Bab: 37
Planning hidup lagi-lagi melesat. Sekarang yaudah sih, ngikutin alurnya aja.
***
Malam ini Kiana stay di kamar. Meski sudah biasa, namun kini rumahnya sedang kedatangan tamu. Kakaknya, Mia, sedang libur kerja dan pacarnya berkunjung ke rumah saat ini.
Padahal pacarnya tahu bahwa saat ini di rumah mereka sedang tidak ada laki-laki, tapi malah kukuh untuk berkunjung. Mau bagaimana lagi, adab seolah dikesampingkan dan semuanya sudah dianggap lumrah oleh kebanyakan orang.
Mamanya Kiana ikut duduk di sana, mendampingi sang putri. Kiana memilih di kamar saja. Lagipula ia tak dekat dengan pacar kakaknya, sekalipun sebentar lagi keduanya akan melangsungkan tunangan.
Pukul sebelas malam, barulah lelaki itu pulang. Kiana merutuk di dalam hati. Bagaimana bisa dia betah duduk di rumah perempuan dalam waktu yang lama, terlebih posisi mereka sedang diawasi oleh orang tua.
Pintu kamarnya tiba-tiba dibuka. Kiana yang awalnya sibuk bermain ponsel, beralih menenggelamkan ponselnya di bawah bantal dan menutup mata.
"Gausah pura-pura tidur. Bang Ardi kirim salam sama lo." Ujar Mia sembari duduk di ranjang Kiana.
Merasa sudah ketahuan, Kiana beralih membuka matanya.
"Bulan depan gue tunangan." Ujar gadis itu.
Kiana membulatkan matanya tak santai. "Gila lo!"
"Apanya yang gila? Umur gue udah dua enam. Apalagi yang gue tunggu?"
"Masih dua enam. Belum kepala tiga." Umpatnya setengah berbisik.
"Gue minta tolong banget ya, Ki. Di moment penting gue besok, lo mesti nunjukin muka ke keluarga. Lo gak malu apa, dari awal Bang Ardi kesini dia cuma kenal lo sebagai adik lewat cerita doang, gak pernah ketemu langsung. Awas aja kalau lo ngurung diri di kamar!"
Kiana berdecak. "Gue introvert, bukan dungu."
Mia tertawa. "Oke, gue pegang janji lo."
Begitu Mia keluar dari kamarnya, Kiana sontak mematung. Itu artinya tak lama lagi kakaknya akan menikah dan keluar dari rumah ini. Adiknya juga masih betah kerja di luar kota. Belum lagi sang Papa yang harus membagi waktu untuk tidur di rumah istri-istrinya.
Tak terbayang jika posisinya saat ini Kiana masih tinggal di kosan. Bagaimana dengan sang Mama? Pasti wanita itu akan kesepian ditinggal anak-anak dan suaminya.
Kiana merutuki dirinya sendiri sebab pernah berpikir untuk membuang Fauna. Mungkin itulah sebabnya sang Mama sangat menyayangi hewan itu, karena hanya Fauna lah yang mau menemani masa-masa sendirinya.
Tanpa sadar air mata Kiana jatuh. Jika dipikir-pikir, ternyata semua masalah yang terjadi padanya benar-benar ada hikmahnya.
Tapi mau bagaimana lagi. Semuanya masa pasti akan ada habisnya. Lihat saja kakaknya, di usia dua puluh enam saja gadis itu sudah memutuskan untuk menikah. Padahal rasanya baru kemarin hari wisudanya dirayakan. Itu artinya sebentar lagi, masa dan tugasnya sebagai anak akan diganti menjadi seorang istri.
Kiana hanya bisa mengembuskan napas pasrah.
***
Jadwal kursus menjahit Kiana berlangsung tiga kali seminggu. Pendaftaran itu diurus oleh sang Mama. Kiana berniat untuk menambah jadwal belajarnya menjadi setiap hari agar cepat pandai.
Pagi ini adalah hari keduanya. Terdengar ketukan pintu kamarnya, tak lama pintu terbuka, ternyata itu adalah Mamanya.
"Ki, Mama pesanin ojek aja ya?" Tanya wanita itu pelan.
"Kia bisa pesan sendiri kok, Ma. Ini bentar lagi Kia pesan."
Sang Mama beralih duduk di ranjangnya. "Rama barusan lewat. Tapi gak mampir, kayaknya lagi buru-buru."
Kiana sontak menoleh pada sang Mama. "Tapi Mama gak minta tolong tebengin Kia lagi kan?"
"Mama gak sempat bicara apapun."
Kiana mengembuskan napas pasrah.
