Bab: 41

Patah hati paling sakit itu ketika tiba-tiba ingin berubah jadi orang lain, sambil mikir apa karena saya tak pantas? Padahal jawabannya karena salah pilih pasangan.

***

Seperti permintaan sang Papa, Kiana kini fokus membuat sweater untuknya. Untuk pilihan warna, Kiana memilih warna hitam, sebab sang Papa minta dibuatkan warna kesukaan putrinya.

Sang Mama juga sedang menunggu antrian dibuatkan baju untuk Fauna.

Sedang asyik-asyiknya menjahit, terdengar ketukan dari pintu utama. Sang Mama yang kebetulan berada dekat dari ruang tamu mengambil ancang-ancang untuk membukakan pintu.

Sebelum beranjak, sang Mama memberikan tatapan peringatan padanya. "Jangan kemana-mana lagi malam ini." Ujarnya berbisik, namun masih terdengar jelas oleh Kiana.

Kiana bisa menduga siapa yang bertamu di depan sana.

Tepat seperti dugaannya, Medina kini sudah nongol masuk ke dalam rumah. Gadis itu menyunggingkan senyum penuh arti.

"Gue ada rekomen kafe yang bagus. Tenang aja makanannya enak kok." Ujarnya to the point.

Kiana bungkam, bingung hendak menolak dengan cara apa, pasalnya sudah empat hari ini Medina selalu mengajaknya keluar.

"Me, kayaknya gue-"

"Ki, barusan Rama hubungin Mama, nanti malam jadi kan?" Kiana membulatkan matanya tak santai begitu mendengar omongan sang Mama barusan.

"Oh, lo udah janji?" Tanya Medina. "Sama Rama?"

Kiana terpaksa mengangguk. Sang Mama langsung pergi setelah mengatakan hal itu. Kiana ragu jika Mamanya berbohong. Pasalnya sang Mama memang sedekat itu dengan Rama.

"Mau ngedate?" Tanya Medina lagi.

"Mau beli bahan kain buat bikin baju." Jawab Kiana, bohong.

"Lo udah pinter buat baju sekarang? Wah keren. Lo mau buatin Rama baju?"

"Buat Fauna, kucingnya." Hal ini jelas bohong. Padahal membuat baju kucing itu bisa dari potongan kain tak terpakai.

Medina ber-oh ria. "Gue ikut boleh?"

Kiana sontak dibuat mati kutu sekarang.

"Abis beli bahan kain, nanti lo temenin gue ke kafe. Kita ajak Rama sekalian, gimana?"

Sekarang, matilah Kiana.

***

Niat hati ingin membohongi Medina agar tak keluar malam ini, ujung-ujungnya dia malah keluar bertiga bersama Rama pula.

Entah apa yang dikatakan sang Mama pada Rama hingga lelaki itu mau menjemput Kiana untuk keluar saat ini.

Mamanya bahkan tak menyangka jika ternyata Kiana berakhir keluar juga, padahal tadi hanya alasannya saja agar Medina berhenti mengajak Kiana keluar.

Melihat Rama yang tak tahu apa-apa, Kiana memutuskan untuk naik ke motor Rama. Medina juga tak keberatan dengan hal itu.

"Ram, gue minta maaf banget, lagi-lagi nyokap minta tolong ke lo." Ujar Kiana saat sudah keluar dari pelataran rumah.

"Lo emang sebandel itu ya? Sampai nyokap lo khawatir banget?"

"Maksud lo?" Tanya Kiana.

"Gapapa."

Kiana mengembuskan napas pasrah. "Gue udah sering bilang ke nyokap jangan ngerepotin lo terus. Tapi tetep aja, kalau ada apa-apa selalu hubungin lo. Demi apapun, gue sama sekali gak minta terus-terusan ngerepotin lo."

"Ya gapapa sih, itung-itung nyokap lo udah ngerawat anak gue juga." Ujar Rama.

Selanjutnya Kiana bungkam. Bingung ingin mengatur semuanya seperti apa. Jujur saja dia sama sekali belum kepikiran untuk membeli bahan kain untuk baju hewan. Bahan untuk membuat sweater saja ia meminta Maisa untuk menemaninya. Lagipula berlebihan rasanya jika ia benar-benar harus beli kain untuk membuatkan si kecil itu baju.

"Ram..."

"Hmm?"

"Gue bingung, gimana cara milih bahan kain buat baju kucing."

"Hah?" Jelas saja Rama heran, sebab sejak awal Kiana belum mengatakan mereka hendak kemana. Lelaki itu hanya mengikuti arah motor Medina saja.

"Sebenarnya nyokap hubungin lo karena gak mau gue terus-terusan diajak keluar malem sama Medina."

Rama diam.

"Pas nyokap bilang gue mau pergi malam ini sama lo, dia nanya gue mau kemana. Gue iseng jawab mau beli bahan kain buat baju Fauna, eh dia malah nawarin ikut."

"Trus masalahnya?" Tanya Rama.

"Masalahnya, Medina minta ditemenin ke kafe setelah dari sana. Medina baru putus beberapa hari lalu, dan untuk ngobatin rasa galaunya, dia pengen posting sesuatu yang kelihatan kalau dia bahagia untuk balas dendam ke mantannya."

