Bab: 62

Tak bisa menolak saat ada yang datang untuk bercerita. Meski sendirinya sungkan melakukan hal yang sama. Namun malah dinilai hidup tentram oleh mereka.

***

Sebuah pencapaian bagi Kiana saat karya tulisnya dibaca oleh sang Mama. Jujur saja Kiana malu dengan beberapa adegan yang ia tulis di buku-bukunya. Tapi untung saja Mamanya tak menyinggung itu, dan mereview beberapa moment yang berkesan saja.

Kiana terharu sebab sang Mama bilang sempat menangis saat membaca bukunya. Begitu ditanya judul yang mana, Mamanya malah lupa.

Hari ini ia sengaja pulang ke rumah untuk menitipkan pesanan Muti yang besoknya akan dijemput oleh Rama. Kata Muti, besok Rama akan mampir ke kota ini untuk memantau tokonya.

Sengaja Kiana titipkan di rumah Mamanya, sebab tempatnya dekat dengan toko lelaki itu.

Malam ini ia tak bisa menginap di rumah sang Mama, sebab masih ada jahitan yang belum rampung.

"Mama mau tanya sesuatu." Ujar sang Mama saat mengantar Kiana ke depan, sambil menunggu pesanan gojeknya.

"Mau tanya apa, Ma?"

"Buku kamu-" Ucapan Mamanya sontak terhenti begitu pesanan gojek Kiana tiba di depan rumah.

"Kenapa, Ma?"

Sang Mama lantas menggeleng. "Udah, buruan naik. Nanti kemaleman. Hati-hati di jalan ya. Kalau hari ini capek, dilanjut besok aja kerjaannya. Ingat, kesehatan nomor satu."

"Okey, Ma!"

Seolah tak ada capeknya. Bahkan saat tiba di rumah, dan selesai bersih-bersih pun, Kiana tetap melanjutkan pekerjaannya.

Kiana merasa tingkat kedewasaannya kini bertambah, sebab ia sudah jarang mengeluh sekarang.

Atau lebih tepatnya, tak ada tempat untuk menampung keluhnya 24/7. Beberapa rekan kerjanya di tempat jahit ini didominasi oleh wanita yang sudah berkeluarga. Mereka kebanyakan lebih fokus bekerja, dan jika bicarapun paling sebatas curhat masalah rumah tangga. Untungnya tak ada yang julid saat Kiana membawa kerjaannya pulang. Tapi tetap, Kiana bersyukur di tempat kerja yang sekarang.

Perhatian Kiana beralih pada notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Kiana lantas membukanya. Ternyata pesan masuk itu dari Mamanya.

Mama
Temen Mama boleh pinjem novel kamu?😊

Kiana merasa tergelitik saat membaca chat dari Mamanya. Bisa-bisanya buku fiksi remaja yang ia tulis disebarluaskan di kalangan teman-teman Mamanya. Jelas saja Kiana malu. Tapi tak masalah, selagi Kiana tak bertemu langsung dengan teman Mamanya itu, Kiana akan meredam rasa malunya.

Anda
Boleh Ma🤭

***

Hari ini Kiana memutuskan untuk free setelah pulang kerja nanti. Ia akan bertemu dengan temannya, Maisa. Ya meski obrolannya tak lepas dari seputar menjahit.

Sambil menjinjing tas berwarna apricotnya, Kiana berjalan santai memasuki kawasan mall sendirian. Maisa sudah lebih dulu tiba sekitar sejam yang lalu. Untungnya gadis itu tak keberatan menunggunya.

Akhir-akhir ini Kiana lebih dekat dengan Maisa dibanding dengan sahabat-sahabatnya. Begitu pula dengan Medina, Dania dan Balqis, mereka juga sibuk dengan teman dekatnya masing-masing, tapi tetap mereka tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertemu sebulan sekali.

Sebenarnya Kiana malas berjalan sendirian di tempat umum ini. Harusnya ia menyuruh Maisa untuk menunggunya di lantai satu tadinya.

Sekarang, Kiana sibuk menghubungi gadis itu untuk menanyakan keberadaannya.

Kata Maisa, ia sedang berada di lantai tiga dan sedang menunggu di outlet ramen.

Tanpa basa-basi, Kiana langsung naik ke lantai tiga.

