Bulan bercerita [Dongeng tentang Ibu]
Dongeng tentang Ibu
Oleh Vei_la
********************
Sedari dulu, banyak dongeng yang diperdengarkan mengenai kehebatan sosok ibu. Ibu adalah malaikat pelindung, sang lentera kehidupan, sosok bidadari dunia, serta wanita dengan sejuta kasih sayang. Konon, ibu memiliki sura lembut yang terdengar sebagai nyanyian merdu dan menenangkan hati, sentuhan tangannya pun layaknya hantaran kenyamanan yang dapat menenangkan kegelisahan di jiwa. Kesabarannya, dedikasinya, dan pengorbanannya adalah bukti betapa peran ibu sangat penting untuk anak-anaknya.
Aku selalu terperangkap pada dongeng-dongeng menakjubkan tentang ibu. Aku seringkali berharap dapat memiliki ibu yang selalu menemaniku, melindungiku, merangkulku, dan berjalan bersamaku. Sayangnya, ibuku tidak seperti tokoh-tokoh pada dongeng yang diperdengarkan orang-orang. Ibu hanyalah manusia biasa yang memiliki batas kesabaran, keegoisan, keinginan, serta hal-hal lain yang sangat individual.
Kerap aku bertanya pada diriku, mungkinkah ada sosok ibu yang memiliki hati sesuci malaikat. Karena sampai saat ini, aku belum masih sering kelembutan dari seorang ibu.
"Zahira!"
Panggilan itu spontan mengakhiri lamunanku tentang sosok ibu. Buru-buru aku mendekat ke sumber suara dan menemui sang pemilik suara.
Dari sudut kamar, kulihat Ibu sedang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Aku menghela napas panjang, entah apa yang ingin Ibu bicarakan padaku hari ini.
"Dalem, Bu?" ucapku ketika sampai di hadapan Ibu.
Ibu selalu bilang kepadaku, gunakanlah bahasa yang santun ketika berbicara dengan orang tua. Jawablah salamnya dengan 'dalem' atau 'iya' dalam bahasa yang baik. Jangan menjawab dengan ketus, apalagi sampai berani membentak. Karena itu termasuk perilaku yang dibenci oleh Allah dan dapat mengundang murka-Nya.
"Sudah hampir jam empat, kamu sudah Salat?" tanya Ibu, mengingatkanku pada kewajibanku sebagai seorang hamba.
"Sudah tadi. Waktu azan Asar, Ira langsung ambil wudu. Kebetulan Ira juga mau fokus belajar. Jadi, Salat dulu biar enggak ketunda-tunda," jawabku dengan santun.
Sebenarnya ada dua hal yang selalu Ibu ingatkan padaku, yaitu kewajibanku sebagai seorang hamba dan tugasku sebagai seorang anak. Ibu selalu bilang, sesulit apa pun keadaan kita, jangan pernah melalaikan Salat. Kalau urusan kita kepada Tuhan saja sudah lalai, bagaimana kita bisa meyakinkan Sang Pencipta mengabulkan permintaan kita.
"Oh, iya, kamu tahu anaknya Bu Irma? Yang lulus tahun kemarin dengan predikat cumlaude itu loh. Sekarang dia sudah kerja di Kalimantan. Kata Bu Irma gajinya sepuluh juta, loh," kata Ibu dengan mata berbinar-binar. "Kayaknya kamu harus belajar dari dia deh, minta tips gimana jadi orang sukses."
Aku hanya mengulumkan senyuman untuk membalas perkataan Ibu. Sebenarnya aku tahu siapa Ibu maksud, tetapi aku tidak ingin menanggapi hal tersebut. Yang dimaksud Ibu adalah Helena, dia teman satu fakultasku. Beberapa waktu lalu Helena sempat berkata padaku bahwa dia ingin bekerja jadi koki di kapal-kapal yang berlayar di Kalimantan. Namun, mengenai gajinya, aku tidak tahu. Yang jelas gaji Helena tidak mungkin sebanyak itu.
"Helena itu anaknya kalem banget, nurut lagi sama orang tua.”
