Bab: 19

Saking matang usianya, malah ngelunjak balik ke mode puber.

***

Kiana terbangun ketika sore. Rasa lelah dan kantuknya kini benar-benar terbayarkan.

Hanya saja saat ini perasaannya menjadi tak karuan. Perihal masalahnya dengan teman-temannya. Kiana tak tahu apa mereka sudah pulang atau belum. Tapi yang jelas grup WhatsApp mereka tampak sepi sejak tadi pagi.

Ya, minimal saling share foto, terlebih foto bersama saat sunset tempo hari.

Atau paling tidak postingan status salah satu di antara mereka. Pasalnya tak ada satupun teman-temannya yang memosting foto liburan mereka. Kiana merasa janggal. Biasanya Balqis paling suka memosting apapun.

Sempat terbesit di benaknya untuk minta maaf dan menjelaskan perihal kesalahpahaman soal Aksa. Tapi jika dipikir-pikir lagi, rasanya terlalu rumit jika lewat chat.

Apa vn saja?

Sama saja. Lebih bagus jika bertemu secara langsung.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, menampilkan satu notifikasi pesan masuk. Kiana sontak deg-degan. Menebak apakah pesan itu berasal dari salah satu temannya.

Namun ternyata tidak. Pesan itu malah berasal dari Rosa, tetanggan kosan sebelah.

Membaca pesan itu, membuat Kiana langsung terduduk. Ia menyisir rambut kusutnya lebih dulu. Meskipun hanya bertemu dengan Rosa, tetap saja ia harus mengubah penampilan muka bantalnya.

Pakaian yang dikenakannya masih bekas tadi pagi. Ia belum sempat mengganti. Mungkin nanti sehabis dari kamar Rosa.

Kiana mengetuk pintu Rosa sekilas, lantas membukanya.

Dapat dilihatnya bahwa saat ini Rosa sedang terbaring di ranjangnya. Anehnya gadis itu malah berselimut, padahal sore ini udaranya sangat panas.

Kiana mendekat. Gadis itu sedang membelakanginya.

"Kenapa kak?" Tanyanya to the point.

Rosa tak menjawab.

"Kak Rosa?" Kiana menyentuh bahu gadis itu. Namun tak ada respon.

Beberapa detik masih tak ada respon, Kiana mulai panik. Begitu ia duduk di sebelah Rosa, Kiana merasa ada sesuatu yang bergetar. Ia sontak membuka selimut gadis itu.

"Kak!" Ternyata gadis itu sedang meringkuk dengan keadaan seluruh tubuh yang menggigil. "Kak Rosa, lo masih denger gue kan?"

Kiana panik. Ia bingung harus berbuat apa saat ini.

"P-perut gue sakit." Ujar gadis itu. "Obat gue habis."

"Astaga, ini pasti lambung lo kambuh lagi kak. Kita bawa ke rumah sakit ya?"

Gadis itu menggeleng.

"Apanya yang enggak? Gimana mau sembuh kalau gak diobatin!" Kesal Kiana. Ia benar-benar tak bisa berpikir panjang saat ini.

"T-tolong beliin obat di apotek." Lirihnya.

"Serius itu mempan? Lo udah menggigil gini loh kak. Atau kita bawa ke klinik aja gimana?"

Rosa menjatuhkan tangannya pada Kiana.

"Tolong." Ujar gadis itu nyaris tak bersuara.

Tanpa pikir panjang, Kiana langsung bergegas dari kamar Rosa dan beralih masuk ke kamarnya guna mengambil uang. Baru saja hendak menuruni tangga, ia baru teringat jika ia tak tahu jenis obat apa yang biasa gadis itu konsumsi.

Ia kembali ke kamar Rosa. Dilihatnya gadis itu masih di posisi sama dengan tubuh yang menggigil.

Tak mau membuat gadis itu semakin kesakitan, Kiana beralih mencari tahu sendiri.

Biasanya Rosa sering menaruh obatnya di atas nakas. Saat dicek, tak ada satupun bungkus obat di sana. Rosa orangnya memang pembersih, jadi wajar jika tak ditemukan secuil sampah di atas mejanya.

Detik selanjutnya, ia baru kepikiran dengan tong sampah!

Tanpa pikir panjang, Kiana menggeledah tong sampah gadis itu. Tidak terlalu banyak sampah di dalam sana. Beruntungnya, tak lama menggeledah, Kiana akhirnya menemukan bungkus obat yang dimaksud.

Detik itu juga Kiana mempercepat langkahnya untuk keluar dari kosan.

***

Satu jam lalu merupakan menit-menit menegangkan bagi Kiana. Rasa bingung, dan cemas dengan keadaan Rosa membuatnya sontak hilang akal.

Bisa-bisanya saat baru keluar dari kosan tadi ia kepikiran untuk menghubungi Aksa, dan menyuruh lelaki itu ke sini guna membawa Rosa ke klinik.