Ia berjalan pelan, mengitari satu-persatu outlet makanan, namun tak menemukan tempat yang dimaksud Maisa. Akhirnya, Kiana memutuskan untuk kembali menghubungi gadis itu.

Dan ya, ternyata Maisa salah. Letak outletnya ada di lantai dua!

Kiana terpaksa kembali turun. Namun tanpa disangka, ia berpapasan dengan sepasang kekasih yang ia kenal.

Kiana sempat menahan napasnya sebentar. Matanya beradu pandang dengan si pria, hanya sekilas, sebab posisi mereka berlawanan.

Setelah melewati pasangan itu, Kiana mengembuskan napasnya pelan. Jantungnya berdegup kencang saat ini. Tak pernah terbayangkan olehnya jika akan bertemu kembali dengan Aksa setelah pria itu menikah.

Tubuhnya berkeringat dingin saat ini. Pikirannya ngeblank. Untung saja dari kejauhan ia melihat Maisa yang melambaikan tangan padanya.

"Yuk masuk. Gue rela ngantri lama buat dapetin tempat duduk di ujung sana asal lo tau." Ujar gadis itu. "Astaga, kok tangan lo sampai dingin gini? Abis dikejar setan ya tadi?"

Kiana menggeleng.

"Lah, trus?"

"Udah pesen makanan?" Kiana mengalihkan pertanyaan.

"Belum lah. Gue kan nungguin lo. Udah kering juga nih tenggorokan."

"Yaudah yuk, pesan."

Waiters tiba-tiba datang membawakan segelas minuman.

Maisa nyengir. "Haus banget gue. Tenang, makanannya belum dipesan kok."

Kiana lantas melakukan scan barcode. Jujur saja pikirannya masih berantakan saat ini. Bahkan ia sudah mencoba fokus untuk memilih makanan pun, tak bisa.

"Gue ngikut lo aja, Mai." Ucapnya akhirnya.

"Lah? Serius selera gue nih? Yang ini aja gimana?" Maisa lantas menunjukkan menu pilihannya.

"Boleh tuh." Jawab Kiana tanpa pikir panjang.

***

Setelah memilih outlet makanan yang pas menurut istrinya, Aksa izin pamit sebentar dengan alasan menjemput ponselnya yang ketinggalan di mobil.

Fahana, istrinya sempat heran namun tak banyak tanya. Ia hanya mengangguk dan membiarkan dirinya ditinggal sendirian. Lagipula hanya sebentar.

Aksa kembali turun ke lantai tiga. Ponsel ketinggalan itu hanya alibinya saja. Nyatanya, benda itu ada di saku celananya. Dua kali ia putari tempat yang sama, namun hasilnya nihil.

Padahal baru sekitar sepuluh menit lalu ia bertemu dengan orang itu di sini.

Di tempat seluas ini, mustahil rasanya menemukan keberadaan seseorang tanpa ada komunikasi dua arah sebelumnya.

Bersitatap dalam waktu kurang lebih lima detik itu membuat Aksa yakin jika ia tak salah lihat. Kiana juga ada di sini.

Aksa berniat kembali turun untuk mencari gadis itu, namun omongan seseorang langsung terbesit di benaknya.

"Kiana gak akan sudi ketemu lo lagi di kebetulan apapun. Di mata Kiana, lo cuma laki-laki pengecut!"

Aksa sontak menghentikan langkahnya. Tampaknya takdir mereka sudah dirancang seperti ini. Mau berapa kalipun mereka dipertemukan sekilas, keduanya akan bertingkah seolah asing. Mau bagaimana lagi, Aksa sudah menikah, dan ada hati yang harus ia jaga.

Tampaknya memang sudah takdir jika Aksa tak perlu menjelaskan, dan Kiana juga tak perlu mendengarkan apapun darinya.

Selanjutnya, Aksa kembali naik menyusul istrinya.

***

Kiana mencoba bertingkah baik-baik saja di hadapan Maisa. Beberapa pertanyaan yang tadinya ingin ia tanyakan pada Maisa seputar menjahit langsung buyar.

"Yakan, gue masih belum ketemu jawaban dari duluan mana, ayam apa telur. Menurut lo gimana?" Maisa sengaja mengalihkan pembicaraannya, sebab sejak tadi ia merasa Kiana kurang fokus mendengarkan curhatannya.

Kiana membalas dengan berdehem pelan sambil mengangguk.

