Bab 12: Upgrade
-- Suryajati Tower, 14:00 WIB
Berita kehancuran motel usang di Jatinegara menyebar di seluruh media massa. Jurnalis mengabarkannya sebagai bendera perang terhadap polisi yang sedang menggerebek tempat yang diduga sebagai sarang narkoba dan perdagangan manusia tersebut. Tidak tanggung-tanggung, sebelas orang tewas secara mengenaskan di bawah timbunan puing-puing bangunan. Sepuluh korban telah diidentifikasi sebagai polisi yang sedang menyamar, di antaranya Ipda Fariz Suryana, Briptu Angga, dan delapan bawahan Fariz lainnya. Sedangkan sepuluh orang anggota tim cadangan yang turut serta dalam penggerebekan di Jatinegara pagi itu baik-baik saja.
Satu korban lain sulit diidentifikasi karena tubuhnya penuh luka dan wajahnya hancur. Tim forensik telah membawa jenazahnya ke laboratorium di Polda Metro Jaya untuk mencari tahu identitas korban yang satu ini.
Frans memandangi Phillip yang masih menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Sang hacker sedang mengunduh data rekaman satelit terkait kejadian di Jatinegara tadi pagi. Karena ukurannya puluhan gigabyte dan beberapa gambar masih harus di-render supaya terlihat lebih jelas, data tersebut tidak bisa langsung ditampilkan.
Mata sang polisi muda beralih ke atasannya yang duduk di sofa di sebelah Tiara. Bagus juga sedang memandang ke arah Phillip, posisi sedikit membungkuk, satu tangan di atas lututnya, sedangkan tangan lainnya menggenggam tangan Tiara. Perempuan itu menopang pipinya di atas tangannya yang bebas. Ketika Bagus sadar Frans sedang memerhatikannya, ia melepas gandengan tangannya secara spontan.
"Halah, Mas, nggak usah sok malu-malu gitu," cibir Frans sambil duduk di sofa tunggal di sebelah Bagus.
"Ah, enggak," sahut Bagus, tidak jelas apa yang dimaksudnya. "Ada apa, Frans?"
"Saya mau bertanya pada Mbak Tiara," ujar Frans. Ia sudah mengenal Tiara sejak zaman perjuangan Sang Vigilante membalas dendam kepada Krisanto Purnomo yang membunuh adik sepupunya. Saat itu ia masih bergabung dengan regu Brimob. "Boleh, Mbak?"
"Tergantung apa yang kamu tanya," sahut Tiara sambil menegakkan posisi duduknya.
"Kenapa Mbak Tiara nggak bergabung dengan operasi kami? Saya yakin, dengan bantuan Mbak Tiara, pasti kami lebih mudah mengalahkan Macan Hitam."
"Aku bantu, kok. Nyatanya sekarang kalian pakai fasilitasku. Beberapa kali aku sempat turun ke jalan, sebelum menemukan Wirada," jelas Tiara. "Tapi untuk berjuang ala crusade seperti beberapa bulan lalu, itu bukan tempatku sekarang. Kalau kalian mau saran dan bantuan teknologi, aku siap memberikannya. Walaupun mungkin Bagus lebih ahli berstrategi soal ini."
Bagus memejamkan matanya dan menggeleng. "Strategiku baru saja dihancurkan Macan Hitam. Aku terbuka dengan strategi baru."
"My poor boy, itu bukan salahmu," desah Tiara sambil mengusap punggung kekasihnya. "You know I suck at comforting, though. Kelebihanku adalah menyusun rencana ... untuk balas dendam. Phillip, gimana dengan rekaman satelitnya? Ada progres?"
"Udah jadi, Bos," sahut Phillip sambil memutar kursinya. Tangannya menyalakan proyektor. "Ta-da!"
Ia menunjukkan reka ulang kronologi peristiwa yang terjadi di Jatinegara tadi pagi. Seorang lelaki berpakaian serba hitam, dengan topeng hitam seram, telah masuk ke dalam motel sejak dini hari. Tidak terlihat apa yang ia lakukan di dalam, namun kemungkinan ia memasang bahan peledak di titik-titik lemah bangunan. Sebelum polisi berjaga di lokasi pukul tujuh, pria bertopeng itu sudah keluar dari motel dan menjauh dari arena.
Rekaman beberapa jam kemudian menunjukkan bahwa lelaki bertopeng inilah yang bertanggung jawab melempar bom molotov ke dalam motel, sekaligus membius Frans yang baru saja meninju Wirada hingga terkapar di trotoar. Ketika Frans duduk di trotoar sambil menutup wajahnya, lelaki bertopeng hitam itu mengeluarkan sebuah tabung kecil dengan asap kehijauan dan menggoyangkannya di bawah wajah Frans. Kemudian ia memasukkan Wirada ke mobil Kijang Innova berwarna perak -- sayangnya plat nomor mobilnya terlalu buram untuk dilacak.
