Ending

Jika tidak pernah berhenti, aku tak akan tahu kalau mengejar sesuatu yang pernah dijalani sebelumnya ternyata bisa semenggebu ini.

***

Akhirnya setelah 6 bulan berkutat pada kegiatan yang melelahkan, alarm tubuhnya berbunyi. Kiana jatuh sakit setelah melakukan perjalanan panjang pulang dari pesta pernikahan Muti.

Sebenarnya Kiana sempat masuk kerja sehari setelah pulang dari luar kota kala itu. Tapi entah kenapa malam harinya ia merasa tak enak badan dan mengabari orang rumah. Sang Mama jelas panik dan langsung menjemput Kiana.

Kiana pikir ini mungkin karena efek kelelahan karena telah melakukan perjalanan panjang, paling sehari istirahat juga akan sembuh. Namun nyatanya ini sudah masuk hari ketiga Kiana meliburkan diri.

Ia menolak untuk dibawa ke rumah sakit dan hanya mengandalkan obat-obatan dari apotek. Kiana merasa obat yang ampuh adalah dengan cara rebahan untuk beberapa hari kedepan.

Setelah 6 bulan merasa tentram bekerja, baru kemarin Kiana merasa sedikit tersinggung atas omongan rekan kerjanya.

Kiana pikir beberapa karyawan disana sudah maklum dengan kebiasaan dirinya yang terlalu serius dalam bekerja. Maksudnya sampai membawa pulang beberapa jahitannya yang belum rampung. Naifnya Kiana lupa jika merekapun manusia biasa.

"Dari pagi sampai sore dipakai kerja, kalau dilanjut sampai malam juga kapan nikmatin hidupnya? Kia, semua ada waktunya. Kalau terus-terusan menutup diri, gimana mau ketemu jodoh?"

Kiana menanggapinya dengan tersenyum. Padahal tanpa mereka tahu, Kiana juga menikmati hidup di luar sana. Buktinya dalam sekali sebulan ia meluangkan waktu untuk refreshing bersama sahabat-sahabatnya. Namun tentang masalah jodoh, Kiana berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Tak mungkin jika Kiana terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak akan menikah.

Kalimat itu sebenarnya sudah lumrah didengar oleh orang-orang berusia 25 tahun ke-atas, tapi Kiana masih tak menyangka, ternyata orang di tempat kerjanya bisa mengurusi hidup orang lain juga ya.

Ada rasa lega tak bertemu dengan rekan-rekan kerjanya untuk beberapa hari ini. Kiana sempat berpikir, apa ia lanjut libur sampai seminggu saja? Tapi mengingat pekerjaannya yang akan menumpuk nantinya, Kiana mengurungkan niatnya.

Mamanya kini masuk ke kamarnya. Kiana malu terciduk sedang melamun menatap langit-langit kamarnya seperti orang bodoh oleh sang Mama.

"Kalau gak mau ke rumah sakit, Mama panggilin dokter aja ya?" Tanya sang Mama mungkin khawatir melihat putrinya yang tak sembuh-sembuh.

"Gak usah, Ma. Paling besok juga sembuh."

Sang Mama mengembuskan napas pasrah. "Kemarin juga bilangnya gitu."

"Hari ini mau makan apa?" Tanya Mamanya.

"Apa aja, Ma. Terserah."

"Jangan terserah. Kamu enaknya lagi pengen makan apa? Mama sekalian mau keluar sama Papa."

"Nasi goreng aja kalau gitu, Ma." Ngomong-ngomong ini memang makanan favorit Kiana baik sedang sehat maupun sakit.

"Yaudah, Mama sama Papa pergi sebentar ya."

Kiana mengangguk dan kembali melanjutkan lamunannya saat sang Mama telah pergi.

Kiana senang melihat Papanya sudah seutuhnya hanya milik sang Mama sekarang. Papanya diceraikan oleh istri keduanya. Tak perlu tanya alasan. Sudah jelas karena sang Papa tidak bisa lagi menghasilkan uang. Perihal kebutuhan hidup si anak yang sedang menempuh pendidikan kuliah saat ini, akan dibiayai oleh kakaknya, Mia. Beruntungnya Mia tak keberatan dengan hal itu. Yang penting baginya, sang Mama tak akan kesepian lagi dan bisa memiliki suaminya seutuhnya setelah nyaris tiga puluh tahun menikah.

Ngomong-ngomong tentang keputusannya untuk tidak menikah, keluarganya belum tahu soal hal ini. Ada rasa takut jika pilihannya ini akan ditolak mentah oleh keluarganya. Tapi mau bagaimana lagi, Kiana yang akan menjalani hidupnya sendiri. Dan ini adalah haknya.

Lamunannya lagi-lagi terhenti saat mendengar suara ketukan di pintu utama. Padahal orang tuanya baru pergi beberapa menit yang lalu. Kiana sempat berpikir, mungkin ada barang yang tertinggal.

Masih setengah pusing, Kiana berjalan pelan menuju ruang utama. Saat membuka pintu, ternyata itu bukan orang tuanya.

Jantung Kiana mendadak berdebar, sekaligus menahan malu atas penampilannya saat ini. Masalahnya yang ada di depannya saat ini bukan keluarganya.

Melainkan Rama.

Laki-laki yang pernah menjalin komunikasi dengannya, namun sempat renggang dan tak pernah bertemu lagi entah sudah berapa lama.

Kiana mematung, Rama juga begitu.

"T-tante ada?" Tanya lelaki itu akhirnya.

"Mama lagi gak di rumah." Jawab Kiana cepat.

"Oh." Lelaki itu mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

Keduanya merasa canggung satu sama lain semenjak ribut kecil waktu itu.

"Mungkin bentar lagi juga balik. Mau nunggu aja gak?" Tanya Kiana spontan.

Jujur, ini hanya sekedar basa-basi saja. Ia bahkan berharap jika Rama menolak dan langsung pulang saja.

Memang, Kiana sempat berharap akan bertemu lagi dengan Rama suatu saat nanti, tapi masalahnya sekarang bukan waktu yang tepat. Bagaimana mungkin Kiana bisa pede dengan penampilan pucat khas orang sakit seperti ini!

Rama menggeleng. "Nanti aja kalau gitu." Ujarnya lantas berjalan menuju motornya yang terparkir di depan rumah.

Dalam hati, Kiana sangat bersyukur. Namun ia kembali dibuat kaget saat Rama berbalik dan berjalan mendekatinya.

