Bab 1: Pasar Malam
Peringatan! Kata-kata kasar dan sedikit adegan dewasa.
.
.
.
-- Jatinegara, Jakarta Timur, 18:30 WIB
Di daerah pertokoan kumuh, terdapat sebuah gedung dengan cat mengelupas yang sangat kotor hingga orang yang melihatnya tak dapat menebak apa warna mula-mula cat tersebut -- mungkin putih, kuning, atau coklat. Sebuah plang bertuliskan "Motel dan Diskotek" terpampang di bagian depan gedung. Hanya saja, tak sembarangan pengunjung berani datang ke tempat ini, karena daerah ini dikenal sebagai sarang preman. Bahkan, bukan main-main, gedung ini merupakan markas geng preman yang paling ditakuti di seluruh Jakarta.
Di dalam aula di lantai bawah tanah gedung, segerombolan pemuda-pemudi berkumpul dan melakukan berbagai macam kegiatan. Ada yang berjudi, minum minuman keras, bermain bilyar, hingga mengobrol sambil merokok. Ada pula yang hanya duduk menonton kawan-kawannya mengerjakan apapun yang mereka kerjakan. Bahkan ada yang tergeletak di lantai bar saking mabuknya dan tak bisa bangun lagi.
Awi, Aci, dan pemuda berkaos hitam masuk ke dalam bar tanpa terlihat heran atau takut. Jelas mereka sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Lampu remang dan musik yang berdentum nyaring tak mengganggu. Mereka tahu ke mana harus melangkah -- ke tengah ruangan, di mana seorang pria dan wanita muda sedang berciuman tanpa tahu malu.
Tangan sang pria meremas dada dan bokong sang wanita, yang melakukan hal yang sama. Lidah mereka saling bertikai. Wanita itu mengenakan tank top hitam dan celana yang amat mini -- nyaris tak menutupi satu sentimeter pun dari pahanya -- dan lelaki itu bertelanjang dada. Sang lelaki mendorong wanitanya ke atas sofa. Tangannya menarik tank top wanita itu ke atas hingga nyaris terlepas.
Ketiga lelaki yang baru datang saling berpandangan maklum. Namun hanya pemuda berkaos hitam yang bertahan menonton adegan tersebut. Awi hanya mengangkat alisnya dan berjalan menuju bar, sedangkan Aci menghampiri seorang perempuan yang duduk di pojok ruangan dan memangkunya di atas pahanya, meminta perempuan itu menyalakan rokoknya.
Pemuda berkaos hitam itu menyengir dan menendang sofa. "Jirr! Bangun, Bang!"
"Bangke! Anjing sialan!" gerutu pria di atas sofa, buru-buru melepaskan diri dari tautan kaki sang wanita. Namun melihat siapa yang mendatanginya, ia segera menegakkan tubuhnya dan mengubah nada suaranya. "Eh, Wirada. Gimane, Nyet?"
Pria itu masih muda, hanya lebih tua beberapa tahun daripada Wirada, si pemuda berkaos hitam. Tubuhnya tinggi dan lengannya berotot. Di tengkuknya terdapat tato bergambar macan hitam. Rambutnya jabrik. Di pipi kirinya terdapat bekas luka. Sorot matanya yang tegas dan licik menunjukkan bahwa ialah pemimpin di ruangan ini.
"Kurang dua juta, Bang. Gue mau ke Petamburan malam ini buat ngumpulin sisanya," sahut Wirada sambil menyodorkan kantong plastik berisi uang kepada lelaki jabrik itu.
"Sendirian?"
"Biasa juga gue sendirian, Bang. Apa bedanya kali ini?"
Sang lelaki jabrik menggelengkan kepalanya. Ia melingkarkan lengannya ke bahu Wirada dan berbisik, "Sekarang lagi banyak penggerebekan. Lu denger soal cewek serba hitam yang kerja sama dengan polisi nangkepin preman? Ada beberapa anggota kita ketangkep. Macan Hitam lagi diincer. Apalagi kemarin barusan tiga pentolan kita tumbang. Di tempat rame kaya pasar malam pasti banyak Satpol PP. Lu jangan nekat-nekat pergi sendirian, deh!"
