Bab: 26
Bodoh rasanya ketika sudah pasrah memutus hubungan dengannya. Eh baru sadar kalau ternyata doi pernah jadi salah satu penghambat langkahku mengejar mimpi.
***
Pukul sebelas malam, Kiana baru bisa mengembuskan napas lega sembari melempar tubuhnya di atas ranjang. Naskahnya sudah selesai. Kiana mengirimkannya via email dan menyertakan permohonan maaf sebab terlambat mengirim dari waktu yang sudah ditentukan.
Jujur, ada perasaan berat hati saat Kiana mengirimkan naskah itu. Ini kali pertama ia menyelesaikan naskah dalam waktu sebulan. Meski hanya diisi dengan tiga puluh bab. Namun setidaknya Kiana bisa seproduktif itu.
Besok, hasil keringatnya akan ditransfer.
Meski naskahnya dibayar, namun Kiana merasa enggan. Ia merasa kehilangan. Sebulan ini ia berusaha melawan banyak rintangan. Mulai dari rasa malas, belum lagi dengan masalah-masalah yang membuatnya jadi kepikiran dan berakhir bad mood. Tapi Kiana berhasil melawannya.
Kiana hanya merasa seperti kehilangan anak. Dia sudah punya empat anak yang ia besarkan. Dua di antaranya sudah lepas, menjadi hak milik penerbit. Dua lainnya masih menjadi tanggungannya. Kiana benar-benar seperti membesarkan anak.
Menyerahkan naskah 'Harus Kamu' mungkin akan membuat Kiana merasa kehilangan. Tentang Bunga dan Ale. Cerita mereka sudah Kiana buat selesai. Endingnya mereka menikah. Cerita berakhir sampai di situ saja, sesuai dengan permintaan customer.
Bahkan hingga detik ini pun Kiana masih tak tahu siapa pemilik asli naskah 'Harus Kamu' itu.
Tapi tak masalah. Kepada siapapun si pemilik naskahnya, ia berharap agar dia bisa puas dengan tulisan Kiana. Meski Kiana masih penasaran, digunakan sebagai apakah naskah itu? Di-posting pada media tulis online kah? Atau diterbitkan secara cetak kah?
Intinya, semoga naskahnya jatuh di tangan orang yang tepat.
Ponselnya berbunyi. Kiana beranjak mengambil benda tipis itu yang sedang dicharger di lantai.
Kiana mematung membaca pesan dari Aksa. Formal sekali bahasanya. Seperti benar-benar bicara dengan rekan kerja. Padahal harusnya bisa bicara santai saja.
***
Sudah empat hari Kiana menghibur dirinya dengan menonton film. Tak ada kegiatan menulis. Kiana hiatus untuk seminggu ke depan.
Untuk hari ini ia sudah ada janji menemani Rosa membeli cincin dengan calon suaminya.
Kiana terpaksa ikut. Rosa memaksa untuk turut menemaninya sebab ia sedang mode ngambek. Entah apa permasalahan calon pengantin itu, intinya mereka terpaksa bertemu hari ini.
Sudah pasti nanti Kiana akan menjadi nyamuk. Tapi demi Rosa, ia tak masalah untuk hari ini saja.
"Buruan, Ki." Ucap Rosa saat melihat Kiana baru saja memasang sepatunya.
"Sabar elah. Emang dia udah sampai?"
"Bentar lagi."
"Yaudah yuk." Keduanya kini turun.
Namun bukan Satria, calon suami Rosa yang menunggu di bawah sana. Melainkan Aksa.
Rosa kini melirik Kiana dan Aksa bergantian.
"Lo ada janji juga?" Tanyanya.
Kiana menggeleng. Aksa tak pernah mengatakan bahwa akan berkunjung di pagi Minggu.
Bersamaan dengan itu, mobil Satria juga tiba.
Melihat Kiana yang tampak bingung. Rosa akhirnya memutuskan.
"Yaudah, gue pergi dulu ya." Ujarnya.
"Tapi, Kak."
"Gapapa." Gadis itu tersenyum. Bahkan sempat-sempatnya melirik Aksa sambil memberikan kode pada Kiana.
