hitam menunggu tanpa mengatakan apa-apa. Ada yang memejamkan mata sambil bersandar ke sandaran sofa. Ada yang duduk condong ke depan sambil menopang dagunya dengan tangan. Yang terakhir menghabiskan waktu dengan membaca buku. Tak ada yang bermain dengan ponsel karena tempat ini tidak memiliki jaringan.

Pintu terbuka. Rani dan Brahmantyo masuk ke dalam ruangan. Mereka menyapa Wishnu dan para ketua level lima, lalu duduk di sofa lainnya.

"Berarti tinggal Mas Trisno. Kenapa dia lama sekali?" gerutu Rani.

"Sabarlah, Ran, dia menemukan rintangan yang cukup berat," ujar Wishnu. "Anak-anakmu sama ayah mereka?"

Rani mengangguk.

Tigapuluh menit berlalu. Brahmantyo mengobrol dengan para ketua, sedangkan Rani memilih diam saja sambil sesekali menatap saudara kembarnya. Wishnu membaca buku yang menjelaskan sejarah Macan Hitam. Meskipun ia sudah pernah membacanya, ia merasa perlu membaca ulang karena sesuai dengan tema hari ini.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Wishnu mengangkat kepalanya dan melihat Trisno dan dokter Galih memasuki ruangan.

"Mana anakmu?"

"Kabur lagi," gerutu Trisno.

Wishnu terbahak, namun ia segera menghentikannya. "Nggak apa-apa, Mas. Anakmu belum akan kutunjuk jadi orang penting, kok." Ia menyengir. "Mari, Bapak-Ibu sekalian. Para menteri sudah menunggu di luar."

"Eh, Nu, kenapa dia ada di sini?" tanya Trisno sambil memandang Duren.

"Mas kenal dia?"

"Kenal. Dia ..." Trisno berhenti sejenak, mencari julukan yang tepat, "... ketua Macan Hitam Jatinegara, kan?"

"Iya. Kata Bang Ruslan, dia berbakat. Makanya kubawa kemari."

"Hmm," respon Trisno sambil terus memandangi wajah Duren.

***

Berbeda dengan pelantikan sebelumnya, acara kali ini sangat informal karena hanya diikuti oleh tujuhbelas orang: sembilan menteri, tiga dewan ketua, Wishnu, Brahmantyo, Rani, Trisno, dan Galih. Mereka berkumpul di lobby bawah tanah di depan ruang privat tempat mereka tadi berkumpul.

"Nggak usah bertele-tele lebih lanjut. Sekarang sudah malam, kalian pasti mau pulang dan istirahat, kan? Langsung saja saya tunjuk anggota baru dewan ketua dan menteri untuk menggantikan Bang Ruslan," Wishnu membuka suaranya. "Untuk dewan ketua, kita kurang tiga orang. Saya menunjuk Rani mewakili bidang politik, Trisno mewakili bidang pengusaha, serta dokter Galih mewakili bidang ilmu pengetahuan."

Spontan keributan terdengar di lobby. Para menteri serta anggota dewan ketua yang lama tidak menerima keputusan Wishnu.

"Apa-apaan ini? Nepotisme!"

"Mentang-mentang keluarga sendiri, jadi ditunjuk sebagai dewan ketua!"

"Apalagi Rani -- mohon maaf -- mana boleh perempuan jadi anggota dewan ketua?"

"Ketua nggak becus! Baru dilantik, seratus anggota kita sudah ditangkap polisi!"

"Kudeta saja dia!"

Wishnu mengangkat tangannya. "Tenang, tenang."

Karena suasana masih belum juga kondusif, ia mengeluarkan pistol dan menembak lampu hias yang tergantung di langit-langit. Bunyi pecahannya mengejutkan mereka semua. Ruangan sedikit lebih gelap, namun lampu-lampu di sudut ruangan masih meneranginya.

"Kalian tahu, ketua Macan Hitam adalah diktator. Bukan presiden. Kalian nggak punya suara untuk mengganggu keputusan saya. Kalian hanya bisa ikut atau tidak. Kalau nggak mau ikut, silakan keluar," tegas Wishnu.