"Frans," kata Bagus sambil menggelengkan kepalanya, "apa yang kamu lakukan? Pertama, kamu meninju Wirada, lalu kamu lengah hingga orang itu membawa pergi Wirada. Yah, aku nggak menyalahkanmu -- bersedih itu wajar, dan kamu juga dibius -- tapi aku harap kamu bisa menunjukkan kontrol diri yang lebih baik."
Frans menarik ujung kaosnya. "Ya, saya salah, Mas. Tapi ..."
Bagus menarik napas dalam-dalam. "Gimana aku bisa mempercayaimu untuk misi ini lebih jauh lagi?"
Tiara berdehem. "Aku bukannya ingin menyela sesi atasan-bawahan yang emosional ini, tapi sekarang bukan waktunya untuk membahas kepercayaan dan sebagainya. Sekarang waktunya untuk menanggapi informasi yang kita peroleh. Siapa lelaki bertopeng hitam itu dan apa yang ia inginkan?"
"Dilihat dari gerak-geriknya, dia bukan orang sembarangan," ujar Frans. "Setidaknya dia mengerti soal peledak dan racun. Dari rekaman, kemungkinan dia sendiri yang memasang alat peledak di motel. Model si Wirada mana bisa begituan."
"Aku setuju dengan analisismu," ujar Bagus. "Ditambah informasi pergerakan Wirada yang kudapat dari Binar, Wirada dibawa ke Bogor, namun sinyalnya sudah lama hilang. Orang ini juga mengerti teknologi dan tahu tentang keberadaan pelacak di tubuh Wirada."
"Frans," panggil Tiara. "Kamu bilang gimana aku membantu kalian. Ini jawabannya."
Ia berjalan ke arah sebuah manekin di sebelah lemari kaca yang memajang kostumnya serta kostum Bagus dan Danar. Manekin itu tertutup kain parasut abu-abu. Tiara menariknya, memperlihatkan kostum berwarna hitam dengan aksen keperakan.
"Ini upgrade dari kostumku dan kostum Danar yang kami pakai dua bulan lalu. Usulku, untuk mengurangi korban, pilih sedikit anggota yang paling kompeten untuk menginfiltrasi Macan Hitam. Tingkatkan teknologi pengintai dan pemantau. Tekankan kualitas daripada kuantitas. Kalau kalian butuh peralatan, bilang saja padaku. Akan kukirimkan ke Polda Metro Jaya."
Mata Frans melebar tercengang melihat kostum yang terpampang di tubuh manekin. Ia sedikit tahu kecanggihan kostum Tiara. Dan ini versi upgrade-nya? Tanpa ia sadari, rahangnya terjatuh.
"Silakan coba," kata Tiara.
"Tunggu," kata Bagus, "aku belum menentukan apakah Frans akan tergabung dalam misi baru kami. Kostum itu buatku saja."
"Mas Bagus, jangan gitu, dong," protes Frans sambil memajukan bibirnya.
"Nggak perlu rebutan. Aku udah siapin beberapa kostum, kok," ujar Tiara. "Yang pasti hati-hati aja, aku nggak mau teknologi ini malah jatuh ke tangan Macan Hitam."
"Lu ngomong seakan-akan lu yang bikin kostum itu, Ti," gerutu Phillip dari tempat duduknya. "Padahal itu bikinan gue dengan bantuan anak Cy ..."
"Iya, iya, ini bikinan lu, Phil, puas?" potong Tiara.
"Give credits where credits are due, darling," cengir Phillip. "Nggak apa-apa, kan, gue panggil begitu?" Ia melirik ke arah Bagus, yang hanya mengangkat bahunya malas.
"Kalau begitu, biar aku test drive kostumnya, ya, Mbak Tiara?" pinta Frans dengan mata antusias ke arah kostum tersebut.
"Silakan," jawab perempuan itu. "Tapi kamu harus ingat, kostum itu hanya pendukung. Yang menentukan menang atau enggak, adalah kekuatan pikiranmu."
.
.
.
-- Kota Tua, 14:30 WIB
Kampret, Aren mengumpat dalam hati. Gimana gue bisa balik kalau mereka nggak pergi-pergi?
Ia masih terjebak di saluran ventilasi selama hampir satu jam. Tidak, ia bukan tersangkut di sana dan tak bisa keluar. Namun beberapa orang penjaga level tiga berdiri di sekitar lubang ventilasi di dekat aula tempatnya masuk tadi pagi. Itu satu-satunya tempat untuk kembali kepada Duren dan melaporkan penemuannya.
