Bab 11: Reruntuhan
"Kenapa? Kenapa???" Frans menarik kerah jaket Wirada dan meninju wajahnya sekali lagi. "Jadi ini rencana lu? Puas? Lu puas setelah membunuh sekian banyak polisi nggak bersalah?"
Wirada terkapar di lantai. Selain nyeri di bahunya, ia terlalu terkejut untuk berpikir jernih atau membalas pukulan sang polisi. Namun tiga kata terngiang jelas di otaknya.
"ITU BUKAN GUE!" Ia terengah-engah, meringis menahan sakit. "Gue udah suruh mereka nyelamatin diri mereka ... tapi terlambat ..."
Frans sekali lagi menarik kerah jaket Wirada sehingga kepala dan dada pemuda itu terangkat dari trotoar. "Pokoknya itu kelompok lu, kan? Gue nggak mau lihat muka lu lagi. Selamanya."
Kemudian ia menjatuhkan Wirada perlahan dan duduk di trotoar, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bunyi sirene mobil polisi yang berdatangan ke area kecelakaan tak mampu mengalihkan perhatiannya. Frans meratapi dan merutuki ketidakmampuannya untuk mencegah petaka ini.
Hingga ia tak sadar bahwa seorang lelaki berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam mendatangi Wirada dan mengangkatnya pergi, tepat beberapa detik sebelum para polisi turun dari mobil mereka untuk memeriksa lokasi.
.
.
.
-- Kota Tua, 10:15 WIB
Aren mengintip ke sebuah ruangan dengan sofa kulit berwarna putih dan dekorasi mahal, melalui lubang ventilasi di atas ruangan tersebut. Ia melihat dua lelaki -- satu tua dan satu muda -- bersama seorang perempuan yang seusia lelaki muda tersebut. Aren belum pernah melihat mereka dan tidak tahu bahwa sang lelaki muda calon ketua utama baru Macan Hitam. Namun dari pakaian mereka yang rapi dan terlihat mahal, ia menduga bahwa mereka adalah orang penting di Macan Hitam. Dan -- astaga -- Wishnu adalah lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun usianya mungkin nyaris dua kali lipat dirinya yang tahun ini menginjak sembilan belas tahun.
"It's done," ujar Wishnu sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. "Jatinegara sudah dihancurkan. Sudah waktunya juga, tempat itu nggak aman karena sudah diketahui oleh polisi."
Mendengar ucapan lelaki tampan itu, Aren membelalakkan matanya. Jadi ucapan Duren benar. Jatinegara dihancurkan. Namun apakah ada korban? Lalu bagaimana dengan Wirada? Bocah itu tak tahu mereka semua dipindahkan ke Kota Tua. Bagaimana jika ia datang mencari mereka di Jatinegara, lalu ...
Dengan jantung berdebar, Aren mengeluarkan ponselnya dan menyalakan perekam. Lalu menunggu perkataan Wishnu selanjutnya.
"Kamu nggak perlu sedramatis itu, Wishnu. Lakukan dengan cara yang lebih tertutup. Menghancurkan gedung? Apa kata masyarakat kalau mereka mendengarnya dari media massa?" ucap Brahmantyo sambil menggelengkan kepalanya. "Lagian, gedung kosong saja perlu dihancurkan segala. Buat apa?"
Wishnu menarik sudut kanan bibirnya. "Masalahnya, Ayahanda, gedung itu tidak kosong. Polisi sedang menggerebek gedung itu."
"Maksudmu?"
"Nanti kujelaskan. Sekarang aku harus berkoordinasi dengan dewan ketua dan menteri untuk mempersiapkan pelantikan. Dan bukankah Ayah harus mengunjungi Ibu lagi?"
"Kamu benar," sahut Brahmantyo. "Rani, ikut dengan Ayah."
"Kurasa aku lebih baik tetap di sini dan membantu Wishnu," ujar Rani.
"Tak apa, Ran. Ibu lebih membutuhkanmu daripada aku," sahut Wishnu. "Lagipula masih banyak waktu untuk bertemu denganku. Aku akan menyusul kalian sejam atau dua jam lagi."
Wishnu beranjak dari tempat duduknya dan membukakan pintu untuk ayahnya dan Rani. Ketika Rani yakin Brahmantyo tidak dapat mendengar ucapannya, ia berjinjit untuk berbisik di telinga kakak kembarnya.