"Apaan njir? Daritadi gue perhatiin lo gak fokus tau gak. Lo kenapa sih? Kecapekan banget?" Tukas Maisa.

Kiana menyandarkan tubuhnya di kursi. "Gatau nih. Mungkin karena efek gila kerja kali ya?"

"Wah, jangan sampai beneran gila lo, Ki." Ucap Maisa. "Lain kali kalau mau ketemuan mending siangan. Kalau malem lo udah ngelantur soalnya. Pulang aja gimana? Gue anterin balik deh."

Kiana berpura-pura melirik jam tangannya. Padahal sebenarnya ia takut untuk keluar dari tempat ini. Ia takut Maisa juga bertemu dengan Aksa, dan membahas hal ini dengannya.

Kiana tak siap membongkar luka lamanya lagi.

"Bentar lagi deh. Tadi sampai mana?"

Maisa hanya bisa mengembuskan napas pasrah, dan kembali melanjutkan curhatannya.

***

Kembali ke rumah, bersih-bersih sebentar, dan mengambil buku catatan. Sudah lama tak menulis, pikir Kiana.

Moment tak sengaja bertemu dengan mantan crush yang sudah menikah itu harus diabadikan. Siapa tahu suatu hari berguna untuk bahan menulis.

Namun bukan itu yang Kiana tulis. Pikiran di kepalanya seolah tak singkron dengan hatinya.

Tidak Menikah,

Setelah menulis itu, Kiana termenung. Meletakkan tanda koma di akhir kalimat menandakan sebenarnya dia masih bimbang.

Melihat raut bahagia di wajah mantan crushnya dan istrinya serta cerita bahagia Maisa seputar hal sweet dari suaminya bukan membuat Kiana tertarik untuk menikah juga. Tapi malah membuatnya merasa tidak pantas dan takut.

Manusia mati rasa ini masih sering menyiksa dirinya sendiri. Bagaimana bisa dituntut untuk menyayangi orang lain?

Akan jadi poin plus di mata orang-orang jika kamu adalah seorang yang penyayang. Bukan pribadi yang cuek, keras kepala dan berjiwa psikopat.

Bertanya-tanya kemana perginya jiwa lemah lembut khas wanita itu? Tiba-tiba mati hanya karena gagal mendapatkan cinta dari laki-laki yang ditunggunya bertahun-tahun lalu.

Sekarang terpaksa meneruskan hidup. Menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan teman-teman yang punya waktu. Mungkin nanti mereka akan sibuk dengan pasangan masing-masing. Tidak terkejut, sebab mereka masih punya jiwa yang utuh meski pernah disakiti masalalunya.

Padahal lumrah jika hati merasa patah, sebab nanti pasti akan kembali berbunga.

Tapi perjalanannya akan selalu begitu jika orangnya adalah aku. Datang, lalu pergi. Orang-orang akan bertahan jika kamu waras. Itu saja.

Oleh karenanya sekarang belajar hidup sendiri. Jauh dari keluarga. Agar terbiasa mengandalkan diri sendiri. Sebab pilihan untuk tidak menikah itu sulit. Padahal salah satu impian adalah keliling dunia.

Tapi ngomong-ngomong, yakin bisa sendirian?

Kiana menghentikan tulisannya. Sebenarnya ini bukan outline ceritanya, tapi lebih ke curhat. Tiba-tiba saja Kiana ingin bercerita panjang, tapi tak tahu hendak ke siapa. Oleh karena itu, ia menulis isi kepalanya agar merasa lega.

Selain tidak mengganggu waktu luang orang lain, positifnya orang-orang juga akan berpikir bahwa hidupnya keliatan damai sebab jarang bercerita.

***

Seminggu berlalu, kini Kiana berangkat dengan sang Mama menuju airport. Mamanya diundang di acara pernikahan Muti. Padahal tadinya Kiana berniat untuk tidak hadir dengan alasan mendadak lembur kerja. Namun Mamanya memaksa agar mereka harus pergi.

Setibanya di kota itu, mereka langsung beristirahat di hotel untuk semalam saja, sebab besoknya setelah pulang dari acara nikahan Muti, mereka langsung kembali pulang.

Kiana mempersiapkan penampilannya sebaik mungkin. Sudah lama ia tak pergi ke acara nikahan orang lain.

