Bab: 48

Tak mesti dapat feedback dari orang yang sama. Nyatanya, perbuatan baikmu akan dikembalikan dari siapa saja. Bahkan dari orang yang tak kamu sangka.

***

Entahlah, Kiana makin tak paham dengan dirinya. Sekedar terluka kecil saja mampu membuatnya tak sadarkan diri. Hal itu membuat semua orang panik. Mia yang tadinya berencana hendak langsung pulang, malah diundur karena insiden ini.

Kiana sempat dilarikan ke klinik. Mia bertugas menjaga Kiana, sementara para lelaki sibuk mencari penginapan. Mereka terpaksa menginap sebab Mia juga panik bagaimana cara menjelaskan kepada orang tuanya nanti tentang Kiana. Dia jelas takut.

Mereka memesan dua kamar. Kiana sekamar dengan Mia. Sementara Rama dengan Ardi.

Kini, Kiana sedang berbaring memunggungi Mia. Hari ini terlalu berat untuknya. Mungkin karena efek datang bulan, energi tubuhnya mendadak lemah. Jujur saja luka di kakinya tak begitu parah. Hanya saja mungkin Kiana kaget melihat darah hingga membuatnya kehilangan kesadaran.

Mia masih belum tidur. Gadis itu malah sibuk video call dengan pacarnya. Padahal mereka sudah menghabiskan waktu seharian penuh. Dan saat ini juga hanya terpisah oleh tembok. Ngomong-ngomong, kamar mereka bersebelahan.

"Kok kamu sendirian? Rama mana?" Sejak tadi Kiana tak tertarik mendengarkan obrolan pasangan bucin di sebelahnya, namun untuk topik kali ini, Kiana sengaja menguping.

"Ada tuh lagi di balkon." Jawab Ardi.

Pandangan Kiana tertuju pada sebuah pintu menuju balkon. Sejak tadi ia memang sudah melihatnya. Namun kali ini sepertinya ia tertarik.

Kiana bangkit dan berjalan guna membuka pintu.

"Ki, mau kemana? Gausah macem-macem loh! Gajadi pulang lagi ntar besok!" Ancam Mia.

"Nyari angin bentar." Balas Kiana sambil berlalu keluar kamar.

Kiana dibuat mematung. Pemandangan ini nyaris tak pernah ia saksikan sebelumnya. Jika di kotanya nuansa malam yang ia lihat adalah gemerlap cahaya lampu, maka kini Kiana menyaksikan hamparan bintang di hadapannya.

Kiana menghirup udara sebanyak-banyaknya, hingga ia terbatuk saat udara yang ia hirup ternyata malah bercampur dengan asap rokok.

"Eh? Ada orang?" Itu suara Rama.

Kiana memang nekat sengaja keluar sebab ia tahu Rama juga ada di sini.

Meski sama-sama berada di balkon, mereka tetap terpisah oleh tembok saat ini. Kiana mendekat ke arah tembok, lantas mengintip di baliknya. Dapat dilihatnya saat ini lelaki itu sedang duduk di pembatas balkon sambil bersandar pada tembok sebelahnya. Melihat hal itu Kiana jelas merinding. Bagaimana jika tiba-tiba lelaki itu kaget dan terjatuh? Matilah!

"Ngapain? Gih masuk. Lo gak takut pingsan lagi trus-" Rama menggerakkan tangannya dan menunjuk ke bawah.

Alih-alih marah, Kiana malah fokus pada rokok di tangan Rama. Ia lupa jika Rama adalah perokok.

Kiana mengubah posisinya seperti semula, lantas mengembuskan napas pasrah. Pandangannya kembali menatap bintang-bintang.

"Kenapa? Homesick?" Tanya Rama.

Kiana sontak melayangkan tatapan tak suka.

"Canda." Lanjutnya. "Gue yang homesick." Ujarnya tiba-tiba.

Sorot mata Kiana berubah menjadi tatapan tak percaya, tapi juga kasihan.

"Canda." Ucapnya lagi.