"Aku tahu Ayah ingin menjauhkanku dari segala tetek-bengek terkait Macan Hitam, tapi tak semudah itu menyingkirkanku. Camkan itu, Wishnu."
"As you wish, sister."
.
.
.
-- RS Bhayangkara Polri, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 13:00 WIB
Frans membuka matanya dan memandangi sekitarnya. Di sisi kirinya, ia melihat Milva yang memegangi tangannya dengan cemas. Tirai berwarna biru mengitari tempat tidurnya. Di ujung kaki tempat tidur, ia melihat Bagus duduk di kursi kayu dengan kepala tertunduk.
"Aku di rumah sakit? Apa yang terjadi?"
"Sayang, syukurlah kamu udah sadar!" Milva menghela napas dan memeluknya. Semenit kemudian, gadis itu memukul kekasihnya dengan tasnya. "Ini karena kamu kabur dari gereja tadi pagi!" Lalu sekali lagi. "Dan ini karena kamu membuatku khawatir setengah mati!"
"Maafkan aku, Sayang. Aku ... aku ..." Frans memejamkan matanya. Bayangan reruntuhan gedung yang menimbun rekan-rekannya melintas di ingatannya.
"Aku nggak marah beneran, kok. Aku ... turut prihatin dengan apa yang terjadi. Aku udah lihat breaking news di TV," sahut Milva.
"Memang, bedebah keparat!" Kemudian Frans melihat raut wajah kekasihnya yang menunjukkan tidak senang pada umpatannya. "Maaf, Va. Tapi mereka memang keparat, dan aku nggak bisa memperhalus kata-kataku."
"Aku tahu, Frans. Tapi kamu harus tenang."
"Apa yang terjadi padaku?"
Milva menggeleng. "Mas Bagus menghubungiku dan bilang kamu ada di sini. Katanya orangtuamu juga dihubungi, cuma mereka masih dalam perjalanan dari Bandung."
Frans mendesah. "Aku nggak begitu parah, nggak usah terlalu dikhawatirkan." Lalu ia menoleh ke atasannya. "Mas Bagus? Apa yang terjadi?"
Bagus berdiri, tangannya bertumpu pada sandaran kursi, seakan-akan kakinya tak cukup untuk menopang tubuhnya. Frans tak pernah melihat wajah atasannya selesu ini, bahkan tidak dalam masa-masa perjuangan melawan Krisanto Purnomo dua bulan lalu. Frans baru teringat, Bagus-lah yang merencanakan misi hari ini, namun Macan Hitam menghancurkannya. Nyawa rekan-rekan mereka yang gugur hari ini tentu menjadi beban baginya.
"Polisi menemukanmu pingsan di pinggir reruntuhan gedung, Frans," ujar Bagus. "Dokter bilang kamu terkena efek obat bius yang cukup langka. Apa yang kamu lakukan di sana? Bukankah saya suruh kamu ...."
Suara Bagus pecah di akhir kalimatnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
"Lalu ... Fariz dan kawan-kawan, Mas ...."
Bagus menggeleng. "Nggak ada yang selamat, Frans."
Frans mengepalkan tinjunya dan memukul tempat tidurnya. "Macan Hitam sialan. Akan saya hancurkan satu persatu dari dalam. Ini nggak bisa dibiarkan, Mas. Kita harus segera bertindak."
"Maaf, Milva, boleh tinggalkan kami sejenak?" pinta Bagus.
"Maaf, ya, Sayang," bisik Frans.
Milva mengangguk. "Aku mau beli snack, kamu mau pesan apa?"
"Teh manis aja, makasih."
"Mas Bagus?"
Bagus menggeleng. "Makasih tawarannya, Milva."
Setelah Milva berlalu, Bagus menarik tirai lebih rapat sehingga tidak ada celah yang memungkinkan orang luar untuk melihat ke dalam. Kemudian ia menarik kursi ke sebelah tempat tidur Frans.
