Bab 13: Misterius

Si Hantu Hitam menyodorkan sebuah kapsul berwarna biru dan krem di telapak tangannya. Sepintas, kapsul itu menyerupai obat pereda sakit kepala biasa. Wirada mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya, lalu meraih gelas bening berisi air dan meneguknya. 

Beberapa detik berlalu, Wirada belum merasakan efek apapun. Ia menoleh ke arah Si Hantu Hitam dengan heran, namun tentu saja ia tak dapat membaca raut wajah sang pria dewasa yang tertutup topeng hitam. 

"Sabar saja," ujar Si Hantu Hitam, memahami pertanyaan tak tersurat dari ekspresi Wirada. "Reaksi kimia dari obat itu memakan waktu, agar tak menghancurkan lambungmu. Nanti juga kamu merasakannya."

Benar saja. Perlahan, Wirada merasakan kembung dan mual disertai kram yang menyakitkan lambungnya. Ia terkapar di atas tempat tidur sambil memegangi perutnya. 

"Yakin, Bang? Ini ... bukan ... ngeracunin ... gue?" rintihnya. 

"Ini bocah, ya ampun. Sudah saya bilang dari tadi, masih nggak percaya. Kamar mandi ada di sebelah sana, kalau kamu memerlukannya."

Sebelum ucapan Si Hantu Hitam selesai, Wirada segera melesat ke arah kamar mandi dan menguncinya. 

"Saya ada urusan sebentar," beritahu Si Hantu Hitam dengan suara agak keras. "Nanti saya akan kembali." 

***

Di depan sebuah rumah kontrakan yang berdebu, seorang perempuan berwajah lesu mengetuk pintu. Dua kali diketuk, pintu bergesekan dengan lantai, menyuarakan derit yang menyakitkan telinga. Wajah seorang lelaki muda berusia akhir duapuluhan menyembul di baliknya. 

"Mpok Marni? Saya Kusno," sapa lelaki muda tersebut. 

"Iya, Bapak manggil saya buat bersih-bersih, kan," ujar Marni. 

"Benar sekali, Mpok. Silakan masuk," sambut Kusno sambil mendorong pintunya untuk melebarkan celah. "Maaf, pintunya emang suka macet. Maklum, rumah bekas. Tapi saya dapatnya murah." 

Marni tak menjawab. Kusno memimpin jalan ke dalam rumah yang masih kosong. Jejak kaki dari sandal mereka menandai lapisan debu yang menutupi lantai. Dindingnya bercat mengelupas dan langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba. 

"Ini peralatan buat bersih-bersih," ujar Kusno, menunjuk ke arah beberapa ember, tongkat pel, kain lap, serta botol-botol berisi cairan kimia pembersih. "Kita bersihkan sama-sama, ya, Mpok? Saya tahu Mpok nggak bakalan bisa selesai sehari dua hari. Kotornya udah kaya sarang hantu." Ia tertawa kecil. 

"Tapi ini kerjaan saya, Pak," pinta Marni. "Biar saya beresin semuanya aja." 

Kusno menggeleng. "Kalau soal duit, nggak usah cemas. Saya nggak bakal ngurangin, kok." Ia melihat Marni mengambil ember dan berjalan ke kamar mandi untuk mengisinya dengan air. "Eh, tunggu, Mpok. Ini pakai kaos tangan. Bahan kimianya kuat banget, nggak boleh kena kulit." 

"Oh, nggak usah, saya nggak biasa, Pak. Ini tangan juga udah biasa kena sabun," kata Marni sambil memamerkan tangannya yang kering dan mengelupas. 

"Saya memaksa," ujar Kusno sambil meraih tangan Marni dan meletakkan sarung tangan karet itu ke atasnya. "Kalau nggak mau pake, nggak usah kerja."  

Marni terpaksa setuju. Setelah mengenakan sarung tangan, ia kembali ke tujuannya mengisi ember dengan air di kamar mandi. Lalu mereka mulai sama-sama bekerja membersihkan rumah. 

***

Beberapa jam kemudian, Kusno dan Marni beristirahat dari pekerjaan mereka. Kusno memberikan nasi kotak kepada pekerjanya. Mereka duduk di lantai ruang tengah yang sudah bersih dan makan bersama. 

