Bab: 54

Tiba-tiba ngilang. Kenapa? Udah sampai di fase ngerasa ilfeel ya?

***

Sebulan berlalu, tanggal pernikahan Mia semakin dekat. Kiana merasa tak betah di rumah sebab kini adik Mamanya sudah mulai menginap untuk membantu persiapan pernikahan.

Baru terhitung dua hari Tantenya menginap, tapi Kiana sudah merasa ingin mengungsi rasanya. Banyak pertanyaan kepo dan cerita seputar pencapaian anaknya yang kerap membuat Kiana semakin merasa insecure.

Meski akhir-akhir ini Kiana disibukkan dengan kegiatan menjelang buku ketiganya terbit, namun hal itu tak membuat Tantenya puas. Kiana benci melihat orang-orang mengecap standar kesuksesan dari gaji dan uang. Meski jika dipikir secara logika hal itu memang tidak salah.

Lima puluh eksemplar buku ke-tiganya akan dikirimkan ke rumah Kiana dalam beberapa hari mendatang. Bukannya pesimis. Melihat semakin sedikitnya jumlah view readersnya, ia jadi ragu apakah buku itu bisa terjual habis dalam sekali pre-order nantinya.

Aksi melarikan dirinya hari ini berhasil. Kemungkin Kiana akan keluar rumah hingga sore atau malam, mungkin. Secara kebetulan, Maisa - teman sekaligus gurunya saat mengajar kursus menghubunginya dan meminta ditemani ke sekolah mereka. Maisa mendapat pesanan baju dari sekolah dan akan diantar hari ini. Dengan senang hati Kiana menyetujuinya.

Untung saja Tantenya tak sempat melontarkan pertanyaan saat Kiana tergesa-gesa pamit dengan Mama dan Tantenya. Ia sengaja bersiap-siap di kamar, bahkan memesan gojek lebih dulu. Jadi dia akan keluar saat gojeknya tiba.

Keluar dari rumah, tak serta-merta membuat pikiran Kiana tenang. Sekarang ia sedang berpikir, bagaimana nasibnya nanti saat di sekolah. Bagaimana jika gurunya masih ingat dengannya? Bagaimana jika mereka bertanya Kiana berkerja dimana saat ini? Ah, sial. Untuk kesekian kalinya, Kiana merasa malu pada diri sendiri. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

***

"Nanti gue tunggu di luar aja ya." Ujar Kiana saat mereka sudah tiba di area sekolah SMA mereka.

"Ya ampun, Ki. Gue bawa lo karena pengen ditemenin. Kok lo malah nunggu di luar sih?" Sungut Maisa.

"Gue gak pede, Mai. Please, gue tunggu di luar aja ya. Biar gue bantu bawain baju-bajunya sampai di pintu."

"Kenapa gak pede sih? Guru-guru jelas lebih inget sama lo lah ketimbang gue. Lo kan banyak prestasinya." Maisa masih berusaha membujuk Kiana.

"Itu dulu, Mai. Sekarang beda lagi. Udah ya. Fix, gue tunggu di luar." Tanpa menunggu persetujuan dari Maisa, Kiana menurunkan dua ikat baju yang ditentengnya di lantai dan langsung kabur.

"Kia!" Teriak Maisa, namun tak digubris oleh Kiana. Ia semakin lari menjauh.

Hari Sabtu harusnya libur. Namun beberapa murid dan guru ada yang hadir untuk melangsungkan ekstrakurikuler dan kelas tambahan.

Kiana beralih ke pojok sekolah. Taman kecil itu masih ada. Tempat ini salah satu area yang jarang dilewati oleh guru. Kiana memilih duduk di sana sambil menunggu Maisa.

Kiana sengaja tidak membuka ponsel. Ia memilih menikmati suasana yang sudah lama tak ia rasakan. Kiana masih ingat betul beberapa tahun yang lalu tempat ini menjadi destinasi favoritnya dengan ketiga sahabatnya.

Dulunya mereka menghabiskan waktu istirahat di sini, membeli makanan di kantin dan makan di sini. Pernah bolos saat jam pelajaran Sejarah, bahkan hingga dicie-ciekan dengan Aksa saat lelaki itu tak sengaja lewat di depan mereka. Benar-benar pengalaman yang manis kala itu.

Seorang siswi berpakaian Pramuka kini lewat di depan Kiana. Tadinya mereka sempat bersitatap, namun Kiana memutus kontak mata lebih dulu. Lima langkah melewati Kiana, gadis itu kembali berbalik.

"Kak Na Kia? Alumni ya?" Tanya gadis itu. Kiana refleks mengangguk meski nama yang disebutkan gadis itu adalah nama penanya. "Wah! Aku salah satu pembaca Kak Na loh!"

Kiana tersenyum. Tak menyangka jika adik kelas yang bahkan tak pernah berjumpa sebelumnya ternyata kenal dengannya.