"Saya tahu, Frans, ini pasti berat untukmu dan seluruh anggota Polri. Apalagi untuk saya. Saya membuat suatu keputusan -- dan ini akan menghantui hidup saya sampai kapanpun," desah Bagus. "Kita nggak boleh menyerah. Menyerah berarti kalah. Kamu benar, kita harus menghancurkan Macan Hitam. Namun kita juga nggak boleh bertindak gegabah. Rencana yang sudah dipersiapkan sematang-matangnya saja bisa diporak-porandakan."
"Saya mengerti. Kalau begitu, siapa yang membius saya? Ada petunjuk?"
Bagus menggeleng. "Saya sudah mengirimkan sampelnya ke lab, semoga bisa dilacak siapa saja yang memiliki obat bius jenis itu. Kata dokter, bahannya termasuk langka dan berbahaya."
"Terakhir aku melihat Wirada di TKP, di mana dia sekarang?"
"Binar melaporkan pergerakannya kembali ke Bogor, tapi sekarang nggak bisa dilacak lagi. Saya sudah minta kerja sama dengan Polrestabes Bogor untuk menghubungi kita kalau mereka melihat Wirada."
"Dia terluka. Nggak mungkin dia bisa pergi sendiri. Kecuali ada yang membawanya." Frans berpikir sejenak. "Jangan-jangan orang yang membius saya lalu membawa Wirada pergi, Mas."
"Bisa jadi. Sayang di sana nggak ada kamera pengawas. Tapi saya sudah minta bantuan dari seseorang yang mempunyai peralatan canggih, lebih canggih daripada punya kita. Dia akan memeriksa rekaman dari satelit untuk mencari tahu siapa yang membawa Wirada pergi."
"Sekarang, apa rencana selanjutnya, Mas Bagus?"
Bagus menggeleng. "Sejujurnya, saya juga belum tahu. Sementara saya terpaksa menarik pengintaian dari Kota Tua dan fokus pada keselamatan personel kita. Kita harus mengevaluasi ulang semua rencana kita dari awal. Jelas ada pemain baru yang nggak kita perhitungkan. Dan untuk menanggapinya, kita juga memanggil bala bantuan."
Tirai tersibak sedikit. Seorang lelaki tinggi kurus berusia sepantaran dengan Bagus, dengan rambut acak-acakan dan kacamata tebal, masuk ke dalam area perawatan Frans.
"Phillip, makasih sudah datang," ujar Bagus sambil beranjak dari tempat duduknya dan menyalami tangan lelaki tersebut. "Saya tak yakin kalian sudah berkenalan atau belum. Frans, ini Phillip. Phillip, ini Frans."
"Gue turut berduka," ujar Phillip.
"Mas Phillip itu?" tanya Frans.
"Phillip aja, bro. Gue nggak suka dipanggil dengan embel-embel 'Mas'. Cuma adik gue yang manggil gue 'Kak'," ujar Phillip. "Gue punya akses ke satelit untuk mencari tahu kejadian menjelang, saat, dan sesudah ledakan itu. Tapi nggak bisa di sini. Kapan lu keluar rumah sakit?"
"Eh, Mas, kapan?" Frans menoleh ke Bagus.
"Dokter belum bilang, tadi nunggu kamu sadar," sahut Bagus. "Bentar, biar saya tanyakan suster."
Bagus memanggil perawat yang berlalu di dekat area perawatan Frans dan menanyakan tentang Frans kepadanya. Sang perawat memeriksa detak jantung, tekanan darah, dan kondisi kesehatan Frans, lalu memberitahu mereka bahwa Frans sudah boleh keluar siang itu.
"Ya udah, kita ke Suryajati Tower di Sudirman. Fasilitas paling lengkap disediakan di sana," ujar Phillip sambil mengecek jam di ponselnya.
"Tunggu, gue harus kasih tahu Milva dulu," pinta Frans. "Ah, gue merasa kualitas gue sebagai pacar menurun drastis sejak pindah ke Reskrimum."
"Kalau kamu mau, saya berhentikan dari Operasi Singa Putih," ujar Bagus datar.
"Jangan, Mas," ringis Frans. "Saya nggak akan menyerah sampai semua ini tuntas."
.
.
.