Wirada mengangguk. Namun ucapan lelaki jabrik tak membangkitkan ketakutan di sorot matanya. "Nah, justru itu, Bang Duren. Sendirian malah lebih gampang. Gue nggak bakal ketangkep, kok. Nyuri dua juta di pasar malam apa susahnya, sih."
Duren terdiam sejenak, berpikir. "Aren, minta rokok, dong," ujarnya kepada perempuan yang tadi dicumbuinya di sofa.
Wanita itu bangkit berdiri dan mengambil sebatang rokok. Ia menyalakannya dan menyelipkannya ke mulut Duren, sambil mencium pipinya. Lalu menyandarkan dagunya ke bahu lelaki berambut jabrik dan memandangi Wirada dengan senyum di wajahnya. Ternyata ia juga masih sangat muda. Terlihat jelas bahwa dadanya disumpal busa bra yang kebesaran. Bibirnya bergincu merah menyala. Rambutnya yang hitam panjang sedikit berantakan, dan ia merapikannya dengan tangannya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa wanita muda ini sebenarnya cukup atraktif.
"Biar gue anterin Wira-wiri, Bang Dur," bujuknya dengan suara sehalus desisan ular. "Kalau cewek, kemungkinan ditangkepnya lebih kecil, kan? Trus gue bakal dandanin Wira-wiri biar nggak gembel-gembel amat."
"Awas aja kalau lu dandanin jadi cabe-cabean kaya lu," ledek Wirada sambil menjulurkan lidahnya.
Aren melingkarkan lengannya ke leher Wirada dan menariknya erat. "Lu bilang gue apa?" bisiknya.
"Canda, Ren! Ampun!" seru Wirada.
Aren melepaskan lengannya. "Jangan bilang gue cabe-cabean. Gue ratu di sini. Lu macem-macem, gue beneran dandanin lu jadi cabe."
"Iya, ampun, Yang Mulia Baginda Ratu," ujar Wirada meringis.
"Dan gue rajanya," ujar Duren sambil mencium bibir Aren dan meraba dadanya sekali lagi. "Oke, deh, gue setuju, Ren. Lu boleh anterin Wirada ke Petamburan."
"But before that, makeover," cengir Aren sambil mengedipkan sebelah matanya.
***
Beberapa menit kemudian, Wirada dan Aren keluar dari sebuah ruangan yang merupakan gudang kostum. Mereka telah berganti pakaian dari sebelumnya dan kini terlihat seperti orang biasa. Wirada mengenakan jaket jins, kaos putih, dan celana jins biru yang sobek di bagian lututnya. Aren telah menghapus riasannya yang berlebihan dan tampil alamiah dengan kaos ketat berwarna pink, jaket jins, dan celana jinsnya. Rambutnya yang panjang diikat di belakang. Mereka seperti kakak beradik yang hendak berjalan-jalan ke pasar malam.
Duren mengepulkan gumpalan asap dari mulutnya sambil bersandar ke dinding. Begitu Wirada dan Aren mendatanginya, ia mencabut batang rokok dari mulutnya dan memandangi mereka sambil mengangguk-angguk.
"Oke, sip! Sana berangkat," ujarnya memberi persetujuan. Namun lengannya menarik Aren dan ia mencium bibir gadis itu sekali lagi.
"Udah, ah, Bang Dur. Ntar bibir gue bengkak, loh," rengek Aren manja sambil tersenyum.
Wirada memutar bola matanya melihat aksi pasangan ini. "Ayolah, buruan. Kelamaan, ntar," protesnya, melirik ke jam tangan.
"Iya, iya, ayo jalan, adik ipar," ujar Aren sambil merangkul Wirada.
"Jangan sampe ketangkep!" seru Duren ketika Wirada dan Aren masih dapat mendengar ucapannya.
***
Aren mendatangi sebuah motor bebek di tempat parkir dan menyerahkan helm berwarna hitam kepada Wirada. Kemudian ia mengambil helm serupa dan memasangnya ke kepalanya sendiri. Ia mengangkat kakinya dan memanjat naik ke tempat duduk motor, namun Wirada mencegahnya.