Sabarlah, Ren. Tunggu sebentar lagi, ia mengingatkan dirinya. Padahal gue udah sabar sampe bokong gue bisulan.
Untunglah, limabelas menit kemudian, mereka tersadar bahwa tak ada gunanya berjaga di sekitar lubang ventilasi yang kosong sehingga berpindah entah ke mana. Aren mendorong penutup ventilasi dengan perlahan agar tak menimbulkan suara, lalu mengendap-endap untuk kembali ke sisi Duren.
"Oh, sudah datang? Baiklah, biar saya jemput." Suara Gilang sang menteri level empat terdengar dari tikungan yang harus dilewati Aren jika ingin kembali ke aula.
Spontan, Aren menyelinap ke balik pilar untuk bersembunyi dari pandangan Gilang. Namun tak ia sangka, ia menabrak dada bidang seorang lelaki tinggi. Ia mengangkat kepalanya dan berhadapan dengan wajah tampan Wishnu.
Aren menahan diri untuk tak berteriak. Ia menempelkan tangannya ke mulutnya, matanya terbelalak.
"Siapa kamu?" tanya Wishnu sambil mengernyitkan alisnya.
"Ah, eh, maaf, Pak. Saya baru dari WC tadi, terus tersesat waktu mau balik," bohong Aren.
"Bukan itu yang saya tanya. Siapa kamu?" ulang Wishnu.
"Saya ... Aren, anggota Macan Hitam level satu, cabang Jatinegara," sahut Aren.
"Hmm." Wishnu memandang Aren dari puncak kepala hingga ujung kaki. "Saya harus memastikan identitasmu. Bawa dia ke ruang interogasi," ucapnya pada bawahan yang mengikutinya.
Tanpa bersuara, bawahan Wishnu hanya mengangguk. Lalu menggiring Aren pergi ke sisi yang menjauh dari aula tempat Duren dan rekan-rekannya berada. Apapun itu ruang interogasi, Aren tak tahu. Ia hanya berharap mereka tidak menemukan rekaman percakapan berbagai petinggi Macan Hitam yang ia rekam selama dua jam.
Sial banget gue hari ini, gerutunya.
***
Aren didorong ke sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter tanpa furnitur apapun selain dua buah kursi kayu yang saling berhadapan dibatasi meja kayu. Ia disuruh duduk. Tidak lama kemudian, Gilang masuk ke ruangan dan mengambil posisi di hadapannya. Dalam hati Aren kecewa. Setidaknya, jika Wishnu yang menginterogasinya, ia masih dapat menikmati ketampanannya. Yang duduk di depannya ini tipe wajah garang nan sangar yang sangat tidak sedap dipandang. Tampaknya Macan Hitam sengaja memilih lelaki bertampang seram sebagai menteri-menteri mereka -- berbeda dengan ketua-ketuanya, beberapa orang dari mereka memiliki wajah tampan.
"Keluarkan semua barang di kantongmu," perintah Gilang.
Aren menyelipkan tangannya ke dalam saku celana jinsnya. Dompet, ikat rambut, jepit, dan beberapa keping uang logam. Ponselnya disembunyikan di saku bagian belakang. Ragu-ragu, ia terpaksa meletakkan benda tersebut di atas meja, berharap agar isinya tidak diperiksa. Bisa gawat kalau rekamannya ditemukan ada di dalamnya.
"Jadi kamu anggota Macan Hitam? Siapa namamu?"
"Iya, Pak. Nama saya Aren."
"Aren apa?"
"Aren aja."
"Nama aslimu?"
"Ya."
Gilang meraih dompet Aren dan membuka isinya. Begitu melihat KTP Aren, ia menariknya dari slot penyimpanan kartu. Di sana tertera nama Aren, lahir 13 Juli 1998 di Jakarta. Kelihatannya ia menerima jawaban Aren, karena ia memasukkan KTP tersebut kembali ke dalam dompet dan menaruhnya kembali di atas meja.
"Buktikan kamu anggota Macan Hitam. Tunjukkan tatomu."
Aren terperanjat. Ia tidak mau membuka pakaiannya sembarangan di depan Gilang. Namun melihat ukuran tubuh Gilang yang lebih besar darinya, ia bisa-bisa mendapat masalah jika melawan. Belum lagi pengawal yang berjaga di luar ruangan akan masuk mendengar keributan di dalam.