"Bapak pelanggan terbaik yang pernah saya dapat," ujar Marni sambil menyuapkan potongan ayam goreng ke dalam mulutnya. "Mau kerja bareng, ngasih saya makan, malah makan bareng juga. Yang lain, mah, boro-boro, Pak. Biasanya nggak ada di tempat pas saya kerja, cuma balik pas saya udah selesai trus ngasih duit." 

Kusno mengangkat bahu. "Pekerja juga manusia. Saya hanya memperlakukan Mpok Marni seperti manusia." Ia terdiam sejenak. Pandangannya menerawang. "Itu yang saya nggak suka dari masyarakat kita. Kesenjangan dibuat terlalu jauh. Orang-orang kecil seperti kuli dan pembantu diperlakukan sebagai warga kelas kesekian oleh majikan mereka. Mungkin mereka memang nggak memiliki potensial untuk mengubah dunia. Tapi tetap saja, kan, mereka juga menunjang tatanan masyarakat." 

Marni menatap Kusno heran, tak mengerti apa yang dibicarakan kliennya. Namun ia memilih diam. 

"Ah, saya ngomong apa, Mpok. Lupakan saja," ralat Kusno sambil tersenyum kepada Marni. "Jadi Mpok biasa nerima kerja sambilan seperti ini?"

Kemudian Marni bercerita tentang keluarganya. Suaminya baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai kurir karena kinerjanya yang buruk. Bukannya mencari pekerjaan baru, ia malah depresi dan sering keluar rumah. Jika di rumah, kerjanya hanya mengamuk ke dirinya dan anaknya yang berusia lima tahun. Marni yang biasanya hanya menjadi ibu rumah tangga terpaksa mencari kerja serabutan untuk menopang keluarganya. Namun suaminya sering memarahinya jika keluar rumah. Lebih parah lagi, suaminya sering mencuri uang hasil kerjanya. 

"Lelaki macam apa yang menyiksa istrinya. Kalau ada apa-apa, lapor saja pada polisi," saran Kusno geram. 

Marni menggeleng. "Takut, Pak. Terus nanti apa kata tetangga dan keluarga saya, kalau suami saya ditahan? Dia belum mukul saya, kok, cuma teriak-teriak aja. Itu saya bisa diamkan." 

"Ya sudah," ujar Kusno. "Kalau nggak, laporkan saja sama saya. Nanti saya akan menolong Mpok Marni." 

***

Wirada keluar dari kamar mandi sambil melihat ke sekitarnya. Laboratorium itu kosong. Si Hantu Hitam belum kembali. Seperti biasa, insting pertama Wirada adalah melarikan diri. Ia tak percaya siapapun kecuali dirinya sendiri dan Macan Hitam. Walaupun Si Hantu Hitam mengaku dirinya adalah Macan Hitam, Wirada tak percaya begitu saja karena tingkah lakunya sangat aneh. 

Berpaling ke arah pintu, ia menekan gagangnya. Terkunci. Ia menoleh ke sekitarnya. Otaknya berputar untuk mencari apa yang dapat ia gunakan untuk membuka pintu secara paksa, atau kalau-kalau ada jendela maupun celah lain untuk melarikan diri. Namun selain botol-botol kaca kosong, meja operasi yang menempel ke lantai sehingga tak dapat digeser, dan beberapa sampel kimia, mikroba, atau entah apapun itu, ia tak menemukan apa-apa. 

Ia menyelidiki laboratorium tersebut. Sayangnya, ia tak mengerti istilah-istilah yang tertera di label botol maupun sampel. Ponsel pun ia tak punya. Ia memutuskan untuk membongkar meja kerja yang berantakan, barangkali ia dapat mendapat informasi mengenai identitas Si Hantu Hitam. 

Di dalam laci meja, sebuah buku catatan menarik perhatiannya. Ia membolak-balik lembarannya. Setiap halaman berisi foto dan data diri orang, lalu catatan medis mengenai orang itu. Lagi-lagi ia tak mengerti artinya. Ia hanya dapat merutuki kebodohannya. 

Salah sendiri gue nggak namatin SMA. Eh, tapi gue nggak yakin anak SMA biasa juga bakalan ngerti ini. Bahkan Bang Pret pun nggak mungkin ngerti, gumamnya dalam hati. 