"Nanti, setelah pulang dari acara nikahan, Mama mau mampir ke rumah temen Mama dulu. Kamu mau temenin Mama kan?" Tanya sang Mama.

"Hah? Tumben Mama punya temen di luar kota." Balas Kiana.

"Kamu jangan ngeledek Mama. Mau temenin Mama gak?"

Kiana bergumam, lantas menjawab. "Kalau gitu Kia mampir ke rumah Balqis aja deh. Nanti kalau Mama udah selesai, telpon Kia aja, okey?"

"Kenapa gak ikut Mama aja?"

"Ngapain Kia ngumpul bareng ibu-ibu?"

"Kan suatu saat nanti kamu juga jadi ibu-ibu."

"Iya terserah Mama deh. Intinya kita pisah arah. Mama ke rumah temen Mama, Kia ke rumah Balqis. Okey?"

Sang Mama terpaksa setuju.

Setelah melewati perjalanan yang tidak terlalu macet, akhirnya mereka tiba di sebuah gedung hotel, tempat acara pernikahan Muti berlangsung.

Tema pernikahannya bernuansa sage. Persetan dengan color trends yang sudah berganti tahun ini. Intinya mereka memilih warna itu sebab sesuai dengan selera Muti dan Panji yang menyukai alam. Sama halnya dengan warna dress yang Kiana jahit saat itu.

Tak terlintas sedikitpun di benaknya rasa iri atas pernikahan ini. Sebab seminggu lalu ia berpikir untuk tidak menikah dan tak ada wedding dream dalam hidupnya.

Saat ini Kiana bersyukur, para bridesmaid dan groomsmen kelihatan cantik dan tampan mengenakan pakaian buatannya. Bangga rasanya saat sang Mama juga memuji hasil jahitannya.

Teman-teman Muti ramah. Beberapa di antara mereka yang tak sengaja berpapasan mata, langsung melayangkan senyum padanya.

Hanya saja, dari sekian banyak teman-teman Muti, Kiana tak melihat orang yang ia kenal.

"Daritadi Mama perhatiin kok Rama gak keliatan ya?" Tanya sang Mama.

Benar saja. Harusnya lelaki itu terlihat menonjol seperti groomsmen yang lain sebab mengenakan pakaian yang seragam.

Setelah menyicipi hidangan, Kiana dan Mamanya sepakat untuk pamit pada mempelai. Kebetulan sedang tidak ada antrian untuk bersalaman pada pengantin, tidak seperti beberapa saat lalu.

Begitu melihat Kiana, Muti langsung bereaksi excited.

"Akhirnya dateng juga!" Keduanya lantas saling berpelukan. "Makasih banyak, Ki, udah berpartisipasi dalam pernikahan gue."

Kiana tersenyum. "Btw, selamat ya atas pernikahannya. Semoga hubungan kalian langgeng sampai maut memisahkan."

"Aamiin."

Pandangan Muti kini beralih pada Mama Kiana. "Tante, yampun makasih banyak udah ikut hadir di sini. Mungkin kalau gak ada Tante, Kia gak bakal dateng ke sini."

Mama Kiana tersenyum. "Selamat ya. Makasih juga untuk undangannya. Rama bilang undangan itu paksaan dari kamu. Harus datang katanya."

Muti tertawa. "Bisa banget si Rama. Tapi btw, dia kemana ya?" Tanyanya sambil menatap Panji.

"Perasaan tadi masih sama anak-anak di depan." Jawab Panji.

Lelaki itu lantas bertanya pada salah satu temannya, namun mereka malah menjawab dengan gelengan.

"Gak tau"

"Lah, perasaan tadi masih di sini."

"Di toilet kali."

"Mungkin lagi ngambil minuman."

Berbagai jawaban berbeda dari para groomsmen yang juga sama tak tahunya dimana keberadaan Rama.

Melihat ada beberapa tamu yang ngantri hendak bersalaman dan foto dengan pengantin, Kiana lantas mengalihkan obrolan mereka.

"Mut, gue sama Mama abis ini ada janji. Maaf gabisa lama di sini."

"Yah, gak seru dong kalau gitu. Si Rama juga kemana coba! Lagi kedatangan tamu jauh padahal!" Gadis itu kelihatan kesal.

Singkat cerita, akhirnya Kiana, Mamanya dan pengantin berfoto sebagai dokumentasi di buku pernikahan Muti dan Panji.