Kiana mengembuskan napas pasrah. Padahal ia sudah serius.

"Cuma kangen dikit sih." Lanjut lelaki itu sambil kembali mengisap rokoknya.

Jujur saja Kiana tak tahu dengan latar belakang Rama, meski lelaki itu sudah dekat dengan keluarganya. Yang ia tahu lelaki itu ngekos di sekitar area rumah Kiana dan juga punya usaha sendiri.

"Kalau kangen, pulang dong." Kiana akhirnya bersuara.

Rama hanya bisa tersenyum sambil mengisap rokoknya lagi.

"Gimana? Suka sama buku-bukunya?" Lelaki itu malah mengalihkan pertanyaan.

"Suka. Semua bukunya keren, alur ceritanya juga unik. Btw, makasih banyak ya."

"Santai aja. Tapi kenapa lo gak coba nulis aja? Biasanya yang suka baca buku bakal terinspirasi buat nulis cerita sendiri." Ujar Rama.

Kiana bungkam. Dia memang suka baca buku dan terinsipirasi untuk menulis cerita sendiri. Dan berkat buku-buku pemberian Rama, Kiana akhirnya bisa bangkit dari hiatusnya. Tapi, bagaimana cara menjelaskannya pada lelaki itu?

"Kalau mau, ntar gue kenalin sama temen gue. Lo bisa sharing sama dia."

Kiana tersenyum. "Gak dulu deh, Ram. Gue mau fokus belajar jahit dulu."

"Okey! Kalau berubah pikiran, kabarin gue ya. Siapa tahu ntar lo bisa jadi penulis sukses."

Kiana lagi-lagi tersenyum. Andai saja Rama tahu yang sebenarnya.

Fokus Kiana beralih saat mendengar suara pintu yang dibuka. Ternyata itu Mia.

"Ki, masuk." Ujar gadis itu.

Kiana menoleh lebih dulu pada Rama. Melihat lelaki itu mengangguk, Kiana memilih langsung masuk ke kamarnya. Lagipula saat ini juga sudah pukul sebelas malam.

***

Paginya mereka memutuskan untuk langsung pulang. Untuk menutupi luka di kaki Kiana, sang kakak lebih dulu memberi ide agar Kiana bertukar sepatu dengannya. Mereka sepakat untuk menutupi kejadian ini dari orang tua mereka.

Tadinya Mia hanya mengambil cuti sehari saja untuk foto prewedding nya, namun karena mereka harus menginap, maka Mia menambah cutinya sehari lagi.

Malam ini, Mia menunaikan janjinya untuk menraktir Kiana makan, sebagai hadiah sebab sudah menemaninya kemarin.

Padahal mereka baru memesan sekitar lima menit yang lalu, tapi tiba-tiba pelayan datang membawa makanan ke meja mereka. Namun yang datang bukan makanan yang mereka pesan, melainkan sebuah cake mini.

Kiana melongo, sementara Mia terlihat biasa saja, bahkan mengucapkan terimakasih pada sang pelayan.

"Happy Birthday! Gue orang pertama yang ngucapin kan?" Ucap Mia excited. Gadis itu langsung memasang lilin pada cake itu dan membakar ujungnya.

Padahal ulang tahun Kiana sebenarnya besok. Mia benar, dia adalah orang pertama yang mengucapkan ulang tahun padanya.

Mia sibuk sendiri memotret cake ulang tahun adiknya. Sementara Kiana, kini merasa terharu.

"Oke, waktunya make a wish!" Ujar Mia.

Kiana memejamkan matanya, membisikkan beberapa harapan yang ia inginkan di tahun ini dalam hati. Selanjutnya, Kiana membuka mata dan mematikan api lilin dengan kibasan sebelah tangannya.

"Selamat ulang tahun Kiana! Semoga semua harapan lo bisa terkabul di tahun ini. Gue tau lo belum siap untuk nikah, jadi gue pending do'a ini. Gue harap cita-cita lo sebagai penjahit dan penulis hebat bisa terwujud biar bisa nemenin hari-hari lo dengan indah kedepannya." Ucap sang kakak.