Ia menyimpan buku itu ke dalam laci ketika sebuah foto terjatuh dari dalamnya. Foto seorang perempuan berpakaian sederhana dan senyum lebar di wajahnya yang memiliki bekas luka. Wirada merasa mengenal perempuan itu, namun ia tak mampu mengingatnya. 

Langkah kaki Si Hantu Hitam mendekat. Begitu tangannya menggenggam pegangan pintu, Wirada buru-buru menyimpan foto itu ke dalam buku dan memasukkan buku itu ke dalam laci. Lalu ia menempatkan dirinya duduk di atas meja operasi, seolah-olah sejak tadi kerjanya hanya menunggu saja. 

"Gimana, udah beres?" tanya Si Hantu Hitam. 

Wirada mengangguk. 

"Sebentar, saya periksa dulu, apakah pelacaknya benar-benar sudah hilang," ujar Si Hantu Hitam sambil mengambil alat yang menyerupai pemindai tubuh dari rak besi di dekat dinding. "Pelacak milik Tiara Suryajati memancarkan sedikit radiasi elektromagnetik yang dipancarkan ke satelit. Alat ini bisa mendeteksi apakah masih ada radiasi di tubuhmu, atau sudah hilang." 

Ia menyalakan alat tersebut dan menggerakkannya di sekitar dada dan perut Wirada. Alat itu menunjukkan sisa radiasi namun dalam batas minimal, menunjukkan bahwa pelacak itu telah lenyap dari tubuh Wirada. 

"Baiklah, sekarang waktunya," tutur Si Hantu Hitam. 

Wirada memerhatikan lelaki itu mengambil buku catatan yang baru ia temukan di laci mejanya dan mengeluarkan foto yang terselip di dalamnya. Ia menatap foto itu sejenak, namun menyimpannya kembali ke dalam laci. 

"Ayo kita berangkat," kata Si Hantu Hitam. 

"Lu ... nggak buka topengnya, Bang?" protes Wirada. 

"Belum waktunya."

Wirada tak membantah lagi. Entah mengapa, kapsul yang ia konsumsi sepertinya melemaskan tenaganya. Ia hanya pasrah ketika Si Hantu Hitam menyodorkan helm hitam dan menyuruhnya naik ke atas boncengan motor. 

.

.

.

-- Kota Tua, 15:00

Aren menyuruh para anggota Macan Hitam yang sudah bosan menunggu di aula untuk bergeser memberikan jalan padanya. Begitu mencapai Duren, ia berhenti dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Wajah lelaki itu gusar. 

"Kenapa lama banget, Ren? Ngapain aja?" tegur Duren dengan suara kecil. 

"Panjang ceritanya," ujar Aren, malas menjelaskan. Ia meraih ponsel retak dari sakunya dan menyerahkannya kepada Duren. "Semoga masih jalan. Tadi ada yang curigain gue." 

Duren mengambilnya tanpa berterima kasih. Ia berusaha menyalakan ponsel itu, namun tidak berhasil. "Sial. Gue nggak bisa lihat sekarang." Setelah menatap Aren sekali lagi, ia baru sadar bahwa terdapat luka yang mengering di wajah gadis itu. "Lu diapain?" 

Aren hanya mendengus dan membuang muka. "Udahlah, nggak usah dibahas." 

"Keterlaluan, ada yang berani sama cewek gue," gerutu Duren. "Siapa? Biar gue balas dendam."

"Jangan bodoh, Bang Dur. Kita cuma apaan. Mereka level tinggi." 

"Maksud lu ..."

"Sssttt!" Aren meletakkan telunjuknya di bibir untuk mendiamkan kekasihnya. 

Lampu dipadamkan. Hanya bagian depan yang tersorot cahaya. Pelantikan ketua Macan Hitam yang baru akan segera dimulai. 

***

Frans mengamati pergerakan manusia yang berlalu-lalang di depan restoran kuno di Kota Tua tersebut. Kostumnya yang canggih mendeteksi wajah mereka satu persatu, lalu mengirim data tersebut ke kumpulan basis data Penumbra yang jauh lebih lengkap daripada milik kepolisian. Kini ia berkomunikasi dengan Phillip, karena Bagus sedang bertugas mengurusi korban di Jatinegara. 