Kiana tak berminat membalas candaan Rosa. Ia tak perlu khawatir dengan gadis itu. Rosa jelas sedang pergi dengan lelaki yang akan menjadi calon suaminya, sekalipun mereka sedang renggang saat ini.
Kiana kini beralih menghampiri Aksa yang sedari tadi menatapnya.
"Mau jemput diary ya kak? Aku ambil ke atas dulu ya." Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu, Kiana buru-buru naik ke atas.
Setibanya di dalam kamar, Kiana merasa deg-degan. Ini kesempatan yang ia tunggu sejak dulu. Ia mengambil lipatan kertas lantas menyelipkannya di lembar pertama diary itu. Semoga Aksa membacanya.
Kiana mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya keluar kamar dan turun menemui Aksa kembali.
Di bawah sana, Aksa baru saja mengeluarkan selembar kertas dari dalam ranselnya.
Kiana menyerahkan diary itu lebih dulu.
"Hmm, Kak. Nanti sampai rumah tolong buka halaman pertama ya." Ujarnya dalam satu tarikan napas.
Aksa menaikkan sebelah alisnya. Lelaki itu bahkan berniat untuk membukanya sekarang namun Kiana langsung menghentikannya.
"Nanti aja, Kak. Di rumah." Jelasnya.
"Okey." Balas lelaki itu. Ia langsung memasukkan buku diary itu ke dalam ranselnya.
"Aku tanda tangan di bagian ini ya kak?" Tanya Kiana dan diangguki oleh Aksa.
"Gak mau dibaca dulu?"
Kebiasaan bodohnya, Kiana sering mengabaikan isi dari perjanjian kontrak kerja. Padahal ia sudah pernah kena sebelumnya.
Kiana beralih membaca lebih dulu surat kontraknya. Mengenai upahnya juga sudah ditransfer empat hari lalu. Ternyata hasil karya Kiana sebulan itu akan diikutsertakan dalam sebuah lomba menulis novel.
Siapa sangka ternyata perlombaan itu diselenggarakan oleh penerbit besar incarannya. Bagaimana Kiana bisa ketinggalan info? Astaga.
"Aku gak tau kalau naskahnya bakal ikut lomba di penerbit Angkasa." Ujar Kiana sedikit kecewa.
"Lomba?" Tanya Aksa balik. Lelaki itu ikut membaca perjanjian kontraknya.
"Ini penerbit besar incaran aku, Kak. Kalau tau dia ngadain lomba gini, aku usahain pasti bakal ikut. Tapi sayang, udah deadline juga."
"Maaf ya. Harusnya saya ngasih kontrak ini dari awal."
Kiana menggeleng lantas tersenyum. "Gapapa kak. Kalaupun aku ikut juga belum tentu menang."
"Jangan pesimis gitu. Insyaallah kalau jodoh pasti kamu bakal diterima lewat jalur apapun di sana."
Kiana tersenyum. Kalimat ini yang selalu ia pegang teguh. Ia beralih untuk menandatangani perjanjian kontrak rangkap dua itu.
Tepat di sebelah tanda tanganya, sudah terdapat tanda tangan bermaterai milik si empunya naskah. Fahana Aryani.
"Hari ini free gak?" Tanya lelaki itu.
"Tadinya mau pergi, tapi gajadi. Paling abis ini langsung lanjut nonton."
"Nonton apa?"
"Biasa, drakor."
"Oh, saya pikir ke bioskop. Mau temenin saya gak?"
"Kemana kak?"
"Ada lah."
Kiana mengiyakan. Setelah memberikan selembar kontrak kerja pada Kiana, dan memasukkan lembaran lainnya ke dalam ransel, Aksa beralih menaiki motornya untuk bersiap-siap pergi.
Sesuatu lantas terjatuh saat Aksa menyandang ranselnya.
Sebuah lipatan kertas yang Kiana selipkan di halaman pertama diary tadi.
Kiana membungkuk mengambil kertas itu, lantas menyimpannya di dalam tas selempangnya.
Ia lantas naik ke boncengan Aksa. Delapan tahun berlalu, bahkan di moment yang menurut Kiana sudah pas, kertas itu bahkan masih tak bisa sampai ke tangan Aksa, meski sudah menyerahkannya di depan mata.
Selanjutnya Kiana hanya bisa pasrah. Mungkin itu yang dinamakan tak jodoh.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top