-- Bogor, 14:00 WIB
Wirada masih mempertahankan kesadarannya ketika ia dibopong oleh lelaki bertopeng hitam ke dalam mobil Kijang Innova berwarna beige. Ia ingat dibaringkan di kursi belakang yang sandarannya dilipat. Lelaki itu membalut luka di bahunya dan pahanya yang terserempet peluru untuk menghentikan darah yang mengalir. Ia juga membersihkan darah di sudut bibir Wirada yang robek dengan handuk basah, namun tidak memberikan perawatan medis lebih lanjut. Lelaki itu mengemudikan mobilnya entah ke mana Wirada tak tahu, karena ia tidak dapat melihat ke luar jendela untuk mengetahuinya. Merasa lelah dan sakit, ia pun segera terlelap.
Ketika ia terbangun, ia meraba bahu kanannya yang sudah dijahit dan diperban dengan rapi. Begitu pula paha kanannya. Bibirnya pun ditempeli plester yang menyebabkan pipinya tak dapat digerakkan sesukanya. Ia menegakkan tubuhnya untuk melihat suasana sekitarnya lebih jelas. Ternyata ia berada di sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter persegi dengan dinding dilapis semen yang belum dicat. Jendela di sudut ruangan ditutup tirai tipis, menyaring sebagian cahaya matahari yang masih terik di atas langit. Sebuah nakas kayu berdiri di sebelah tempat tidur, dengan gelas kaca berisi air putih dan ditutup penutup gelas aluminium.
Ia menjejakkan kakinya di lantai yang juga berlapis semen. Mendadak kepalanya terasa sangat pusing, namun ia berusaha membiarkannya. Ia membuka tirai dan mengintip ke luar. Sejauh matanya memandang, ia hanya melihat warna hijau. Petak sawah, pohon palem, hingga pegunungan yang menghampar di kaki langit, semuanya berwarna hijau.
Astaga, gue di desa mana ini?
Tangan Wirada menekan turun pegangan pintu hingga terbuka. Di ruang tengah, ia melihat meja makan kayu dengan dua buah kursi di sekitarnya. Di atas meja makan terdapat tudung saji. Wirada mengangkatnya. Sebakul nasi, semangkuk sayur asam, serta sepiring tahu dan tempe tersedia di hadapannya.
Sosok makhluk bertopeng hitam muncul di hadapannya, dari arah dapur yang dibatasi sekat berjendela. Wirada terperanjat. Hantukah itu? Spontan ia merapatkan punggungnya ke dinding sambil menamengi dirinya dengan tudung saji.
"Jangan deketin gue, Hantu!" serunya.
Makhluk bertopeng itu tertawa. "Saya bukan hantu, Nak. Saya manusia."
"Jadi lu siapa? Kenapa lu bawa gue kemari?"
"Pertanyaan bagus, namun klise. Sekarang kamu makan dulu, ya. Kamu pasti lemas karena lapar. Nanti saya jelaskan siapa saya dan kenapa saya membawamu kemari. Untuk saat ini, panggil saja saya si Hantu Hitam."
"Kalau lu manusia, Bang ... buka topeng lu."
Si Hantu Hitam menggeleng.
"Mana gue tahu lu manusia apa bukan? Lu punya kaki, kagak?" cecar Wirada sambil melihat ke lantai. Katanya, hantu tidak memiliki kaki. Namun lelaki ini memiliki kaki yang dibungkus sepatu hitam. Berarti ia bukan hantu.
"Pelan-pelan. Nanti kamu akan mempelajari banyak hal dari saya," ucap Si Hantu Hitam.
Wirada terpaksa menurut. Lagipula ia terlalu lemah untuk melawan atau memaksa. Ia menarik kursi kayu dan duduk di atasnya, lalu mulai menyantap makanan yang tersedia.
Si Hantu Hitam terkekeh. "Kamu nggak takut saya racuni?"
Wirada menoleh ke arah lawan bicaranya dengan mulut penuh makanan. Setelah menelan, ia menjawab, "Ngapain? Kalau situ mau racunin gue, sekalian aja nggak usah nolongin gue sampe dijahit serapi ini."
"Barangkali saya psikopat sinting yang senang melihat orang lain menderita saat keracunan," sahut Si Hantu Hitam.
"Apa itu psikopat?" tanya Wirada.
Si Hantu Hitam menggeleng pasrah pada ketidaktahuan bocah ini. Ia menarik kursi di hadapan Wirada dan memerhatikannya makan.
