Bab: 35
Seperti proses memulai.
Mencoba selesai juga sama beratnya.
***
Tak sanggup menahan bebannya sendirian, Kiana akhirnya menghubungi keluarganya. Dengan keadaan yang sedang down, bisa-bisa Kiana mati sendirian di kosan ini.
Belum banyak barang-barang yang dipindahkan, Kiana menghubungi keluarganya mendadak dan mengatakan bahwa dirinya sedang sakit dan minta dijemput.
Dulu, Kiana bersikeras meninggalkan rumah, sekalipun ia sudah nyaman di kamarnya sendiri demi hidup mandiri dan menjemput mimpi. Namun setelah dijalani, rasanya Kiana kini sudah tak sanggup. Semuanya terasa seperti kosong.
Mama Papanya jelas khawatir dan langsung menjemputnya ke kosan saat itu juga.
Rasa sedihnya tak bisa ia bendung saat orang tuanya datang menjemput. Kiana menangis sepanjang hari, mengurung diri di kamar, dan tak mau diajak bicara. Tentu saja orang tuanya khawatir, takut entah apa yang terjadi dengan putrinya. Hingga mereka menghubungi sahabat Kiana.
Dan yang sering berkunjung ke rumahnya beberapa hari ini adalah Medina. Gadis itu meluangkan waktunya setelah pulang bekerja.
Medina membawakan nasi goreng kesukaan Kiana. Dan gadis itu memakannya dengan perlahan.
"Udah ada peningkatan. Kemarin lo cuma makan beberapa suap. Hari ini lo udah habisin nyaris setengah porsi." Medina tersenyum melihat perkembangan sahabatnya.
"Maaf ya, gue selalu ngerepotin lo, Me." Ujar Kiana.
"Kenapa minta maaf sih? Gue sendiri yang pengen jenguk lo setiap hari. Udahlah gak usah sungkan. Kayak baru kenal aja."
Kiana mengembuskan napas pasrah.
"Gue kayaknya udah gak kuat, Me."
"Hust! Jangan ngomong gitu. Gue udah janji sama orang tua lo untuk support lo terus. Mereka khawatir lihat keadaan lo kayak gini. Jadi please, jangan putus asa, Ki."
Air mata Kiana sontak menetes di pipinya. "Gak ada harapan lagi, Me. Gue capek perjuangin mimpi gue. Dari dulu gue ikhlas berjuang dari nol. Bahkan gue juga pernah gak dapet royalti sepeser pun dari penerbit buku dan tetep milih bertahan. Gue gak tau apa ini cara Tuhan nyampein kalau takdir gue emang bukan sebagai penulis ya? Sampai gue diuji sehancur ini."
Medina tak bisa berkata-kata. Ia beralih mengelus bahu Kiana untuk menenangkan gadis itu.
Kiana menghapus air matanya dengan kasar. "Naskah yang berhasil gue buat dalam waktu sebulan itu sekarang dapet juara dua di penerbit impian gue. Gue bangga, tapi naskah itu bukan hak milih gue. Harusnya... gue kan? Dari dulu gue punya mimpi untuk bisa tembus ke penerbit itu loh."
"Ki... Inget. Gak semua planning yang lo susun itu baik buat lo. Tuhan lebih tau segalanya." Balas Medina.
"Maksud lo, gue harus nyerah?"
"Bukan gitu maksud gue, Ki. Bisa jadi waktu lo bukan sekarang."
Kiana menggeleng. "Gue udah gak sanggup nulis lagi, Me."
"Kia, maksud gue lo cuma butuh istirahat. Lo bisa berjuang lagi nanti. Waktu lo masih panjang."
"Gue gak bisa nulis lagi karena objek gue udah hilang!" Kiana menangis lagi. "Kak Aksa..."
Kiana menutup wajahnya. "Dia udah tunangan sama penulis yang namanya berhasil tembus di penerbit impian gue. Mimpi gue udah mati. Gue capek..."
Medina beralih memeluk Kiana.
"Lupain semuanya, Ki."
Kiana menangis di bahu Medina. "Rasanya sakit, Me. Seolah semua perjuangan gue sia-sia selama ini."
"Gak ada perjuangan yang sia-sia, Kia. Lo bisa jadiin itu sebagai pelajaran hidup. Kalau lo down terus, laki-laki brengsek itu bakal ketawa di atas penderitaan lo. Lo masih bisa bangkit dan tunjukin kalau tanpa dia sebagai objek, lo bisa sukses!" Ujar Medina.
