Bab: 44
Sedang di fase ngapa-ngapain aja capek. Lebih banyak diam. Soalnya sekalinya ngomong, yang keluar isinya keluhan, kalau nggak ya umpatan.
***
Kiana memandangi empat novel di hadapannya. Melihat judulnya saja, Kiana merasa tidak sabar untuk segera membacanya meski harus begadang. Persetan dengan tubuhnya yang remuk habis beres-beres di acara pertunangan sang kakak.
Kiana langsung mengeksekusi novel pertama yang hendak ia baca. Sudah lama ia tak membaca novel.
Mood Kiana langsung hancur saat mendengar ponselnya bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Sial! Ia lupa mematikan data ponselnya.
Begitu melihat pesan itu dikirimkan oleh Medina, mood Kiana langsung membaik. Pasalnya sudah lama gadis itu tak menghubunginya. Kiana sempat berpikir bahwa Medina marah padanya.
Medina
Ki, Balqis lagi ada masalah
Gue di rumahnya sekarang
Anda
Balqis kenapa Me?
Medina
Dia berantem sama Baskara
Sampai sekarang Balqis masih nangis
Besok lo ke sini ya
Mungkin dia mau minta solusi sama kita
Anda
Oke
***
Paginya, Kiana langsung tancap gas ke rumah Balqis. Pasalnya semalam Medina kembali menghubunginya sebab gadis itu bingung bagaimana cara membuat Balqis berhenti menangis.
Sempat terbesit di kepala mereka untuk memberikan wanita itu obat tidur. Namun mengingat sudah dini hari, dan Medina juga tak berani keluar, alhasil dia terpaksa terjaga semalaman suntuk.
"Gue... mau cerai aja." Ujar Balqis pada sahabatnya. Dania juga ikut hadir di sini.
"Qis, lo gak boleh ngomong gitu. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya." Ucap Kiana.
"Keluarganya nuntut cucu! Gue belum bisa ngasih sampai sekarang, Ki." Ujar Balqis dengan air mata yang jatuh di pipinya.
Dania mengembuskan napas pasrah. "Pernikahan kalian baru seumur jagung, Qis. Baru juga beberapa bulan. Orang lain ada yang sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun masih juga belum punya anak. Lagian anak itu titipan Tuhan, rezeki dari Allah. Masa gara-gara ini kalian milih cerai. Inget, Qis, cerai itu dosa. Namanya kehidupan rumah tangga, pasti ada cobaannya. Anggap aja sekarang kalian lagi diuji. Yakali karena ujian belum punya anak aja kalian milih cerai. Astaga, pernikahan bukan untuk main-main loh." Tutur Dania panjang lebar.
Balqis tak bisa berkata-kata. Gadis itu menangis. Matanya sudah membengkak akibat menangis semalaman.
"Kalian gak ngerti gimana rasanya disepelein sama pihak keluarga laki-laki. Kalian gak paham..." Ujar Balqis. "Apalagi pas ngeliat dia diem doang pas gue dituntut dengan segala pertanyaan dari keluarganya. Gue ngerasa sendiri!"
"Terus sekarang Baskara mana?" Tanya Dania.
Balqis menggeleng. "Gue takut dia malah balik ke rumah orang tuanya."
"Anjing! Bangsat banget jadi cowok. Ada masalah malah kabur ke rumah nyokap. Gak ada otaknya emang ya?!" Umpat Dania. Gadis ini memang paling emosi jika mendengar sahabat-sahabatnya disakiti oleh siapapun.
"Emang lo udah nyoba ke dokter? Buat cek, siapa tau salah satu diantara kalian ada yang bermasalah." Tanya Kiana.
"Gak harus ke dokter, Ki. Dia nya gak punya banyak waktu buat gue."
"Lah, sialan! Pantesan gak jadi. Ini Baskara gak doyan cewek apa gimana sih? Mana gagal honeymoon. Seenggaknya gunain waktu libur kerja buat puas-puasin nafkah batin kek." Sungut Dania.