"Sekarang, tujuan saya adalah kualitas, bukan kuantitas. Mas Trisno, Rani, dan dokter Galih adalah orang-orang muda yang kompeten dan dinamis. Mas Trisno merintis perusahaan farmasinya hingga sebesar ini. Rani adalah ketua yayasan kemanusiaan, istri staf kementerian, dan juga menantu Menteri Pertahanan kita. Sedangkan dokter Galih adalah salah satu dokter bedah paling kompeten di Indonesia.

"Saya tahu kalian pernah hebat pada masanya, tapi sekarang kalian sudah bangkotan dan karatan. Saya hanya mempertahankan kalian karena tidak ada pemecatan di level teratas. Namun jika kalian menentang saya, saya tidak akan segan mempensiunkan kalian.

"Mengenai anggota kita yang ditahan, sementara saya biarkan dulu. Biar polisi lengah, merasa mereka di atas angin. Pada saat yang tepat, saya akan berimprovisasi. Jadi kalian tenang saja. Mengerti?"

Wishnu memandangi para pemrotesnya dengan tatapan tajam. Mereka menatapnya balik, namun tak berani mengatakan apapun.

"Selanjutnya," sambung Wishnu, "saya akan menunjuk Duryodana menjadi kepala proyek saya yang baru, namun akan saya jelaskan kalau dia sudah bangun."

"Proyek apa?" tanya Trisno.

"Proyek rahasia," cengir Wishnu.

.

.

.

-- Jatinegara, Jakarta Timur, 07:00 WIB

Wirada bangun dari posisi berbaring dan meregangkan tubuhnya. Punggungnya terasa sakit, begitu pula lehernya. Meskipun kasur di motel Jatinegara bukanlah kasur ternyaman, jauh lebih baik daripada tidur di lantai emperan toko seperti sekarang. Apalagi kakinya masih nyeri akibat bekas tertembak.

Kemarin malam, ia melarikan diri dari rumah sakit di Kemayoran menumpangi bus dan angkot. Uang yang dibawanya pas-pasan untuk ongkos kendaraan -- supir dan kenek tidak mau lagi diutangi seperti biasanya, dan tubuhnya terlalu lelah dan sakit untuk mencuri malam itu. Yang lebih parah, teman-temannya sesama preman dari geng lain yang biasa bekerja sama dengan Macan Hitam tidak mau menampungnya. Berita penggerebekan Macan Hitam di Jatinegara dan Kota Tua sudah terdengar ke telinga mereka. Tentu mereka ingin menyelamatkan diri. Bahkan, ada satu kenalan Wirada yang terang-terangan melarikan diri begitu melihat Wirada. Dengan kondisi kakinya, berjalan saja pincang, apalagi disuruh mengejar.

Markas Jatinegara sudah hancur dan dikelilingi pita kuning polisi. Walaupun sepi, ada dua atau tiga orang polisi berpakaian warga sipil yang berjaga di sana. Wirada tak berani mendekat lebih dari lima meter. Terpaksa ia berjalan menjauhi rumah lamanya. Begitu ia menemukan emperan toko yang kosong, tak dikawal satpam ataupun satpol PP, ia berbaring di sana. Ia harus bangun sebelum pemilik toko datang. Jika tidak, diusir secara kasar merupakan kemungkinan terbaik. Dipukuli tongkat atau disiram air dingin pernah dialaminya.

Perutnya keroncongan. Sejak kemarin sore, ia belum makan apapun. Terakhir kali di tempat si Hantu Hitam itu. Namun beberapa warteg yang didatanginya bukannya mengizinkannya makan (sambil ngutang), malah mengusirnya dan mengata-ngatai dirinya serta gengnya.

"Masih kecil, tuh, bukannya sekolah, malah jadi preman. Lihat, tuh, kalian digrebek polisi dan masuk berita di mana-mana!" tegur seorang ibu pemilik warteg sambil menunjuk televisi yang masih menayangkan berita penggerebekan di Kota Tua. Nama Macan Hitam tidak disebut, namun ibu pemilik warteg yang merupakan langganan Wirada tentu saja mengetahuinya.

