Bab 14: Pelantikan
Frans berjongkok hingga kini ia berada di samping Wirada. Ia menarik telinga si preman dan berbisik, "Salah. Kalian yang cari mati."
Wirada menghembuskan napas lewat mulutnya. "Katanya nggak mau ngelihat gue lagi, gimana, sih, dasar Bang Pret labil."
Frans tidak menjawab. Ia membisikkan sesuatu ke earpiece-nya sebelum mengarahkan matanya ke panggung aula yang masih kosong.
"Lu gila, Bang Pret? Lu nggak tahu semua ini adalah Macan Hitam? Gue nggak mau lu mati seperti rekan-rekan lu tadi. Sebaiknya cepat pergi dari sini," bisik Wirada.
"Tenang," sahut Frans sambil menekan suatu tombol di jam tangannya. "Gue tahu apa yang gue lakukan."
Kemudian ia meninggalkan Wirada yang menatapnya heran.
"Ini kenapa semua orang di sekitar gue aneh semua, deh?" gerutu Wirada.
***
"Bagaimana hasil perjalananmu berkeliling Indonesia, Mas Trisno?" tanya Wishnu.
Sang calon ketua Macan Hitam dan kakak tirinya hanya berdua saja di ruangan pribadi Wishnu. Brahmantyo, Kania, dan Rani sudah berkumpul dengan para ketua level lima di ruangan lain. Wishnu memang sengaja memanggil Trisno untuk berdiskusi mengenai misi yang dijalankan Trisno sebelum ia datang ke Kota Tua.
"Menyenangkan. Aku mendapat banyak informasi mengenai kondisi penduduk saat ini dan sentimen-sentimen mereka. Data yang dapat kita manfaatkan menjelang Pilkada tahun depan dan Pemilu Presiden 2019," ujar Trisno, alias Si Hantu Hitam, sambil menyerahkan sebuah USB flashdisk kepada Wishnu. "Selain itu aku juga memperoleh ini."
Trisno menyelipkan jemarinya di saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah cincin kepada Wishnu.
"Cincin Amartya," lanjutnya.
Wishnu tersenyum miring sambil mencoba cincin itu di jari tengah tangan kirinya.
"Hati-hati, Wishnu," peringat Trisno. "Cincin Amartya nggak bisa dipakai sembarangan. Harus di jari telunjuk tangan kanan. Atau jin penunggunya akan marah dan menyerang pemakainya."
Wishnu tertawa. "Aku nggak berencana memakai ini seterusnya, Mas Trisno. Aku cuma menjaganya supaya nggak jatuh ke tangan yang salah. Jadi ingatkan aku lagi, apa kehebatan cincin ini?"
"Keabadian, kekuatan, dan pengetahuan yang tak terhingga. Tapi seperti semua perjanjian dengan penguasa kegelapan," tutur Trisno, "bayarannya adalah jiwamu."
"Menarik. Tapi aku nggak butuh ini, aku lebih mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Wishnu. "Kurasa cincin ini bisa memberitahuku siapa saja pengguna ilmu hitam di seluruh Indonesia?"
Trisno mengangguk. "Sayang, cincin ini ada penangkalnya. Dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukannya. Terakhir kali, kudengar ada di Jogja, tapi setelah aku mengunjungi Jogja, aliran energinya membawaku ke Jakarta."
Wishnu mengusap dagunya yang mulus. "Cincin penangkal memiliki kekuatan yang pasif, nggak bisa digunakan untuk menyerang. Aku nggak khawatir. Makasih banyak, Mas. Bagaimana dengan penyelidikan yang satunya?"
Trisno mengeluarkan buku catatan yang dilihat Wirada di Bogor dari balik jasnya dan menyerahkannya kepada Wishnu.
"Ternyata senjata rahasia yang dikembangkan oleh Penumbra adalah ..."
"Manusia," sambung Wishnu, matanya antusias memandangi foto-foto dan catatan medis di lembaran buku catatan tersebut.
"Benar," sahut Trisno. "Sebagian disembunyikan di laboratorium rahasia mereka di bawah Laut Sulawesi, tapi sisanya tersebar di luar negeri."
"The Nimrod Project," ucap Wishnu sambil menatap Trisno. Nadanya tenang, namun tatapan matanya tak mampu menutupi rasa terkejutnya. "Aku nggak menyangka Penumbra berasosiasi dengan Nimrod. Nggak salah aku minta bantuan Mas Trisno. Sekali lagi, matur nuwun, Mas." Ia menepuk bahu kakaknya.