"Lain kali pokoknya jangan minta tebengin Kia lagi ya, Ma. Kasian, dia juga pasti punya urusan. Karena Mama yang minta, dia sungkan untuk nolak. Emang Mama mau, anak laki-laki Mama direpotin terus sama orang lain di luar sana?"
"Emang boleh, Rama jadi anak laki-laki Mama?" Sang Mama malah membalikkan pertanyaan Kiana.
"Ih Mama gak nyambung. Udah ya, Kia hampir telat. Yuk temenin Kia nunggu ojek di depan."
***
Seperti biasa, selesai jadwal kursus, Kiana menunggu Maisa selesai mengajar dulu. Selain ingin mengulur waktu, Kiana juga ingin membicarakan hal penting dengan wanita itu.
Alhasil, Kiana bisa merubah jadwal kursusnya menjadi setiap hari, tentunya dengan biaya tambahan. Bahkan Maisa menyarankan agar Kiana membeli mesin jahit sendiri agar bisa mengulangnya di rumah.
Di perjalanan pulang, Kiana sibuk memikirkan hal ini. Pengangguran seperti dirinya jelas tak punya uang untuk membeli mesin jahit. Penghasilan terakhirnya hanya dari hasil kerjasama dengan Aksa. Selebihnya Kiana tak memiliki pemasukan lagi.
Harusnya ada. Bulan ini jadwal royalti dari novel keduanya yang berjudul 'Empat' cair. Mungkin Kiana akan coba menanyakannya nanti.
Tapi sebenarnya, sejak awal terbit, Kiana belum pernah mendapatkan kiriman royalti dari hasil novel keduanya ini. Harusnya empat bulan lalu royaltinya, atau minimal laporan penjualannya dikirim melalui email. Tapi entah kenapa Kiana melupakan hal kecil ini. Hingga di masa ekonomi sulit begini, Kiana baru menyadarinya.
Alih-alih memikirkan penjualan novel keduanya, bola matanya sontak melotot sempurna saat tak sengaja bersitatap dengan seseorang yang baru keluar dari parkiran Indomaret.
Yang Kiana lihat adalah Aksa.
Jantungnya sontak berdetak kencang. Kiana berdoa, semoga yang dilihatnya tadi bukanlah lelaki itu. Namun saat menoleh ke belakang, sialnya itu benar.
Bahkan Aksa terlihat sedang mengejarnya dengan motor saat ini.
"Pak, nanti di tikungan boleh belok kiri aja gak?" Tanya Kiana pada supir ojek. Dia memang memesan ojek untuk pulang-pergi.
"Maaf mbak. Kami harus menjalankan tugas sesuai titik."
"Saya tambahin tips nya kok, Pak. Ini darurat."
"Maaf mbak. Saya gak bisa."
"Yaudah, kalau gitu tolong ngebut Pak. Saya lagi diikutin orang di belakang."
Sesuai permintaan, motor mereka melaju kencang. Tapi sialnya, begitu Kiana menoleh ke belakang, Aksa juga ngebut menyusul mereka.
Jujur, Kiana semakin takut sekarang.
Kiana semakin kalut saat mereka sudah mendekati lokasi rumahnya.
"Pak, boleh tolong terusin jalannya gak? Saya gak bisa berhenti, soalnya lagi diikutin orang."
"Baik, Mbak."
Tin-tin!!!
Motor mereka tiba-tiba dipacu dan dihadang oleh seseorang. Kiana sontak menutup matanya kuat. Hampir saja ia menangis, namun saat mengetahui orang yang menghadang mereka bukanlah Aksa, ia bisa bernapas lega.
"Bapak bisa dilaporkan kalau bawa penumpang dengan keadaan ngebut!" Ujar Rama, orang yang menghadang mereka. Lelaki itu terlihat emosi.
"Ram, udah Ram. Gue yang minta bapak ini ngebut." Ucap Kiana cepat. Kiana lantas mengambil uang pada sling bag nya, dan memberikannya pada supir ojek. "Makasih banyak ya pak."
"Jangan lupa bintang lima nya mbak."
"Astaga Pak, ini penumpangnya lagi panik loh!" Bela Rama.
Melihat Rama yang masih kelihatan emosi Kiana tak bisa menahan tangisnya lagi.
"Pak, jangan pergi dulu!" Ujar Rama saat melihat Kiana menangis.
"Bukan bapak ini penyebabnya!" Balas Kiana.
"Trus?"
"Mbak ini tadi bilang dia diikutin orang dari belakang." Jawaban dari supir ojek ini sangat membantu Kiana.
"Serius? Siapa yang ngikutin lo?"
"Gue belum mau pulang dulu, Ram. Gue takut nyokap khawatir."
Rama beralih membukakan pijakan kaki motornya. "Yaudah, naik."
***
TBC!
Jangan lupa vote dan komennya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top