Diary Spiritual (Pernikahan)
Pernikahan
Sekilas memang terlihat simple, tapi menikah itu bukan hanya perihal dua orang yang dipersatuan lalu mendapat keturunan, sudah. Menikah itu juga bukan hanya perihal akad ‘saya terima nikahnya’ lalu tinggal serumah. Tapi, jauh dibalik itu semua menikah adalah perihal ibadah, perihal Ridho Allah.
Maka, sebagai seseorang yang dipilih bukankah saya juga berhak memilih? Karena ini bukan hanya menyangkut pernikahan yang simple, tapi ini perihal ibadah terpanjang sampai nanti Allah yang menghentikan. Ini juga bukan perihal ibadah yang akan dijalani saya sendiri, tapi ini ibadah berdua.
Dan sayangnya, ibadah ini bukan hanya soal latihan, materi, lalu praktek. Seperti solat? No, ibadah ini butuh kesiapan ekstra, kesipan ilmu, kesiapan ruhani, kesiapan jasmani, dan lebih dari itu berdua akan dituntut untuk mengatur emosi, saling mengerti, menurunkan ego, bersiap ketika berbeda pendapat, bersiap kecewa, dan bersiap untuk segalanya.
Menikah itu bukan perihal aku ataupun dia, tapi, Menikah itu perihal dua orang yang mampu bekerja sama menciptakan keluarga sebaik-baiknya. Baik versi Tuhan bukan versi manusia. Terlebih adalah tentang bagaimana mempertahanakan komitmen hingga akhir.
Dan menikah versiku adalah sekali dalam seumur hidup, dan tentu kedua kalinya adalah menikah yang diakadkan oleh kematian.
Maka, aku pun berhak memilih orang yang telah memilihku, bagaimana visi misinya, bagaimana menikah versinya. Aku pun harus tahu tentang tujuannya memilihku, tujuannya menikah. Aku tidak mau sembarangan dalam memilih seseorang yang nantinya akan memimpinku, akan memilikiku sutuhnya, tentunya yang akan membimbingku ke syurga-Nya, mengajarkan aku bagaiamana mencintai-Nya yang jatuh sedalam-dalamnya, mengajariku cara mencintaia-Nya tanpa tapi dan karena.
Aku memang bukan perempuan sempurna layaknya Fatimah yang sudah Allah jamin surganya, bukan pula sayyidah Khadijah yang Allah titipkan salam melalui jibrilNya, bukan pula Aisyah yang cerdasnya luar biasa karena ajaran Rasulnya. Aku hanya perempuan biasa yang ingin menjatuhkan Cinta hanya pada Rabbnya, Sang Pemilik Cinta.
Dan … saya yang dipilih bukankah juga berhak memilih? Disini aku tak ingin bersikap egois dalam memilih, aku gak mau nikah dengan seseorang yang cukup jadi suami saja, tapi aku ingin cari seseorang untuk mami sama bapak, nyari seseorang yang untuk kakak-kakakku, juga keponakan-keponakanku. Aku tahu tidak ada yang sempurna sebagai manusia, tapi manusia bukannya punya akal untuk berusaha? Setidaknya dia mau berusaha menjadi anak bapak dan mami, berusaha jadi adik dari kakak-kakakku, dan tentunya jadi paman buat keponakan-keponakanku. Semuanya bisa diusahakan kan? Selama ini juga aku berusaha untuk berada diposisi itu, apakah selama ini dan sampai detik ini kalian pernah melihat sosok AKU seperti bukan anak mami-bapak? Apakah pernah melihat aku bukan sosok seperti adik bagi kaka dan mbak? Apakah pernah aku seperti bukan sosok tante bagi keponakan-keponakannya? Semua itu aku usahain, tidak diam dan mengikuti kemauan sendiri.
Maka aku mohon, perihal menikah itu mudah, cukup katakan ‘Qobiltu’ dengan beberapa detik sudah resmi jadi istri. Tapi, jauh dari itu yang sulit adalah menjaga pernikahan, adalah sabar atas kebiasaan buruk pasangan, adalah menerima atas segala kekurangan, adalah setia ketika cantik hingga tua keriputnya, adalah tetap menemani dalam duka maupun bahagianya.
Aku paham menikah adalah sunnah Rasul. Tapi apakah kalian sadar? Tanpa kalian sadari, kalian memberi banyak pelajaran; tentang pertengkaran, perselisihan, membentak, mendidik anak. Selama ini yang aku kaji, kenapa semua itu terjadi? Karena pendidikan yang Rasullah berikan belum diterapkan.