Lelaki itu memberikan sebuah paper bag padanya.

"Mau titip ini aja. Makasih." Ujarnya lantas melangkah tergesa menuju motornya. Lelaki itu akhirnya pergi, meninggalkan Kiana yang mematung di depan pintu.

Tak lama setelah Rama pergi, orang tuanya akhirnya pulang. Terlihat raut heran dari wajah sang Mama saat melihat Kiana yang berdiri di depan pintu, padahal biasanya rebahan di kamar seharian suntuk.

Spontan, Kiana lantas mengintip paper bag yang diberikan oleh Rama. Ternyata isinya adalah sebuah buku.

Kiana jelas heran. Buku ini titipan untuk Mamanya kah?

"Kamu ngapain berdiri di sini? Ayo masuk. Gak enak diliatin tetangga." Ujar sang Mama lantas membawanya masuk ke dalam rumah.

Terkesan lancang memang. Tapi karena penasaran, Kiana membuka paper bag itu dan kaget saat mendapati ternyata buku itu adalah karyanya.

Kiana menghentikan langkahnya saat sang Mama hendak menuntunnya ke kamar.

"Ma, buku Kia kenapa bisa ada sama Rama?" Tanyanya akhirnya.

"Loh? Udah dibalikin? Kapan Rama kesini?" Sang Mama malah balik bertanya dan membuat Kiana semakin penasaran.

Pasalnya buku yang ada di tangan Kiana saat ini adalah buku langka. Satu-satunya karya tulisnya yang tak pernah ia posting dan publikasikan dimanapun. Dan itu hanya ada satu eksemplar saja!

"Barusan dia kesini." Jawab Kiana. "Mama belum jawab pertanyaan Kia, kenapa buku ini bisa ada sama dia?"

"Ya apa salahnya. Sekalian promosi, siapa tahu Rama suka sama ceritanya trus dia nyuruh temen-temennya beli buku kamu."

Kiana menepuk jidatnya. "Ma, buku ini gak dijual."

Sang Mama heran. "Maksudnya?"

Kiana mengembuskan napas pasrah. Sulit baginya untuk menjelaskan. Namun di sisi lain ia juga masih penasaran.

"Kia yang salah. Harusnya buku ini gak dipajang di rak. Udah ya, Ma. Kia mau tidur dulu."

"Loh, Mama mana tau kalau buku kamu gak dijual. Mama minta maaf kalau gitu." Ujar sang Mama merasa bersalah.

"Gapapa, Ma. Kia yang salah, naruh buku sembarangan."

Tak ada bantahan lagi dari sang Mama. Kiana memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjangnya.

Banyak hal yang menari-nari di dalam kepalanya. Kiana mengembuskan napas pasrah dan beralih menyimpan bukunya ke dalam laci.

Buku yang dipinjam oleh Rama itu berjudul 'Hilang, Jangan Dicari'. Tak ada yang membaca buku itu kecuali Kiana dan tim penerbit yang sudah mencetak bukunya. Sebenarnya ia tak masalah jika sang Mama yang mungkin sudah membacanya.

Besar harap Kiana jika Rama tak benar-benar membaca buku itu. Sebab setahunya, Rama bukan tipe orang yang suka membaca.

***

Esoknya, Kiana terpaksa masuk kerja. Entahlah, semangat kerjanya sontak pudar saat disenggol oleh rekan kerjanya beberapa hari lalu. Impian Kiana untuk merasa hidup tentram di tempat kerja pupus sudah.

Kiana tak lagi membawa pulang kerjaannya. Mulai sekarang, waktu luangnya ia gunakan untuk istirahat, sambil memulihkan kondisi tubuh.

Sejauh ini ia masih berusaha betah bekerja, meski beberapa kali disindir akibat tak datang beberapa hari lalu.

Kiana masih bisa menahan omongan-omongan tak enak dari rekan kerjanya, asal jangan dituduh menaruh hati dengan suami orang. Yang benar saja! Kiana jelas masih kesal dengan penyebab resignnya di kafe kala itu.

Notifikasi ponselnya dari tadi berbunyi, menampilkan pesan masuk dari sebuah grup. Siapa lagi jika bukan sahabat SMA nya itu. Mereka kini sibuk menentukan lokasi pertemuan mereka weekend ini.

Kedua sahabatnya masih berdebat mengenai lokasi. Masing-masing dari mereka punya rekomendasi, namun keduanya sama-sama tak setuju dengan pilihan satu sama lain.

Terbesit di benak Kiana hendak bergabung menambahkan rekomendasi tempat lagi.

Anda
Gimana kalau danau?

Pesannya sudah dibaca oleh kedua sahabatnya sejak dua menit lalu. Namun tak ada respon sama sekali.

Ya, danau yang Kiana maksud adalah lokasi staycation pertama yang ia kunjungi dengan teman-teman lainnya beserta mantan pacar mereka kala itu.

Kiana yakin mereka akan menolak dengan alasan takut gamon.

Dania
Lo lagi mimpi, Ki?
Seriusan lo rekomen danau?

Anda
Serius, itupun kalau kalian setuju

Dania
Gue pikir-pikir dulu deh

Medina
2

Kiana mengembuskan napas pasrah. Pegang saja ucapannya, tempat pilihannya pasti akan ditolak dengan seribu alasan sebelum weekend nanti.

***

Diluar prediksinya, ternyata kedua sahabatnya setuju. Tak ada salahnya sih. Lagipula itu hanya sebuah danau. Tapi masalahnya, Kiana dibuat bimbang sebab Mahen katanya akan pulang weekend ini. Kakaknya Mia juga pasti akan ikut pulang. Semua anggota keluarganya berkumpul. Berat untuk Kiana memilih dengan siapa dia menikmati weekend nanti.

Setelah melalui pertimbangan, Kiana meminta sahabatnya untuk tidak bermalam di danau itu, sebab sebelumnya mereka sudah mengatur beberapa kegiatan selama disana. Bahkan Dania berniat hendak menyewa gitar, meski sendirinya tak pandai memainkannya.

Kedua sahabatnya terlihat kecewa, dan Kiana juga bingung hendak bereaksi bagaimana.

Namun pagi ini, semua rencana mereka melesat. Mulai dari mobil yang tadinya hendak mereka sewa, malah mendadak dicancel oleh pemiliknya. Lalu Medina yang harus mengantarkan laporan yang tertinggal ke rumah bossnya. Aneh, padahal bisa via gojek saja. Tapi gadis itu menolak dengan alasan tidak sopan.