Lalu pulang sesuai arah tujuan mereka seperti keputusan awal.

***

Setelah menjadi tamu di acara pernikahan temannya, kini Kiana berganti profesi menjadi pendengar untuk sahabatnya.

Balqis jelas bahagia mendengar Kiana hendak mampir sebentar ke rumahnya. Meski sudah bertemu sekitar sebulan lalu, namun rasanya jelas beda dengan pertemuan yang hanya berdua saja.

Balqis bilang ada banyak hal yang ingin ia ceritakan. Dan Kiana menjawab bahwa ia siap mendengarkan semua cerita Balqis, meski perasaannya sedang campur aduk saat ini.

Pembahasan wanita itu pasti tak jauh-jauh seputar mantan suaminya. Bagaimana tidak, sebab pria itu lah Balqis melarikan diri hingga ke kota ini.

"Dia udah nemuin pengganti gue." Ucap Balqis dengan nada suara tercekat.

Kiana kaget, nyaris tak bisa berkata-kata.

Balqis tersenyum sambil mengangguk. "Gue sengaja gak omongin ini pas kita kumpul kemarin. Gue gak siap dengerin hujatan-hujatan itu meskipun bukan buat gue."

"Gue yang terlalu bodoh sih. Harusnya gak perlu buang waktu untuk hadir di pertemuan mediasi itu. Gak ada gunanya juga. Cerai ya cerai. Goblok banget gue."

"Yang gue sesali, dia keliatan biasa aja dalam proses perceraian kita. Bahkan keliatan santai gandeng pasangan barunya di pertemuan mediasi. Sementara gue?" Balqis menghentikan ucapannya beberapa saat, lantas kembali bersuara. "Gue bahkan udah gak kenal lagi sama diri gue sendiri."

Kiana tak bisa berkata apapun. Yang dapat ia lakukan hanya menggenggam tangan Balqis, berusaha menguatkan wanita itu.

"Qis, lo cuma butuh waktu untuk istirahat." Ucap Kiana berusaha menenangkan sahabatnya.

"Udah nyaris setahun. Itu namanya bukan istirahat. Gue berasa hidup dengan jiwa yang udah mati."

Kiana menggeleng. "Qis, dengerin gue. Lo cuma lagi ada di fase pemulihan. Jiwa lo belum mati. Buktinya lo masih bisa salurin kasih sayang ke orang-orang terdekat lo. Jangan lupa sama anak-anak yang lo ajarin setiap hari. Jiwa Balqis yang dulu bukan mati, tapi dia lagi sembunyi. Cuma lo sendiri yang bisa bikin jiwa lama lo bangkit, Qis."

"Tapi takdir itu gak adil, Ki! Orang yang udah buat gue gini hidup bahagia di luar sana. Kenapa sakitnya perceraian cuma gue yang nanggung ya? Ini serius imbasnya cuma ke gue aja? Apa semua perempuan yang bercerai juga ngerasain ini?"

"Gue gak bisa ngasih jawaban pasti. Tapi gue percaya, semua yang terjadi pasti ada pelajarannya. Positifnya, lo bisa keluar dari hubungan yang toxic. Yang perlu lo tau, Tuhan itu baik, pelan-pelan nunjukin gimana sifat asli orang sebelum lo jatuh lebih dalam lagi. Kebahagiaan yang lo liat dari orang yang nyakitin lo bisa jadi hanya berlangsung sementara. Gak perlu liat ke belakang lagi. Fokus ke diri lo sendiri. Coba kenali diri lo lagi. Jangan tunggu keajaiban datangnya orang lain. Cuma lo yang bisa bikin perubahan itu."

Balqis menutup wajahnya, berusaha menutupi air yang baru saja menetes di pipinya.

"Cuma lo yang gak ngejudge, Ki." Ucapnya dengan suara tertahan.

Kiana menepuk bahu gadis itu pelan. "Cuma itu yang bisa gue bantu. Lagian gak ada gunanya gue ikut emosi ngehujat kelakuan mantan suami lo. Udah berlalu juga kan?"

Balqis beralih memeluk Kiana. "Jangan pulang dulu lah, Ki. Gue masih butuh orang kayak lo di sini."

Kiana mengembuskan napas pasrah. "Kalau nyokap gue gak di sini, mungkin gue bisa stay untuk sehari lagi."

