Bab : 55

Buat dia merasa spesial, lalu tinggalkan.
Begitu maksudmu?

***

"Gapapa sih. Gue cuma baru tau kalau Fahana ternyata mantannya Rama."

"HAH?!" Baik Dania dan Medina sontak terkejut mendengar hal ini.

"Lo tau darimana? Jangan-jangan bukan Fahana sepupu gue lagi. Lo salah orang kali, Ki." Tepis Dania.

"Gue denger dari temen deketnya Rama langsung. Fahana, seorang penulis yang bukunya baru terbit itu mantannya Rama. Dan setelah gue searching, ternyata Rama dan Fahana sepupu lo saling follow di Instagram." Jelas Kiana.

Dania dan Medina kini saling tatap.

"Dunia lo sempit banget ya, Ki." Ujar Medina dan itu fakta.

"Kalau itu emang bener, mereka kan udah mantanan, Ki. Dan Fahana juga bentar lagi mau nikah sama Aksa." Ucapan Dania barusan sontak membuat Kiana dan Medina kaget.

"Secepat itu? Baru juga kemarin tunangannya." Respon Medina seolah mewakili isi hati Kiana.

"Mana gue tau!" Ketus Dania. "Udah ya, kita tutup pembahasan seputar Fahana dan Aksa."

"Jangan bilang karena dunia lo yang katanya sempit itu, lo malah ragu sama hubungan lo sama Rama ya!" Lanjut Dania.

Kiana mengembuskan napas pasrah.

"Astaga, Ki. Gue gak habis pikir sama lo. Masalahnya dimana sih?!"

"Gak ada masalah apa-apa."

"Trus?"

"Lo cemburu sama Fahana?" Tebak Dania tanpa sungkan. "Fahana bukan saingan lo untuk dapetin Rama, Ki. Yang ada di hati Fahana itu cuma Aksa!"

"Gue sama Rama gak ada hubungan apa-apa."

"Nah gini nih, cewek kalau lagi berantem sama cowoknya. Selalu ngaku gak ada hubungan apa-apa" Sindir Dania.

Kiana bungkam. Entah bagaimana caranya menjelaskan cerita yang sebenarnya pada kedua sahabatnya ini.

"Dia masih belum move on." Ucap Kiana akhirnya.

Dania dan Medina terlihat kaget mendengar hal itu. Keduanya sama-sama menunjukkan ekspresi tak percaya.

Mereka bungkam beberapa saat, hingga akhirnya Medina bersuara. "Gak mungkin, Ki. Itu pasti cuma perasaan lo doang. Rama keliatan tulus banget sama lo. Bahkan dari beberapa kali gue liat pertemuan kalian, dia keliatan care sama lo." Bantahnya.

"Mungkin karena dia ngeliat gue sebagai Fahana? Atau dia pengen gue jadi seperti Fahana?" Kiana menjawab dengan ekspresi datar.

Mendengar hal itu, Dania tak tinggal diam. "Kenapa jadi bawa-bawa nama sepupu gue? Oh, mungkin bukan Rama yang gamon sama Fahana. Tapi lo yang gak suka sama dia karena doi berhasil dapetin Aksa. Gitu ya?!"

Tak terima dengan tuduhan sarkas itu, Kiana juga balik emosi. "IYA! Gue emang gak suka sama sepupu lo. Banyak hal yang dia ambil dari gue. Project nulis yang sempat buat gue sama Kak Aksa pernah deket, ternyata naskah itu milik Fahana. Gue baru tau fakta itu pas semua kerjaan udah beres. Tulisan yang gue ketik dalam waktu singkat itu jadi best seller dan berhasil terbit di penerbit impian gue. Dan bodohnya, gue baru tau kalau selama ini Fahana ternyata sepupu dari sahabat gue sendiri. Lo sendiri ngasih info ke gue kalau Fahana tunangan sama Kak Aksa. Saking sakitnya, gue mutusin untuk berhenti nulis. Gue bakar semua buku-buku yang pernah nemenin perjalanan nulis gue, karena gue mikir mimpi gue sebagai penulis udah berhenti."

"Tiba-tiba Rama dateng, ngasih beberapa novel. Berkat dia, gue mulai tertarik balik buat nulis cerita lagi. Sampai di hari ulang tahun gue, dia ngasih gue novel. Judulnya emang sempat buat gue salting. Tapi setelah gue tau faktanya. Sekarang gue ngerasa sakit hati. Ternyata yang Rama kasih itu buku karya Fahana, mantannya."

Kiana berhenti bicara. Ia ingin menangis, tapi rasanya seolah tertahan.

"Ki..." Medina menggenggam tangannya.