Berat untuk Kiana mengusulkan jika pertemuan mereka minggu ini dibatalkan saja. Sebab kedua sahabatnya bersikeras untuk tetap pergi meski harus berangkat masing-masing.

Sebenarnya Medina yang excited. Katanya ia rindu melihat sunset di tepi danau.

Kiana dan Dania sepakat untuk otw lima belas menit kedepan. Mereka akan bertemu di danau sambil menunggu Medina nantinya.

Entah kenapa, pertemuan kali ini keliatan ribet dan terkesan dipaksakan.

Tiga jam perjalanan bukan waktu yang singkat jika ditempuh sendirian. Terkesan suntuk dan jujur Kiana merasa sedikit takut.

Sesampainya di lokasi, Kiana langsung menghubungi Dania. Namun panggilannya tak diangkat oleh gadis itu. Kiana akhirnya memilih menunggu saja daripada ia berjalan ke danau sendirian.

Dua puluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda Dania muncul. Bahkan panggilannya masih belum direspon hingga saat ini. Kiana juga mencoba menghubungi Medina. Namun sialnya, Medina malah disuruh membantu beberapa kerjaan yang belum rampung oleh bossnya.

Matilah!

Sekarang Kiana hanya berharap pada Dania saja. Semoga gadis itu segera sampai dalam beberapa menit kedepan. Kiana benar-benar takut sendirian saat ini, meski sebelumnya ia pernah berangkat sendiri ke tempat ini.

Dania is calling

Kiana semangat menerima panggilan masuk dari sahabatnya itu.

"Ki, lo dimana?"

"Udah di danau. Lo dimana? Gue nungguin dari tadi di bawah."

"Sumpah? Serius lo udah sampai?"

"Iya. Lo dimana sekarang?"

"Sorry banget, Ki. Daritadi gue bolak-balik toilet, diare."

Kiana membulatkan matanya tak santai. Yang benar saja! Itu artinya posisi Dania saat ini masih di rumah! Astaga!!!

"Lo jangan bercanda, Dan. Gue sendirian loh di sini."

"Ki, gue minta maaf banget ya. Gue juga baru dapet kabar dari Medina kalau katanya dia gabisa dateng juga ke danau karena dikasih kerjaan mendadak."

Kiana tak bisa berkata-kata.

"Atau gue suruh sepupu gue jemput lo disana? Gue kayanya beneran gabisa nyusul, Ki. Perut gue gak enak banget."

Kiana tak menjawab apapun. Air matanya tiba-tiba jatuh begitu saja. Terlalu sesak rasanya.

"Ki? Sekali lagi gue minta maaf ya. Kebetulan sepupu gue juga lagi nginep di rumah mertuanya di daerah sana. Gue minta tolong dia buat anterin lo balik ya?"

Kiana menghapus air matanya dengan kasar.

"Gak perlu, Dan. Jangan nyusahin Fahana. Gue bisa pulang sendiri." Kiana memutus panggilan telepon sepihak.

Kakinya melangkah untuk berjalan sendirian menuju danau. Rasanya seperti dejavu. Tapi kali ini perasaannya lebih sakit. Kiana merasa dikhianati. Harusnya ia berani menolak ajakan pertemuan mereka minggu ini dan memilih menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Lihatlah sekarang. Bahkan sahabat-sahabatnya sampai hati membatalkan pertemuan mereka dengan alasan masing-masing. Bukan perkara mudah untuk Kiana bisa sampai di tempat ini.

Dan Dania seenaknya menyarankan untuk minta tolong sepupunya, Fahana untuk mengantarkan Kiana pulang? Yang benar saja! Lebih baik Kiana sendirian daripada harus menyiksa diri dengan melihat istri dari mantan crushnya lagi.

Perasaan Kiana benar-benar campur aduk saat ini. Terlebih saat melihat tak begitu banyak pengunjung yang datang. Paling hanya beberapa dan mereka juga berkelompok.

Tangannya bergerak untuk membuka sling bag, lantas mengeluarkan sebuah masker hitam dan memakainya. Jaga-jaga, siapa tahu air matanya keluar dengan lancang.

Kiana memilih duduk di bawah pohon, tempat yang dulu pernah ia gunakan untuk menulis ending naskah project bersama Aksa.

Suasana pagi ini terlihat cerah. Padahal jika mereka mengikuti agenda kegiatan hari ini, mereka pasti sedang menjelajahi danau ini hingga ke ujung. Tapi sayang, yang hadir hanya Kiana sendiri.

Kiana menatap sekeliling. Ada sekelompok remaja yang sedang piknik di bawah pohon. Sepertinya mereka sedang mencampur makanan bawaan masing-masing. Pasti seru.

Air mata Kiana jatuh lagi. Terbesit di benaknya, apa kehidupan orang dewasa memang sesepi ini? Semua seolah ditanggung sendiri. Memangnya ingin mengadu dengan siapa? Orang-orang juga punya masalahnya masing-masing.

Kiana sontak menghapus air matanya saat seseorang menghampirinya.

"Kak, boleh minta tolong fotoin gak?" Tanyanya. Kiana refleks mengangguk. Ternyata gadis itu adalah salah satu dari kelompok remaja yang sedang piknik di bawah pohon.

Tak bisa menolak, Kiana lantas bangkit dan bantu mengambilkan foto mereka. Butuh berkali-kali jepret, hingga mereka puas dan berterimakasih. Kiana langsung pergi dari sana.

Ia memutuskan untuk menjelajahi danau sendirian. Itung-itung refreshing. Daripada terus-terusan dimintai mengambil foto seperti tadi.

Bunyi jepretan kamera dari arah dekat membuat Kiana sontak mencari sumber suara. Kagetnya saat menoleh ke belakang, seseorang sedang mengarahkan kamera ponselnya pada Kiana.

Orang itu menurunkan ponsel yang menghalangi wajahnya. Kiana sontak membulatkan mata, kaget.

"Lo?" Demi apapun, ia tak berkata-kata saat ini.

Bagaimana bisa ia berjumpa dengan Rama lagi di tempat ini?

"Lo fotoin gue lagi?" Tanya Kiana spontan.

Rama mendekat, lantas memperlihatkan layar ponselnya yang saat ini berisi foto awan.

Sial! Kiana merasa malu.

"Viewnya keliatan bagus pas di atas kepala lo." Jawab Rama tanpa beban.

