Bab : 57

Rasa obsesi itu kututup sampai di sini. Tak ada istilah lanjut part dua! Kali ini memang benar-benar sudah berhenti.

***

Pernah berjanji pada salah satu adik kelasnya saat ia berkunjung ke sekolah sebulan lalu, kini Kiana menunaikannya.

Sambil ditemani oleh Maisa, Kiana membawa dua judul bukunya masing-masing berjumlah lima untuk disumbangkan ke perpustakaan sekolah. Setidaknya hanya ini yang bisa ia berikan untuk memancing minat baca adik-adik kelasnya, sekalian promosi. Siapa tahu mereka suka dan membaca karya-karya lainnya di platform online.

Sebenarnya Kiana sudah menerbitkan tiga buku. Namun ia tak berani menunjukkan karya keduanya karena merasa belum layak untuk dibaca.

Tak lupa memberikan hadiah spesial untuk Okta, sebagai pembaca baik hati yang berani menyapanya duluan. Kiana memberikan buku Mengejar Matahari lengkap dengan merchandisenya. Dan gadis itu menerimanya dengan excited. Kiana juga ikut bahagia melihatnya.

Meski sudah dua kali mengunjungi sekolah lamanya, Kiana masih malu untuk menyapa guru-gurunya di ruang tata usaha. Ia hanya berani ke perpustakaan, dimana hanya Bu Tika saja yang menjaga di sana.

Jujur, Kiana masih merasa kecil hati atas dirinya sendiri. Awalnya ia ragu untuk menyumbangkan bukunya yang mungkin tak berfaedah. Bahkan Kiana sudah berlapang dada jika seandainya Bu Tika menolak bukunya.

"Banyak alumni yang sudah berhasil di luar sana. Tapi hanya beberapa orang saja yang masih mau menginjakkan kaki lagi di sekolah ini. Ibu bangga dengan pencapaian kamu. Harusnya tidak usah malu. Buku ini dan seluruh isi yang ada di dalamnya lahir dari kepala dan hatimu. Ibu do'akan semoga kedepannya banyak buku yang bisa kamu terbitkan lagi. Sekarang, ibu terima buku ini dan akan ibu beritahu pada semua murid bahwa ini adalah karya alumni SMA Garuda" Ujar Bu Tika.

Kiana tersenyum bangga. "Terimakasih, Bu."

Maisa menyenggol lengan Kiana, lantas berbisik. "Kan, apa gue bilang. Harusnya lo gak usah malu!"

"Seniman kok merasa malu? Karyanya kan memang untuk dipublikasikan." Bantah Bu Tika.

Kiana tersenyum kikuk. Dasar Maisa!

"Jujur, Ibu bangga atas inisiatif kamu untuk menyumbangkan karya kamu di sini. Kebetulan ada alumni yang juga datang ke sini, dia juga sama penulis sepertimu. Tapi dia ke sini hanya sekedar memberikan undangan pernikahan, bukan karyanya." Ujar Bu Tika.

"Wah, parah tuh alumni. Cowok apa cewek Bu? Namanya siapa?" Tanya Maisa kepo. Tak bisa dipungkiri, Kiana juga sebenarnya penasaran siapa alumni SMA Garuda yang sukses dengan karya tulisnya itu.

Bu Tika menjawab. "Perempuan. Namanya Hana."

Kiana dan Maisa kini saling pandang.

"Hana siapa?" Tanya Maisa tak bersuara. Kiana mengedikkan bahunya, tak tahu.

Percakapan mereka terhenti kala seorang murid masuk ke dalam perpustakaan. Tak mau berlama-lama, Kiana dan Maisa pun pamit.

Namun Maisa tak sengaja melihat sebuah undangan pernikahan di meja Bu Tika.

"Itu undangan dari alumninya Bu?" Tanyanya.

"Nah iya." Bu Tika lantas menunjukkan kertas undangan itu pada Kiana dan Maisa. "Keduanya sama-sama alumni sekolah ini."

Perasaan Kiana sontak berubah kala mengetahui bahwa nama panjang alumni itu adalah Fahana Aryani. Bisa-bisanya ia lupa jika Fahana adalah kakak kelasnya.

