Bab: 34

Perpisahan yang indah akan meninggalkan kesan. Sekalipun yang tidak, rasanya pasti lebih membekas.

***

Pukul dua dini hari, Kiana masih menatap layar ponselnya dengan hampa. Pesan terakhir yang diketik oleh sahabatnya itu adalah penutup pesannya dengan Aksa, sebab mereka langsung memblokir akun lelaki itu. Setelah tiba di rumah, dan langsung masuk ke dalam kamar, barulah tangisnya pecah. Tisu-tisu bekas bahkan sudah berjatuhan di lantai akibat lemparannya pada tong sampah selalu melesat.

Dari banyaknya kekecewaan yang diberikan Aksa, jujur, hari ini adalah patah hati terbesarnya.

Kiana tak mau tahu kapan lelaki itu melangsungkan pertunangan dengan perempuan itu, tapi yang pasti Kiana percaya, Aksa memang bukan laki-laki yang baik.

Bisa-bisanya dulu Kiana berpikir bahwa disusul ke danau di pagi hari itu adalah sebuah effort!

Menghubunginya tiba-tiba dan mengajaknya kerjasama. Lalu menemaninya lembur di malam hari. Astaga! Apa-apaan semua itu?

Belum lagi saat diajak berkunjung dan bertemu dengan keluarganya langsung. Sumpah, Kiana tak pernah membayangkan jika Aksa hanya sekedar main-main. Maksudnya, kejadian itu baru berlangsung beberapa Minggu lalu dan kini ia mendengar kabar bahwa lelaki itu sudah tunangan.

Shit!

Kiana benar-benar masih bertanya.

Kenapa bisa?

Kenapa setega itu?

Bukan hanya membenci Aksa. Tapi Kiana juga membenci dirinya sendiri. Kenapa bisa sebodoh itu? Kenapa bisa percaya begitu saja?

***

Kiana tidak tidur semalaman. Lebih tepatnya, tak bisa tidur. Ia mandi lebih awal, dan bersiap-siap. Tak lupa membersihkan lantai kamar yang kotor akibat tisu yang berserakan. Hari ini dia akan kembali ke kosan. Persetan jika bertemu dengan Rosa. Urusan itu biar nanti saja dipikirkan. Sekarang, ia hanya ingin mencari ketenangan di kamar kecilnya.

"Gue harus ikut anterin lo!" Ujar Balqis.

Sejak tadi Kiana selalu menolak niat Balqis untuk mengantarnya pulang. Sudah cukup kebaikan wanita itu beberapa hari ini. Kiana tak mau merepotkannya lagi.

"Gue malah gak tenang kalau ngebiarin lo pulang sendirian." Lanjutnya.

Balqis langsung turun tangan memesan gocar. Tak butuh waktu lama, mobil mereka sudah tiba di depan rumah.

Saat Kiana hendak masuk ke dalam mobil, tak sengaja ia bersitatap dengan seorang gadis kecil yang sedang memangku boneka kuda poni di kursi pelataran rumah. Dia Piti.

Balqis melambaikan tangannya pada gadis kecil itu, sementara Kiana hanya mengulas senyum tipis lalu menutup pintu mobil begitu saja. Energi sosialnya habis.

"Gue nginep di kosan lo deh." Ujar Balqis. Kiana beralih menatap gadis itu, penuh tanya. Balqis lantas berdecak. "Gue tau lo gak baik-baik aja!"

Kiana mengembuskan napas pasrah, lantas menyandarkan tubuhnya.

"Gue cuma butuh tidur." Ujarnya.

"Trus masalah lo sama temen kosan lo itu gimana?" Tanya Balqis. Kiana memang sempat menceritakan perihal pertikaian dengan Bayu di mall dan Rosa padanya.

Kiana menggeleng. "Paling gue bawa diem. Udah capek juga."

"Ki, tapi janji jangan sampai ngelakuin hal yang macem-macem ya." Balqis mengambil tangannya lantas menautkan jari kelingking mereka. Sementara Kiana hanya bisa pasrah.

"Bunuh diri maksud lo? Belum kepikiran kesana gue." Jawab Kiana seolah tanpa beban.

Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka tiba di depan kosan Kiana. Balqis melepasnya dengan berat hati. Sebenarnya gadis itu memaksa untuk ikut menginap, namun Kiana melarangnya dengan alasan ingin istirahat. Ia tak bohong. Kiana butuh waktu tidur yang panjang.

Begitu Kiana hendak menaiki tangga, dapat dilihatnya salah satu penghuni kosan sedang menuruni tangga dengan pakaian rapi tanda siap ingin bekerja. Gadis itu dulunya pernah satu kerja dengannya di kafe, sama seperti Rosa. Dan gadis itu ikut-ikutan membencinya karena perihal gosip antara dirinya dengan Bayu saat itu.

Gadis itu melewati Kiana begitu saja tanpa menyapa. Begitu pula dengan Kiana. Seolah keduanya tak pernah kenal sama sekali.

Tak mau ambil pusing, Kiana tetap menaiki tangga dengan langkah gontai.

Di tengah langkahnya, dapat ia dengan bunyi mesin motor yang berhenti di luar kosan.

"Permisi, Kiana ada?" Tanya seseorang yang Kiana kenali suaranya.

Suara berat itu.... Pasti Aksa!

Langkah Kiana terhenti, bersamaan dengan pandangan mata gadis tadi yang menoleh padanya. Gadis itu berdiri tepat di depan pintu.

Kiana sontak menggeleng, memberi isyarat.

"Dia gak pulang dari kemarin." Ujar gadis itu sambil menutup pintu kosan.