Kiana bungkam, bingung hendak membalas apa.

"Di sebelah sana viewnya lebih bagus. Airnya lebih jernih." Lanjut Rama.

"Oh?" Kiana mengikuti arah tunjuk lelaki itu. Lalu tanpa sadar juga mengikutinya dari belakang. Mereka kini berjalan menuju lokasi yang bagus menurut Rama.

Rama tak berbohong. Setelah berjalan cukup lama, mereka akhirnya tiba disebuah sungai yang airnya lebih jernih dari sebelumnya. Minusnya, tempat ini sepi.

"Lo kayanya sering ke tempat ini ya?" Tanya Kiana mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

"Baru beberapa kali." Jawab Rama. Selanjutnya lelaki itu sibuk mengangkat ponselnya untuk menjepret pemandangan yang bagus.

Sementara Kiana, berjalan mendekati tepi sungai dan berjongkok melihat arus air yang mengalir. Suasana seperti ini ternyata menenangkan.

Kiana jadi kepikiran untuk menginap di sebuah resort tepi pantai, suatu saat nanti. Pasti sangat menyenangkan.

"Biasanya di tepi sungai banyak lintahnya." Ucap Rama tiba-tiba dan mampu membuat Kiana kaget dan langsung berdiri.

"Itu yang item di kaki lo apa tuh?" Tanya Rama sambil menunjuk Kiana.

Kiana yang geli pada hewan tanpa tulang itu sontak menjauh dari sungai dan menepuk kakinya berkali-kali sambil bergedik geli.

"Sumpah, mana?!" Tanyanya sedikit berteriak. Ia bahkan mendekati Rama dan menarik tangan lelaki itu untuk membantunya mengusir hewan itu jika memang ada.

"Itu." Tunjuk Rama pada kakinya.

"Mana?!"

"Tali sepatu."

"Hah?"

"Warnanya item." Jawab Rama tanpa bersalah.

Kiana melongo tak percaya. Bisa-bisanya lelaki itu bercanda, dan bodohnya dia percaya begitu saja.

Kiana memutuskan pergi dari tempat ini. Bersama Rama lama-lama mungkin akan membuatnya gila. Namun saat berbalik badan, rombongan remaja yang Kiana jumpai sedang piknik di bawah pohon tadi tiba-tiba saja ada di sini. Mereka kompak mematung menatap ke arah Kiana dan Rama dengan tatapan heran, itu keliatan ambigu.

Salah satu dari mereka angkat suara. "Mau dibantuin foto, Kak?"

Kiana lagi-lagi dibuat shock, lantas beralih menoleh pada Rama yang juga bereaksi sama.

Kiana geleng-geleng kepala dan memilih pergi dari tempat itu.

***

Tak langsung pulang, Kiana masih di tempat ini. Sekarang, dia sedang makan bersama Rama. Jangan salahkan Kiana. Lelaki itu tak diajak. Dianya saja yang ikut-ikutan.

"Kok tiba-tiba bisa ada di sini? Biasanya juga sibuk." Kiana memberanikan diri untuk menanyakan ini. Alih-alih mengabaikan kecanggungan mereka setelah setengah tahun berlalu.

"Kan di sini juga sambil kerja." Jawab lelaki itu.

"Lo buka usaha juga di danau ini?"

Rama tertawa garing.

"Soalnya gue masih penasaran. Kenapa kita bisa ketemu di sini berkali-kali?" Tanya Kiana.

Rama kelihatan pura-pura berpikir. "Mungkin takdir."

Kiana mengangguk. "Takdir yang dibuat-buat."

Rama berdehem pelan. "Masih buat novel?"

"Masih."

Rama mengangguk pelan.

"Kenapa? Mau dibuatin cerita juga?"

Rama sontak menggeleng. "Gue udah baca semua buku lo."

Kiana menampilkan wajah tanpa ekspresi. Jelas dia tak percaya dengan ucapan lelaki itu.

"Gue tebak, Zay, Elga, Darka, dan Sadam itu satu karakter yang sama kan?"

Kiana sedikit kaget saat Rama menyebutkan semua nama tokoh utama pria di masing-masing karyanya. Ini serius, lelaki itu telah membaca semua cerita milik Kiana?!

"Udah gue duga. Tapi gue gak setuju kalau karakter Magenta juga orang yang sama. Gak masuk. Gue menolak mentah."

Kiana menutup mulutnya tak percaya. Magenta itu adalah nama tokoh laki-laki di cerita 'Hilang, Jangan Dicari' miliknya yang belum pernah diunggah di sosial media manapun. Salah satu karakter green flag no counter yang pernah ia buat.

"Lo beneran baca semua novel gue?" Tanya Kiana masih tak percaya.

"Nggak. Gue suruh nyokap lo yang bacain."

Kiana menutup wajahnya saat ini. Jujur saja dia malu menangis di hadapan Rama. Tapi entah kenapa dia merasa bangga, hingga air matanya jatuh.

"Eh? Nangis? Gue bercanda. Gue pinjem bukunya dari nyokap lo. Tenang aja, udah dibalikin semua kok. Gak hilang." Lelaki itu lantas menyodorkan tisu pada Kiana.

Setelah menghapus air matanya dengan tisu, Kiana memberanikan diri untuk menatap lelaki di hadapannya. "Gue terharu, baru ketemu pembaca cowok, soalnya yang baca karya gue biasanya cewek semua."

"Gak ada reward nih? Sebagai pembaca cowok pertama di karya lo?"

"Oh iya. Kayanya Kak Aksa juga pernah baca novel pertama gue deh." Gumam Kiana dengan nada pelan.

"Apa?"

Kiana menggeleng. "Hadiahnya traktiran aja gimana? Makanan lo hari ini gue yang bayarin."

"Request yang lain boleh gak?"

"Apa?"

Rama bungkam. Fokusnya beralih pada makanan mereka yang baru saja tiba.

"Nanti aja kalau udah kepikiran." Ucapnya.

***

Setelah makan dan istirahat sebentar, mereka memutuskan untuk kembali pulang. Kiana bersyukur, lagi-lagi Rama menyelamatkannya. Meski sebenarnya ia bisa saja pulang dengan ojol. Tapi lelaki itu sukses membuatnya lupa dengan masalahnya tadi pagi.

Perjalanan pulang kali ini entah memakan waktu berapa lama, pasalnya beberapa kali mereka berhenti untuk mengabadikan foto pemandangan yang indah.