Namun hal lain yang membuatnya lemas adalah undangan itu milik Fahana dan Aksa.

Kiana tahu mereka sudah tunangan dan tak lama pasti akan menikah. Tapi... Kenapa harus secepat ini? Seolah tak diberi napas barang sebentar. Kiana mungkin tak berharap dengan Aksa lagi, tapi kenapa rasanya... hancur?

"Ki, ini kan-" Omongan Maisa sontak berhenti saat melihat wajah Kiana yang kini memerah.

Bu Tika buka suara. "Yang perempuan, selain penulis dia juga nakes. Dan laki-lakinya sekarang kerja di perusahaan besar, katanya sambil melanjutkan studi S2. Bangga mendengar alumni di sekolah ini menemukan jodohnya di sini. Sepertinya kalian beda angkatan, tapi mungkin kalian kenal mereka."

Maisa menggeleng cepat. "Kami gak kenal, Bu."

Beruntungnya Maisa paham dengan perasaan Kiana, hingga gadis itu memutus percakapan dan pamit.

Setelah keluar dari ruang perpustakaan, Maisa spontan menggeleng. "Sumpah gue gak nyangka. Kia, gue kira lo yang bakal nikah sama-" Maisa tak melanjutkan ucapannya. Gadis itu lantas mengembuskan napas pasrah.

Kiana tak mengatakan apapun semenjak melihat undangan itu.

"Ki, kalau lo mau marah, gue siap kok! Keluarin aja unek-unek lo. Hari ini gue temenin lo kemanapun lo mau!" Ujar Maisa lagi.

Omongan Maisa selanjutnya tak dapat disimak oleh Kiana sebab perempuan yang mereka bicarakan di perpustakaan tadi, kini ada di depan mereka.

Fahana Aryani, kakak kelas yang beda dua angkatan di atas Kiana. Sebenarnya Fahana juga kakak kelas bagi Aksa, karena gadis itu berada satu angkatan di atasnya. Namun dari segi usia, mereka sama.

Cantik! Itu kesan pertama saat Kiana melihat Fahana setelah bertahun-tahun yang lalu. Gadis itu terlihat fresh karena kulit beningnya. Benar-benar definisi pasangan sempurna untuk Aksa.

Dan kini, gadis itu tersenyum ke arahnya. Kiana spontan membalasnya. Persetan jika senyum itu bukan untuknya. Kini ia paham, mengapa Aksa dan Rama bisa jatuh cinta dengannya.

"Kiana?" Sapa gadis itu duluan.

Kali pertama Fahana menyapanya. Sebab saat masih sekolah kala itu, Kiana dan Fahana tak pernah saling bertegur sapa.

Sementara Maisa kaget akan hal itu. Namun untungnya gadis itu tak melontarkan pertanyaan apapun untuk saat ini.

"Hallo, Kak!" Balas Kiana. Lihatlah, bahkan ia lupa seberapa kesalnya ia dengan Fahana sebelumnya.

"Kebetulan kita ketemu di sini." Gadis itu merogoh tasnya, lantas memberikan sebuah undangan. "Dateng ya."

Kiana hanya bisa tersenyum dan menerima undangan itu. "Makasih undangannya, Kak."

Makasih? Untuk apa? Untuk rasa sakitnya? Mungkin Maisa sedang menahan diri untuk tidak menguliti Kiana saat ini juga.

"Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya." Ujarnya lantas pergi. Bola mata Kiana masih senantiasa mengikuti langkah gadis itu. Dan ternyata sebuah mobil sedang menunggunya di depan sekolah. Pasti Aksa. Ya, ratu seperti Fahana memang pantas dijemput dengan kendaraan yang berkelas.

Maisa membuyarkan lamunannya dengan merampas undangan dari tangannya. Gadis itu merobeknya menjadi beberapa bagian dan berniat hendak membuangnya ke tong sampah, namun Kiana menahannya.

"Awas! Ini emang pantas dibuang!" Maisa berujar kesal.

