Bab: 42
Fase feeling lonely itu datangnya memang di usia dua puluhan ya? Gapapa sih, cuma kaget aja.
***
Hari ini Kiana berniat mengunjungi tempat kerja Rama. Ada hal yang ingin ia sampaikan. Rasanya sejak kemarin ada perasaan yang mengganjal. Kiana juga tak punya teman cerita.
Sebenarnya Rama berkunjung ke rumahnya nyaris setiap hari. Tapi itu hanya sekedar melihat keadaan kucingnya saja. Itupun Kiana tak bertemu langsung dengannya, sebab Kiana sibuk di kamar atau duduk di hadapan mesin jahitnya.
"Tumben berkunjung?" Respon lelaki itu saat menemui Kiana.
Kiana membuka ponselnya, lantas memperlihatkan sesuatu pada lelaki itu.
"Bagus gak?" Tanyanya sambil menunjukkan baju baru yang selesai ia jahit untuk Fauna, kucing kesayangan lelaki itu.
Rama tersenyum.
"Cakep juga ternyata kucing dipakein baju." Ujarnya.
"Iyalah, kan gue yang jahit."
"Berapa harganya?" Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Gue request dibuatin warna lain kalau lo gak sibuk."
"Apasih, gue kesini bukan mau minta bayaran."
"Trus?"
Kiana berdehem. "Sebenarnya gue kesini pengen cerita sih."
"Cerita? Kenapa gak dichat aja?"
"Gak enak kalau ceritanya diketik."
"Bukan, maksud gue kenapa gak bilang dichat? Kan bisa gue jemput."
Kiana menggeleng. "Maksud gue ceritanya gak harus sekarang. Gue kesini karena lagi gabut aja."
"Yaudah, yuk keluar. Sekalian cari makan, laper." Ujar Rama sambil menepuk perutnya.
Mau tak mau Kiana menurut. Rama ini mempunyai bisnis kue kering serta oleh-oleh khas daerah mereka. Letaknya yang strategis membuat tokonya yang baru digarap beberapa bulan itu bisa terbilang lumayan laris. Kiana mendapat informasi itu dari sang Mama.
Rama membawanya ke sebuah rumah makan kecil di pinggir jalan. Hanya ada beberapa pengunjung di sini. Kiana sering melewatinya, namun baru kali ini ia berkunjung.
"Bu, biasa. Pesan dua ya." Ujarnya.
"Eh, gue udah kenyang kok." Tolak Kiana.
"Makan dua kali gak bikin langsung gendut, tenang aja." Jawab Rama simpel.
Kiana berkerut kesal, namun ia tak bisa membantah sebab ia butuh lelaki itu saat ini.
"Mau cerita apa?" Tanya Rama saat mereka baru saja duduk.
Ngomong-ngomong, Rama memilih untuk lesehan dibanding duduk di kursi. Keunggulannya, mereka bisa mendapat bagian kipas angin jika duduk lesehan. Itu menurut Kiana.
"Lo inget cerita gue tentang Medina tempo hari?" Kiana memulai pembicaraan. Kebetulan saat itu pesanan mereka juga datang. Tanpa basa-basi, Rama langsung melahap makanannya dengan rakus.
"Yang mana? Lupa." Jawab Rama setelah sekian menit fokus dengan makanannya.
"Yang minta ditemenin ke kafe." Ujar Kiana.
"Oh, yang ngerepotin itu ya?" Rama akhirnya ingat.
Kiana berdehem. "Dia masih suka posting gitu di Instagram. Perginya emang bukan sama gue lagi. Tapi sama sahabat gue yang satunya, namanya Dania."
Terhitung seminggu sejak Kiana mengucapkan hal jujur itu pada Medina, gadis itu memang tak lagi mendatanginya dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Tak ada lagi pesan masuk dari gadis itu. Mereka kembali asing seperti sebelumnya. Namun kali ini, rasanya lebih sakit.
Dulu, saat Kiana masih mau menjadi teman yang bisa diajak pergi oleh Medina, keduanya sering bertukar pesan di Instagram. Saling mengirim video lucu, atau quotes yang sesuai mood. Semuanya berhenti semenjak Kiana berkata jujur.
Meski kini Kiana punya banyak waktu untuk dirinya sendiri, tetap saja rasanya ada yang kurang. Kiana merasa sendiri. Tak ada yang bisa diajak sharing lagi.
"Apa salahnya? Berarti dia masih konsisten untuk panas-panasin mantan lewat story." Ujar Rama. "Lo gak makan?" Tanyanya.
Saking fokusnya cerita, Kiana jadi lupa menyantap makanannya. Detik itu juga, Kiana langsung mencuci tangannya, mengikuti jejak Rama, makan dengan tangan meski di sini menyediakan sendok dan garpu juga.
"Kemarin Medina bilang, dia belum berani sebarin kabar putusnya ke orang-orang karena rasanya masih sakit. Bahkan dia juga gak berani ketemu sama temen-temen deketnya. Tapi sekarang malah udah lengket banget sama Dania. Sampai mendaki gunung bareng loh. Keren gak tuh. Salut sih, dia nyari tempat pelampiasan sejauh itu." Ujar Kiana.