Rama bungkam. Kalimat barusan mungkin terdengar bodoh baginya.

"Sorry kalau gue ngerepotin lagi. Gue sebenernya bingung mau nolak permintaan Medina dengan cara apa. Medina patah hati banget putus dari mantannya, dan hanya gue yang tau mereka putus. Medina belum berani bilang ke temen yang lain karena dia belum sanggup."

"Trus mau sampai kapan?" Respon Rama akhirnya.

"Apanya?"

"Temenin temen lo."

"Gue gak tau. Gue bingung gimana cara nolaknya."

"Kalau gak ngomong, temen lo bakal terus ngerasa kalau lo selalu punya waktu untuk dia dan mau diajak kemana pun."

Kiana bungkam, sedang menimang ucapan Rama barusan. Jujur saja sejak dulu Kiana memang butuh quality time yang sangat lama dalam sehari. Rasanya jika tidak menyendiri, energinya seolah lowbat.

"Okey, nanti gue coba."

***

Toko bahan kainnya tutup. Mereka langsung menuju ke kafe yang Medina maksud.

Mereka duduk di meja yang sama. Hanya ada perbincangan antara Kiana dan Medina di sana. Mengingat kedua perempuan itu jarang ngobrol dengan laki-laki. Beda halnya dengan Balqis dan Dania.

Begitu makanannya datang, Medina langsung meminta Kiana untuk mengambil fotonya. Kiana memang bertugas untuk menjepret foto gadis itu selama mereka keluar beberapa hari ini.

Nanti, hasil foto Kiana akan Medina unggah di instastory nya.

Ada kepuasan tersendiri bagi Medina saat sang mantan melihat postingannya.

Bahkan hingga makanan milik Rama sudah habis, keduanya masih belum menyentuh makanan sama sekali, akibat Medina masih belum puas dengan hasil fotonya.

Terlihat raut tak suka dari Rama. Dapat Kiana baca, sebab lelaki itu beberapa kali menatapnya lama.

"Gue tunggu di parkiran." Ujarnya lantas beranjak begitu saja.

"Lah, belum juga makan, udah mau diajak pulang aja." Jawab Medina, namun tak dihiraukan oleh lelaki itu.

Kiana berdehem pelan. "Me, gue mau ngomong sesuatu."

"Iya, Ki? Mau ngomong apa?" Gadis itu beralih melihat hasil fotonya lagi.

"Sorry, kedepannya gue gak bisa temenin lo keluar malam lagi."

Pandangan Medina yang tadinya terpusat ke ponsel, sontak beralih menatap Kiana.

Kiana menarik napasnya, lantas mengembuskannya pelan. "Gue mau fokus sama kegiatan yang baru aja gue mulai. Gue juga gak mau terus-terusan buat nyokap khawatir karena gue keluar malam. Bukannya gue gak ngesupport lo, tapi-"

"Gue paham kok." Potong Medina. "Gue juga salah. Maafin gue ya, Ki. Waktu lo pasti banyak terbuang sia-sia buat nemenin orang patah hati kayak gue."

"Me, maksud gue gak gitu."

"Iya, gue ngerti kok."

Keduanya lantas sama-sama bungkam.

Melihat Medina yang sama sekali tak menyentuh makanannya, dan kembali sibuk dengan ponsel, Kiana akhirnya angkat suara.

"Gue balik duluan, ya."

Medina mengangguk. Kiana lantas bergegas pergi untuk menyusul Rama.

***

Kiana mempercepat langkahnya sebab diikuti oleh tatapan Rama yang tak lepas darinya. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan intimidasi.

Sialnya malam ini hujan, meski masih gerimis. Kasihan, lelaki itu mungkin sudah hujan-hujanan sejak tadi.

Tak ada kalimat apapun yang terlontar dari mulut keduanya. Rama kini fokus menghidupkan mesin motornya, sementara Kiana sibuk dengan pikirannya sendiri.

Di sepanjang perjalanan, keduanya benar-benar bungkam. Bahkan hingga sudah tiba di rumah.

"Makasih banyak, Ram." Ujar Kiana akhirnya.

Tak ada balasan apapun. Lelaki itu langsung beranjak pergi begitu saja.

Kiana akhirnya masuk ke dalam rumah. Kepalanya benar-benar terasa berat saat ini. Bajunya tidak begitu basah, sebab hanya gerimis. Ditambah tubuh Rama ternyata mampu melindunginya dari air sebab lelaki itu ngebut saat mereka pulang.

Merasa tak enak pada Rama, Kiana lantas mengirimkan pesan pada lelaki itu.





Kiana tak membalas pesan lelaki itu lagi. Tak bisa dipungkiri bahwa kalimatnya memang fakta. Namun mau bagaimana lagi, Medina adalah sahabatnya sejak SMA. Sayang jika hubungan mereka harus asing hanya gara-gara masalah sepele ini.

***

TBC!

Follow Me:

Instagram @natasya.ylr

Tiktok @natasya_naa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top