"Tak masalah," sahut Trisno singkat. "Baiklah, aku harus pergi. See you in a minute, brother."
Dengan kata-kata tersebut sang kakak bergegas keluar ruangan, meninggalkan Wishnu sendirian.
Wishnu melepas cincinnya dan menyimpannya di saku bajunya. Kemudian ia mengambil buku catatan yang diberikan Trisno dan memasukkannya ke dalam laci mejanya. Ia baru saja bersiap keluar ruangan ketika pintu kembali terbuka. Kali ini oleh seorang bawahan level tiga.
"Pak Wishnu, gawat!" Suaranya terdengar panik meskipun wajahnya tertutup kain hitam.
"Ada apa?" tanya Wishnu, setengah tak sabar.
"Pak Gilang ditemukan tak sadarkan diri setelah menginterogasi salah satu bawahan kita."
Wishnu mengeluarkan bola logam berdiameter lima sentimeter dari saku celananya dan mengaktifkannya. Tak lama kemudian, suara asap terdengar dari langit-langit dan pintu. Dua buah alat elektronik berukuran sangat kecil terjatuh di lantai. Kamera dan alat penyadap.
"Ada penyusup. Cari di seluruh lantai bawah tanah. Oh, ya," ujarnya sambil memberikan beberapa bola logam tersebut ke tangan sang bawahan, "pastikan semua kamera dan alat penyadap yang terpasang dimatikan. Selain itu, siagakan semua anggota level tiga, kalau-kalau polisi menyergap kita."
"Bagaimana dengan acara pelantikan anggota level empat? Pak Gilang seharusnya ditunjuk sebagai eksekutor yang baru," ujar bawahannya.
Wishnu menarik napas dalam-dalam. "The show must go on. Potong bagian itu dan langsung ke pelantikan anggota level lima."
***
Frans duduk di atas jok sepeda motor usangnya yang ia parkir di seberang restoran di Kota Tua tempat para anggota Macan Hitam berkumpul. Ia telah melepas pakaian kekecilan yang tadi direnggutnya dari tubuh salah satu preman. Kaki jenjangnya masih dibalut kostum canggihnya, namun badannya dibungkus jaket bomber kesayangannya. Kepalanya tertutup helm hitam dengan kaca gelap sehingga orang lain tidak dapat melihat wajahnya.
Di balik helm motor yang dikenakannya, terdapat helm canggih satu setelan dengan kostumnya yang dapat mengamati seluruh video hasil rekaman kameranya yang dipasang di dalam markas bawah tanah Macan Hitam di restoran tersebut.
Begitu Wishnu merusak kamera dan alat penyadap di ruangan pribadinya, salah satu layar di helm Frans mati.
"Sial. Sepertinya mereka mengetahui kita menyadap mereka. Mereka menyerang dengan senjata kejut elektromagnetik," gerutu Frans. "Omicron-Delapan-Dua, Anda mendengar saya?"
"Sudah dialihkan kembali ke Cronus," ujar Binar dari posisinya.
"Baiklah, Cronus, kamu dengar ucapanku?" tanya Frans.
"Tentu. Saya sedang memindahkan alat penyadap. Kalian tahu, mereka bisa terbang tanpa ketahuan, hanya dikira nyamuk biasa," sahut Phillip. "Untuk kamera, sayangnya harus dimatikan karena percuma merekam dalam posisi bergerak."
"Fokuskan pada kamera yang terakhir saya pasang, sebelum dimatikan," ujar Frans sambil mengatur setelan di layar helmnya agar menampilkan pemandangan aula tempatnya bertemu d dengan Wirada tadi.
"Hm, tempat ini cukup luas. Sepertinya kamera bisa dipindahkan ke tengah ruangan atau hinggap di bahu seseorang untuk menghindari senjata kejut mereka," tutur Phillip.
"Tadi saya sempat mendengar tentang cincin Amartya, Penumbra, dan Nimrod Project dari antara percakapan Wishnu dan kakaknya, apakah saya perlu menyelidikinya?" tanya Frans lagi.
"Nggak usah. Biar saya saja. Nanti saya beritahu kalau relevan," jawab Phillip.
***
Wirada duduk sambil merenung, berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya sekaligus mengakses memori masa lalunya yang hilang. Ia tak memedulikan Frans, yang ia ketahui pasti hanya menyelidiki Macan Hitam sejak pertama kali mereka bertemu. Yang lebih menarik merupakan pertemuannya dengan Si Hantu Hitam dan buku catatan yang dilihatnya di laboratorium di Bogor.
