Prolog

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kamu jemput dia, ini alamatnya!"

Sagar menerima sepucuk kertas yang diserahkah oleh Ustaz Rifki. Pria itu mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Memangnya Aisyah tidak berada di pesantren, Ustaz?"

Senyum Ustaz Rifki tidak mencapai mata. Tangannya menepuk pelan pundak Sagar. "Nanti kamu akan tahu sendiri."

Sagar ingin meminta penjelasan lebih lanjut, namun ia sadar bahwa tindakan tersebut tidak sopan. "Baik, Ustaz."

"Ke-kelab malam?"

"Iye. Udah lo pergi, keburu ntu bocah teler di sana!"

Sagar memijit pelipisnya. Informasi yang diberikan oleh seorang ibu indekost benar-benar di luar nalar. Tidak mungkin Aisyah, anak Ustaz Rifki, berkunjung ke tempat seperti itu. Aisyah adalah gadis lemah lembut nan anggun, tidak lupa pula dalam segi mengurus rumah tangga dan agamanya yang baik. Sungguh, Aisyah itu istri impian para santri di Pesantren Darussalam.

"Sudah jam sembilan malam, kenapa belum terlihat juga?" monolog Sagar.

Ia hanya bisa menunggu di salah satu warung kecil, yang kebetulan berada dekat dengan lokasi kelab malam. Sagar menyipitkan matanya ketika melihat sesosok wanita dengan pakaian kurang bahan berjalan sempoyongan di tengah jalan. Pakaian gadis itu serba hitam. Namun yang lebih mengejutkan lagi, wajahnya mirip Aisyah!

"Pak, semuanya berapa?"

"Lima belas ribu, Nang."

Sagar tergesa-gesa mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Setelah menyelesaikan transaksi, pria itu berlari kecil menyusul gadis yang wajahnya mirip dengan Aisyah.

"Hoekk!" Gadis itu berhenti di depan tong sampah dan mengeluarkan isi perutnya. Sagar yang melihat, hanya bisa mengelus dada sambil beristigfar.

"Pe-permisi, kamu Aisyah ..., 'kan?"

Sagar bertanya dalam jarak dua meter, tetapi ia tidak mendapatkan respons apa pun selain bunyi, "Hoek!"

"Maaf, saya tadi bertanya―"

"Bisa diem gak sih, lo?! Berisik banget," sahut gadis itu sebelum mengelap sisa muntahan dengan lengan bajunya.

Sagar terdiam, matanya sempat menatap lekat pada sang gadis, tetapi segera ditundukkan lagi. "Saya hanya ingin melaksanakan tugas dari Ustaz Rifki untuk membawa anaknya kembali ke pesantren."

"Haha, pesantren? Lo nyasar apa gimana."

"Saya―"

"Ck! Dasar aneh. Udah deh, gue mau pulang, capek!" Sebelum Sagar ditinggalkan, pria itu dengan sigap melangkah dan menghalangi jalannya.

"Tapi, ini tugas dari Ustaz Rifki, ayah kamu."

Memutar bola matanya, kesal. "Gue gak peduli, sekalipun itu dari Ayah!"

Sagar ingin menghalangi jalan gadis itu lagi, namun terhenti karena tubuh gadis itu terjatuh. "Kamu gak apa-apa?"

"Udah biasa. Kenapa sih, belum pergi juga?" Dengan sempoyongan, ia kembali mencoba untuk berdiri.

"Untuk bawa kamu ke pesantren. Namun melihat kondisi kamu yang seperti ini, saya bisa menunggu besok."

Percakapan diakhiri dengan Sagar mengikuti anak Ustaz Rifki dari belakang untuk memastikannya selamat sampai tujuan.

Keesokkan harinya, Sagar mengetuk pintu indekost milik Aisyah―anggap saja begitu.

"Assalamu'alaikum?"

Setelah mengucapkan tiga kali salam, pintu pun dibuka dari dalam. Alangkah terkejutnya, Sagar melihat pakaian yang dikenakan oleh Aisyah masih sama seperti malam itu.

"Wa'alaikumussalam. Cari siapa Masnya?" tanya gadis itu dengan suara serak khas bangun tidur.

"Saya mencari kamu. Hari ini, saya akan membawa kamu ke pesantren, seperti yang sudah saya bilang kemarin malam."

"Kemarin malam?" Sagar mengangguk. Sedangkan gadis itu tampak menggaruk rambutnya heran.