Apes, apes banget nasib gue kali ini, gerutu Wirada dalam hati.

Ia melangkahkan kakinya gontai, masih terpincang-pincang. Entah pikirannya tertuju ke arah Mal. Ya, satu-satunya kenalan bukan preman yang ia miliki -- selain Bang Pret sialan itu yang jelas-jelas takkan ditemuinya. Hari Senin pagi, pastinya ada perkuliahan. Ia nekat mendatangi kampus Universitas Negeri Jakarta memanggil ojek.

Karena tidak memiliki uang, ia membayar ongkos ojeknya dengan uang yang dicurinya dari dompet si tukang ojek sendiri. Si tukang ojek tidak sadar uang di dompetnya tidak bertambah sampai malam hari ketika ia menghitungnya sebelum tidur.

Mal anak fakultas mana, ya? pikir Wirada, berusaha mengingat informasi di kartu mahasiswa Malika yang pernah dilihatnya. Lalu pikirannya berkelana ke pelajaran yang disampaikan gadis itu hari Sabtu kemarin, tentang Bahasa Indonesia.

"Misi, Bang," sapa Wirada kepada satpam yang berjaga di pintu masuk UNJ. Walaupun pakaiannya sedikit kumal, ia sudah mencuci muka. Semoga saja satpam tidak mengusirnya.

Satpam itu menyipitkan mata memandangnya, namun karena Wirada bertanya dengan sopan, ia menjawabnya. "Ada apa, Dek?"

"Mau nanya, jurusan yang ada bahasa-bahasanya gitu di mana, ya?"

"Bahasa apa?"

"Bahasa Indonesia, sih, Bang."

"Ada perlu apa, Dek?"

"Gue ... eh ... saya mau ketemu teman saya, Bang. Namanya Malika."

"Kedelai hitam yang dibesarkan seperti anak sendiri? Jangan ngawur, ah, kamu! Kamu preman, gelandangan, apa copet?"

"Bukan, sumpah, aduh, elah!" gerutu Wirada. "Beneran, temen gue, eh, saya, namanya Malika Adina Zahra."

"Oh, Neng Mal?" ujar satpam tersebut.

"Iya, Mal!" sahut Wirada, bersyukur dalam hati.

"Neng Mal nggak mungkin punya kenalan kaya kamu. Sana pergi! Hus, hus, sebelum saya panggil rekan saya buat ngusir kamu."

Otak Wirada berputar cepat. Sial, ternyata ia diusir juga. Pasti gara-gara jaket bau ini. Ia harus mencari pakaian lain supaya tampak lebih normal. Padahal rambutnya tidak di-spike dan tidak ada tato di bagian tubuhnya yang terlihat. Sambil mengomel dalam hati, Wirada melangkahkan kakinya menjauh. Ia harus masuk saat satpam itu lengah, dan jangan bertanya pada satpam manapun lagi. Bertanya pada mahasiswa saja.

Limabelas menit kemudian, begitu satpam itu tidak melihat ke tempatnya bersembunyi, Wirada menyelinap masuk melewati gerbang kampus. Ia mengepalkan tangannya girang setelah berhasil menjejakkan kakinya di dalam area kampus.

"Hei! Hei!" panggil satpam itu, namun terlambat. Sebuah mobil menutupi pandangannya ke arah Wirada. Satpam itu harus memberikan karcis izin masuk kepada pengemudi mobil. Begitu mobil berlalu, Wirada sudah menghilang.

Setelah bertanya kepada beberapa mahasiswi yang lewat -- tentu saja Wirada memilih yang cantik dan ramah -- akhirnya ia mengetahui bahwa jurusan ilmu bahasa Indonesia terletak di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Ia bertanya lagi kepada beberapa mahasiswi di sana. Untunglah ada yang mengenal Malika.

"Mal? Anak PBI*, tuh. Gedungnya di sebelah sana," ujar mahasiswi tersebut.

"Makasih, Mbak," ujar Wirada.

Untunglah, setelah bersusah payah menahan lapar dan sakit di betisnya, ia berhasil menemui Malika. Gadis itu baru saja keluar dari salah satu ruang kelas di gedungnya sambil mengobrol dengan Nada.

