Bab: 38

Tak akan ada orang ketiga jika cinta si lelaki lebih besar dari perempuannya. Kalimat ini hanya sekedar fiktif belaka bagi si manusia yang sudah mati rasa.

***

Bingung hendak membawa anak gadis orang kemana, Kiana juga tak ingin dibawa ke jalan raya. Rama memutuskan untuk membawanya ke rumah saja.

Di sana Kiana bisa menangis sepuasnya. Untung saja tidak tantrum. Gadis itu juga menutupi wajahnya dengan masker hitam. Ia juga membawa tisu kecil. Tampaknya gadis itu sengaja membawa persediaan masker dan tisu di tasnya, jaga-jaga jika tiba-tiba perasaan cengengnya datang.

Kiana ia biarkan duduk di pelataran rumahnya, sementara Rama masih stay di motornya. Sesekali tetangganya lewat dan Rama juga bertegur sapa dengan mereka.

Untung saja para tetangga sama sekali tak bertanya saat melihat Kiana ada di depan rumahnya. Entah karena mereka tak mengenali Kiana, atau malah diam-diam menyimpan topik hangat untuk diobrolkan dengan rombongan gibahnya.

"Diikutin sama siapa sih? Copet? Begal?" Tanya Rama setelah sekian menit berdiam diri.

Kiana mengangkat wajahnya. "Gue keliatan banget habis nangis ya?"

Rama mengangguk, tentu saja. Menangis selama sepuluh menit saja mampu membuat mata gadis itu bengkak.

"Gimana ya..." Gadis itu tampak berpikir. Dia sudah berhenti menangis.

"Apa?"

"Apa alasan yang bagus kalau tiba-tiba nyokap nanyain mata gue."

"Bilang aja, lo hampir dirampok." Jawab Rama asal.

Kiana memutar bola matanya malas.

"Boleh anterin gue balik gak?" Tanya Kiana mengalihkan topik.

"Ogah. Rumah deket aja manja."

Kiana bangkit, menatap Rama dengan kesal lantas berlalu begitu saja. Hanya dengan Rama, Kiana merasakan ditolak berkali-kali. Maksudnya, ditolak permintaannya.

***

"Assalamualaikum, Ma."

Begitu membuka pintu utama yang memang jarang dikunci, Kiana berniat langsung masuk saja ke kamarnya. Ditambah ia ingin menutupi mata sembabnya ini.

Tapi herannya, tumben sang Mama tidak menjawab salamnya.

Ia beralih untuk mengecek keberadaan sang Mama di kamarnya. Kiana mengetuk pintu kamar wanita itu sekilas, lantas membukanya. Kebetulan memang tidak terkunci.

"Ma?"

Sang Mama sedang duduk di meja rias sambil memegang sebuah album. Kiana dapat melihatnya dari cermin.

"Mama kenapa?" Kiana mendekati sang Mama.

Wanita itu menggeleng, lantas menghapus air matanya dengan tisu.

"Kia ada salah sama Mama ya?" Tanya Kiana lagi. Wanita itu menggeleng.

Dapat Kiana lihat bahwa sang Mama sedang membuka sebuah album yang berisi foto pernikahan sang Papa dengan istri keduanya.

Kiana beralih menutup album itu. "Udah ya, Ma. Jangan dilihat lagi. Ini kenapa gak sekalian ikut dibakar aja sih kemarin."

"Kontrakan Papa udah dijual." Ujar sang Mama.

"Apa?" Kiana jelas kaget. Pasalnya, sang Papa sudah berhenti kerja sejak lama, dan mata pencahariannya hanya dari hasil kontrakan itu saja.

"Sinta butuh biaya untuk kuliah anaknya. Adik kamu."

Kiana mengembuskan napas pasrah. "Lagian Papa kenapa sih? Segala punya istri dua, mana anaknya banyak lagi. Sekarang kan jadi pusing sendiri! Trus, hasil dari jual kontrakan itu gimana?"

Sang Mama diam.

Kiana yang paham kini rasanya ingin emosi. Ia merasa tak adil. Bisa-bisanya mata pencaharian sang Papa dijual dan diberikan seutuhnya untuk istri keduanya itu.

"Kia mau datengin Papa sekarang juga!"

"Kiana jangan!" Bantah sang Mama saat Kiana baru saja beranjak. "Ikhlaskan. Itu juga tanggung jawab Papa."

"Terus kita? Apa kita gak tanggung jawab Papa juga?"

Sang Mama diam. Kiana mengembuskan napas dengan kasar.

"Dulu aku rela loh, gak lanjut pendidikan karena sadar Papa baru resign waktu itu. Kenapa anak dari Tante Sinta itu gak pikirin cara sendiri buat bayar uang kuliahnya? Sadar diri dikit bisa gak sih? Gak kasian sama Papa apa? Lagian Papa juga udah tua!"

"Gak semua anak punya pola pikir begitu, Kia." Jawab sang Mama.

"Ya iya, Ibu nya aja begitu! Buah jatuh gak jauh dari pohonnya! Papa milih pohon yang salah! Aku penasaran, setelah uang hasil kontrakan itu habis, apa perempuan itu masih mau terima Papa lagi?"

Sang Mama mengembuskan napas pasrah. "Kalau Sinta gak butuh Papa lagi, Papa tinggal di rumah ini aja selamanya."

"Katanya Mama gak cinta sama Papa." Ujar Kiana.