"Gue aja, Ren. Cewek-cewek naik motor masih dilihatnya gimana gitu," jelas Wirada.
"Paling nggak, gue bukan emak-emak, Nyet," gerutu Aren sambil berpindah tempat ke jok bagian belakang motor.
"Gue nggak raguin kemampuan nyetir lu, Ren. Cuma kita, kan, mau tampil sebiasa mungkin. Kalau lu terlalu kelihatan jagoan, ntar malah dicurigai."
"Iye, iye, gue ngerti, Wira-wiri. Ayo jalan."
.
.
.
-- Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, 19:00 WIB
"Mas," panggil seorang polisi muda yang tak berseragam, mendatangi meja kerja seorang polisi yang lebih senior darinya, "udah jam tujuh."
Polisi yang dipanggilnya mengangkat kepalanya dari dokumen yang dibacanya sejak tadi. Ia melirik ke jam dinding, lalu bangkit berdiri dari kursinya. "Regu Satu sudah siap, Frans?"
"Sudah, Mas," jawab polisi muda tersebut.
Polisi senior itu -- yang merupakan lelaki berkaos merah hati di warteg Mpok Imah tadi sore -- membereskan dokumennya. Di mejanya tertera plakat namanya, Inspektur Satu Bagus Prawirasetya.
"Baiklah, segera berangkat. Aku berangkat dengan Regu Dua."
Frans menyengir. "Dasar, mentang-mentang udah nggak jones, ke mana-mana berduaan mulu. Nggak kapok sama skandal?"
Bagus menghela napas. "Tiara mau bantuin kita aja, kita harus berterima kasih. Di sini, nggak ada yang bisa berakting jadi wanita sosialita semeyakinkan dia. Lagian Danar nggak bisa nganter, jadi aku yang harus nganter ke Petamburan."
"Dia, mah, sosialita beneran. Tapi dia emang ajaib, sih," komentar Frans, tersenyum mengingat kelakuan perempuan yang mereka bicarakan itu. "Ya udah, aku berangkat dulu, ya."
Bagus mengangguk dan menarik jaket hitamnya yang digantung di belakang kursinya. Lalu mengenakannya dan menyusul Frans keluar dari gedung Reskrimum. Namun ia tak berangkat bersama Frans dan rekan-rekan lainnya, melainkan menemui seorang wanita yang menunggunya di depan gedung. Dengan terusan pendek berwarna putih tanpa lengan, yang ditutupinya dengan blazer putih, ia terlihat mencolok dibandingkan lingkungan sekitarnya.
Bagus menggelengkan kepalanya. "Kamu terlalu cantik, Mbak."
"Aku mana bisa, sih, nggak cantik. Lagian ini namanya totalitas, Mas," cibir perempuan itu. "Udah, jangan komentar. Ayo berangkat." Ia menyerahkan kunci mobil berlambang empat cincin yang bertautan ke tangan sang polisi.
.
.
.
-- Pasar malam Petamburan, Jakarta Pusat, 19:30 WIB
Wirada menghentikan motornya di depan pintu masuk pasar malam. Rombongan manusia yang berdesakan menyulitkannya melajukan kendaraannya lebih jauh. Aren menawarkan diri untuk membawakan motornya ke tempat parkir yang berjarak beberapa ratus meter dari pintu masuk.
"Gue nggak ikut masuk. Nanti kalau udah kelar, lu ke jalanan di ujung sana aja. Gue tunggu di situ, biar gampang kaburnya," ujar Aren sambil menyangga motor dengan kakinya.
"Sip, lah," sahut Wirada sambil menggantungkan helmnya ke stang motor.
Pemuda itu membeli tiket dan melintasi pengawasan Satpol PP yang berjaga di pintu masuk dengan santai. Saking terbiasanya ia mencuri, jantungnya tak lagi berdebar-debar setiap kali ia akan menjalankan aksinya. Matanya yang tajam menyapu wajah-wajah pengunjung yang sibuk memerhatikan atraksi di pasar malam tersebut.