Balqis melepas pelukan mereka. "Ah iya, sorry gue belum ketemu dan nyapa nyokap lo ya. Gue masih takut ketemu sama orang-orang yang gue kenal."

Kiana mengangguk. "Nyokap gue paham kok."

"Sering-sering mampir ke sini ya, Ki. Gapapa banget kalau sendirian, gue yang bakal jemput lo langsung ke bandara, serius."

Kiana hanya membalas dengan tersenyum.

"Makasih banget untuk hari ini. Semua nasehat lo udah gue rekam di otak. Gue juga udah lumayan lega sekarang. Udah lama gak ada temen nangis bareng. Bahagia selalu ya, Ki. Gue gak tau kalau gak ada lo."

"Santai aja, Qis. Kalau lo pengen cerita lagi, jangan sungkan hubungi gue. Kita bisa chatingan. Beda kota bukan berarti putus komunikasi kan?"

Balqis mengangguk. "Next time gue tunggu cerita lo. Gak fair kalau cuma gue mulu yang cerita. Gue juga pengen denger kisah percintaan lo sama yang baru ini."

Kiana hanya membalas dengan tersenyum.

"Btw masih sama Rama kan?" Tanyanya.

Beda kota sebenarnya membuat komunikasi mereka sedikit renggang. Balqis tertinggal banyak cerita tentang sahabatnya termasuk Kiana. Namun Kiana tak ingin memperpanjang ini. Lagipula wanita itu hanya sekedar basa-basi biasa.

Merasa ponsel di sakunya bergetar, Kiana mengambil benda pipih itu dan membukanya. Ternyata sang Mama mengabarkan bahwa sebentar lagi akan selesai dan menyuruh Kiana bersiap-siap kembali.

"Qis, barusan nyokap ngabarin. Gue harus pulang sekarang. Kapan-kapan gue sama yang lain main ke sini lagi, okey?"

Balqis mengangguk. Selang menunggu pesanan grabnya datang, Balqis bertanya mengenai kesibukan Kiana saat ini. Kiana menceritakan bagian manisnya saja, sekaligus dorongan agar wanita itu bisa kembali bangkit.

Kiana kembali berpisah dengan Balqis sebab jemputan onlinenya sudah tiba. Begitu masuk ke dalam mobil, Kiana menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan mata. Hari ini begitu lelah untuknya.

***

Rama berjalan tergesa memasuki gedung tempat pernikahan sahabatnya berlangsung. Sebelah tangannya menenteng sebuah buku. Perjalanan panjang yang baru saja ditempuhnya cukup membuat tubuhnya berpeluh saat ini.

"Gila bro! Darimana aja?" Tanya Gilang.

Rama tak menjawab. Ia sibuk mengatur napasnya. Tak sengaja ia bersitatap dengan Muti yang sedang duduk di kursi pengantin. Wajah cerianya sontak pudar saat melihat Rama. Ia melayangkan tatapan tajam lantas berbisik dengan Panji.

Rama yang tak peduli beralih melayangkan tanya dengan Gilang. "Belum dateng kan?"

"Siapa?" Tanya lelaki itu.

"Itu." Jawab Rama ambigu. Bagaimana mungkin Gilang tak tahu maksudnya.

"Siapa elah? Banyak yang dateng daritadi."

Rama berdecak kesal dan meninggalkan Gilang begitu saja. Ia beralih mengambil minuman dingin. Namun baru hendak meneguknya, seseorang menepuk pundaknya hingga membuat Rama terpaksa menoleh.

"Telat lo bro." Orang itu adalah Panji. Rama cukup terkejut melihat lelaki itu turun dan meninggalkan pasangannya sendirian di sana. Namun bukan itu saja yang menarik perhatian Rama.

"Maksudnya?"

"Kiana sama nyokapnya udah balik daritadi. Gobloknya lo malah ngilang." Ucap Panji.

Rama mematung.

"Gue balik dulu." Pamit Panji sambil menepuk bahunya beberapa kali.

Cukup lama Rama terdiam di tempat sambil beberapa kali melirik segelas minuman di genggamannya yang belum sempat ia minum dan sebuah buku yang tak sempat ia kembalikan.

***

TBC!

Halo!!!

Gimana-gimana dengan part ini?

Jangan lupa tinggalkan komentar ya❤️

Follow me on:

Instagram @natasya.ylr

Tiktok @natasya_naa

Okey, see you next part❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top