Bab : 58

Jatuh-bangunnya mental sebenarnya memang sering diuji oleh orang-orang yang kita anggap spesial.

***

"Ma, Fauna mana, Ma?" Kiana menghampiri sang Mama di kamar, berharap menemukan keberadaannya yang beberapa hari ini tak main ke kamarnya. Saking sibuk sendiri, Kiana sampai melupakan kucing titipan itu.

"Bukannya di kamar kamu?" Respon sang Mama.

Kiana membulatkan matanya tak santai. "Nggak. Fauna gak pernah main lagi ke kamar Kia beberapa hari ini."

Sang Mama lantas bangkit. Wanita itu juga tampak khawatir.

"Loh, Mama kirain dia betah di kamar kamu, makanya gak Mama cariin." Ujar sang Mama membantu Kiana untuk mencari kucing itu di luar ruangan.

Padahal hari ini adalah hari bahagia Kiana sebab ia sudah berhasil menyelesaikan naskahnya yang berjudul 'Hilang, Jangan Dicari'. Tapi ia tak bisa merayakan kebahagiaan sebelum menemukan Fauna.

Sang Mama berlalu ke luar rumah. "Mama coba tanya ke tetangga sebelah. Siapa tahu dia main ke sana."

Kiana mengangguk. Andai saja Kiana tak berjiwa anti sosial, mungkin ia sendiri yang turun tangan mencari Fauna di luar sana.

Demi apapun, semenjak kejadian ia masuk rumah sakit kala itu, Kiana benar-benar tak lagi melihat Fauna. Sebab ia hanya fokus memulihkan diri sembari nyicil mengetik naskah di atas ranjang. Hari-harinya berkutat di kamar saja.

Ponselnya kini berdering, Kiana bergegas masuk ke kamarnya. Ternyata ada panggilan masuk dari Medina, sahabatnya.

"Ki, lo lagi di rumah kan?"

"Iya, Me. Kenapa?"

"Oke, gue kesana sekarang ya."

"Eh, tapi-" Belum sempat Kiana bicara, Medina sudah memutus sambungan teleponnya.

Kiana mengembuskan napas pasrah, terlebih saat melihat keadaan kamarnya yang berantakan. Karena Medina akan berkunjung ke sini, mau tak mau Kiana harus bergerak untuk membersihkannya.

"KIA!" Tiba-tiba terdengar suara sang Mama yang lumayan besar. "Kia, cepat ke sini!"

Padahal Kiana baru saja hendak berniat merapikan tempat tidur. Tanpa membuang waktu, ia lantas segera berlari ke luar rumah.

Setibanya di luar, dapat dilihatnya sang Mama sedang berdiri sambil menunjuk ke arah rumah bagian belakang.

"Fauna!" Serunya.

"Fauna udah ketemu, Ma?" Tanya Kiana excited.

Sang Mama tak menjawab. Ia menuntun Kiana untuk pergi bersamanya ke belakang rumah.

Dan ya, Fauna memang sudah ketemu. Kiana tersenyum melihatnya. Namun binatang itu terlihat sedang tidur.

Begitu Kiana mendekat, tampaknya ada yang aneh. Banyak serangga di sekitar tubuh binatang itu. Kiana berniat menyentuhnya, namun sang Mama langsung menarik tangannya.

"Udah gak ada." Ujar sang Mama dengan sorot mata yang berkaca.

Kiana kaget. Air matanya langsung jatuh. Kiana akui ia mungkin tak begitu dekat dengan kucing itu, namun jujur saja Kiana sudah merasa nyaman dengan kehadirannya.

Rasa kehilangan sang Mama jelas lebih besar dari Kiana, sebab wanita itu bahkan rela menjahitkan pakaian demi kucing titipan itu.

Kiana terduduk. Tak bisa membendung tangisnya lagi.

Sebuah motor lantas berhenti di halaman rumah Kiana.

Tak lama, terdengar derap langkah kaki mendekat.

"Ki?" Itu suara Medina.

Gadis itu jelas kaget saat melihat posisi Kiana yang menangis sambil terduduk di lantai. Bahkan Mamanya juga ikut menangis saat ini.

"Kenapa, Tante?"

"Fauna udah gak ada." Jawab sang Mama.

"Fauna?" Tanya Medina sambil mengernyit heran. Tak lama setelah itu, ia baru tersadar. "Oh, kucingnya Rama!" Lanjutnya.

"Tante masuk dulu ya. Mau nyari kain untuk Fauna." Ujar sang Mama. Medina mengangguk, lantas beralih menyusul Kiana.