"Lo emang suka ngoleksi pemandangan gini ya?" Tanya Kiana.

Rama mengangguk. "Ada gunanya juga tau."

Kiana mengernyit heran.

"Bisa dipakai buat background."

"Wallpaper?"

"Bisa jadi. Buat background yang isinya quotes dari novel lo juga bisa."

Pipi Kiana terasa panas. Untung saja saat ini ia memakai masker.

"Serius boleh gue pakai?"

"Boleh. Nanti gue kirimin."

"Gratis nih?"

"Mau bayar? Berani bayar berapa untuk karya seorang fotografer?"

Kiana berdehem. "Terserah lo sih. Kalau harganya terjangkau, gue beli beberapa pict."

Mendengar itu, Rama malah tertawa. "Lo serius banget sih? Gue bercanda loh. Nanti gue kirimin di WhatsApp. Anggap aja ini apresiasi sesama seniman."

Kiana tersenyum. Keduanya lantas kembali melanjutkan perjalanan mereka. Entah kenapa hari ini terasa seperti mimpi. Terlalu berbeda rasanya.

***

Mereka akhirnya tiba di depan rumah Kiana. Namun kali ini, lelaki itu tak masuk ke pelataran rumah. Terdengar suara ramai di dalam. Keluarganya memang sedang berkumpul saat ini.

"Mau masuk dulu?"

Rama menggeleng. "Gue mau balik ke toko aja."

"Okey. Btw, makasih banyak ya hari ini."

"Gue mau minta request yang tadi."

"Apa?"

Baru saja Rama hendak bicara, pintu rumahnya terbuka. Keduanya sama-sama kaget. Kiana lantas memberikan kode agar lelaki itu segera pergi, dan ya, Rama langsung tancap gas dari tempat itu.

"Kia? Kok malah diem di sana? Ayo masuk." Yang membuka pintu rumahnya adalah Tante Ambar.

Kiana malah canggung sendiri. Dalam hati sebenarnya dia merutuk. Ia pikir ini acara keluarganya. Eh ternyata saudara dari orang tuanya juga ikut hadir.

***

Anak Tante Ambar katanya akan melangsungkan pernikahan secepatnya. Itu sebabnya wanita itu datang ke sini untuk memberitahu, sekaligus berjumpa dengan Mahen, keponakannya.

Entah sudah berapa kali Kiana mendengar kabar pernikahan orang-orang dalam setahun ini.

"Kia kapan nyusul? Usia Arum padahal setahun lebih muda dari kamu loh. Jangan kelamaan, kasian Mahen. Siapa tau ada planning mau nyusul juga dalam waktu dekat. Katanya Mahen udah punya pacar di sana. Masa kamu kalah sama adik kamu."

Nah, kan. Omongan tantenya yang satu ini, benar-benar membuat Kiana jengkel. Andai saja ada tombol mute di tubuh Tante Ambar, sudah sejak lama Kiana menekannya dengan excited.

"Kalau Mahen mau nikah duluan, gapapa kok." Jawab Kiana namun sontak membuat keluarganya berhenti beraktivitas dan menatapnya.

"Jangan asal bicara, Kia." Tegur sang Mama.

Kiana mengembuskan napas pasrah. Seperti biasa, menikah adalah pencapaian terbesar bagi orang-orang.

Selanjutnya Tante Ambar kembali mengambil alih obrolan dengan menceritakan putrinya dan calon menantunya. Kiana lebih suka topik ini daripada sebelumnya.

Kiana lupa jika sejak di danau tadi, ia mematikan data seluler ponselnya. Ini karena kecewa dengan Dania yang tak jadi datang tadinya, makanya Kiana melakukan itu.

Begitu dihidupkan, ada beberapa notifikasi masuk dari WhatsApp. Termasuk Dania.

Dania
Ki, sorry udah ngeprank lo ya
Tapi Rama udah nyusul kan?
Rama udah sampai di sana belum?
Lo gak akan sendiri kok
Sorry juga sebenarnya Medina ada di rumah gue sekarang
Dia sama sekali gak ada tambahan kerjaan dari kantor
Tapi untuk perut gue yang diare, gue gak bohong, Ki
Kayanya gue kena batunya
Maafin gue ya

Kiana cukup kaget membaca pesan dari Dania. Ternyata benar, pertemuannya dengan Rama tadi hanya dibuat-buat. Bukan takdir Tuhan yang tak direncanakan.

Selanjutnya Kiana membaca chat dari Medina.

Medina
Ki, lo udah baca chat Dania?
Kita berdua minta maaf ya, Ki
Kalau lo mau marah, ke Rama aja
Eh, tapi Dania juga ikut ngasih ide sih
Tadinya Rama pengen nyusul aja pas kita bertiga ngumpul
Tapi coba jawab jujur, lebih enakan ketemu berdua kan?Wkwk
Jangan marah ya, Ki
Yang kita lakuin ini juga demi kebaikan lo ✌🏻

Kiana lantas membalas pesan sahabatnya satu-persatu, lantas beralih membalas chat dari nomor yang tak dikenal.

Ternyata nomor itu berasal dari pemilik nama Brahma Wijaya. Yap! Dia Rama.

Lelaki itu mengirimkan 30 foto pemandangan hasil jepretannya.

Anda
Makasih banyak
Btw tadi lo mau request apa sebagai hadiahnya?

+62821234567****
Gak muluk-muluk

Anda
Apaan?
Jangan yang limited edition ya
Gak sanggup

+62821234567****
Gue mau cerita Magenta dipublikasikan

Pipi Kiana terasa panas. Tanpa sadar bibirnya melengkungkan senyum.

"Kenapa lo?" Tanya Mia yang kebetulan duduk di sebelahnya.

Kiana menggeleng, lantas pamit untuk masuk ke dalam kamar. Persetan jika dianggap tak sopan karena meninggalkan tamu. Tante Ambar jelas bukan tamu. Dia adik dari Mamanya. Jadi santai sajalah.

Anda
Kenapa?

+62821234567****
Sayang kalau cuma dicetak satu doang
Siapa tau yang lain tertarik untuk baca

Bukan itu maksud Kiana. Kenapa Rama bisa tau jika ia belum memublikasikan cerita 'Hilang, Jangan Dicari'? Apa lelaki itu sempat memantau profilnya di platfrom?