"Kalau gue egois, gue bisa aja ngelakuin hal yang sama. Pergi kemanapun sesuka gue. Tapi gue sadar, sekarang gue udah jadi istri. Dosa kalau gue keluar rumah tanpa izin dari suami. Selama ini gue selalu nahan diri dan berusaha jadi istri yang penurut. Tapi kenapa dia gak ngeliat usaha gue? Dia cuma ngeliat kekurangan gue yang belum bisa ngasih keturunan. Gue capek!"
"Ini sih pentingnya milih calon suami yang udah matang dari segi apapun." Komentar Dania.
"Dan!" Tegur Medina.
"Maksud gue, kalau suami lo mikir, keturunan itu ada atas usaha berdua. Gak sekedar sekali berhubungan terus langsung jadi. Kalau belum berhasil mestinya cari cara lain. Ada banyak alternatif lain. Dari segi makanan, olahraga, bahkan gaya."
"Dan! Mulut lo!" Tegur Medina, lagi.
"Apasih. Kita di sini udah sama-sama dewasa, udah saling ngerti. Gak ada omongan vulgar yang mesti ditutup-tutupin." Balas gadis itu.
"Lo bener, Dan. Harusnya emang gitu. Stress juga jadi salah satu pemicu gagalnya pembuahan. Gue rasa dia gak sadar kalau istrinya sering ngerasa stress nyaris setiap hari. Entah mungkin dia gak butuh gue di hidupnya." Ucap Balqis sendu.
"Tapi Qis, pikiran baik-baik deh. Inget sebelum nikah dulu lo berjuang gimana kerasnya? Jangan lupa loh, rumah ini bisa ada atas perjuangan kalian berdua. Masa cuma gara-gara belum ada keturunan lo malah milih cerai? Inget, Qis, cerai juga butuh biaya loh."
Balqis menghapus jejak air mata yang terasa lengket di pipinya. "Sebenarnya gue juga gak sepenuhnya mau cerai. Tapi... Gue pengen dikasih waktu untuk nenangin pikiran. Nikah muda emang mimpi gue, tapi gue gak kebayang kalau kehidupan setelah menikah itu seberat ini. Segala aspek harus jadi beban pikiran, termasuk hal kecil sekalipun. Bener kata kalian, mungkin ini ujian pernikahan. Gue sebenarnya juga udah maafin Baskara karena udah ninggalin gue. Tapi.... Kalau dia gak balik lagi gimana?"
Semuanya bungkam dan saling pandang.
"Kalau dia gak balik lagi, gue tetap gak akan nuntut cerai. Gue belum siap dipandang dengan status janda sama orang-orang. Gue juga gak akan sanggup ngomong ke keluarga. Satu-satunya cara mungkin gue bakal ninggalin rumah ini. Cari kerja ke kota lain." Lagi-lagi air mata Balqis jatuh. Medina yang persis duduk di sebelahnya lantas memeluk gadis itu.
"Kok kesannya jahat banget ya? Abis berantem sama gue, dia keluar rumah, balik ntah kapan. Trus gue? Cuma bisa nangis doang? Bisa gila gue lama-lama gini terus!" Keluh Balqis.
"Mana hp lo. Biar gue yang ngomong sama laki lo!" Ucap Dania.
"Dan, lo jangan perkeruh masalah lah. Balqis udah banyak masalah di sini." Ujar Medina.
"Kalau dia diem aja yang ada lakinya malah makin seenaknya. Syukur kalau dia balik. Kalau dia selingkuh? Atau tidur sama cewek lain gimana?!" Ucapan Dania sukses membuat Balqis kembali menangis.
Medina berkerut tak suka melihat Dania. "Ki, mending lo seret si Dania keluar. Bukannya nyaris solusi, malah bikin tambah emosi."