Siapa Si Hantu Hitam sebenarnya? Mengapa ia sangat memerhatikan dirinya? Apa hubungannya dengan dirinya? Apakah ia seseorang yang familiar?
Selain itu, siapa perempuan yang wajahnya terpampang di foto yang disimpan Si Hantu Hitam? Perempuan itu tidak terlalu cantik dan tidak muda. Mungkinkah itu foto ibu Si Hantu Hitam? Namun foto itu berwarna, artinya foto itu cukup baru. Tapi bisa saja Si Hantu Hitam masih muda sehingga ibunya juga masih muda. Lalu mengapa wajah perempuan itu familiar bagi Wirada?
Wirada mencoba mengingat masa lalunya. Ia heran mengapa ia tak pernah ingat kejadian apapun sebelum usianya sepuluh tahun, yaitu tujuh tahun yang lalu. Selama hidupnya, ia sudah tinggal di Macan Hitam. Ketika ia bertanya kepada Awi, lelaki itu memberitahunya bahwa ia adalah anak jalanan yang ditelantarkan orangtuanya, lalu dirawat oleh Macan Hitam. Duren mengatakan hal yang sama, sedangkan anggota Macan Hitam lainnya tidak tahu.
Namun sekarang Wirada curiga mereka berbohong.
Samar-samar, di ingatannya, muncul sebuah rumah kumuh. Di dalamnya terdapat kamar terlarang yang tak boleh ia masuki. Tangan seorang anak lelaki yang lebih besar menutupi matanya dan membawanya keluar. Samar-samar, teriakan seorang lelaki dewasa dan rintihan seorang perempuan terngiang di telinganya.
Pikirannya berganti ke lokasi lain. Sebuah situs konstruksi di siang hari, di suatu daerah yang tidak diingatnya -- Jakarta, ia yakin, karena ia mengingat gedung tinggi. Ia berlari secepat mungkin, menoleh ke belakang, sekumpulan remaja tanggung berpakaian lusuh mengejarnya. Tidak tahu mengapa. Tiba-tiba ia menginjak papan kayu rapuh dengan tanda peringatan di atasnya. Papan itu patah, dan ia terperosok ke dalam lubang. Semuanya menjadi gelap.
"Ahhhh!" Wirada memegang kepalanya yang terasa akan pecah. Sakit luar biasa. Ia yakin, ingatan pertama adalah masa kecilnya, dan ingatan kedua adalah kecelakaan yang menyebabkan sebagian ingatannya hilang. Tapi kenapa semuanya menyembunyikan fakta itu darinya?
Sayang Bang Awi dipenjara. Gue harus nanya Bang Dur tentang masa lalu gue. Mungkin dia punya jawaban mengenai siapa Si Hantu Hitam sebenarnya.
Kemudian pikirannya kembali kepada pertemuannya dengan Frans. Jika sang polisi bisa menyusup ke dalam, berarti ...
Gedung ini sudah dikepung. Apakah mereka tahu?
Wirada bangkit berdiri. Ia harus memberitahu seseorang. Mungkin Si Hantu Hitam? Ia harus pergi dari aula dan mencari pria aneh itu.
Suara dari atas panggung mengalihkan perhatiannya. Seorang pembawa acara lelaki dengan canggung menyapa hadirin dan melemparkan lelucon-lelucon garing -- yang hanya mengundang tawa dari segelintir orang saja.
Apa nggak bisa panggil MC kondang aja? Oh, ya, mereka nggak mungkin terlibat dengan geng preman seperti kita, pikir Wirada.
Menyadari kesalahannya, sang pembawa acara langsung memanggil para petinggi Macan Hitam yang diiringi tarian para stripper berbikini hitam dengan hiasan kepala macan. Wirada memerhatikan panggung dengan saksama. Bukan hanya untuk menikmati pemandangan tubuh seksi para penari, namun juga untuk mengetahui identitas ketua yang selama ini menjadi misteri baginya.
Sepuluh anggota level empat alias menteri, dicirikan dengan jas hitam mereka yang memiliki empat strip putih di lengan kanannya, pertama kali naik ke atas panggung dan duduk di kursi paling belakang.
"Tunggu," bisik Duren kepada Aren dari tempat duduknya, "gue tahu semua muka menteri, tapi yang itu baru lihat. Mungkin pengganti Pak Ruslan? Tapi seingat gue pengganti Pak Ruslan juga udah tua."