Gadis itu menutup mulutnya tak percaya. "Kak Na harus tau kalau buku pertama Kak Na itu sempat viral di kelasku waktu itu. Waktu itu bukunya udah terbit setahun yang lalu. Pas aku iseng bawa ke sekolah, ternyata cuma aku yang punya novelnya dan temen-temen sekelas pada rebutan pengen baca. Sampai sekarang aku masih inget sama alurnya. Sejatuh cinta itu sama karakter cowok di bukunya Kak Na!"

Kiana tak henti tersenyum mendengar ungkapan hati gadis di depannya saat ini. Bahkan ia tak bisa berkata-kata untuk mengungkapkan rasa terimakasihnya atas pujian terhadap karyanya.

"Aku masih dendam ya sama Kak Na! Kenapa karakter cowok favoritku malah jadi ubi! Padahal kalau endingnya mereka pacaran aku bakal kasih rate love sekebon loh! Tapi gapapa deh, aku juga suka sama cerita sad ending."

Senyum Kiana merekah hingga kedua matanya membentuk garis lengkung. Pipinya mungkin memerah saat ini.

"Makasih ya. Aku terharu denger semua cerita kamu tentang karyaku. Aku bahkan gak nyangka bisa denger kalimat ini secara langsung dari pembacaku." Ujar Kiana dengan tulus. "Aku boleh minta nomor hape kamu gak?"

"Eh? Kok kebalik? Kan harusnya aku yang minta." Tanya gadis itu heran.

"Gapapa. Aku mau ngasih kamu gift sebagai ungkapan terimakasih."

"Hah? Serius kak? Sumpah ini udah kebalik!" Gadis itu masih tak menyangka.

"Udah, gapapa. Ayo cepet. Kamu juga harus masuk kelas kan?"

"Oiya!" Gadis itu menepuk jidatnya. Lantas menyebutkan saru-persatu nomor ponselnya pada Kiana. Ternyata gadis itu bernama Okta. "Aku masuk kelas dulu ya kak. Bye Kak Na!" Lanjutnya.

Kiana melambaikan tangannya. Senyuman masih terukir di bibirnya. Sekecil apapun review kalimat yang ia dengar seputar karyanya, hal itu mampu membuat Kiana bahagia. Sebab ia merasa bahwa karya yang ia lahirkan disukai dan diapresiasi oleh orang-orang.

Kiana lantas kembali menemui Maisa. Sekarang ia tak masalah jika harus menunggu di depan kantor guru. Dan kebetulan, Maisa juga baru keluar dari sana. Gadis itu memasang wajah kesal kala bersitatap dengan Kiana.

"Mai, kapan-kapan temenin gue ke sini lagi ya." Ujar Kiana.

"Hah? Bukannya lo malu ketemu guru?"

"Gue mau nyumbang buku-buku gue ke perpustakaan sekolah."

"Hah? Kesambet apa lo, Ki? Abis darimana lo tadi?" Ujar Maisa, shock mendengar ucapan Kiana.

"Gapapa." Ujar Kiana sambil tersenyum.

"Gak jelas!" Sungut Maisa. "Btw lo beneran free hari ini kan?"

Kiana mengangguk.

"Yok, temenin gue makan. Gue traktir kali ini deh."

"Okey!" Jawab Kiana dengan senang hati.

***

Esoknya, Kiana memutuskan untuk kembali keluar rumah sambil mengajak Dania dan Medina. Terkesan pengangguran banyak acara memang. Tapi mau gimana lagi, demi kesehatan mental. Kebetulan hari ini hari Minggu, dan kedua sahabatnya itu sedang libur kerja.

Ketiga ponsel mereka sengaja dikumpulkan di tengah-tengah. Ngomong-ngomong ini ide dari Dania agar moment kumpul-kumpul mereka kali ini full saling berbagi cerita.

"Hadeh, gimana nanti kalau lo udah berkeluarga, Ki. Gak mungkin kan, setiap keluarga suami lo yang toxic dateng lo malah kabur ke rumah tetangga?" Ujar Dania. Barusan Kiana cerita pada mereka tentang kenapa tiba-tiba ia mengajak untuk keluar bersama.

"Itu mah beda lagi." Tepis Kiana.

"Makanya mesti belajar dari sekarang, Ki." Ujar Dania lagi.

"Lagian Tante gue nginepnya masih lama kok. Masih seminggu kedepan. Abis ini juga gue bakal di rumah doang paling."

"Gak nyangka ya, Kak Mia bentar lagi nikah. Tapi ini kita berdua bakal diundang gak nih? Ntar kayak pas lamaran, cuma Rama doang yang diundang." Ucap Medina.

Ngomong-ngomong tentang Rama, Kiana tak pernah lagi berjumpa dengan lelaki itu semenjak pertemuan terakhir mereka. Lelaki itu sudah jarang berkunjung ke rumah. Kiana hanya mendengar kabarnya dari sang Mama. Katanya Rama sudah mulai sibuk bolak-balik ke rumah orang tuanya sekarang.

"Pasti diundang lah. Gue sendiri yang nganterin undangannya ke rumah kalian satu-satu." Lanjut Kiana.

"Asyik! Makan enak nih Minggu depan, Me." Ujar Dania.