Pikiran Kiana sudah berkelana. Gairahnya untuk kembali terjun ke dunia kepenulisan membuncah. Terbesit di benaknya untuk memublikasikan satu bab langsung hari ini di platformnya. Apa langsung lima bab saja ya? Semangat Kiana sontak membara.

Anda
Bisa dipertimbangkan
Tapi yakin, lo cuma minta itu?

+62821234567****
Yakin

Kiana tak bisa berkata-kata. Apa untungnya itu bagi Rama? Apa ini cuma rayuan semata?

Sial!

Bisa-bisanya Kiana berpikir ini adalah rayuan.

+62821234567****
Lusa gue balik

Senyum Kiana sontak pudar. Memangnya mau berharap apa dari seorang Rama?

Anda
Okey
Sebelum pulang, mampir ke rumah dulu ya
Gue mau ngasih sesuatu

+62821234567****
Iya
Besok mau temenin gue?

Anda
Kemana?

+62821234567****
Ada lah

Anda
Okey

Selesai chatingan dengan lelaki itu, Kiana langsung menyimpan kontaknya. Sebab sebelumnya mereka hanya berinteraksi lewat Instagram saja.

***

Hari ini Kiana tak masuk kerja. Sejak pagi ia sudah keluar rumah untuk mencari kado yang akan ia berikan pada Rama. Terlebih hari ini dia sudah janji akan pergi bersama lelaki itu. Kiana akan memberikannya langsung hari ini.

Cukup lama Kiana berkeliling di mall sambil berpikir barang apa kira-kira yang cocok untuk diberikan pada Rama. Ia sempat menelpon Maisa untuk membantunya, namun tak disangka gadis itu malah menyusulnya ke tempat ini. Alhasil Kiana menghabiskan waktu setengah hari bersama Maisa untuk mencari kado.

Setelah selesai membeli kado, Kiana meminta Rama untuk menjemputnya. Sebenarnya ia malas untuk kembali ke rumah karena menurutnya membuang-buang waktu dan takut menarik perhatian orang-orang.

Awalnya mereka berhenti untuk makan sebab Rama belum makan siang. Sebenarnya Kiana sudah makan bersama Maisa tadi. Namun Rama memaksanya untuk ikut makan, meskipun hanya makanan ringan. Terkesan ngatur, dan Kiana hanya bisa nurut.

Selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kiana tak tahu ingin dibawa kemana oleh Rama. Tapi yang pasti, kali ini ia percaya lelaki itu tak akan macam-macam.

Cukup panjang perjalanan yang mereka lalui, dan ternyata Rama membawanya ke sebuah pantai.

"Kali ini lo mau ngambil foto pemandangan pantai?" Tanya Kiana.

"Gak juga sih."

"Terus?"

"Pengen kesini aja."

Kiana mengernyit heran, namun tetap mengikuti langkah Rama.

"Coba berdiri di sana." Ucapnya.

"Hah?" Kiana sempat bingung, namun tetap menuruti ucapan lelaki itu. Pikirnya, Rama akan memotret awan lagi di atas kepalanya.

Tak ada yang Kiana lakukan selain mematung, sementara Rama sibuk mengatur angle kamera yang bagus menurutnya.

"Okey, bagus." Ujarnya, lantas melangkah menuju Kiana dan mengajaknya pergi sambil menggenggam tangannya. Sedikit terkejut, namun Kiana tak membantah sama sekali.

"Neduh di sana enak kayanya tuh." Ucap Rama sambil menunjuk tempat di bawah pohon.

Begitu mereka duduk di pasir itu, ponsel Kiana bergetar, menandakan ada pesan masuk. Penasaran, Kiana langsung membukanya. Ternyata pesan itu dari Rama. Lelaki itu mengirimkan hasil fotonya beberapa menit lalu.

Rama bukan hanya memotret awan. Tapi dengan Kiana sekaligus. Lelaki itu memotretnya dari samping, hingga Kiana malah terkesan candid disana.

Alih-alih bahagia, Kiana malah ingat jika kebiasaan yang Rama lakukan sekarang, dulunya pernah ia lakukan juga pada Fahana.

"Thanks, fotonya."

"Gak bagus ya? Mau ngulang lagi?"

Kiana menggeleng. "Udah bagus kok. Hasil foto lo gak pernah ngecewain."

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. "Atau mau foto pakai novel ini?"

Siapa sangka ternyata lelaki itu membawa novel pertama Kiana yang berjudul Kunang-kunang. Jujur, Kiana tak habis pikir dengan semua hal yang dilakukan Rama akhir-akhir ini.

"Eits, untuk yang ini gue beli sendiri ya. Buku yang lain emang minjem punya lo sih."

"Padahal kalau lo mau, gue pasti kasih kok." Balas Kiana.

"Gapapa, itung-itung mengapresiasi. Gimana? Mau gue fotoin pakai ini?"

Kiana menggeleng. Ia lantas memberikan paper bag yang sedari tadi ia bawa.

"Besok lo mau balik kan? Dulu gue pernah janji bakal ngasih sesuatu. Semoga lo suka."

"Tumben inget? Boleh gue buka sekarang gak nih?"

"Nanti aja di rumah."

"Oke."

"Ram..."

"Hmm?"

"Kenapa tiba-tiba tertarik baca buku?"

"Ya gapapa, sambil ngisi waktu luang." Jawabnya.

Kiana tak yakin dengan jawaban lelaki itu. Waktu luang apanya? Sudah jelas-jelas Muti menyebut lelaki itu terlalu sibuk hingga tak bisa hadir saat para bridesmaid dan groomsmen sibuk mengukur baju dengan Kiana.

Kiana mengembuskan napas pasrah. Ia lantas menatap Rama dari samping. "Gue minta maaf untuk kematian Fauna waktu itu."

Tak ada reaksi apapun dari lelaki itu.

"Maaf juga udah nuduh mantan lo macem-macem. Lo emang bener. Gue lagi gila waktu itu."

"Sama." Balas Rama. "Gue juga lagi gila waktu itu. Gak seharusnya gue ngomong gitu. Apalagi ke cewek."

"Kayanya ini pertemuan terakhir kita sebelum kembali ngerasa asing lagi deh." Ucap Kiana.

"Kenapa?"

"Ya gapapa. Lo juga mau balik lagi ke kota lo kan?"

"Kan gue masih bisa kesini sesekali."

"Tetep aja. Semuanya gak akan sama lagi."

"Lo mau ikut sama gue?"

"Nggak lah, gila!"

"Terus gimana caranya biar gak asing?"