Sang Mama terkekeh. "Mama juga manusia, Ki. Sama seperti Mia, Mama juga pasti pengen punya pasangan hidup selamanya. Anak-anak Mama suatu saat pasti akan lepas. Mama gak mau tinggal sendirian."

"Tapi kalau perempuan itu masih mau sama Papa, Kia mau kok temenin Mama. Biar Mama gak sendirian."

"Mama gak mau tinggal bareng menantu." Ujar sang Mama.

"Kia gak mau nikah. Mau bareng Mama aja selamanya."

"Hust! Gak boleh ngomong gitu."

"Cowok tuh jahat, Ma! Buktinya Papa! Kia gak mau punya suami yang gak cukup sama satu perempuan!"

"Laki-laki bisa cukup sama satu perempuan, kalau dia menikah dengan orang yang dia cinta." Ujar sang Mama.

Kiana tertawa. "Itu dongeng lama, Ma. Banyak laki-laki yang jajan perempuan tanpa ketahuan sama istri sah nya. Kiana udah pernah liat sendiri di lokasi kerja."

Mendengar hal itu, sang Mama terdiam.

***

Malamnya, Kiana memutuskan keluar dengan Medina. Kepalanya terasa pusing. Ia butuh menghirup udara segar untuk merefresh kembali kepalanya.

"Tadi gue ketemu Kak Aksa."

"HAH? Dimana?" Respon Medina cepat.

"Gue gak sengaja liat dia di depan Indo, trus dia ngikutin nyaris sampai ke rumah."

"Anjir! Gilak! Psiko sih. Udah mau nikah juga masih aja mainin anak gadis orang."

"Tapi untungnya ada Rama." Ujar Kiana.

"Rama tetangga lo?"

"Tau apa aja lo tentang Rama?" Kiana malah mengalihkan pertanyaan.

"Nyokap lo yang bilang kalian tetanggaan. Eh, Ki, sadar gak sih Rama beberapa kali bantuin lo dari Aksa."

Kiana berusaha mengingat-ingat sesuatu.

Medina kembali melanjutkan ucapannya. "Dari masalah janji Aksa yang batal di danau, lo pertama kali ketemu sama Rama di sana. Trus tadi, lo diikutin sama si brengsek, lagi-lagi Rama yang bantuin lo."

Kiana mengangguk kecil. "Gue juga pernah kedua kalinya ke danau sendirian, trus pulangnya gak tau gimana, untungnya ada dia."

"Nah kan! Dia selalu nolongin lo, Kia! Jangan-jangan Rama-"

"Lo mau bilang jodoh? Cuma gara-gara tiga kebetulan itu. Udah ketebak sama gue." Tebak Kiana.

"Lah, orang gue mau bilang jangan-jangan Rama bawa keberuntungan buat lo."

Kiana mendengkus pasrah. "Apasih!"

"Ini kita mau nongkrong? Gak mau nonton aja gitu?" Tawar Medina.

"Udah jam sembilan, lo mau kita balik tengah malem?"

"Aman. Ntar gue telpon Randi biar bisa temenin anter lo balik."

"Oke. Ayuk!"

***

Pukul sebelas malam, Kiana dan Medina baru selesai menonton. Sebenarnya sebelum memesan tiket tadi Kiana berniat akan mengajak Medina pulang di pertengahan film, namun karena alur cerita filmnya menarik, Kiana memilih menonton sampai habis.

"Pantes lo betah. Filmnya menggambarkan lo banget ya." Ujar Medina.

Film itu menceritakan tentang seorang penulis yang patah hati karena diselingkuhi oleh suaminya. Proses menulisnya sempat berhenti sebab stres. Namun dengan kedatangan orang baru, mampu membuatnya kembali bangkit dan melahirkan sebuah karya tulis yang lebih indah.

"Gue udah berhenti nulis."

Medina sontak menghentikan langkahnya. "Ki, lo serius?"

Kiana mengangguk.

"Gara-gara dia?"

Kiana menggeleng. "Gue sekarang lagi fokus kursus jahit. Mau coba hal baru."

Medina sontak memeluknya. "Salut gue liat lo, Ki. Gue do'ain suatu saat lo bisa sukses!"

"Aamiin!"

"Btw, Randi udah nunggu di parkiran." Ujar Medina.

"Oke!"

***

Randi datang dengan mobilnya. Saat melihat itu, ekspresi Medina sontak berubah. Mungkin tadinya ia pikir Randi juga membawa motor agar mereka bisa jalan beriringan.

Baru saja hendak berangkat, sang Mama menelponnya. Kebetulan, Kiana baru mengaktifkan data ponselnya karena sejak tadi ia mematikannya sebab ingin fokus menonton.

"Assalamualaikum, Ma?"

"Wa'alaikumussalam. Kia! Kamu kemana aja?! Daritadi Mama telpon gak diangkat. Udah jam berapa sekarang? Mama panik daritadi, mana Papa lagi gak di rumah!"

"Maaf, Ma. Kia tadi nonton bareng Medina."

"Share lock sekarang! Rama yang jemput kamu di sana."

"Hah?! Ma, tapi Kia bareng-"

Tut!

Panggilan telepon di matikan oleh sang Mama.

"Kenapa, Ki? Nyokap lo marah ya?" Tanya Medina panik.

Kiana mengangguk kecil.

"Yaudah yuk, kita langsung pulang."

"Tapi nyokap nyuruh Rama jemput gue sekarang."

Mendengar hal itu, Medina ikut bungkam.

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top