Aren hanya mengangkat bahunya. Ia tahu apa yang terjadi pada Gilang, namun menurutnya tidak baik berbicara terlalu banyak di tempat seramai ini. Bisa-bisa ia dicurigai lagi.
Para anggota Macan Hitam level rendah tidak mengetahui siapa saja ketua mereka, sehingga mereka tidak bertanya-tanya seperti Duren. Selanjutnya anggota level lima alias dewan ketua yang seharusnya berjumlah enam orang, namun hanya bersisa tiga orang.
Terakhir, Sang Ketua Utama, simbol dari Macan Hitam itu sendiri. Ia mengenakan jas hitam dengan loreng abu-abu samar yang menunjukkan statusnya sebagai ketua. Sebagian wajahnya ditutupi topeng yang juga bermotif loreng harimau, hanya memperlihatkan mata dan mulutnya saja. Ia sedikit bungkuk meskipun cara jalannya masih menunjukkan wibawa. Sambil berdiri di tengah panggung, ia mengawali pidatonya dengan menyapa seluruh anggota Macan Hitam.
"Macan Hitam bukanlah seperti organisasi bawah tanah lainnya. Kita punya kebanggaan dan tujuan. Kebanggaan, karena setiap dari kita adalah orang-orang yang terpilih, mulai dari level terbawah hingga level puncak. Tidak semua orang bisa menjadi anggota Macan Hitam. Untuk itu, kita harus bangga dengan diri kita sendiri. Sekecil apapun peran kita, kita memberi andil dalam perjuangan Macan Hitam yang sebenarnya.
"Selanjutnya saya membicarakan tujuan. Seperti yang kalian tahu, Indonesia adalah negara yang masih berkembang. Kesenjangan dan ketidakadilan sangat terasa, terutama di kota besar seperti Jakarta ini. Yang kaya sangat kaya, sedangkan yang miskin sulit untuk bertahan hidup sehari saja. Tujuan kita adalah kemakmuran warga. Pertama dari diri kita sendiri dulu, lalu kita akan perluas ke Jakarta, lalu seluruh Indonesia. Siapa dari kalian yang kehidupannya lebih baik sejak bergabung dengan Macan Hitam?"
Hampir semua anggota Macan Hitam mengangkat tangannya, termasuk Wirada.
"Ada kalanya kita mengalami masa-masa sulit. Namun yakinlah bahwa kejadian yang kemarin kita alami, kejatuhan tiga anggota dewan ketua kita di tangan polisi yang bekerja sama dengan pelanggar hukum, hanyalah kemunduran sementara. Karena itu, saya percaya sekarang saatnya Macan Hitam berbenah. Merejuvenasi diri. Saatnya menyerahkan tampuk kekuasaan kepada pemimpin yang lebih muda, lebih kompeten, lebih mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Saya memanggil putra saya sebagai penerus saya yang akan memimpin kalian di era yang baru ini. Anakku, silakan maju."
Wishnu beranjak dari tempat duduknya. Ia mengenakan topeng kain hitam sederhana yang menutupi separuh wajahnya, kecuali mata dan mulutnya. Begitu ia menghadap ayahnya, Brahmantyo melepas topeng harimaunya dan mengungkapkan topeng serupa.
Tiba-tiba tirai hitam menutupi panggung sejenak. Pembawa acara memberitahu hadirin bahwa acara pelantikan ketua sangat sakral dan tak boleh dilihat anggota yang tidak berwenang.
Wirada menyipitkan matanya. Apa-apaan ini? Organisasi apa yang menyembunyikan identitas ketuanya sendiri? Namun mereka dituntut setia terhadap ketua yang bahkan tak mereka kenal. Bahkan ia belum mengetahui identitas ketua lama.
***
Di posisinya, Frans juga menggerutu. Kamera berukuran serangga yang diposisikan Phillip di tengah aula tak dapat melihat pelantikan ketua Macan Hitam. Walaupun ia menduga kuat salah satu anggota keluarga Adipramana merupakan ketua barunya, entah Wishnu atau Trisno, namun lebih meyakinkan jika melihatnya secara langsung.
"Cronus, pindahkan kameranya," ujarnya.
"Sebentar," balas Phillip dari markasnya. "Tirainya terlalu tebal, kamera ini tidak bisa menembusnya."
Frans mendengus. "Mana mereka pake topeng, lagi. Teknologi semacam thermal imaging untuk mendeteksi identitas itu ada nggak, sih?" Thermal imaging adalah mengetahui keberadaan makhluk hidup berdasarkan radiasi yang dipancarkannya.