Kiana tertawa sumbang. "Gak harus ngapa-ngapain. Toh semuanya punya takdir masing-masing."

Kiana melanjutkan ucapannya. "Pokoknya, suatu saat nanti, kalau lo udah ketemu pasangan yang tepat, jangan lupa undang gue ya." Ucap Kiana sambil tersenyum.

"Lo juga ya." Balas Rama.

Senyum Kiana memudar. Entah kenapa balasan lelaki itu terdengar jahat di telinganya. Ah, sial! Otaknya sudah tidak sinkron lagi sekarang.

"Janji gak nangis kalau gue nikah nanti ya?"

Sial! Perjanjian macam apa itu?! Tapi bodohnya, air mata Kiana malah jatuh begitu saja. Merasa malu, dan takut dilihat oleh Rama, Kiana menoleh ke arah samping.

Namun sebuah tangan berukuran besar tiba-tiba mendarat di pipinya dengan lembut. Rama membawa Kiana untuk bersandar di bahunya.

Kiana cukup terkejut dengan perlakukan mendadak itu. Tak bisa dipungkiri sebenarnya Rama juga kaget dengan dirinya sendiri.

Namun karena situasinya sedang mellow saat itu, Kiana tak bisa lagi menutupi air matanya.

"Canda. Gue tunggu lo nikah." Ucap lelaki itu, mampu membuat Kiana semakin menangis.

"Gak usah hibur gue! Jangan tunggu gue, karena sampai kapanpun gue gak akan nikah! Entahlah apa mungkin jodoh gue udah di surga kali ya? Sampai rasanya sepasrah ini. Gue tau omongan kita hari ini cuma sekedar bullshit. Tapi gue gak main-main sama omongan gue tadi, gue seneng kalau liat lo nikah suatu saat nanti, Ram."

Rama bungkam. Kiana buru-buru mengubah posisi duduknya dan menghapus air matanya.

Ah, bodohnya! Bisa-bisanya dia menangis tersedu-sedu di hadapan calon suami orang!

"Gue tunggu lo siap." Ucap Rama tiba-tiba.

Kiana tak bisa berkata-kata.

***

Pagi ini, Kiana hendak bersiap-siap untuk berangkat kerja. Saat baru hendak mandi, ia mengurungkan niatnya sebab ponselnya bergetar.

Ada pesan masuk dari Rama.

Kak Rama
Gue masih boleh dateng ke rumah lo kan?

Anda
Boleh
Tapi mau ngapain?

Kak Rama
Mau pamit
Gue otw ya

Kiana buru-buru lari ke kamar mandi. Cukup sekali Rama melihat wajah kucelnya tempo hari.

Baru saja keluar dari kamar mandi, ia mendengar suara pintu utama yang dibuka. Tampaknya sang Mama yang membukanya di depan sana.

Rama pasti sudah tiba.

Kiana buru-buru keluar rumah, hingga Mamanya heran.

"Loh? Kirain masih tidur." Ucap wanita itu.

Seperti biasa, sang Mama memberikan makanan untuk bekal perjalanan Rama pulang.

Melihat Kiana yang baik-baik saja di depan Rama, Mamanya kini paham. Mereka pasti sudah baikan. Sebab ia ingat betul dengan kejadian sore itu di depan rumah. Kiana sekesal itu pada Rama hingga melarang lelaki itu untuk menginjakkan kaki di rumah ini.

"Ada apa nih? Mama ketinggalan berita apa?" Tanya sang Mama sambil tersenyum penuh arti.

Kiana menggeleng. "Gausah mikir macem-macem, Ma. Kia udah punya pacar."

"Rama juga, Tante." Jawab Rama ikut-ikutan.

Sang Mama mengernyit heran. "Mama gak nanya loh padahal."

Kiana merutuki kebodohannya di dalam hati. Ia lantas beralih mengambil piring bekas makanan kucing di lantai.

"Di sini ternyata." Alibinya.

"Mau ngasih makan Flora?" Tanya sang Mama yang percaya jika Kiana keluar rumah untuk mengambil sesuatu.

"Iya, Ma. Dia lagi main di kamar Kia soalnya."

Mamanya mengangguk. Kia lantas pura-pura masuk ke dalam rumah. Tapi sebenarnya, dia masih berdiri di depan pintu.

Ada rasa bahagia saat melihat pemberiannya langsung dipakai oleh lelaki itu. Kiana memberikan hoodie berwarna hitam, dan itu keliatan cocok di tubuh Rama. Lelaki itu terlihat keren dari biasanya.

"Flora siapa Tante?" Tanya Rama.

"Itu, kucing baru. Papanya Kia nemuin di jalanan pas berangkat sholat."

Rama mengangguk kecil.

"Nak Rama, Tante gak bermaksud ngingetin kamu sama Fauna. Jangan sedih ya."

"Gapapa kok, Tante." Lelaki itu beralih menghidupkan mesin motornya. "Rama pulang ya, Tante."

"Hati-hati di jalan ya."

"Iya, Tante. Makasih banyak untuk makanannya."

Sebelum pergi, Rama menatap seseorang yang sedang mengintip di balik pintu. Sambil tersenyum, ia mengedipkan sebelah matanya dan langsung keluar dari pelataran rumah Kiana.

Mamanya Kiana sempat melihat gelagat aneh Rama barusan. Ia lantas melirik ke dalam rumah. Dapat dilihatnya saat ini Kiana baru saja masuk ke dalam rumah sambil tergesa. Mamanya Kiana hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah putrinya itu.

***

Kiana merasa sangat semangat setelah pulang kerja saat ini. Setelah beres-beres, ia langsung berkutat pada laptopnya.

Kiana adalah seorang penulis yang pernah mengalami fase pasrah terhadap karyanya. Sudah berkali-kali menawarkan naskahnya pada penerbit impian, namun tak pernah lolos hingga detik ini. Menolak lupa saat ia kebelet terbit, namun hasilnya nihil. Hingga saat ini Kiana menyesal karena salah pilih rumah untuk karya tulisnya.

Sempat memutuskan untuk berhenti. Sebab dibuat kecewa oleh laki-laki yang ia jadikan sebagai tokoh utama di setiap karyanya.

Bahkan naifnya, ia pernah berucap untuk tidak menikah seumur hidup karena trauma terhadap beberapa hubungan yang kandas dan retak di depan matanya.