Aku cukup tertampar dengan perkataan ibu. Layaknya aku yang mendambakan sosok ibu dengan penuh kelembutan, Ibu pun menginginkan sosok anak yang penurut. Sayangnya, aku belum bisa memenuhinya. Aku masih sering menolak perintah ibu, dengan alasan lelah pada hal yang sering Ibu bebankan padaku.
"Setelah lulus nanti, kamu harus bekerja di perusahaan yang besar. Ibu mau kamu dapat mengangkat derajat kita.” Ibu kembali melanjutkan ucapannya. Kemudian Ibu mengenggam tanganku, seperti ada hal penting yang ingin dikatakannya padaku. "Kamu harapan ibu, Ra. Satu-satunya anak yang bisa ibu andalkan.”
Andai Ibu tahu perasaanku ketika mendengar harapannya, apakah harapan tersebut akan diubah? Atau Ibu akan marah dan memintaku tetap menerimanya?
Aku tahu, seberapa pun aku lelah, tak ada yang mau mendengarkanku. Harapan Ibu seperti alur hidup yang harus kujalani. Ibu adalah sosok wanita yang sangat aku hormati karena ibulah yang melahirkan dan membesarkanku. Rasanya aku tidak pantas menolak permintaan Ibu, setelah perjuangan yang Ibu lakukan untukku. Apalagi setelah Ayah tiada, Ibu yang berjuang mati-matian untuk menghidupiku. Ibu pun hanya meminta beberapa hal untuk kupenuhi dan itu untuk kebaikanku.
Andai saja Ibu dapat dijadikan sebagai teman yang menerima seluruh ceritaku, andai saja Ibu tidak termakan egonya untuk membentukku sebagai orang sukses, dan andai saja aku tidak pernah menjadi apa-apa, mungkin perasaan ini tidak pernah aku rasakan. Aku letih, jemu, dan merasa terbebani. Akan tetapi, aku harus menjadi anak yang baik untuk ibuku. Sebisa mungkin aku mengulumkan senyuman, sebagai bentuk penyamaran kesedihan atas hal yang sedang aku rasakan.
Sayangnya, perlahan senyuman itu berubah menjadi aliran air mata. Dalam keheningan ini, aku menangis tanpa sebab. Ibu kaget melihat air mata yang mulai menuruni pipiku. Sebisa mungkin aku menyekanya, tetapi air mata itu terus membandel. Aku benci menangis, apalagi di hadapan Ibu.
"Kamu menangis? Ada apa?” Nada suara Ibu terdengar begitu lembut, seperti nyanyian indah yang aku rindukan.
Aku menatap mata Ibu lekat-lekat, seketika bayangan tentang pertengkaranku dan Ibu beberapa waktu silam hadir. Bayangan itu membuatku takut dan kalut. Dulu Ibu sempat berkata padaku bahwa, "Enggak ada ibu yang harus mengerti anaknya, anak yang harus mengerti keadaan ibu."
Perkataan Ibu waktu itu berhasil menambahkan luka di hatiku. Bagaimana mungkin sosok Ibu yang terkenal lembut, mengatakan hal tersebut kepada anaknya? Apakah benar kelembutan seorang Ibu hanyalah dongeng belaka?
"Ini tentang kuliahmu, ya? Ada masalah sama teman-temanmu? Kan ibu sudah bilang, gaul sama teman-teman kamu. Kamunya ngeyel banget, sih.” Ibu coba menerka alasan mengapa aku menangis karena tidak mendapat jawaban dariku.
Hatiku tersayat. Mengapa yang ada di pikiran Ibu adalah masalah kuliahku? Sedangkan tekanan terbesarku terletak pada ibuku dan semua harapan yang ditekankan padaku. Aku ingin marah, tetapi dia adalah ibuku. Orang yang harus aku hormati, sampai akhir hayat.
"Ibu tahu? Sejak ayah tiada, aku berusaha menjadi pendamping terbaik untuk Ibu. Maka dari itu, aku berusaha menuruti perintah ibu dan menjadi anak yang baik. Tapi, tidak pernah sekali pun aku mendengar Ibu bertanya padaku 'apa yang aku rasakan?', 'apa aku lelah?', atau 'apa aku ingin bersandar di pundak Ibu?'" Aku berusaha mengontrol perasaanku agar tidak kalut saat ini juga. Aku menyayangi Ibu, meski tidak pernah aku katakan padanya.