"Gue yang bakal buang sendiri!" Bantah Kiana, lantas merebut potongan kertas itu dan menyimpannya ke dalam tas.

"Buat apa? Mau di dukun?" Tuduh Maisa.

"Gila lo!"

"Lo yang gila, Ki. Amit-amit jangan sampai lo beneran gila karena Aksa bakal nikah sebentar lagi."

"Gue mau pulang." Ujar Kiana.

"Gue ikut!"

"Gue mau istirahat, Mai. Gue terlalu capek hari ini!"

Maisa tak bisa berkata-kata lagi. Kiana mungkin malu mengungkapkan perasaannya. Sebab jika Maisa yang ada di posisi itu, ia pasti akan berteriak meluapkan emosi dan sakit hatinya.

***

Kiana memandang undangan pernikahan milik Fahana dan Aksa yang kini berhasil ia satukan kembali dengan selotip. Tak disangka jika perasaan yang ia pendam selama delapan tahun lalu kini terpaksa harus dihapus.

Lelaki yang ia kagumi itu sebentar lagi akan menikah. Dan penantian delapan tahun Kiana akan pupus selamanya. Tanpa pernah menjadi pemenang di hati Aksa sekalipun. Padahal dulunya Kiana berharap jika menjadi pacar Aksa sudah lebih dari cukup. Namun ternyata semesta tak mengizinkan keduanya punya hubungan khusus apapun.

Kiana kalah. Dan pemenangnya adalah Fahana, masalalunya.

Mungkin letak salahnya sebab Kiana tak punya kedudukan yang bisa dibanggakan, cupu, tidak menarik, tidak punya wawasan luas, dan tidak ada apa-apanya.

Menikah adalah ibadah terpanjang, seumur hidup. Aksa beruntung mendapat Fahana. Dan Fahana beruntung mendapat Aksa.

Bayangkan jika seandainya itu dibalikkan dengan Kiana. Kiana beruntung mendapatkan Aksa. Tapi tidak dengan Aksa.

Sempat terbesit di benaknya, jika Kiana yang nyaris melupakan Aksa sebelumnya merasa tidak terima atas pernikahan lelaki itu, lantas bagaimana dengan Rama yang mungkin saja masih menyimpan rasa pada Fahana?

Ah, Fahana. Gadis itu terlalu sempurna.

Ketukan pintu kamar yang kesekian kalinya membuat Kiana menoleh ke arah sana. Sang Mama memanggilnya berulang kali. Sejak pulang kemarin, Kiana memang langsung masuk kamar dan mengunci pintu.

Semalaman Kiana tak tidur. Telinganya ia sumbat dengan handsfree dan mendengarkan lagu-lagu patah hati. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya hingga membuat Kiana tak bisa memejamkan matanya.

Beberapa saat berlalu, dan ketukan pintu tak terdengar lagi. Namun ponselnya kini berdering, menampilkan sebuah panggilan masuk dari Mia, sang Kakak.

Kiana tak menjawab panggilan telepon itu, namun kini ia melangkah menuju pintu. Begitu membukanya, dapat dilihatnya sang Mama sedang duduk di kursi sambil termenung. Pandangannya langsung terangkat begitu mendengar pintu kamar putrinya terbuka.

"Kia baik-baik aja, Ma." Ujar Kiana. "Kia mau selesaikan tulisan untuk beberapa hari kedepan. Jangan ketuk pintu lagi ya, Ma."

"Dari kemarin kamu belum makan." Omongan sang Mama membuat Kiana tak jadi menutup pintu. "Target apa yang kamu kejar sampai mengesampingkan semua hal penting seperti ini?"

Kiana bungkam.

"Bertahun-tahun kamu lepas dari pengawasan Mama. Sekarang, bahkan saat kamu ada di depan mata, Mama masih gak bisa jagain kamu. Mama gak tau kamu lagi ada masalah apa sampai ngurung diri di kamar, gak jawab panggilan apapun dari Mama. Bahkan tadi, kalau Mia gak berhasil membujuk kamu, Mama berniat manggil tetangga untuk gedor pintu kamar kamu. Tolong jangan sepelekan rasa khawatir Mama!"