Sampai disini, itu semua yang membuat aku tidak pernah siap untuk menerima tanggung jawab lebih berat. Mungkin yang aku lakukan memang diam, tapi apakah kalian sadar bahwa aku sudah cukup mengerti tentang hal-hal yang pernah terjadi. Aku tahu saat para perempuan terdekatku di bentak karena kesalahannya yang sekali, atau bahkan berkali-kali. Tapi, tidak begitu yang islam ajarkan, membentak atau memberi tahu secara kasar dan keras didepan semua orang merupakan sebuah penghinaan, dan tanpa disadari menghina diri sendiri karena telah menunjukkan bahwa dirinya begitu cara mendidik istri. Istri itu tanggung jawab, amanah dari rasullah untuk dijaga, dilindungi, dan dididik keislamannya. Yang islam ajari untuk para suami adalah memberi tahu apa kesalahannya, beri tahu apa konsekuensinya dengan pelan dan sabar dan beri tahu saat sedang berdua saja. Para orang dewasa aku rasa lebih paham, perempuan itu perasa, berbanding terbalik dengan laki-laki yang selalu penuh logika; Perempuan itu lembuat hatinya, dibentak sekali, remuk redam yang ia alami; dipukul sekali, hatinya yang tergores luka dan lebih sakit dari yang dirasa kulitnya.
Yang menjadi pertanyaan dalam diri adalah ketika para adam membentak istrinya karena salah, apakah kalian pernah memberi tahu bahwa sesuatau yang dilakukan istrinya itu tidak baik? Apakah pernah? Sayangnya aku tak pernah tahu sampai dimana pertanyaan itu akan berakhir kala kejadian-demi kejadian selalu terjadi. Bahkan mungkin kalian nggak pernah tahu kala melihat kejadian-kejadian itu air mataku menetes tanpa dipinta. Aku ikut merasakan sakitnya, aku ikut merasakan sedihnya, aku ikut prihatin atas kejadainnya. Sayangnya aku tak pernah bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya, karena aku paham suara adik bungsu akan dianggap kecil, suaraku akan diremeh temehkan, dianggap sok tahu bukan? Dianggap anak-anak yang belum mengerti apapun. Karena aku belum mengalaminya juga bagian dari alasan, mungkin.
Sayangnya aku telah mengalaminya, banyak, bahkan lebih banyak dari yang kalian kira. Dari mana? Tanpa kalian sadari aku mengalaminya saat kalian yang mengalaminya. Mungkin kalian tidak menyaksikan satu sama lain, tapi aku? Sudah menjadi resiko bahwa menjadi adik bungsu akan sering menyaksikannya satu-persatu dan membuat aku belajar banyak hal.
Sampai disini paham? Maaf jika perkataan dalam tulisan dari atas sampai akhir nanti kurang sopan dan seolah menggurui. Sebenarnya tidak begitu, aku hanya memberikan beberapa alasan.
Aku tahu pertengkaran dalam keluarga adalah hal wajar, bahkan Sayyidah Aisyah dan Rasulullah masih memiliki yang namanya perselisihan. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah? Mengalah, bersabar, minta maaf kala dirinya memang salah, memberi tahu kalau memang istrinya yang salah.
Tapi, aku nggak pernah dengar ada perselisihan antara Sayyidah Khadijah dengan Rasulullah. Maka dalam hal ini, aku hanya berusaha agar apa-apa yang biasa terjadi menjadi hal yang tidak biasa terjadi.
Dalam hal ini, aku berusaha belajar banyak untuk memperbaiki jikalau apa-apa yang pernah terjadi diantara para orang dewasa terjadi pada diri. Aku hanya ingin memperbaiki, belajar dari pengalaman untuk mencegah. Perihal perjodohan yang akhirnya menjadi penyesalan karena adanya sebuah kesalahan, atau memilih sendiri dan pada akhirnya juga menjadi penyesalan karena telah salah memilih dan sayangnya harus bertanggung jawab atas apa yang telah dipilih. Aku akan belajar agar mampu menerima konsekuensi itu kelak.
Kalian nggak pernah tahu ‘kan bahawa aku tersering menangisi apa yang terjadi pada kalian. Kalian nggaka pernah tahu bahawa hatiku ikut remuk redam, bathinku ikut merasakan kejadian. Siapa yang patut disalahkan? Adalah aku, aku yang berdiri tapi tidak berguna apa-apa untuk suatu kejadian. Terlebih yang aku takutkan adalah pertanggung jawaban dihadapan Tuhan, karena harusnya aku menegur karena ilmu yang pernah didapatkan. Sekali lagi aku takut sauraku tak didengar, dianggap anak kecil yang tak mengerti apa-apa.
Aku tidak berharap kisahku akan sempurna sampai akhir, tapi setidaknya aku berusaha belajar, belajar mempersiapkan apa yang harus dilakukan jika yang mendampingiku kelak tak sesuai harapan, tak sesuai apa yang dipikirkan.
Dan kalian, yang menjadi bagian alasan kenapa aku harus selektif memilih pasangan, menjadikan. trauma kecil dalam menentukan plihan, ada rasa takut yang terkadang menggerogoti. Tapi setidaknya aku belajar dari apa yang pernah dilihat dan terjadi di depan mata.
25 June 2020, 22:24:43
Tertanda, Adik bungsu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top