Kutatap wajah Ibu dengan dalam, terlihat lebih sayu dari sebelumnya. Aku tidak tahu hal apa yang saat ini sedang Ibu pikirkan karena aku juga tidak ingin menerkanya.
"Ibu selalu melemparkan dugaan jika aku sedang bermasalah dengan kuliahku. Tentang tugasku. temanku, dan segala kisah kuliahku. Namun, pernahkah Ibu berpikir kalau masalahku ada pada Ibu?" ucapku dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. "Aku lelah dengan segala tuntutan yang Ibu berikan, seakan-akan aku adalah sosok kokoh yang tidak boleh tumbang karena kesedihan. Aku sudah mulai rapuh, Bu, rasanya seperti ingin berhenti. Aku tertekan dengan keadaan ini. Dan aku mau, Ibu jadi orang yang paling mengerti. Tapi, aku tahu, itu hanya harapan yang tidak mungkin terjadi."
Aku menundukkan kepala, meresapi perasaan kecewa yang kini telah melanda hatiku. Kemudian aku rasakan ada tangan lembut yang menyentuh punggung tanganku. Mulai kudongakkan kepala dan melihat tangan Ibu sedang menyentuhku. Aku terperanah ketika jari telunjuk Ibu mengelus pipiku dengan sangat lembut.
"Ini 'kan yang kamu inginkan?" tanya Ibu padaku.
Aku menganggukkan kepala. Ya, kelembutan ini yang aku impikan sejak lama. Kelembutan dari seorang Ibu.
"Zahira, kamu itu satu-satunya harta yang ibu miliki. Berlian paling berharga yang tidak ingin ibu ubah sebagai intan. Ibu ingin membentukmu layaknya berlian mahal, yang dapat menciptakan kilau di mana pun kamu berada. Maka dari itu, ibu selalu memberimu tekanan yang dapat memaksamu berkembang. Bukan ibu tak sayang padamu, bukan pula ibu ingin memaksakan kehendak ibu padamu. Namun, ibu ingin membentukmu menjadi pribadi yang kuat dan tak mudah menyerah. Selalu, Sayang, di sela-sela Salat, Ibu titipkan doa untuk kebahagiaanmu di dunia dan di akhirat. Ibu sayang kamu, melebihi sayang ibu kepada diri sendiri. Namun, tolonglah mengerti, ibu hanyalah manusia biasa yang penuh kekhilafan. Sekarang mungkin ibu bisa mengerti kelelahan kamu, tetapi besok ibu bisa berubah drastis. Karena sama sepetimu, ada banyak beban yang sedang ibu pikul. Tapi, jangan coba tanyakan beban apakah itu. Biarkan ibu pikul sendiri karena inilah tugas seorang ibu."
Tubuhku mematung ketika mendengar perkataan itu. Ibuku, seseorang wanita yang kupikir tidak dapat bicara dengan selembut itu, ternyata dapat melakukannya ketika melihat anaknya rapuh.
Mataku berkaca-kaca. Bukan karena lelah, tetapi karena melihat ketegaran Ibu. Aku memeluk tubuh Ibu dengan erat, sembari menangis dalam pelukannya. Ibu benar tentang beban kehidupan yang harus kami pikul bersama, tanpa melibatkan orang lain di dalamnya. Ibu pun benar tentang sikap keras yang selalu ditanamkannya. Karena tanpa itu semua, aku tidak akan dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Kini aku mengerti, dongeng tentang sosok ibu yang mulia, bukan sebuah kisah masa lampau yang sudah lewat zamannya. Semua dongeng itu benar adanya, tetapi ditunjukkan dengan cara berbeda. Bagiku, kasih sayang seorang ibu tertanam dalam hati, bukan pada logika. Jadi, ketika kita mencoba memahami kasih sayangnya, kita tidak akan pernah bisa. Karena seorang ibu memiliki cara sendiri untuk menyayangi anak-anaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top