Kiana tak menjawab apapun. Ia mengaku salah dan benar-benar bodoh. Tak bisa dipungkiri bahwa keadaan tubuh Kiana saat ini sedang tidak baik-baik saja. Perut kosong, rasa kantuk, dan kepala yang pusing. Ditambah dengan omelan dari sang Mama, membuat Kiana ingin jatuh saat ini juga.

"Mama kasih kebebasan untuk kamu bisa tumbuh ngejar apapun yang kamu mau. Tapi gak dengan menyiksa diri. Gak makan seharian itu namanya menghukum diri! Gak sayang sama diri sendiri! Mau sampai kapan kamu begini terus?"

Kiana tak bisa lagi menahan rasa pusing di kepalanya.

"Ma, Kia mau tidur sebentar." Hanya itu yang bisa ia katakan saat ini.

"Gak! Kamu harus makan dulu. Gimana bisa tidur kalau perut kamu kosong." Kini Mamanya tak ngomel lagi. Wanita itu beralih mengambilkan makanan untuk Kiana.

Sementara Kiana, berjalan pelan masuk ke dalam kamar. Perlahan, ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Selang beberapa saat, Kiana akhirnya bisa memejamkan matanya lagi.

***

Begitu membuka mata, Kiana mendapati dirinya di sebuah ruangan yang tak ia kenal. Sang Mama duduk di sebelahnya, dan langsung bangkit saat melihatnya yang kini telah sadar.

Barulah Kiana paham, ternyata dia sedang berada di rumah sakit saat ini. Namun ia tak ingat, kenapa dia bisa ada di sini.

Ternyata sang Mama masuk sambil membawa Mia, Ardi dan Papanya. Tak ada orang lain, selain keluarga di sini.

"Gimana keadaan lo?" Tanya Mia terdengar samar. Kiana hanya mampu menggeleng pelan. "Sumpah, gue kira pas Mama telpon tadi ni anak bundir! Panik gue."

Kiana membulatkan matanya tak percaya. Bunuh diri apanya? Bahkan ia tak terpikir sejauh itu. Dia masih mau hidup! Meski sedang down saat ini.

Tak mau memperkeruh suasana, suaminya lantas mengajak Mia keluar ruangan.

Mia menatap Mama dan Papanya bergantian. Selanjutnya, ia menatap sang Mama cukup lama, hingga air matanya jatuh.

"Maaf, Ma." Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

"Gapapa." Jawab sang Mama nyaris tak bersuara. "Cepat sembuh ya."

"Mau pulang." Ujar Kiana.

Namun sang Mama malah menangis, hingga di tenangkan oleh sang Papa.

Astaga! Maksudnya Kiana benar-benar ingin pulang ke rumah. Ia merasa tak nyaman beristirahat di tempat ini.

Namun Kiana tak punya tenaga untuk menjelaskannya. Melihat Mamanya menangis, ia juga ikut nangis. Hingga ia memilih memalingkan wajahnya dan kembali memejamkan mata.

***

Tak butuh waktu lama, Kiana akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Kiana rindu dengan aktivitas biasanya. Ia juga rindu dengan masakan sang Mama, sebab masakan rumah sakit tak enak di lidahnya.

Tak lama setelah tiba di rumah, beberapa tetangga datang menjenguk. Kiana yang pada dasarnya introvert parah, langsung berpura-pura memejamkan mata agar tak diajak bicara. Lagipula Kiana tak punya jawaban jika ada yang bertanya ada apa dengannya.

Bosan berpura-pura tidur, Kiana mengambil ponselnya lantas berbaring membelakangi pintu kamar. Jika mendengar suara pintu dibuka, maka ia akan kembali berpura-pura memejamkan mata.

Benda pipih itu sudah dua hari tak ia sentuh. Ternyata sudah ada beberapa notifikasi masuk dari Instagram. Begitu dibuka, ternyata isinya adalah beberapa akun yang menandainya di story. Sayang sekali, beberapa di antaranya tak bisa lagi Kiana buka sebab sudah lewat dari satu hari.