Dengan tatapan mencekam, Aren membuka kaos hitamnya sehingga memperlihatkan bra hitamnya. Di sebelah kiri, antara bahu dan dada, terdapat gambar macan hitam yang merupakan simbol kelompok mereka.
Ia merasa was-was. Tumbuh di antara preman-preman yang memiliki segala keburukan tak terkontrol, ia mewaspadai jika Gilang akan melakukan sesuatu padanya. Untunglah antisipasinya tak terwujud.
"Pakai kembali bajumu, lalu bukakan kunci ponselmu untuk saya."
Aren memutar bola matanya dan menghembuskan napas melalui mulutnya. "Sebenarnya apa tujuan interogasi ini? Bapak sudah tahu saya anggota Macan Hitam. Saya yakin Macan Hitam memiliki database tentang anggota-anggotanya, nggak perlu sampai minta saya buka baju seperti tadi. Buat apa ponsel saya juga dicek?"
"Udah, nggak usah banyak tanya! Lakukan saja!" teriak Gilang. "Cewek murahan macam kamu aja banyak protes."
Aren memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Ia terpaksa mengambil ponselnya dan membuka kuncinya. Namun sebelum menyerahkan ponselnya kepada Gilang, ia menekan tombol darurat yang terhubung kepada Duren, walaupun ia tak yakin akan terkirim karena di gedung ini tidak ada sinyal telepon maupun internet. Ia berharap Gilang tidak memeriksa folder rekamannya, namun sepertinya terlalu berlebihan. Apalagi ia juga mengambil beberapa foto para ketua.
Tamat riwayat gue, pikirnya.
Gilang mengerutkan dahinya melihat foto-foto di galeri Aren. Tampak atas dari pertemuan antar ketua yang berlangsung beberapa jam yang lalu.
"Dasar pengkhianat kecil!" geramnya sambil melempar ponsel itu ke arah wajah Aren. Untung Aren berhasil menghindar. "Apa yang mau kamu lakukan dengan ini semua, hah?"
Aren tutup mulut. Ia tidak mau memberitahu bahwa Duren-lah yang menyuruhnya.
Gilang bangkit dari tempat duduknya dan mencekik gadis itu. Aren tercekat, namun tidak menyerah. Sambil berusaha melepaskan tangan lelaki kuat itu dari lehernya, ia menendang selangkangan sang menteri Macan Hitam. Gilang sedikit kesakitan, namun rupanya tendangan Aren kurang kuat. Gilang menghempaskan tubuh Aren ke dinding.
Aren meringis kesakitan. Punggungnya terasa remuk. Ketika Gilang berjalan ke arahnya sambil mengangkat kursi, ia berguling ke samping untuk menghindar. Kursi patah begitu membentur dinding. Aren segera mengambil potongan kayu. Begitu Gilang mendekat, ia tiba-tiba bangkit dan memukul kepalanya. Darah menetes dari pelipis lelaki itu, namun ia tidak berhenti. Aren berlari ke arah pintu dan menekan pegangannya. Sayangnya pintu terkunci.
Gilang mengangkat Aren dan melemparnya ke atas meja. Meja yang memang rapuh sehingga patah begitu ditimpa Aren. Ia menarik kaos Aren hingga robek dan menyingkirkannya. Tangannya berkelana ke bagian kancing celana jins gadis itu untuk membukanya. Aren meludah ke wajah lelaki itu. Murka, Gilang menamparnya hingga bibir Aren berdarah.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang lelaki berkostum hitam dengan aksen perak masuk ke dalam. Tindakan Gilang berhenti. Aren mengambil kesempatan untuk mengambil potongan meja yang patah dan melukai sisi leher Gilang. Lelaki berkostum hitam itu mengeluarkan misil bius dari tangannya. Misil itu menancap di bahu Gilang. Tak lama kemudian lelaki itu terjatuh ke depan, hampir menimpa Aren, namun Aren mendorongnya hingga jatuh ke samping.
"Kamu bisa jalan?" tanya suara dari balik kostum tersebut.
Aren memandang ke arah lelaki berkostum itu curiga. Ia menarik jaketnya dan mengancinginya sampai atas untuk menutupi kaosnya yang robek.
"Hei, aku menolongmu!"
"Makasih," ujar Aren enggan sambil meraih ponselnya yang retak. Ia berharap masih bisa menyala. Ia mengabaikan lelaki itu dan keluar dari ruangan, melihat dua pengawal di depan pintunya pingsan dibius.
Lelaki berkostum itu mencegat langkah Aren. "Aku sudah menolongmu, setidaknya ikut denganku dan beritahu aku sesuatu."