"Kucing yang dia titipin di rumah gue namanya Fauna. Gue kira dia milih nama itu karena iseng, unik, atau pengen membumi. Tapi ternyata malah plesetan dari namanya mantannya." Lanjut Kiana.

"Ki, Fahana sepupu gue, dan lo sahabat gue. Gue gak bisa komentar apapun tentang masalah lo, Fahana dan Aksa sebelumnya. Tapi untuk Rama. Gue rasa semua omongan lo tadi cuma spekulasi karena lo baru tau Fahana itu mantan Rama. Lo terlalu banyak menduga hal yang mungkin aja itu cuma kebetulan dan gak seperti yang lo bayangkan. Gue baru percaya kalau Rama yang bilang langsung ke lo kalau dia belum move on dari mantannya." Bantah Dania.

Kiana mengembuskan napas pasrah. "Rama emang gak salah apa-apa. Yang salah itu gue. Sok-sokan nyoba buka hati. Padahal mungkin maksud doi deket selama ini buat temenan doang."

"Lo gak boleh insecure gini lah, Ki. Yang gue liat selama ini Rama tertarik kok sama lo." Ujar Medina.

"Dia bahkan gak tau kalau gue juga penulis!" Tangis yang sejak tadi Kiana tahan, akhirnya buyar. "Dia sempat semangatin gue untuk nyoba nulis, bahkan nawarin untuk ngenalin gue ke temennya yang juga penulis biar gue bisa belajar. Gue kira itu salah satu support dari dia. Gue pikir dia tau gue lagi down sama mimpi gue. Tapi ternyata... Dia bahkan kaget pas tau info itu dari temennya yang baru saling follow sama gue di Instagram."

"Ki... Gue paham gimana sakit yang lo rasain. Lo inget gak, dulu gue, Dania sama Balqis ngelarang hubungan lo sama Aksa. Itu bukan tanpa alasan. Karena kita punya feeling, dia bukan laki-laki yang baik buat lo. Tapi Rama, gue gak bermaksud ngebelain dia. Karena jujur gue juga jarang ketemu sama dia. Tapi kalau emang bener seperti yang lo pikirin, Rama belum move on dari mantannya, menurut gue itu wajar. Lo juga bahkan kalau ditanya tentang Aksa sampai sekarang juga bakal gamon. Percaya gak percaya aja sih. Setiap orang punya caranya sendiri untuk ngelupain masa lalu. Pelan-pelan kehadiran orang baru juga pasti bakal menggeser kedudukan orang lama di hatinya. Begitu juga Rama." Ujar Medina panjang lebar.

"Lo gak pernah senangis ini karena Aksa di depan gue. Lo beneran jatuh cinta sama Rama?" Tanya Dania.

Medina geleng-geleng kepala mendengar candaan Dania. Sebab sejatinya dia pernah melihat langsung Kiana yang galau brutal karena seorang Aksa, bahkan lebih parah dari ini.

"Gue boleh minta tolong gak?" Kiana akhirnya bersuara setelah puas menangis.

Kedua sahabatnya bungkam, sama-sama menunggu ucapan Kiana selanjutnya.

"Tolong jangan bahas Rama lagi. Gue udah capek." Ujar Kiana.

Medina dan Dania kini saling pandang.

Kiana merogoh sesuatu dari dalam tas selempangnya. Ada tiga undangan pernikahan di sana. Kiana memberikan masing-masing satu pada sahabatnya. Terisa satu, undangan untuk Balqis.

"Temenin gue ya." Ujar Kiana. "Gue gak kebayang ada di tengah-tengah orang banyak kalau gak ada kalian."

"Please lah, Ki. Bahasa lo kayak lagi ngundang nikahan lo sendiri tau gak." Bantah Dania.

Medina menginjak kaki Dania hingga gadis itu terperanjat. Medina sontak melototkan matanya.

"Tenang aja, Ki. Kita bakal temenin lo kok." Ujar Medina. "Itu undangan buat Balqis ya?" Tanyanya saat melihat satu undangan lagi di tangan Kiana.

Kiana mengangguk.

"Kira-kira sekarang Balqis apa kabar ya? Udah jalan sebulan dan dia belum ada kabar." Ujar Medina.

"Gimana kalau pulang nanti kita singgah ke rumah orang tuanya? Mungkin Balqis udah ngabarin mereka." Saran Medina.

"Boleh tuh. Lo ikut kan, Ki?" Tanya Medina.

Tanpa pikir panjang, Kiana mengangguk.

***

Hari sakral milik sang Kakak akhirnya tiba. Tak terhitung seberapa banyak orang di rumahnya saat ini. Sebenarnya Kiana lebih mendukung jika Kakaknya menyewa hotel saja, namun Mamanya membantah sebab tradisi di lingkungan sekitar mereka melangsungkan pernikahan di rumah perempuan. Kiana hanya bisa mengembuskan napas pasrah, terserahlah.