Sejauh ini, tak ada orang yang mencurigakan. Kamera dan alat perekam berukuran mikro yang ia pasang di dalam gedung masih memantau pergerakan para anggota Macan Hitam. Namun ia belum mendapat informasi mengenai ketua Macan Hitam atau acara yang diselenggarakan di gedung itu. 

Lelaki yang tadi dilumpuhkannya bernama Gilang Prameswara. Eksekutor Macan Hitam, anggota level empat, terekam di catatan sipil sebagai karyawan swasta biasa. Namun basis data Penumbra mengidentifikasikannya sebagai asisten Ruslan Widayanto, sesama anggota level empat yang sekarang mendekam di tahanan. 

Mendadak Frans teringat pada perempuan yang ditolongnya itu. Seorang gadis muda yang sangat tangguh, anggota Macan Hitam. Ia menyimpan ponselnya seakan-akan benda itu sangat berharga untuknya. Mungkin selama ini Bagus menargetkan orang yang salah. Mungkin Wirada tak dapat membantu apa-apa dalam pelacakan Macan Hitam. Mungkin seharusnya mereka mengincar gadis itu. Apalagi dia sempat melepaskan Frans pergi -- ada kemungkinan ia bisa diajak kerja sama. 

"Kappa, ada satu lagi wajah yang terdeteksi, dan sepertinya ini orang penting," ujar Phillip dari earpiece-nya, membuyarkan lamunan Frans. "Coba gerakkan kepalamu duapuluh derajat ke kanan, supaya saya bisa menerima gambar yang lebih jelas."

"Diterima," sahut Frans, mengikuti ucapan Phillip. 

"Dapat. Brahmantyo Adipramana, dari keluarga Adipramana. Beserta istrinya dan ... hm, sebentar, sepertinya itu anak perempuannya, Rani, dan cucu-cucunya."

"Adipramana? Seperti nama keluarga adik mantan presiden kita?" 

"Tepat sekali. Dan lelaki yang lebih muda itu, aku nggak menemukan siapa dia. Wajahnya nggak tercatat di database kami."

"Sebentar, saya bergeser, Cronus," balas Frans. 

"Nggak usah, minta helm-mu zoom in gambar di layarnya," beritahu Phillip. 

Frans menuruti permintaan Phillip. Ia memasang wajah lelaki berusia tigapuluhan itu di titik target helmnya, lalu memperbesar gambarnya, dan mengirimkan informasi itu kembali kepada Phillip. Namun Phillip masih tidak dapat menemukan siapakah orang tersebut. 

"Keluarga Adipramana masih ada kekerabatan dengan keluarga Purnomo, dari garis ibu Krisanto Purnomo. Brahmantyo Adipramana menikah dua kali. Istri pertamanya, Shinta Hermina, memberikan dia seorang putra, Raden Sutrisno Adipramana, empatpuluh tiga tahun, seorang pengusaha farmasi. Shinta meninggal pada tahun 1980, lalu Brahmantyo menikah lagi dengan Kania Susilawati pada tahun 1981. Mereka memiliki anak kembar, Aryadewa Wishnu Adipramana dan Maharani Devi Adipramana, lahir pada tahun 1982. Devi menikah dengan Narendra Prananjaya pada tahun 2009, dikaruniai seorang anak perempuan dan anak lelaki, sedangkan Wishnu dikabarkan meninggal dalam kecelakaan di Barcelona."

"Yang bener, Wishnu udah mati? Soalnya lelaki itu mirip sekali mukanya dengan Devi," ujar Frans. 

"Bisa jadi, ia memalsukan kematiannya. Saya akan mencari tahu lebih lanjut. Pantau terus, ya," sahut Phillip. "Saya akan putuskan sambungan selama beberapa menit, Kappa. Sementara ini kamu disambungkan ke Omicron-Delapan-Dua."

Frans ingat, itu kode sandi Binar. "Baiklah." 

Tiba-tiba ia melihat Wirada dan seorang lelaki berpakaian serba hitam melintas di hadapannya. Frans terperanjat. Walaupun lelaki serba hitam itu tidak mengenakan topeng seperti rekaman yang dilihatnya beberapa waktu yang lalu, ia mengenakan masker wajah dan kacamata hitam. 

"Omicron-Delapan-Dua, saya melihat Target-Dua-Sembilan di hadapan saya," ujar Frans kepada earpiece-nya. 