"Bisa. Tapi ada dua masalah. Pertama, mereka terlalu jauh, dan kedua, kameranya tidak disetel ke mode thermal imaging," sahut Phillip. "Sejauh ini menurut saya sudah cukup, Kappa. Saya melihat pergerakan Odyssey -- atau Theta-Enam-Sembilan -- ke arah sini dengan sekelompok pasukan elitnya. Kamu bersiap saja menunggu aba-abanya."
"Diterima," ujar Frans.
***
Pelantikan ketua utama Macan Hitam tidak selesai begitu saja. Wishnu harus membuktikan bahwa ia benar-benar memenuhi syarat sebagai ketua utama. Untuk itu, ia harus menyelesaikan beberapa tantangan. Yang pertama, ia harus memenangkan pertarungan melawan sepuluh anggota level tiga tanpa senjata. Yang kedua, ia harus menunjukkan kepiawaiannya menggunakan senjata api -- menembak sepuluh kali ke sasaran tanpa boleh meleset. Terakhir, ia harus menunjukkan kecerdasannya menyelesaikan masalah. Para bawahan dipersilakan mengajukan satu pertanyaan. Nantinya pertanyaan ini akan disaring menjadi tiga pertanyaan yang penting dan akan dijawab langsung oleh Wishnu.
Tidak seperti pertunjukannya, acara tantangan ini diperlihatkan kepada seluruh penonton. Wishnu masih mengenakan topengnya, namun pakaiannya telah berganti menjadi kaos lengan panjang dan celana panjang hitam. Ia berhasil melewati tantangan yang pertama. Sepuluh anggota Macan Hitam level tiga ditumbangkannya dalam waktu duapuluh menit saja. Cara bertarungnya gesit namun efisien -- ia langsung menyerang titik-titik saraf di leher lawannya saat mereka lengah, sehingga melumpuhkan lawan yang jatuh pingsan. Sedangkan ia sendiri tidak begitu banyak bergerak, melindungi titik lemahnya seperti dada dan kepala.
Atau itu semua diatur supaya dia menang, pikir Wirada.
Yang kedua, uji kemampuan menembak. Tiga sasaran, sepuluh peluru, tiga jarak yaitu 100, 200 dan 300 meter. Lagi-lagi Wishnu mempertontonkan kemampuannya. Semua peluru yang dilontarkan pistolnya menancap di lingkaran tengah sasaran walaupun tidak semuanya tepat di tengah.
Terakhir, sesi tanya jawab. Para penonton diberikan secarik kertas dan pensil untuk menuliskan pertanyaan mereka. Wirada yang duduk di paling belakang nyaris terlewati, namun ia berusaha keras memastikan ia mendapat kertas itu dan menyerahkannya kembali kepada anggota level tiga yang berkeliling aula.
Dari sekian banyaknya kertas, para anggota menyeleksi pertanyaan dengan membacanya secara sekilas. Kemudian disaring lagi oleh anggota level empat, level lima, hingga Wishnu hanya memperoleh sepuluh pertanyaan. Ia sendiri yang akan memilih tiga pertanyaan untuk dijawab.
Baru saja Wishnu membaca lembaran kertas yang berisi pertanyaan, tiba-tiba saluran ventilasi di langit-langit aula bocor, menyemburkan gas air mata yang menyakitkan mata para anggota Macan Hitam. Disusul dengan gas bius yang merebahkan mereka hingga tak sadarkan diri.
Wirada di belakang aula segera menutup wajahnya dengan tudung jaketnya. Masih melawan pedih di matanya, ia berlari menuju pintu keluar yang paling dekat dengan posisinya.
Ia merasakan tangannya ditarik oleh seseorang. Walaupun pandangannya masih kabur, ia yakin siapa yang menyelamatkannya.
"Pakailah ini. Nanti gas penawarnya akan menyembuhkan matamu dan melawan efek obat biusnya," ujar suara itu.
Si Hantu Hitam.
.
.
.
Bersambung.
(21 Juni 2018)
2400++ kata
.
.
.
Habis ini mau hiatus dulu kayanya, mungkin beberapa minggu. Sekalian benahin outline.
Udah ada yang bisa nebak hubungan2 antar tokoh yang dibeberkan di sini? Silakan tulis tebakan kalian, tapi aku nggak akan bilang benar atau salah biar nggak spoiler. Hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top