Tiba-tiba salah satu dari ponsel mereka menyala, menampilkan panggilan masuk dari Rey❤️. Ternyata ponsel itu milik Dania. Gadis itu sontak mengambilnya dan mengangkat panggilan masuk itu sambil menjauh dari kedua sahabatnya.

Kiana dan Medina saling bersitatap.

"Bukannya pacar Dania namanya Gavin ya?" Tanya Kiana. Medina tak menjawab. Gadis itu terlihat kikuk dan beralih menyeruput minumannya.

Selang beberapa saat, Dania akhirnya kembali. Tak ada percakapan semenjak gadis itu kembali beberapa menit lalu. Suasana mendadak canggung.

"Dan?" Panggil Kiana. Gadis itu mengangkat pandangannya dan membalas tatapan Kiana. "Lo udah gak sama Gavin lagi?"

"Masih." Ujar gadis itu.

Dahi Kiana mengernyit heran.

Dania mengembuskan napas pasrah. Tak lama, ia kembali bersuara. "Yang barusan itu temen gue. Gavin itu pacar. Tapi Rey itu temen cowok yang selalu ada buat gue."

Kiana masih tak habis pikir. "Jadi ceritanya lo selingkuhin Gavin?"

"Gue gak tau lo bakal percaya apa enggak, tapi gue sama Gavin sekarang lagi di fase ngasih kebebasan satu sama lain. Kita punya komitmen bakal nikah suatu saat nanti. Tapi untuk sekarang kita masih pengen main-main. Gue boleh deket sama beberapa temen cowok gue dan dia juga boleh deket sama temen ceweknya."

Jujur, Kiana kaget mendengarnya. Bagaimana bisa ada hubungan sebebas itu? Ya maksudnya, jika merasa sama-sama ingin bebas kenapa harus memaksa untuk mempertahankan hubungan? Ah entahlah, Kiana pusing memikirkan hal ini.

Tadinya Kiana tak percaya. Tapi mengingat ia pernah menyaksikan langsung Gavin pacaran dengan adik kelas mereka waktu itu. Dapat ia simpulkan bahwa Gavin dan Dania sama saja. Sama-sama mencari kebebasan satu sama lain.

"Lo udah tau tentang ini, Me?" Tanya Kiana.

Medina mengangguk. Kiana mengembuskan napas pasrah. Jika tahu begini mestinya saat itu ia tak perlu pusing-pusing untuk mengungkap bukti bahwa Gavin selingkuh. Bahkan ia sempat bertanya langsung pada adik kelasnya saat itu. Jika diingat-ingat lagi, Kiana malu sendiri dibuatnya.

"Sebenarnya gue mau cerita ke lo, Ki. Tapi karena kita jarang ketemu dan gue yakin lo juga pasti bakal nolak kalau gue ajak ketemuan. Makanya gue cuma cerita ke Medina." Ujar Dania. "Gue sungkan cerita ke lo lewat chat. Lagian lo juga udah gak pernah lagi cerita ke gue. Tentang lo sama Rama."

"Kenapa malah bawa-bawa dia sih?"

"Tapi bener kan, lo udah sedeket itu sama dia sekarang?" Tanya Dania.

Kiana menggeleng.

"Bohong banget."

Kiana bungkam beberapa saat. Tadinya ia sempat ingin menanyakan hal ini pada Dania lewat chat, tapi ia takut jika Dania malah menyimpulkan yang aneh-aneh. Tapi mumpung mereka sedang bertatap muka saat ini, rasanya tak masalah jika ia menanyakan ini.

"Dan, gue boleh tanya tentang Fahana gak?"

"Fahana kakak sepupu gue?" Tanya Dania, memastikan. Kiana mengangguk. "Tunggu! Jangan bilang lo masih nunggu Aksa? Astaga, Ki. Udah mau jadi suami orang loh doi."

Kiana menggeleng. "Bukan itu yang mau gue tanyain."

"Trus?"

"Lo tau gak, siapa mantan Fahana sebelum sama Kak Aksa?"

Dania menggeleng. "Emang siapa?"

Kiana mengembuskan napas pasrah. Itu artinya Dania tidak tahu tentang masalalu Fahana.

"Kenapa lo nanyain ini tiba-tiba? Gue emang sepupuan sama Fahana, tapi gak deket banget. Gue suka minder kalau ngeliat dia."

Kiana manggut-manggut.

"Kenapa sih?" Tanya Dania lagi.

Kiana berdehem. Lantas beralih mengaduk minumannya dengan sedotan. "Gapapa sih. Gue cuma baru tau kalau Fahana ternyata mantannya Rama."

"HAH?!" Baik Dania dan Medina sontak terkejut mendengar hal ini.

***

TBC!

Hallo! Jangan bosen nungguin update-an Kita Pernah Berhenti yaa. Btw part kali ini lumayan panjang hehe.

Jangan lupa tinggalin vote dan komentar yaa.

See you next part!❤️

Follow me on:

Instagram: @natasya.ylr

Tiktok: @natasya_naa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top