Kiana menutup wajahnya. Ia merasa sangat terharu, tak menyangka jika kalimat manis ini akan terlontar dari mulut sang kakak.

Terdengar isakan tangis dari Kiana. Mia yang panik beralih untuk pindah duduk di samping adiknya lantas merangkul gadis itu.

"Hei, kok nangis? Omongan gue barusan ada yang salah? Gue minta maaf ya." Ujar Mia.

"Thanks, Kak. Gue terharu banget." Balas Kiana.

Mia mengusap bahu adiknya. "Harusnya gue ngerayain setiap ulang tahun lo kayak gini di masa lalu, biar kita bisa akrab. Tapi gue malah baru sadarnya sekarang, pas udah mau jadi istri orang. Besok belum tentu gue tinggal di sini lagi. Jadi gue pengen ngasih kesan yang baik buat adik gue tersayang."

Kiana sontak memeluk sang kakak.

"Udah dong nangisnya. Gue juga ikutan nangis ntar nih! Sayang make up gue."

"Sekali lagi makasih kak. Gue juga sayang banget sama lo."

"Btw, gue cuma bisa ngasih surprise cake ini doang buat lo. Sorry ya, maklum gue lagi hemat buat budget nikahan nanti." Ujar sang Kakak.

"Gue gak minta apa-apa sumpah. Gue bahkan gak nyangka lo bakal ngasih surprise ini."

"Yaudah, kalau gitu kita foto dulu ya. Sadar gasih, kita jarang foto bareng. Aneh banget kita sumpah." Ujar Mia. Kiana hanya tertawa sekilas. Nyatanya mereka memang seaneh itu.

Keduanya lantas mengabadikan foto berdua. Sebuah moment kedekatan yang sangat jarang, bahkan tak tahu apa bisa terulang lagi kedepannya.

"Okey, berhubung ultah lo masih besok, jadi gue posting fotonya besok aja kalau gitu."

***

Dulu, Kiana pernah berpikir untuk mematikan data ponselnya seharian di hari lahirnya. Hal itu ia lakukan sebab ingin meredam rasa kecewa, karena sudah tahu jika orang yang ia tunggu tak akan mengucapkan selamat padanya.

Medina pernah memarahinya karena hal ini. Gadis itu mengatakan jika Kiana melakukan itu, maka ia egois. Kiana mungkin menunggu satu ucapan ulang tahun dari orang spesial, tapi ia tak sadar bahwa banyak orang yang sayang padanya yang akan memberinya ucapan tanpa diminta. Jika data ponselnya tak aktif seharian, sama saja artinya Kiana tak menghargai effort orang-orang yang sayang padanya.

Sekarang, pemikiran Kiana berbeda. Ia bahkan sengaja menunggu hingga pukul 00. Sebab biasanya Kiana selalu mengucapkan orang-orang terdekatnya tepat saat pergantian hari.

Ada satu notifikasi masuk.

Mia menyebut Anda dalam ceritanya

Ternyata orang pertama yang mengucapkannya masih Mia. Jujur, Kiana salut dengan kakaknya. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, mungkin Mia adalah orang terakhir yang memberinya ucapan. Saking tak akrabnya hubungan mereka. Tapi kini, gadis itu malah menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat di hari spesialnya.

Di dalam postingan itu ada berbagai foto. Mulai dari foto berdua, foto kue ulang tahun kemarin, dan sebuah foto Kiana dengan laki-laki yang tak asing. Untungnya wajah lelaki itu di blur. Kiana ingat persis moment itu. Tapi, kenapa ia bisa tak sadar jika Mia berhasil mengabadikannya?

Di foto itu terekam jelas moment Kiana yang sedang menjepret daun secara estetik dan di hadapannya Rama yang sedang memotret Kiana secara candid.

Entah kenapa, pipi Kiana terasa kebas melihat foto itu.

***

TBC!

Hallo! Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya!

Follow me!

Instagram: @natasya.ylr

Tiktok: @natasya_naa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top