Bukan tidak mau menikah. Hanya saja itu adalah asumsi saat ia sedang terpuruk dalam kesendirian. Setelah mencoba menjalani hidup versinya dengan sendirian, Kiana menyimpulkan jika ia tak bisa begini terus selamanya.

Ia juga butuh teman cerita. Namun sahabat-sahabatnya tak selamanya punya waktu untuk menjadi pendengarnya. Makin kesini, Kiana paham. Ternyata itu fungsinya pasangan. Kiana bukan tidak mau menikah. Tapi dia hanya belum menemukan orang yang tepat.

Seperti Rosa, kakak kost yang dulunya pernah sama-sama berjanji untuk tidak menikah, tapi nyatanya malah nikah duluan dan sekarang hidup bahagia dengan suaminya.

Tapi Kiana tak ingin buru-buru. Biarlah coba dijalani seiring berjalannya waktu. Sebab pernikahan adalah hubungan yang sakral. Bukan sekedar akad, resepsi, lantas besoknya langsung berharap punya keturunan. Sekali lagi semuanya butuh proses dan tak perlu tergesa-gesa.

Kiana tak masalah jika dia adalah orang terakhir yang menikah di antara sahabatnya nanti.

Yang penting sekarang adalah jiwa-jiwa cegilnya yang gemar mengejar itu kembali bangkit. Jika karya-karyanya sebelumnya tak mampu menarik perhatian penerbit impian, maka akan Kiana pastikan di karya berikutnya ia akan gencar melakukan promosi agar bisa dilirik penerbit impiannya. Feeling-nya, kali ini pasti akan berhasil. Insyaallah.

Jika mengejar seorang lelaki pernah berakhir kalah, maka kini ia akan pindah haluan untuk mengejar penerbit Angkasa. Akan Kiana tunjukkan bahwa jiwa cegil di dalam dirinya ini masih menggebu.

Sebab mendapatkan hati lelaki yang ia kagumi selama bertahun-tahun itu sudah tak mungkin lagi sekarang, oleh karenanya Kiana harus banting stir dengan kerja keras agar karya tulisnya bisa terpampang di rak best seller Gramedia seluruh kota.

Astaga! Kiana terlalu bersemangat.

Kiana tak pernah didukung sepenuh ini sebelumnya. Perjuangan menulisnya biasanya ia lalui sendiri. Tapi sekarang, Kiana merasa bangga, ada orang yang ikut andil membantunya untuk kembali berjuang.

Kiana tahu bahwa tak ada hubungan yang abadi di dunia ini. Tapi dia berdo'a, semoga di tengah perjalanannya untuk berusaha membesarkan karyanya ini hubungannya dengan orang itu masih baik-baik saja. Sebab Kiana ingin mengabadikan lelaki itu di novel selanjutnya.

Brahma Wijaya akan abadi di lembar pertama novelnya suatu saat nanti.

Maksudnya di lembaran ucapan terima kasih.

Hitung-hitung sebagai hadiah sebab lelaki itulah yang meminta Kiana agar memublikasikan karya barunya disaat Kiana ragu dengan tulisannya sendiri.

Dan Kiana pastikan, apapun yang terjadi kedepannya, ia tak akan berhenti lagi.

***

END

Hallo!

Bagaimana perasaan kalian setelah membaca part terakhir ini?

Aku akui mungkin alur part ini terkesan buru-buru, dan ada beberapa yang mungkin belum dibahas tuntas(?) Tolong ingetin aku untuk beberapa kesalahan yang gak sengaja aku lupa ya. Soalnya nyelesain cerita ini di tengah mumetnya kepala menghadapi kerjaan yang gak ada habisnya sambil menyaksikan karakter unik orang-orang di sekitar.

Bagi pembaca lama, mungkin gak asing ya dengan nama tokoh Zay, Elga, Darka dan Sadam yang aku bawa-bawa di part ini. Sebenarnya gak ada sangkut-pautnya sih. Aku lagi males mikir, makanya pakai nama-nama tokohku di cerita sebelumnya aja hehe.

Finally, dalam hitungan beberapa jam kedepan drama 2024 yang unexpected ini berakhir ya.

Btw, apa drama ter-unexpected versimu di tahun ini? Boleh banget komen di sini ya, biar lega. Kamu gak sendirian kok.

Sekali lagi, makasih buat kalian pembacaku yang tercinta. Makasih banget udah sabar menunggu cerita ini hingga selesai. Btw aku suka bolak-balik ngecek viewers cerita ini loh. Cukup bangga pas tiap kali dicek, viewsnya nambah. Thank you❤️

Sebenarnya agak sedih rasanya namatin cerita ini. Soalnya masih candu buat nerusin cerita Kiana. Tapi kebanyakan part juga pastinya bakal bikin bosen. Ribet juga kedepannya.

Aku minta do'a dan supportnya ya untuk cerita 'Kita Pernah Berhenti', semoga suatu saat bisa menemukan rumah yang tepat. Seperti biasa part ini memang yang terakhir di Wattpad, special part nya bakal aku kasih di versi cetak suatu saat nanti, gatau kapan hehe.

Tenang, aku masih nulis cerita kok. Boleh request dong, kedepannya mau aku tulisin genre apa?

Oiya, untuk cerita 'Kita Pernah Berhenti' ini, tolong ambil sisi positifnya saja ya, walaupun secuil. Ada beberapa hal buruk yang gak perlu ditiru di sini. Aku harap kalian bisa bijak.

Ditiru maksudku disini sebagai contoh untuk real life ya. Bukan berarti meng-copy paste ceritanya. Tolong jangan disalahartikan.

SEKALI LAGI, DON'T COPY MY STORY! CERITA 'KITA PERNAH BERHENTI' INI MATI-MATIAN AKU SELESAIKAN SAMPAI AKHIR. TOLONG HARGAI KERJA KERAS ORANG LAIN. AKU GAK BAKAL DIEM AJA KALAU TAU ADA YANG PLAGIAT CERITA INI!

Maaf kalau marah-marah.

Berhubung ini part terakhir, tolong dong komen suka-dukanya baca cerita ini? Yakali dari awal baca sampai akhir gak ninggalin jejak. Kalau kalian malu komen di sini, DM aku aja gapapa. Dengan senang hati bakal aku respon kok.

Aku tunggu ya!

Follow me on:

Tiktok: @natasya_naa

Instagram: @natasya.ylr

Awal publish: 11 Maret 2024
Akhir publish: 31 Desember 2024

See you next story!👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top