Untung saja pikiran bodohnya tak singkron dengan langkah kakinya. Letak apotek memang tak begitu jauh dari kosan mereka.

Setelah membeli obat dan mengantarkannya pada Rosa, ia lantas memesan bubur ayam lewat go-food. Gadis itu langsung meminum obatnya. Lantas selang dua puluh menit, pesanan akhirnya tiba.

Kiana membantu menyuapkan gadis itu. Awalnya Rosa menolak. Tapi melihat tubuh gadis itu yang melemah, Kiana tak tega membiarkannya makan sendiri.

"Adik gue nelpon, katanya dia mau gugat cerai suaminya." Ujar Rosa setelah tubuhnya terasa membaik.

Kiana jelas kaget mendengarnya. "Bukannya baru nikah tiga bulan yang lalu ya kak?"

Rosa mengangguk. "Ada problem besar dari pihak cowok. Gue dukung mereka cerai, tapi kalau di pengadilan, adik gue bakal kena biaya yang besar karena istri yang menggugat."

"Sabar ya kak. Gue yakin adik lo kuat kok. Dia masih muda. Mungkin Tuhan punya cara lain untuk bikin adik lo bahagia dengan masa sendirinya dulu." Ujar Kiana.

"Masalahnya nyokap minta tolong ke gue nyariin biaya perceraian adik gue, Ki!" Rosa terlihat menggebu. "Gue udah bilang dari awal, jangan nikah muda! Puas-puasin dulu sama masa lajang. Tapi dia ngeyel! Ngebet pengen nikah sama laki-laki yang katanya masih sepersepupuan. Dia kepincut cuma gara-gara katanya usia si cowok udah mateng. Om-om. Udah dewasa. Padahal itu cowok seusia gue. Ujung-ujungnya apa? Suami yang katanya matang itu bilang kalau pernikahan ini cuma sebatas keinginan almarhum orang tuanya. Dia gak cinta sama adik gue. Dan dia dengan santai bilang kalau adik gue bisa keluar dari rumah itu. Secara gak langsung dia ngusir adik gue dong! Gue bersyukur, adik gue langsung bilang cerai saat itu juga. Tapi masalahnya kenapa malah gue yang kena imbasnya? Kenapa malah gue yang keluarin uang untuk urusan perceraiannya?!"

Kiana mengusap bahu Rosa, menenangkan.

"Sabar kak." Hanya itu yang bisa Kiana ucapkan. Sebab tampaknya Rosa belum selesai cerita.

"Ki, gue jelas gak ikhlas! Adik gue dimainin sama cowok yang jelas-jelas masih ada hubungan keluarga sama gue! Dia bilang gak cinta sama adik gue, tapi dia sanggup ngelakuin sex selama tiga bulan! Saking gak ada akalnya, dia bilang gak cinta ke adik gue beberapa jam setelah mereka ngelakuin sex. Demi apa, rasanya mau gue potong kelaminnya, Ki!" Ucap Rosa menggebu-gebu. Setelah mengatakan itu, gadis itu lantas merintih memegang perutnya.

"Kak, sabar. Lo masih sakit. Udah, jangan dipikirin dulu masalah ini. Semua pasti ada hikmahnya, kak. Dengan lo marah-marah sekarang, gak bakal bisa bikin adik lo kembali jadi gadis. Nasi udah jadi bubur. Gue yakin, adik lo bisa belajar dari masalah ini." Ujar Kiana berusaha menenangkan Rosa.

"Lo bener, Ki. Gara-gara binatang itu gue jadi susah sendiri.  Gue sumpahin dia-"

Kiana dengan cepat memotong ucapan Rosa. "Lo jangan main sumpah-sumpahin anak orang sembarangan kak! Ntar kalau sumpahnya berbalik ke lo gimana?! Udah lah. Serahin semuanya ke Tuhan. Hukum karma itu nyata kok kak."

"Peluk gue, Ki. Lo kayaknya lebih pantes jadi adik kandung gue daripada si Lia."

Kiana memeluk Rosa. Gadis itu memang sama sekali tak menangis sejak tadi, namun Kiana tahu bahwa hatinya sehancur itu.

"Gue harap nasib kita gak seburuk nasib adik gue ya, Ki." Lirih Rosa.

"Lo kepikiran mau nikah kak?"

Rosa melepas pelukan mereka secara tiba-tiba. "Nggak! Siapa bilang!"

"Iyadeh, terserah lo aja kak."

"Lo gak ada niatan mau nikah ngeduluin gue kan?" Tanya Rosa ngawur.

"Gimana mau ngeduluin kalau lo nya aja gak mau nikah kak. Au ah, pusing gue." Kiana lantas beranjak keluar kamar.

"Heh! Kemana lo?" Tanya Rosa.

"Prepare. Mau nginap di kosan lo malam ini."

"Good!" Jawab Rosa excited.

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top