"Qis, lo udah nyoba hubungin Baskara?" Tanya Kiana.
Medina menggeleng, bantu menjawab. Ia jelas tahu apa yang terjadi dengan Balqis sebab sudah semalaman suntuk menemani wanita itu.
"Lo gak mau coba hubungin dulu? Kesampingin ego lo, Qis. Baskara sekarang udah jadi suami lo. Jangan nunggu dia hubungin duluan. Gue rasa udah cukup semalaman dia nenangin pikiran di luar sana. Siapa tau dengan lo hubungin, dia bisa luluh dan balik lagi." Saran Kiana.
"Jadi maksud lo, Balqis mesti dituntut untuk ngalah terus? Cuma karena dia seorang istri yang di rumah aja, dia mesti nurut kata suami? Ini jatuhnya patriarki bukan sih? Lakinya mau menang terus. Maunya dingertiin terus. Ntar kalau ada masalah lagi, kabur, Balqisnya ditinggal lagi. Maksud lo gitu, Ki?" Dania masih emosi.
"Dan, Balqis ini udah nikah loh. Bukan pacaran lagi. Lo ngerti keadaannya sekarang gimana kan? Kalau keduanya sama-sama mau menang sendiri, yang ada rumah tangga mereka bakal hancur. Bener kata Kiana. Gak ada salahnya Balqis coba hubungin suaminya duluan. Gak ada yang rugi. Ini juga demi pertahanin rumah tangga mereka. Please lah, kita di sini buat ngesupport Balqis. Bukan ngedukung dia cerai." Balas Medina.
Dania kini bungkam. Mungkin masih ada kalimat bantahan yang hendak ia lontarkan. Namun melihat kondisi Balqis yang down, ia memilih memendam saja.
"Thanks guys. Gue mungkin mau istirahat dulu. Nanti kalau udah tenang, gue coba hubungin suami gue." Ucap Balqis. Mendengar hal itu, Kiana dan Medina mengembuskan napas lega.
"Tapi kalau dia masih memperpanjang masalah ini lagi. Gue-" Ucapan Balqis langsung dipotong oleh Medina.
"Baskara pasti bakal membaik. Semuanya bakal baik-baik aja, Qis." Balas Medina.
Balqis menggenggam tangan Medina. "Semoga aja, Me."
Mata sayunya beralih menatap satu-persatu sahabatnya. "Guys, kalau bisa jangan buru-buru kayak gue ya. Sakit."
Semuanya dibuat tak berkutik. Meski belum menikah, namun saat mendengar cerita Balqis, sakitnya mampu terasa oleh mereka.
"Lo harus tetap semangat, Qis. Kita semua juga mesti semangat. Mau seberat apapun masalah, hidup bakal terus berjalan. Gak ada manusia yang baik-baik aja. Kita semua punya masalah sesuai porsinya. Jadi jangan mikir untuk langsung nyerah. Lewatin sebisanya. Positif thinking, kedepannya pasti bakal ada hasil dari perjuangan yang udah dilewatin selama ini." Ujar Kiana.
Medina tersenyum mendengarnya. Ia tahu seberat apa masalah yang pernah dihadapi oleh Kiana, meski hingga sekarang hasilnya belum terlihat.
Balqis beralih memeluk ketiga sahabatnya.
"Makasih..." Ujarnya dengan nada tercekat. "Makasih udah mau dengerin gue meskipun gue udah bukan gadis kayak kalian lagi."
Begitu pandangan mata Kiana beradu dengan Dania, gadis itu lantas kembali buka suara. "Ki, ngomong-ngomong kemarin kakak lo tunangan ya? Gue liat story Instagram Rama. Kok gak ngundang kita?"
Sial! Kiana sudah menduga jika sahabatnya akan menanyakan ini. Ia memilih pura-pura tak mendengar saja.
***
TBC!
Follow me!
Instagram: @natasya.ylr
Tiktok: @natasya_naa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top