Medina memang pecinta kucing. Dan Medina jelas tahu bagaimana rasanya ditinggal mati oleh kucing kesayangan.

Yang bisa ia lakukan hanyalah memberi rangkulan untuk Kiana.

"Yang sabar ya, Ki. Usia binatang emang gak sebanyak manusia. Jadi jangan kaget kalau waktu kebersamaan kalian cuma singkat." Ujar Medina.

"Fauna mati gara-gara gue, Me! Gue yang lalai. Bahkan pas dia hilang dari pandangan gue berhari-hari aja gue gak sadar."

"Jangan malah salahin diri lo, Ki. Semua udah di atur sama yang di atas. Emang udah takdirnya untuk Fauna pergi."

Kiana tak bisa berkata-kata. Sekalipun yang diucapkan oleh Medina adalah benar, namun Kiana tetap saja merasa bersalah. Andai saja dia tahu jika Fauna akan pergi secepat ini, mungkin ia akan fokus merawat kucing itu sebaik mungkin.

Sang Mama datang, sambil membawa kain. Ia memberikan kain itu pada Kiana. Mamanya kembali beranjak mencari sesuatu.

"Gue bantuin." Ujar Medina, sambil membantu Kiana menutup tubuh Fauna untuk yang terakhir kalinya.

***

Fauna sudah dikubur di halaman rumah. Kiana kini sedang duduk di atas ranjang bersama Medina. Kamarnya yang berantakan bahkan belum sempat dirapikan. Namun Medina memaksa agar mereka ngobrol di kamar saja.

Tubuh kaku Fauna masih terasa di kedua tangannya. Seumur hidup, baru kali ini Kiana menangisi kepergian binatang.

"Sabar." Medina kembali menenangkannya.

"Gue bahkan gak punya foto Fauna sama sekali untuk dikenang." Ujar Kiana dengan tatapan kosong. Kepalan tangannya bergerak memukul dadanya beberapa kali. "Rasanya masih nyesek banget."

"Gue paham kok gimana rasanya. Tapi percaya lah, Ki, kucing itu datang dan pergi. Sekali lo ngerawat kucing trus dia mati, kedepannya pasti bakal ada kucing lain yang dateng ke rumah lo."

Kiana mengembuskan napas pasrah.

"Udah, jangan sedih lagi. Gue bakal temenin lo seharian. Asal jangan kemana-mana ya."

"Tumben?"

"Ya gapapa. Lo kan lagi masa pemulihan. Oiya, sorry ya. Kemarin Kak Mia sempat ngabarin kalau lo dirawat di rumah sakit. Tapi jadwal gue sama Dania bentrok jadi gak bisa jengukin lo."

Sempat terbesit perasaan sedih di hati Kiana sebab sahabat dekatnya tak datang menjenguk saat ia dirawat kala itu. Yang menjenguk malah para tetangga. Jujur saja Kiana merasa terharu atas simpati para tetangganya. Meskipun Kiana adalah anak yang anti sosial, mereka tetap mau menjenguknya meski sebatas kenal dengan orang tuanya saja.

"Gapapa. Gue ngerti kok."

Melihat Medina yang kini memainkan ponsel, Kiana juga ikut mengambil ponselnya. Begitu membuka Instagram, Dania memposting sebuah story. Kiana beralih melihat kalender di ponsel. Ternyata hari ini adalah tanggal delapan. Saat dimana Aksa dan Fahana melangsungkan pernikahan mereka.

"Lo gak perlu seharian nemenin gue, Me. Takutnya lo ada kegiatan lain." Ujar Kiana.

Medina sontak mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "Nggak kok, Ki. Gue free hari ini."

"Lo pasti capek setiap hari kerja, trus weekend nya malah dipakai buat nemenin gue kayak gini."

"Sebelumnya kita juga pernah kayak gini kan? Gak usah canggung lah, Ki. Santai."

Kiana menggeleng. "Dania yang nyuruh ya?"

"Maksudnya?"

"Dania yang nyuruh lo untuk ngawasin gue di sini?"

Medina bungkam.

"Gue gak akan dateng kok. Tenang aja. Gue udah tau kalau hari ini acara mereka." Ujar Kiana.

"Bukan gitu maksudnya, Ki." Bantah Medina. "Justru Dania khawatir sama lo. Dia takut lo kenapa-kenapa."

"Buktinya gue baik-baik aja kan?" Respon Kiana.