"Mal!" bisik Wirada.

Spontan dua pasang mata tertuju ke arahnya. Tatapan Nada awalnya terkejut, berubah menjadi ketakutan, lalu mulutnya pun terbuka. Sebelum ia berteriak, Malika buru-buru menutup mulut sahabatnya.

"Mmmm! Mmmmm!" Nada berusaha menurunkan tangan Malika.

"Ada apa, Wirada?" tanya Malika tajam. "Sekarang lu stalking gue sampe kampus juga?"

"Mal ... gue butuh bantuan lu," pinta Wirada. "Plis, ya?"

Malika menghembuskan napasnya. Sebenarnya ia malas berurusan dengan bocah preman ini. Namun tiba-tiba ia teringat pada permintaan Frans untuk melaporkan gerak-gerik Wirada. Mungkin ini kesempatan baik untuk melakukannya. Apalagi Wirada tampaknya begitu percaya padanya.

"Jangan di sini, kita ke taman kampus aja," ujar Malika.

"Mal, lu gila? Lu bakal diapain sama dia?" bisik Nada.

"Sudahlah, Nad, gue tahu apa yang gue lakuin. Lu ke kantin duluan aja, ntar gue nyusul," sahut Malika.

"Tapi, Mal ... Apa gue panggil Laksa aja?"

Malika menggeleng. "Gue bisa nanganin ini sendiri, kok. Udah sana pergi. Yuk, Wir."

Wirada mengikuti Malika ke taman di luar kampus. Taman itu tidak terlalu ramai, namun banyak mahasiswa yang berlalu lalang berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya. Ada juga yang duduk-duduk bersantai, menunggu jadwal kelas berikutnya. Malika mengajak Wirada duduk di bangku yang terbuat dari batu di bawah pohon.

"Lu perlu apa dari gue, Wir?" tanya Malika tanpa basa-basi.

Sebelum Wirada menjawab, perutnya yang menyahut terlebih dahulu. Malika menyengir.

"Lapar?"

Wirada mengangguk. "Gue belum makan dari kemarin sore, Mal."

"Trus mana duit lu? Lu kan cop ..."

"Ssttt! Jangan bilang itu keras-keras di sini, Mal."

Malika tertawa. "Sekarang lu takut, Wir?"

"Gue udah keliling beberapa warteg, biasanya gue ngutang ke ibu-ibu warteg, tapi kali ini mereka nggak mau ngelayanin gue dan malah ngusir gue. Temen-temen gue juga nggak ada yang bantuin gue. Cuma lu satu-satunya teman terakhir gue, Mal."

"Gue nggak tahu kita berteman." Malika masih tertawa.

"Tapi lu lain, Mal. Lu baik. Terbukti waktu lu bolehin gue ikut kelas lu hari Sabtu itu ..."

Malika tersenyum. "Udah, udah, nggak usah ingetin gue dengan kebaikan gue. Gue mau, kok, bantuin lu, tapi gue juga minta bantuan dari lu."

"Bantu apa?"

"Nanti sore, jam lima, datang lagi kemari," ujar Malika.

"Gue masuk kampus aja susah payah, udah diusir-usir satpam ..."

Malika hanya melanjutkan tawanya. "Oke, di warung bakwan Malang tempat kita pertama kali ketemu." Kemudian ia mengeluarkan uang sepuluh ribuan. "Nih, cukup, kan?"

"Cukup, kok. Makasih banyak, Mal!" Wajah Wirada berubah girang. Ia menyalami tangan Malika, lalu beranjak pergi.

Malika: Bang gue barusan ketemu si Wirada nih. Ntar sore gue janjian ketemu lagi

Bang Frans: Bagus, laporin hasilnya ya.

Bang Frans: Eh tunggu. Gimana lu yakin dia bakal datang?

Malika: Gue lagi ngetes seberapa dia percaya sama gue. Lihat aja, gue cukup yakin dia bakal datang

.

.

.

Bersambung.

(3 Agustus 2018)

2200++ kata

*PBI: Pendidikan Bahasa Indonesia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top