"Lu mau selera makan gue ilang gara-gara ngeliatin topeng serem lu?" tutur Wirada.
"Nggak usah lihatin saya, lihatin saja makanannya," balas Si Hantu Hitam.
Wirada menjatuhkan pandangannya ke bawah, ke arah piring nasi dan mangkuk sayur asam di depannya. Selama belasan tahun pengalaman sebagai pencopet, ia mempelajari bahwa pengamatan adalah hal yang terpenting. Dari posisinya yang tersembunyi, ia dapat memerhatikan targetnya dengan leluasa, sedangkan mereka tak sadar sedang diamati. Kini, ia berada dalam posisi yang tak diuntungkan, karena Si Hantu Hitam dapat mempelajari wajahnya dan gerak-geriknya, sedangkan ia tak dapat balas memerhatikan lelaki bertopeng itu.
Curang, pikirnya. Pokoknya gue harus lihat siapa dia.
Wirada menusukkan garpunya ke potongan tempe goreng dan mengangkatnya ke hadapan matanya.
"Tempe ini enak sekali, Om. Renyahnya pas, nggak terlalu berminyak, nggak terlalu lembek. Masih seger juga."
"Tentu saja, ini tempe buatan sendiri," sahut Si Hantu Hitam.
Wirada memasukkan potongan tempe itu ke mulutnya. Dengan gerakan mendadak, ia melempar garpu itu ke arah topeng Si Hantu Hitam. Lawannya menghindar. Namun Wirada tak menyerah. Sekuat tenaga ia membalikkan meja dan mendorongnya ke arah Si Hantu Hitam. Piring-piring berjatuhan ke lantai, pecah berserakan bersama sisa makanan. Si Hantu Hitam melompat ke atas meja. Wirada mengambil kursi duduknya dan melemparnya ke arah lelaki bertopeng itu.
"Jadi begini cara kamu membalas budi, Wirada?"
Wirada tak peduli. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari ke arah Si Hantu Hitam yang masih berdiri di dekat meja yang terbalik, mengepalkan tinjunya ke wajah bertopeng itu. Si Hantu Hitam memegangi tangan Wirada yang masih lemah akibat luka di bahunya.
Anjing! Cengkeramannya kuat bener! Bisa remuk tangan gue kalau begini! gerutu Wirada dalam hati.
"Kamu tahu, usahamu itu sia-sia," ujar Si Hantu Hitam dengan suara rendah. "Kamu terluka, dan meskipun kamu sehat, ilmumu jauh di bawah saya. Lebih baik kamu menyerah saja."
"Gue ... cuma mau lihat muka lu!" seru Wirada menahan sakit.
Si Hantu Hitam melepas cengkeramannya dari tangan Wirada. "Semua ada masanya. Nggak perlu buru-buru. Kalau saya ingin kamu melihat wajah saya, kamu akan melihatnya. Kamu cuma perlu bersabar."
Wirada meringis sambil mengusap kepalan tangannya yang memerah. Ia menatap lelaki serba hitam di hadapannya nanar. Jelas, siapapun dia, bukan orang sembarangan.
"Apa yang lu mau dari gue?"
"Jawabannya ..." ujar Si Hantu Hitam, "... juga akan saya berikan nanti. Sekarang kamu bereskan kekacauan yang kamu timbulkan, atau saya akan menyakitimu lebih dari yang tadi."
Setengah menggerutu, Wirada memunguti pecahan piring di antara makanan yang berserakan di lantai.
"Nyet, ada lap pel, nggak?"
"Ada, di kamar mandi belakang."
Wirada mendengus, namun ia terpaksa mengambil ember dan kain pel di kamar mandi belakang, lalu mulai membersihkan tumpahan kuah sayur asam dan nasi basah di lantai. Benar-benar menyebalkan. Di Jatinegara, biasanya ada pembantu yang mengurusi bersih-bersih.
"Ngomong-ngomong, Njing, situ nggak takut? Di badan gue ada pelacak, loh. Polisi bisa datang ke tempat ini mergokin situ."
Si Hantu Hitam tertawa. "Di sini nggak ada jaringan telepon, apalagi Internet. Mau dilacak gimana?"
Tai. Gue mati kutu di sini.
.
.
.
Bersambung.
(30 Mei 2018)
2400++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top