"Kalau dari awal lo baik-baik aja, lo gak mungkin masuk rumah sakit, Kiana!" Jelas Medina, sontak memblokade semua bantahan dari mulut Kiana.

Kiana merebahkan tubuhnya di ranjang. "Gimana ya, Me. Gue cuma kaget aja. Tapi abis itu yaudah. Hidup gue kembali seperti biasa. Gue kaget mungkin karena sebelumnya gue jadiin dia sebagai crush selama bertahun-tahun. Mungkin karena gue selalu ngurung diri di rumah kali ya. Jadi yang gue liat dan nyantol di hati gue cuma dia doang."

Medina malah tertawa. "Lo serius seikhlas ini? Lo gak marah sama Fahana gitu?"

Kiana bungkam. Ia kembali membuka Instagram. Tanpa ragu, Kiana lantas membuka story Dania.

Dan benar saja. Postingan itu berisi tentang seputar pernikahan sepupunya. Di postingan pertama, terdapat sebuah video saat sedang akad. Volume ponsel yang tidak Kiana mute, membuat Medina sadar dan langsung merampas ponselnya.

"Lo apa-apaan sih, Ki!" Bentaknya. Ia lantas mengecek ponsel Kiana. "Astaga, si Dania bego gak mute lo?"

Mungkin Medina berpikir jika Dania lupa membisukan story darinya, namun sebenarnya Kiana sedang menggunakan fake account yang mungkin saja akun aslinya sudah dibisukan oleh Dania. Namun sahabatnya tak tau mengenai fake account dirinya.

Kiana kembali merampas ponsel itu dari Dania dan melanjutkan penelusurannya mengenai story-story gadis itu.

"Ini namanya lo bunuh diri di depan mata gue, Ki! Buat apa gue disini kalau lo masih ngepoin pernikahan mantan crush lo!"

"Fahana cantik ya." Ujar Kiana.

"Udahlah, Ki!"

"Kak Aksa juga ganteng."

"Dania bego banget sumpah!" Medina sibuk mengumpat sendiri.

Begitu mendengar suara motor yang tak asing berhenti di depan rumahnya, Kiana bangkit dan mengintipnya lewat jendela.

"Ki, lo liatin apaan? Sumpah kalau lo makin gak jelas gini, gue teriak nih!" Entah apa yang dipikirkan Medina. Ia mungkin berpikir jika Kiana sudah mulai tak waras saat ini. Padahal Kiana hanya mengintip seseorang yang datang ke rumahnya saat ini.

Dan sesuai prediksinya, orang yang ia duga itu memang tepat sasaran. Kali ini rasanya bukan bahagia, melainkan was-was. Sebab sekarang mereka sedang berduka. Baik dengan kepergian kucing kesayangan mereka, maupun hati yang sama-sama patah saat ini.

Kiana memantapkan diri untuk keluar kamar menemui orang itu. Sementara Medina yang masih di dalam kamar ngomel-ngomel sendiri melihat tingkah Kiana yang dianggapnya aneh.

Pintu utama masih belum dibuka. Sebab lelaki itu juga tidak mengetuknya. Sang Mama saat ini sedang berada di kamar. Kiana paham, Mamanya mungkin masih merasa sedih atas kepergian kucing kesayangan mereka.

Kiana akhirnya membuka pintu, dan Rama tepat berada di hadapannya saat ini.

"Lo mau kemana sih, Ki? Lo janji kan kita gak kemana-mana hari ini?!" Kira-kira itulah omelan Medina sebelum akhirnya gadis itu melihat ada orang lain selain mereka. "Oh, ada Rama."

Medina lantas kembali masuk ke dalam kamar.

Kiana meneguk salivanya yang mendadak terasa berat. Ia bahkan tak berani menatap Rama. Rasanya sangat berat untuk memberi informasi ini pada lelaki itu.

"Fauna-" Ucapannya langsung dipotong oleh Rama.

"Mati." Sambung Rama. Entah darimana ia mendapat informasi ini, tapi Kiana menduga jika sang Mama lah yang sudah memberitahunya.

"Maaf..." lirihnya masih merasa bersalah.

Ini kali pertama Kiana bertemu kembali dengan Rama setelah kurang lebih dua minggu. Bahkan lelaki itu tak ikut menjenguknya saat para tetangga datang kala itu.

"Sekarang Fauna dimana?" Tanyanya.

"Udah dikubur."

"Fuck!" Umpat Rama dengan suara kecil, namun masih terdengar oleh Kiana. Jujur saja Kiana kaget mendengarnya.