Dan beberapa lainnya adalah review dari murid-murid SMA Garuda yang sedang bergantian membaca novelnya di perpustakaan. Kiana tersenyum melihatnya. Dan postingan mereka berisi buku Kiana yang pertama. Dimana buku itu menceritakan isi hati Kiana seputar Aksa.

Kiana membuka message requests. Ada beberapa pesan yang belum terbaca disana. Kiana bahkan tak ingat kenapa bisa lupa membacanya. Padahal dulunya dia nyaris memegang ponsel setiap waktu.

Ada pesan dari akun yang tak asing baginya. Kiana membuka pesan itu.

senjapelita
Hallo kak Na
Ada yang mau aku sampaikan

Merasa sedikit ragu, Kiana lantas mengecek akun itu. Dan ya, ternyata feelingnya benar. Senjapelita itu adalah akun milik adiknya Aksa!

Pintu kamarnya kini dibuka oleh seseorang. Niat Kiana untuk berpura-pura tidur gagal sebab ia sudah terciduk memegang ponsel.

"Gara-gara ini?!" Orang yang masuk ke kamarnya adalah Mia. Dan wanita itu melemparkan sebuah kertas di hadapan Kiana. "Ini yang buat lo mau bunuh diri?"

Kertas itu adalah undangan pernikahan Aksa dan Fahana.

"Lo apa-apaan sih, Kak?!"

"Gue udah nahan pertanyaan ini sejak di rumah sakit. Sekarang lo udah pulang, dan harus jelasin semuanya. Siapa dia?!"

"Apasih! Gak penting."

"Jangan sampai gue tanya ke temen-temen lo ya!" Ancam Mia.

"Gila lo, Kak!"

"Tanggal delapan. Awas aja kalau lo sampai hadir di acara ini. Gue bilang ke Mama ngurung lo di kamar seharian di tanggal itu!" Tepat setelah mengatakan itu, Mia keluar dan menutup pintu kamar dengan kuat.

Tanpa memedulikan aksi kakaknya, Kiana kembali fokus dengan ponselnya. Sialnya pesan dari Pelita telah dikirim sekitar empat bulan lalu.

Tapi Kiana penasaran, kira-kira apa yang akan disampaikan oleh gadis itu?

Tak mau mati penasaran, Kiana lantas membalas pesan itu.

Anda
Hallo Pelita
Maaf baru balas
Btw, apa yang mau kamu sampaikan?

Kiana mengembuskan napas pasrah. Sedikit gugup sebab ini rasanya nekat. Bagaimana jika Pelita membalasnya, dan ternyata gadis itu akan membahas seputar Aksa?

Astaga, isi kepala Kiana terlalu liar saat ini.

Ponselnya kini bergetar, menampilkan sebuah balasan pesan dari Pelita. Kiana membulatkan matanya tak santai. Fast respon sekali!

senjapelita
Gimana kalau kita ketemuan aja, Kak?

Anda
Boleh
Kapan kamu bisa?

Bodoh! Padahal dia sedang masa pemulihan saat ini! Tapi tak apa, rasa penasaran Kiana sedang menggebu-gebu saat ini.

senjapelita
Tanggal 9 gimana, Kak?

Anda
Okey

Kiana lantas menutup ponselnya. Tanggal 9 masih beberapa hari lagi, dan dia masih punya waktu untuk memulihkan diri.

Tapi ngomong-ngomong, tanggal 9 itu berarti sehari setelah pernikahan Aksa dan Fahana?

Besar kemungkinan jika yang akan dibahas oleh Pelita nanti mungkin saja tentang Aksa.

Kiana memejamkan matanya. Apapun pembahasan Pelita besok, Kiana memang harus tetap melupakan Aksa. Tak ada alasan goyah! Sebab Aksa sudah tak mungkin lagi bisa digapai.

***

TBC!

WARNING! DON'T COPY MY STORY!

Btw part ini lumayan panjang. Semoga alurnya gak terlalu cepat ya.

Gimana menurut kalian dengan part ini?

Jangan lupa tinggalkan jejak ya

Follow me on:

Instagram: @natasya.ylr

Tiktok: @natasya_naa

See you next part 👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top