"Gue tau menulis ini mimpi lo dari dulu bahkan sebelum kenal Aksa. Kesimpulannya sekarang bukan berhenti menulis, tapi ganti objeknya. Move on, Ki."
Kiana mengangguk. Matanya terasa berat dibuka saking seringnya dia menangis.
"Pelan-pelan, Ki. Bangun semuanya dari nol lagi. Gue yakin lo bisa."
"Makasih, Me."
Pintu kamar Kiana kini terbuka. Sang Mama menatap Kiana dengan tatapan berbeda.
"Mama?" Panggil Kiana.
Medina berdehem. Sepertinya Mamanya Kiana mendengar obrolan mereka. Merasa suasananya mencekam, ia akhirnya pamit pulang.
***
Kiana baru saja menghapus aplikasi menulisnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan hampa. Kedua telinganya ia sumbat dengan lagu-lagu mellow, menggambarkan suasana hatinya saat ini.
"Mama gak pernah ngelarang Kia untuk bermimpi. Tapi kalau perjuangannya terlalu berat dan ngerasa gak sanggup, jangan dipaksa. Dulu Mama pernah nyuruh Kia kuliah, tapi Kia gak mau. Kia pikir gampang buat Mama ngelepas Kia ngekos sendirian di luar sana? Tiap hari Mama mikirin Kia. Tapi Kia gak pernah cerita dan memilih mendam semuanya sendiri. Sekarang, Mama harap Kia sadar. Dengerin omongan Mama kali ini. Kia udah coba berjuang kan? Sekarang boleh Mama minta berhenti? Mama paham, cita-cita Kia ingin menjadi wanita sukses. Kita cari pintu masuknya sama-sama ya."
Mungkin memang benar. Jalan suksesnya tidak dengan cara menjadi seorang penulis. Mungkin dengan cara yang lain.
Berat rasanya bagi Kiana saat menghapus aplikasi menulis itu. Bertahun-tahun ia fokus mengejar mimpinya. Namun semuanya kandas hari ini.
Kiana tak sanggup pamit dengan pembacanya. Biarlah dia menghilang mendadak. Ia takut jika membaca tanggapan dari pembacanya, pendiriannya bisa goyah.
Kiana harus bisa move on.
***
Hari ini juga, semuanya tuntas. Kiana sudah menjemput semua barang-barang di kosannya dan resmi kembali ke rumah orang tuanya.
Beberapa barang yang sudah tak terpakai lagi, Kini ia bakar di pelataran belakang rumah.
Termasuk buku-buku yang berisi gambaran beberapa naskahnya. Kiana ingin melupakan semuanya. Hari ini, ia akan menghapus mimpinya.
Termasuk dengan sebuah lipatan kertas itu.
Kertas yang berisi ungkapan hatinya untuk Aksa.
Saat itu ia pernah berniat memberikannya pada lelaki itu. Padahal sudah sempat ada di tangan Aksa, namun benda itu malah terjatuh. Seolah semesta tak membiarkan Aksa membacanya.
Kiana membuka surat itu sebelum berakhir menjadi debu.
Jika kita kembali bertemu, kupastikan kali ini kau akan abadi. Ntah itu sebagai pendamping hidupku, atau berbentuk sebuah karya.
-Fahana Aryani
Kiana membulatkan matanya tak santai. Kenapa kertas ini malah berisi tulisan tangan perempuan itu? Tapi tunggu!
Jangan bilang jika lipatan kertas milik Kiana memang masih tersimpan di diary itu?
Itu artinya, ada kemungkinan jika Aksa membacanya?
"Lagi bakar kenangan mantan ya?"
Kiana sontak kaget dan menoleh ke belakang.
Sosok Rama kini sudah berdiri di pintu sambil menggendong Fauna, kucing kesayangan Mamanya.
Kiana buru-buru menyimpan kertas itu di balik badannya.
Lelaki itu mendekat. Lantas beralih menatap kobaran api di hadapan mereka.
"Dalem banget move on nya." Ujarnya lagi.
"Jangan sok tau!" Ketus Kiana lantas beralih masuk meninggalkan Rama.
Rama mengikutinya dari belakang. "Ini adik lo minta makan nih."
"Adik gue lagi kerja!"
Tanpa memedulikan keberadaan Rama, Kiana masuk ke kamarnya begitu saja. Lagipula heran, kenapa lelaki itu bisa tiba-tiba ada di rumahnya. Lihat saja, jika keberadaannya meresahkan, akan Kiana buang kucing itu agar tak ada alasan bagi lelaki itu masuk ke rumahnya lagi.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top