Lelaki itu berjalan menuju tiang rumah lantas meninjunya sekali.

Entah itu sebagai rasa pelampiasan emosinya, namun menurut Kiana itu tak wajar.

Kiana berjalan mendekati lelaki itu. "Kalau lo mau marah sama gue, silakan. Ini mungkin kesalahan gue-"

"Emang!" Ucap lelaki itu dengan tempo cepat.

Kiana membulatkan matanya tak santai.

Rama beralih menatap Kiana. "Gue tanya sekarang kenapa Fauna bisa mati?!"

Kiana tak bisa menjawab.

"Harusnya kalau udah gak bisa jagain Fauna, bilang! Biar gue yang ngurus sendiri!"

Dahi Kiana mengernyit tak suka. "Jaga omongan lo ya! Kalau Mama denger omongan lo, dia bisa sakit hati! Gue sama keluarga gue ikhlas ngerawat Fauna selama ini. Jangan sampai lo mikir gue sengaja ya bunuh Fauna!"

"Trus kalau gak mati karena dibunuh, kenapa? Gue berhak tau dia mati karena apa." Rama masih emosi.

Kiana geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapannya.

"Fauna hilang, dan pas ditemuin dia udah mati."

"Harusnya lo bisa kasih tau gue pas dia hilang!" Bantah Rama.

"Ini udah yang kedua kalinya Fauna hilang, dan respon pertama lo keliatan biasa aja. Tapi sekarang kenapa beda ya?"

Rama bungkam. Raut emosi di wajahnya tak kunjung reda.

"Apa karena mantan lo suka kucing?" Kiana akhirnya melemparkan pertanyaan ini. "Apa karena Fauna itu plesetan dari nama mantan lo?"

Rama sama sekali tak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tak menjawab apapun. Detik selanjutnya ia beralih pergi dari hadapan Kiana dan berjalan menuju motornya.

"Atau apa karena hari kematian Fauna bersamaan dengan nikahnya Fahana?" Tanya Kiana sambil mengikuti langkah lelaki itu dari belakang.

Rama masih tak menjawab. Lelaki itu menghidupkan mesin motornya.

"Gak bisa jawab kan lo? Udah ketebak kenapa lo bisa seemosi ini. Karena Fauna satu-satunya yang bisa lo kenang dari Fahana. Iya kan?!"

"Cewek gila!" Umpat Rama sebelum akhirnya tancap gas keluar dari rumah Kiana.

"LO YANG GILA! JANGAN PERNAH INJEK KAKI LAGI DI RUMAH GUE, SIALAN!" Kiana berteriak hingga tanpa sadar air matanya jatuh.

"Bangsat lo!" Umpatnya lagi. "Bajingan!"

Mamanya dan Medina lantas keluar dari rumah. Bahkan tetangga di depan rumah mereka juga keliatan sedang mengintip di balik jendela. Siapa lagi jika bukan Mamanya Leya.

"Masuk!" Ucap sang Mama sambil membawanya masuk ke dalam rumah. Medina berjalan di belakangnya.

"Mau buat malu Mama? Teriak-teriak di depan rumah kayak gak dididik!" Omel sang Mama saat mereka sudah berada di dalam rumah. Medina membawanya untuk masuk ke dalam kamar.

Setibanya di kamar, Medina beralih menatapnya, tangis Kiana sontak pecah dan langsung menghambur memeluk gadis itu. Tanpa sepengetahuan Kiana, diam-diam Medina menguping pembicaraan dirinya dengan Rama melalui jendela kamar.

"Sakit banget, Me." Lirih Kiana.

Medina mengelus bahunya, menenangkan. Bukannya tenang, Kiana malah semakin menangis. Ia tak pernah membayangkan jika seorang Rama bisa sekasar ini padanya. Bahkan tanpa tega mengatainya gila.

"Gue emang gak pantes buat siapapun. Gue gak guna!"

"Lo gak boleh ngomong gitu, Ki!"

Kiana melepas pelukannya. "Gue dikatain gila, Me! Emang gue gila ya? Lo ngeliat gue kayak orang gila? Iya, Me?"

Medina menggeleng.

Kiana menghapus jejak air matanya dengan kasar, lantas beralih menatap pantulan dirinya di cermin. "Gue takut beneran gila suatu saat nanti." Lirihnya.

***

TBC!

Semoga feelnya kerasa ya🥺

Gimana menurut kalian dengan part ini? Boleh tinggalin komentar ya.

Follow me on:

Instagram: @natasya.ylr

Tiktok: @natasya_naa

See you next part 👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top