Begitu ijab qobul sedang berlangsung, Kiana duduk di sebelah sang kakak. Tidak juga. Lebih tepatnya, di sebelah teman kakaknya. Sejak beberapa hari lalu, sahabat kakaknya selalu berkunjung ke rumah. Saking eratnya pertemanan mereka. Kiana sedih. Sebab yang dekat dengan kakaknya bukan dirinya, melainkan orang lain.

Kalimat sah itu akhirnya terucap. Semua orang mengucap syukur. Akhirnya, detik ini juga sang Kakak sudah resmi menjadi seorang istri.

Kiana adalah orang kesekian yang memeluk kakaknya sambil menangis terharu. Moment masa kecil mereka sontak terlintas di benak Kiana. Terlebih setelah ini kakaknya akan resmi keluar dari rumah dan tinggal bersama suaminya.

"Selamat ya, Kak. Semoga pernikahan lo berkah. Gak ada kata pisah selain kematian. Gue yakin kalian menikah karena dasar saling cinta. Semoga kalian bisa meratu dan merajakan satu sama lain. Dan semoga lo bisa belajar dari pernikahan Mama sama Papa " Ujar Kiana.

"Aamiin. Makasih dek."

"Jahat banget!" Ketus Kiana. "Seasing itu ya lo sama gue? Sampai panggilan gak biasa itu terlontar dari mulut lo?"

"Apaan?" Tanya Mia tak mengerti.

"Lo gak pernah manggil gue dek!"

"Oh itu." Mia tertawa kecil. "Gue terharu sama kata-kata lo. Anggap aja itu panggilan manis dari gue. Insyaallah, gue bakal belajar dari pernikahan Mama sama Papa. Gue gak bilang mereka gak bisa dicontoh. Banyak hal yang gue pelajari dari pernikahan orang tua kita. Dan gue janji sama diri gue sendiri akan membangun keluarga kecil yang lebih baik kedepannya."

Kiana menyudahi pelukan mereka, lantas menghapus air matanya. Mia benar-benar terlihat cantik hari ini.

Kiana tak bisa berkata apapun lagi. Yang dapat ia lakukan hanyalah memegang tangan sang Kakak, sebelum nantinya gadis itu melangkah ke pelaminan bersama suaminya.

***

Menyaksikan sang kakak dari kursi tamu saja rasanya ikut bahagia. Kiana sedang menunggu kedatangan sahabatnya. Tante Ambar, adik Mamanya lantas beralih duduk di sebelahnya. Beliau membisikkan sesuatu pada Kiana. Bukan berbisik, lebih tepatnya berteriak. Sebab suara musik beradu dengan suara mereka.

"Baru aja kemarin Tante suruh kamu ambil bunga kantil di pernikahannya Leya. Ternyata malah Mia yang nikah duluan." Ujar Tante Ambar.

Kiana hanya tersenyum. Terkait benar atau tidaknya asumsi orang-orang mengenai bunga kantil pengantin, nyatanya Kiana tak mengambil bunga itu saat pernikahan Leya.

Untungnya kedua sahabat Kiana benar-benar menepati janji untuk menemani Kiana hingga sore.

Dari banyaknya tetangga dan tamu yang hadir, Kiana sama sekali tak melihat kedatangan Rama.

Kiana speechless, ternyata yang datang adalah orang tua Rama. Mereka jauh-jauh datang dari luar kota untuk pernikahan Mia. Mamanya Rama terlihat antusias berinteraksi dengan Papa Kiana. Maklum, mereka adalah teman lama.

Tak lupa sang Papa memperkenalkan Kiana pada orang tua Rama. Mereka berbincang sebentar. Namun tak sedikitpun membahas tentang Rama.

Setelahnya, Kiana kembali duduk dengan kedua sahabatnya.

"Cie, dikenalin sama orang tua doi." Goda Dania.

Kiana mengembuskan napas pasrah. Nothing special.

***

Hallo!

Terkait banyaknya kasus plagiasi saat ini, aku minta tolong banget, DONT COPY MY STORY! Setiap penulis mencintai karyanya. Gak ada yang ikhlas kalau karyanya diplagiat begitu saja.

Sebelumnya juga aku mau ngucapin terimakasih banyak untuk yang masih stay baca cerita Kita Pernah Berhenti. Jujur, kalian terlalu sabar untuk nunggu update-an ku yang bahkan sekali dua Minggu.

Semoga kalian masih pantau cerita ini sampai akhir yaa.

See you next part👋🏻

Follow me on:

Instagram: @natasya.ylr

Tiktok: @natasya_naa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top