Aren mengintip ke balik penutup kepala yang transparan. Ia dapat melihat wajah Frans yang tidak dikenalnya. "Dengar, Tuan-Sok-Tahu-dan-Sok-Penyelamat, gue balas budi lu dengan cara nggak manggil pengawal lainnya buat nangkep lu. Gue kasih lu leluasa berkeliaran di sini. Ngerti? Sekarang nyingkir dari hadapan gue."
Frans terperanjat. Ia mengira Aren adalah korban penculikan atau pelecehan di tempat ini. Ternyata Aren adalah anggota Macan Hitam. Ia membuka mulutnya namun tak sanggup berkata apapun.
"Kappa-Lima-Delapan, ini Theta-Enam-Sembilan. Manfaatkan situasi, menyingkir. Kamu punya limabelas menit untuk keluar dari gedung." Itu suara Bagus.
"Diterima," ujar Frans sambil memandangi punggung Aren yang menjauh.
"Peta gedung akan diproyeksikan di layar helm-mu. Pasang penyadap dan perekam, lalu keluar."
"Baiklah."
.
.
.
-- Bogor, 15:00 WIB
"Jadi sekarang udah waktunya gue tahu situ mau ngapain gue?" tanya Wirada setelah selesai membereskan tumpahan makanan yang berceceran di lantai. Meja telah dikembalikan ke posisi semula, sedangkan kursi kayu yang patah sudah dibuang di tempat sampah di luar rumah.
"Ya, sudah waktunya," sahut Si Hantu Hitam. "Kemari, ikutlah dengan saya, Wirada."
Wirada menyangka ia akan diajak ke ruang rahasia yang entah tersembunyi di bagian mana di rumah kecil ini. Ternyata tidak. Si Hantu Hitam memimpin jalan keluar rumah, menyusuri pematang sawah, menuju sebuah gubuk bambu yang berada di tengah sawah.
Gue mau disuruh meditasi atau menikmati alam gitu? pikir Wirada.
Di dalam gubuk, Wirada cepat beradaptasi dengan suasana yang gelap. Terdapat sebuah pintu di lantai.
Bingo! Ternyata di sana ruang rahasianya.
Si Hantu Hitam membuka pintu tersebut menuju ruangan bawah tanah. Terangnya lampu dan dinding besi berwarna keperakan menyilaukan matanya yang baru saja berasal dari tempat gelap. Ruangan yang tidak terlalu luas ini tampaknya sebuah laboratorium. Di tengah ruangan terdapat meja operasi dengan peralatan canggih yang tak pernah Wirada lihat sebelumnya.
"Ampun, Bang Hantu, jangan jadiin gue kelinci percobaan. Gue nggak mau jadi Hulk atau sebagainya. Gue udah suka dengan kehidupan gue, jangan apa-apain gue, ya," pinta Wirada dengan suara dibuat se-memelas mungkin.
Si Hantu Hitam mendengus. "Siapa juga yang mau jadiin kamu Hulk. Saya mau keluarkan alat pelacak dari tubuhmu. Saya bawa kamu kemari karena tempat ini yang paling dekat dan nggak ada sinyal sehingga nggak bisa dilacak para polisi."
"Gimana caranya?" Wirada bergidik melihat jarum suntik di meja operasi. "Gue takut dibedah, Bang."
"Kamu ini sungguh malu-maluin, Wir. Pelacak di tubuhmu itu berukuran nano. Nggak bisa dilihat mata. Dibedah juga nggak bisa diambil begitu aja. Aku akan masukin cairan kimia ke tubuhmu buat menghancurkan pelacak itu."
"Jadi gue nggak usah dioperasi?"
"Nggak."
Wirada meniupkan udara melalui mulutnya. "Untunglah. Eh, tapi cairan kimia apaan?"
"Jadi nano tracker itu menempel di dinding lambungmu, lalu lepas sendiri dalam waktu sebulan dan keluar saat kamu buang air besar. Cairan kimia ini hanya membantu tracker itu lepas lebih cepat."
"Oh, makanya gue disuruh makan, soalnya gue disuruh boker."
Kali ini Si Hantu Hitam terbahak. "Pemikiranmu nggak salah, sih. Ya, pokoknya telan kapsul ini. Nanti bereaksi di lambungmu dan mungkin terasa sedikit kembung, namun kurasa kita masih punya waktu."
"Waktu untuk apa?"
"Pelantikan ketua Macan Hitam yang baru."
.
.
.
Bersambung.
(4 Juni 2018)
2500++ kata
.
.
.
Dedek Wirada munculnya dikit nih. Nanti dulu ya Wir, habisnya lu masih gitu2 doang sih. Masih cuek bebek gak ngapa2in selain mikirin kesenangan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top