"Masnya salah orang kali, bukan saya tapi ke sebelah. Dia anak pesantren!"

Sagar menggeleng. "Tidak, saya tidak salah. Kamu anaknya Ustaz Rifki, bukan?"

Sadar ke mana arah pembicaraan tersebut, Aisyah pun menyenderkan tubuhnya pada pintu sambil bersedekap.

"Ngapain Ayah gue nyuruh lo untuk bawa gue ke pesantren?" tanya Aisyah dengan intonasi tak santai.

Sagar sempat terkejut mendengarnya. Aisyah tidak pernah berbicara dingin seperti itu, bahkan gadis itu akan setia menundukkan pandangan. Namun, gadis di hadapannya malah menatap Sagar dengan tajam.

"Ustaz tidak memberikan alasannya."

"Maka dari itu, gue gak mau ikut sama lo. Mending lo balik, tanyain alasannya, baru gue putusin ikut atau enggak."

Brak!

Sagar mundur satu langkah karena terkejut melihat pintu di hadapannya tertutup dengan tiba-tiba.

"Jadi, begitu?"

"Iya, Ustaz."

Ustaz Rifki tertawa kecil. Di pikirannya sudah terbayang seorang gadis dewasa sedang merengut sebal, dengan tatapan mata yang tajam. Persis seperti putrinya.

"Tunggu sebentar," Ustaz Rifki mengambil sesuatu dari dalam kamar dan memberikannya pada Sagar. "Ini, kasihkan padanya!"

Sagar menerimanya tanpa bertanya lebih lanjut. Pria itu segera pamit untuk menjemput Aisyah, lagi. Waktunya tidak bisa terbuang sia-sia hanya karena gadis itu tidak mau kembali ke pesantren.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek!

"Lo lagi." Aisyah memutar bola mata malas, "udah dapet alasannya?"

Sagar menyerahkan benda yang diberikan oleh Ustaz Rifki pada Aisyah. "Saya tidak mendapatkannya, tetapi Ustadz bilang kalau saya harus berikan ini ke kamu."

Aisyah mengambilnya, sebuah amplop, ia pun merobek ujungnya tanpa minat. Saat isi dari amplop itu diambil, Aisyah terdiam. Matanya membulat sempurna.

"Gue akan ikut lo, tunggu bentar!"

Sagar menghela napas lega. Namun tidak lama karena jantungnya kembali dikejutkan oleh bantingan pintu yang ditutup secara kasar tak tahu aturan.

Selang sepuluh menit, Aisyah keluar dengan membawa ransel di pundaknya. Ia memakai jins, dan kemeja, tanpa penutup kepala.

"Maaf, bukan saya mencampuri urusan kamu, tapi kamu setidaknya harus memakai penutup kepala."

"Topi?"

"Bukan, kerudung atau hijab."

Aisyah meringis. Gadis itu berjalan ke indekost sebelah, dan mengetuk pintunya brutal. "Sesar, pinjem kerudung, dong!"

Sagar kembali dibuat bingung. Setahunya, Aisyah memiliki cukup kerudung maupun hijab untuk dipakai. Ia pun berpikir positif, mungkin semua benda itu tertinggal di pesantren.

Sesar keluar dan menyerahkan kerudung berwarna biru dongker pada Aisyah dengan geram. "Ganggu tidur gue aja lo, ah!"

"Hehe, makasih ya. Dah sana, lanjutin tidur lo!"

Aisyah langsung memakai kerudung terusan di depan Sagar, gadis itu tidak sadar bahwa Sagar salah tingkah melihat kelakuan uniknya.

"Kuy!"

"Kuy?"

Aisyah berkacak pinggang.

"Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!"

"O-oh. Mari, kita berangkat keburu sore."

Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun percakapan, bahkan setelah Sagar selesai membayar ongkos taksi, Aisyah malah meninggalkannya dan pergi lebih dulu untuk masuk ke dalam.

Tunggu, sebentar! Sepertinya ada yang dilupakan oleh Sagar.

"Aisyah! Kamu kenapa pake jins?"

Sagar benar-benar lupa akan hal tersebut.

Aisyah melirik ke kanan dan kiri. Jari telunjuk gadis itu menunjuk ke arah dirinya sendiri. "Lo ngomong sama gue?"

Sagar mengangguk. "Iya, saya ngomong sama kamu."

Gadis itu mendengkus. "Nama gue Ashilla, bukan Aisyah!"

Sagar terkejut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top