Kiana mengembuskan napas panjang. Meski tak akur dengan gadis itu, syukurlah kali ini ia bisa diajak kerjasama.

Kiana lantas mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam kamar.

Beruntungnya lagi, ia tak bertemu dengan Rosa. Baguslah! Kiana sedang tidak ingin ribut saat ini.

Begitu membuka pintu kosannya. Kiana lantas beralih membuka tirai jendelanya. Kosong. Tak ada siapapun di pelataran kosan. Lelaki itu sudah pergi. Baguslah.

Saat berbalik badan, Kiana menyipitkan matanya kala melihat sebuah kertas yang tergeletak begitu saja di depan pintu kamarnya.

Kiana langsung bergerak mendekati benda itu, lantas mengambilnya.

Ternyata itu bukan kertas biasa. Ia kenal tulisan tangan ini. Tulisan rapi ini milik Rosa.

Assalamualaikum.

Ki, ini gue Rosa. Tolong jangan berhenti baca dan buang kertas ini ya. Kasih gue kesempatan untuk jelasin semuanya lewat tulisan. Karena jujur, gue berat buat ngomong secara langsung.

Gue minta maaf, Ki. Mungkin lo gak percaya ini, tapi jujur, gue sama sekali gak maksud jadiin lo sebagai target dari kemarahan Laras.

Jadi mata-matanya Laras itu gak gratis. Gue dibayar untuk itu. Jadi gue berusaha ngasih feedback buat dia. Sekali lagi, gue gak menyangka dia bakalan marah ke lo. Padahal sebelumnya gue udah ngirim beberapa foto kedekatan Pak Bayu dengan beberapa karyawan di sana. Gue beneran gak ngerti kenapa malah lo yang kena getahnya.

Tapi, Ki, walaupun tujuan awal gue ngedeketin lo karena rasa bersalah, lama-kelamaan gue jadi nyaman berteman sama lo. Gue gak bohong pas bilang udah anggap lo sebagai adik.

Kita punya banyak kesamaan. Sama-sama berusaha mandiri di tengah keluarga yang sibuk sendiri. Sama-sama gak pengen nikah, walaupun akhirnya gue ngejilat ludah sendiri. Maaf ya Ki, gak bisa nepatin janji untuk terus sendiri.

Insyaallah suatu saat bakal ada laki-laki yang bikin lo pengen ngerasain kehidupan berumah tangga juga. Pasti, Ki. Gue yakin.

Gue minta maaf juga karena gak bisa pamit secara langsung. Mungkin setelah baca surat ini, lo gak bakal ketemu gue lagi. Gue mutusin untuk balik ke rumah orang tua gue, Ki. Gue gak bisa lama-lama di sini.

Malam itu, pas kita cekcok, dan lo mutusin untuk pergi entah kemana, asam lambung gue kumat. Rasanya gue hampir nyerah. Yang biasanya tiap kumat gue selalu hubungin lo, tapi malam itu udah gak bisa lagi. Gue nahan rasa sakitnya semalaman.

Tapi sekarang gue udah baik-baik aja. Gue nulis surat ini dengan keadaan sehat.

Gue gak bakal muncul di hadapan lo lagi, Ki. Setelah nikah nanti gue bakal ikut Satria ke kota yang baru.

Makasih untuk semuanya, Ki. Lo udah banyak ngajarin gue hal-hal kecil yang hebat. Gue tau memutus silaturahmi itu dosa, jadi biar gue yang pergi jauh. Tapi kalau suatu saat kita ketemu lagi, itu artinya semesta masih dukung persahabatan kita.

Jaga kesehatan ya, Ki. Jaga pola makan. Jangan sampai sakit asam lambung. Gak enak loh.

Satu lagi. Jangan berhenti nulis, Ki. Gue tau cita-cita lo pengen jadi penulis hebat yang terkenal. Gue akan selalu baca setiap tulisan lo. Jadi, tetap semangat ya.

Salam hangat, Rosa.

Tangan Kiana kini bergetar. Air matanya sudah jatuh kesekian kalinya sejak tadi. Ia mungkin membenci sikap Rosa saat ini. Tapi ia tak menyangka jika gadis itu malah pergi dengan cara seperti ini.

Meski sedang marah dengannya, tapi jujur Kiana masih butuh sosok Rosa. Siapa lagi yang bersedia menjadi telinga untuknya?

Kiana membaringkan tubuhnya di ranjang. Rasanya runtuh. Satu-persatu orang terdekatnya seolah terpaksa pergi karena sebuah masalah. Kiana takut jika benar-benar sendirian suatu saat nanti.

Tangan beralih merogoh saku celananya. Ia berniat untuk menghibur diri dengan menghidupkan musik. Kiana butuh mendengarkan lagu-lagu favoritnya untuk membangkitkan kembali semangatnya.

Bukannya menghidupkan musik, tangannya malah kepleset membuka Instagram.

Tadinya Kiana ingin tombol home, namun ia malah terfokus pada sebuah info dari penerbit besar incarannya.

Info itu berisi pengumuman lomba menulis novel yang diselenggarakan sebulan yang lalu.

Di slide kedua berisi judul serta penulis beruntung yang mendapat peringkat ke-tiga. Saat menggeser slide ke-tiga, aliran darah Kiana seolah berhenti sejenak.

Bagaimana tidak. Novel dengan judul Harus Kamu karya Fahana Aryani mendapat juara ke-dua di acara lomba menulis novel yang diselenggarakan oleh penerbit Angkasa, penerbit incaran Kiana sejak dulu.

Dunia Kiana kini benar-benar merasa runtuh.

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top