Bagi Wirada, pasar malam yang penuh sesak seperti ini malah menjadi sasaran empuk. Saking ramainya, bersenggolan dianggap wajar. Apalagi cahaya remang-remang mengaburkan penglihatan para pengunjung, namun tidak bagi Wirada, yang tumbuh di tengah-tengah kegelapan malam.
Dua juta di tempat kaya begini, mah, kecil. Kalau gue bisa nyuri sepuluh juta lagi, gue nggak perlu kerja besok. Bisa main-main sama yang lain, pikirnya.
Ia merasa sedikit tak adil. Mentang-mentang salah satu anggota termuda, ia selalu disuruh-suruh oleh seniornya. Apalagi kepiawaiannya mencuri menjadikan dirinya pencari nafkah andalan bagi teman-temannya.
Udahlah, yang penting gampang naik pangkat. Apalagi gue, kan, adik kesayangannya Bang Dur.
Setiap kali ia melihat dompet yang menyembul di balik saku celana seorang pria, ia menariknya begitu saja dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Beberapa kali, ia juga menyelipkan tangannya ke dalam tas tangan wanita yang terbuka dan mengambil ponsel atau dompet. Entah isinya kosong atau tidak, yang penting diambil dulu saja.
Kadang-kadang ia ikut mengantri di gerai, pura-pura ingin membeli dagangan berupa pernak-pernik atau makanan ringan seperti gulali, kacang goreng, atau kerak telor. Ia hanya mendatangi gerai yang lengah meletakkan uang hasil penjualan di tempat yang mudah diraih. Jika penjual sedang sibuk melayani pembeli lain, Wirada pura-pura menunggu di samping, namun tangannya mengambil uang tersebut. Lalu menyelinap pergi tanpa sepengetahuan siapapun. Dengan mudah ia berbaur dengan pengunjung lainnya. Penjual yang dirampoknya baru sadar uangnya hilang beberapa menit kemudian, namun sudah terlambat. Mencari Wirada di tengah keramaian pasar malam bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.
Setengah jam kemudian, Wirada duduk di bangku warung yang menjual minuman ringan sambil menyedot es mambonya. Merasakan getaran di saku celananya, ia meraih ponselnya dan melihat ke layarnya.
Gula Aren.
"Ren, napa, woy?"
"Wir, udah belum? Pasti udah, kan? Balik cepet!" Suara Aren terdengar tak sabar.
"Tunggu, gue masih pengen jalan-jalan. Sekalian nyari oleh-oleh buat besok," ujar Wirada, yang berarti ia masih ingin memenuhi target pencopetan untuk esok hari.
"Udah, besok lagi aja. Firasat gue nggak enak."
"Nggak ada apa-apa, Ren. Percaya sama gue. Semua baik-baik aja," ujar Wirada, lalu mematikan ponselnya.
Wirada menyelipkan ponselnya kembali ke dalam saku dan membalikkan tubuhnya. Ia bersandar ke meja dan mengangkat salah satu kakinya. Tiba-tiba suatu pemandangan menarik perhatiannya. Perempuan bergaun putih yang sangat cantik. Bagaikan bidadari yang tersesat di kalangan manusia biasa. Mata Wirada langsung tertuju padanya. Tanpa ia sadari, sebuah senyuman terulas di bibirnya.
Ini baru cewek cantik, pikirnya. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan perlahan ke arah perempuan itu, sambil terus mengamati wajah dan tubuhnya.
Gile, jir! Berkelas banget! Cantiknya nggak nahan. Cewek model gini gue suka. Putih, mulus, dan seksi. Dadanya agak rata, sih, tapi paling nggak lebih berisi daripada si Aren yang disumpel busa itu. Lengannya, wow, halus banget. Coba kalau gue bisa sentuh.
Wirada menelan liurnya. Memerintahkan dirinya untuk fokus. Perempuan itu celingukan, sedang mencari seseorang. Matanya selalu tertuju pada ponselnya. Sepertinya ia tak sadar bahwa pasar malam itu berbahaya. Kalau ia tahu, tak mungkin ia mengenakan pakaian seseksi itu dan membawa tas semewah itu. Tas putih mungil dengan selempangan kulit yang senada dengan gaun terusannya.