"Diterima," sahut Binar. 

Suara jemari yang menari di atas keyboard komputer menyusul sedetik kemudian. Selang beberapa waktu kemudian barulah Binar kembali mengangkat suaranya. 

"Aneh, Kappa-Lima-Delapan," ujarnya. 

"Kenapa?" balas Frans. 

"Sinyal dari pelacak di tubuh Target-Dua-Sembilan ... sama sekali nggak ada."

"Sial. Lelaki itu pasti tahu cara mematikannya. Kalau begitu, saya akan masuk ke dalam."

"Tapi instruksi dari Theta-Enam-Sembilan ... Anda diminta jangan masuk lagi sampai dia kembali."

"Dia nggak ada di sini. Saya harus mengambil keputusan sendiri."

***

Begitu Wirada dan Si Hantu Hitam masuk ke lantai bawah tanah di restoran tersebut, Si Hantu Hitam menyerahkan Wirada kepada anggota level tiga untuk menggiringnya ke kumpulan anggota level rendah, bersama Aren dan Duren. Sementara itu, ia sendiri menyusul keluarga Adipramana di ruangan khusus mereka. 

"Akhirnya kamu datang juga," ujar Brahmantyo. "Sudah puas melanglang buana dan tebar pesona ke bawahan-bawahanmu?"

Si Hantu Hitam melepas kacamata hitam dan maskernya. "Saya nggak akan melewatkan pelantikan adik saya, Ayahanda," sahutnya. 

"Padahal seharusnya Mas yang jadi ketua Macan Hitam," komentar Wishnu. "Kalau Mas berubah pikiran, saya tidak keberatan, kok." 

Si Hantu Hitam, alias Raden Sutrisno Adipramana, menggelengkan kepalanya. "Saya nggak tertarik, Wishnu. Saya lebih tertarik memerhatikan ke mana kepemimpinanmu akan membawa Macan Hitam. Ah, Devi, apa kabar? Bagaimana dengan keponakan-keponakanku yang lucu itu?"

"Rani, bukan Devi," sahut Rani ketus. "Dan anak-anakku tentu saja nggak ada di sini. Mereka bersama ayah mereka." 

"Still spicy as usual, I see," tutur Si Hantu Hitam sambil tersenyum. "Ibu. Saya dengar tentang penyakit Ibu. Semoga Ibu lekas sembuh." Ia menyambut ibu tirinya sambil memberi salam. 

"Trisno," ujar Kania. "Lama nggak bertemu."

"Perlu acara sepenting pelantikan ketua baru untuk memanggil dia pulang, Bu," cibir Rani. 

"Ibu harap kamu nggak mengacau, Trisno," ujar Kania. 

Trisno menggelengkan kepalanya. Senyum yang tersungging di bibirnya tak pernah meninggalkan wajahnya. 

"Kali ini tidak, Bu. Saya benar-benar kemari untuk menikmati acaranya." 

***

Wirada duduk di bagian belakang penonton. Ia tak mengenal siapapun di sana. Ia berusaha mencari-cari kawanannya, kelompok Macan Hitam dari Jatinegara, namun aula itu terlalu ramai untuk menemukan mereka. Pasrah, ia bersandar ke dinding sambil menyandarkan lengan kanannya di lutut kanannya yang tertekuk ke atas. Sudah berapa jam ia tidak menghisap rokok. Tubuhnya menagih nikotin. Namun ia telah diperingatkan Si Hantu Hitam untuk tidak merokok di dalam aula. 

Siapa, sih, Si Hantu Hitam itu? Sok misterius amat. Trus, gue juga baru tahu ternyata Macan Hitam sebesar ini, pikirnya dalam hati. 

Tiba-tiba seorang lelaki berdiri di sebelahnya. Lelaki itu mengenakan kaos dan celana jins yang sedikit kependekan, menunjukkan kaos kakinya yang berwarna hitam. Sepertinya pakaian itu bukan miliknya. Wirada menengadahkan kepalanya ke atas. Matanya menangkap sosok wajah yang amat dikenalnya. Ia mencolek kaki lelaki itu, yang segera menunduk untuk melihat pelakunya. 

"Lu cari mati, Bang Pret?" 

.

.

.

Bersambung.

(16 Juni 2018)

2300++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top