"Lo iri karena gak diajak?" Tanya Rama frontal.
"Bukan gitu! Gue cuma... ngerasa kehilangan aja. Gue sekarang ngerasa sendiri banget."
Rama ikut bungkam.
Kiana melanjutkan ceritanya. "Soalnya dulu gue selalu punya temen cerita. Pas masih dikosan, gue deket sama orang. Deketnya lumayan lama. Tapi semuanya hancur gara-gara gue tau dia pernah ngehianatin gue. Finally, dia keluar dari kosan, dan gue jatuh sakit sampai nyokap nyuruh gue balik tinggal di rumah lagi."
"Trus, gak lama, ternyata gue deket lagi sama Medina, sahabat yang paling deket pas SMA. Ternyata gak berlangsung lama. Buktinya sekarang kembali asing. Gue di rumah doang. Gak ada siapa-siapa yang bisa diajak ngobrol. Untuk hal-hal random yang terjadi sama gue sekarang gue pendam sendiri. Benar-benar sesepi itu gue rasanya."
Rama berdehem pelan. "Kan masih ada Fauna."
"Hah?"
"Jangan salah. Kucing itu bisa jadi pendengar yang baik loh. Apalagi kalau dia udah lengket sama lo, dia bisa ikut ngerasain perasaan sedih lo. Bahkan dia bisa ngehibur lo."
Kiana berkerut heran. "Masa sih?"
"Coba aja."
Kiana geleng-geleng kepala. "Belum pernah gue deket sama hewan."
"Coba aja dulu. Siapa tau cocok."
"Lo pernah ngerasa gitu juga gak sih?"
"Apa? Deket sama kucing?"
"Bukan! Maksud gue feeling lonely."
"Kayanya nggak. Temen gue banyak. Tiap hari mungkin bisa nambah kenalan. Kalau lagi ada masalah, ketemu temen rasanya udang plong. Gak perlu pakai curhat. Ntar juga lupa sama masalah."
Kiana mengembuskan napas pasrah. "Extrovert mana paham."
Rama tertawa. "Lo makannya lama banget. Mana setengahnya belum habis."
"Lo sih ngajak ngobrol."
Rama hanya geleng-geleng kepala, lantas menuangkan es teh milik Kiana ke gelas miliknya. Tanpa pikir panjang, lelaki itu lantas meneguknya. Kiana membulatkan matanya tak santai. Meski tak minum di gelasnya langsung, tapi tetap saja minuman itu adalah bekasnya.
"Gak sopan!" Umpat Kiana, akhirnya. Dia mengatakan itu sambil menunduk malu.
"Gue minta minumannya ya. Udah sopan kan?"
Kiana tak bisa berkata-kata. Ia beralih menyeruput minumannya. Suasananya mendadak panas-dingin. Aneh.
Sementara Rama, lelaki itu kini asyik sendiri dengan ponselnya.
"Kak Mia tunangannya Minggu depan ya?" Tanyanya.
"Hah?" Kiana shock. Meski serumah, Kiana tak begitu excited mendengar cerita-cerita seputar saudaranya. Mereka memang tak seakrab itu.
"Ini nyokap lo ngundang." Lanjut Rama. "Kok kaget?"
Kiana menggeleng. "Tanggal 28 ya? Gue gak nyangka hari cepet banget berlalunya."
"Pasti sedih ya, ditinggal saudara nikah." Tebak lelaki itu.
Kiana mengangguk.
"Tinggal nyusul, ntar sedihnya juga ilang."
Kiana tak menjawab. Ia memilih untuk melanjutkan aktivitas makannya.
Fokus Kiana teralihkan begitu mendengar suara jepretan kamera. Ia langsung menatap sumber suara. Siapa sangka, ternyata Rama berhasil memotretnya.
"Hapus gak!" Titah Kiana.
"Iya-iya! Bakal gue hapus kok. Gak estetik juga." Ujar Rama tanpa menunjukkan hasil fotonya.
"Awas aja lo ulangin lagi ya!" Ancam Kiana.
"Dih, pede." Rama menurunkan ponselnya, namun masih tetap sibuk dengan benda itu.
Kiana sudah menyelesaikan kegiatan makannya. Melihat Rama yang tak berniat beranjak sedikitpun, Kiana juga mengikuti hal yang sama dan ikut sibuk dengan ponselnya.
"Ram..." Panggilnya.
Rama langsung beralih menatapnya.
"Kucing itu gak gigit kan?" Tanya Kiana random.
"Paling nyakar."
Kiana berdesis. Sebenarnya masih banyak unek-unek yang ingin ia sampaikan. Namun takut jika Rama malah bosan mendengarnya.
"Makanya belajar sayang sama binatang. Dia bisa ngerasain kalau lo sayang sama dia. Beda sama manusia. Jadi gak bakal bertepuk sebelah tangan." Ujar Rama.
Kiana tertawa. "Curhat bang?"
"Dikit" Balas Rama. "Dah yuk pulang. Nasi lo udah turun kan?"
"Udah kok." Jawab Kiana polos.
***
TBC!
Follow me
Instagram: @natasya.ylr
Tiktok: @natasya_naa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top