Merek apa, ya? Gucci, Chanel, atau Prada? Gue nggak ngerti, Aren doang yang sering ngomongin. Tapi pasti mahal. Cocok sama orangnya.
Wirada mengeluarkan topi dari dalam ranselnya dan memasangnya ke kepalanya. Kakinya membawanya semakin mendekati perempuan itu.
Untunglah selempang tasnya hanya terbuat dari kulit, bukan rantai. Jadi mudah digunting.
"Pesta kembang api akan dimulai dalam sepuluh ... sembilan ... delapan ..." seru pembawa acara dengan corongnya.
Kesempatan bagus banget! gumam Wirada dalam hati.
"Tujuh ... enam ..."
Perempuan itu mendongakkan kepalanya menatap langit. Wirada sudah berada di belakangnya. Ikut mengangkat kepalanya dan pura-pura menunggu pesta kembang api.
"Lima ... empat ... tiga ..."
Ketika Wirada yakin tak ada yang mengamatinya, ia mengeluarkan silet dari dalam tasnya dan memotong tali tas perempuan itu.
"Dua ... satu!"
DUAR!
Kembang api berwarna-warni memenuhi angkasa. Perpaduan warna merah, kuning, hijau bercampur memberikan pemandangan yang spektakuler.
Perlahan-lahan Wirada menarik tasnya dari dekat pinggang sang perempuan. Ia memberanikan diri mencolek lengannya. Ketika perempuan itu menoleh, ia sudah menghilang.
Perempuan itu memegang tali tasnya yang putus. "Copet! Copet!" teriaknya. "Itu orangnya!" Ia menunjuk ke arah Wirada.
Bangke. Gimana gue bisa ketahuan?
***
Wirada berlari. Terus berlari. Secepat kakinya mampu membawanya. Ia tak menghiraukan protes orang-orang yang disenggol dan ditabraknya. Ia tak menyangka, mencopet seorang perempuan berakibat kepada pengejarannya. Perempuan itu bukan orang sembarangan. Selain mengetahui aksinya, ternyata ia memiliki rekan-rekan yang berpencar di beberapa titik di pasar malam tersebut. Beberapa lelaki berjaket hitam dan bertopi hitam berusaha menangkapnya. Lebih parah lagi, mereka saling berkomunikasi dengan suatu alat canggih, bukan walkie-talkie.
Kalau gini, mah, gue bisa ketangkep! pikirnya cemas.
Wirada melompati pagar yang membatasi pasar malam dengan lingkungan luar. Berlari mencari Aren dan motornya. Tangannya membekap ransel yang dipindahkannya ke dada erat-erat. Beberapa orang lelaki berjaket hitam itu masih mengejarnya. Wirada berbelok dan bersandar ke dinding. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah, berusaha tak mengeluarkan suara sedikitpun. Untunglah para lelaki yang mengejarnya tak melihat persembunyiannya. Mereka terus berlari ke arah lurus.
Wirada menarik napas lega. Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menancap di kakinya. Ia merasa lemas. Kakinya tak lagi sanggup menopangnya.
BRUK! Ia terjatuh.
Seorang lelaki berjalan mendatanginya dari arah berlawanan. Perlahan-lahan, cahaya lampu yang menempel di dinding menimpa wajahnya. Wirada menengadahkan kepalanya, memerhatikan sang lelaki. Tubuhnya kekar dan kakinya panjang. Dari sorot matanya yang lurus dan tulus, Wirada langsung menebak, lelaki ini adalah seorang polisi yang menyamar.
Polisi itu tersenyum dan mengeluarkan sepasang gelang besi dari balik jaketnya. Lalu menguncinya di sekitar pergelangan tangan Wirada.
Anjing! maki Wirada dalam hati.
.
.
.
Bersambung.
(8 Februari 2018)
#295 Action
.
.
Catatan penulis: Pake template teaser yang lama. Sayang bintangnya wkwkwk. Abaikan komen2 yang udah ada, itu refer ke cerita sebelumnya. Sama aja cuma kutambahin dari awal.
Btw tiap bab kira2 bakal 2k words doang. Enak nulisnya gak cape, hehe. Belum bisa rutin update ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top