Bab: 12

Ingin ceritaku didengar olehmu, adalah salah satu mimpiku.

***

"Hari ini udah nulis bab yang ke berapa?" Aksa akhirnya mengajukan pertanyaan setelah setengah jam diam-diam saja.

Setengah jam yang lalu lelaki itu menelpon Kiana dan menagih janji untuk menemaninya lembur. Beberapa menit kemudian tak ada suara lagi selain ketika keyboard serta musik, mungkin penghilang suntuk. Dan gabutnya, Kiana sanggup bertahan mendengarkan selama setengah jam.

"Nyaris bab ke-dua puluh."

"Oh ya? Keren ya, dalam hitungan hari kamu bisa nulis sebanyak itu. Salut, produktifnya bikin iri."

Kiana tertawa. "Ini bukan hitungan hari lagi, Kak. Nyaris jalan dua Minggu malah."

"Ah iya, saya sampai lupa. Udah lama juga ya."

"Apanya yang lama? Proses nulisnya?" Tanya Kiana serius.

"Bukan apa-apa."

"Oiya, Kak. Aku ngerasa flat sama alur ceritanya. Bingung mau nambahin alur yang gimana, soalnya aku gak kontakan langsung sama yang punya naskah. Boleh gak kalau aku tambahin alur baru? Maksudnya ya, di luar pengalaman hidup yang punya naskah."

Diam. Hanya terdengar bunyi ketikan keyboard Aksa di seberang sana.

"Maaf ya, Kak. Kalau menurut Kak Aksa saranku lancang, aku bisa terima masukan yang lain kok, Kak. Aku terbuka nerima semua masukan."

"Boleh. Yang penting naskahnya bisa selesai tepat waktu."

"Siap, Kak!"

"Na?"

"Iya, Kak. Kenapa?"

"Yang tadi siang itu, siapa?"

Kiana bungkam. Aksa di seberang sana juga sama. Tak ada lagi bunyi ketikan keyboard. Tampaknya lelaki itu telah selesai, mengingat jam nyaris menunjukkan sepuluh malam.

Kiana mengembuskan napas pasrah sebelum akhirnya menjawab. "Rekan kerja lamaku dan istrinya."

"Kalian baik-baik aja kan?"

"Keliatannya?"

"Karena itu saya bertanya. Takutnya penilaian saya salah. Saya gak mau kamu kenapa-kenapa."

Kiana tersenyum. Ia memang pernah dekat dengan Aksa. Namun tak pernah sedekat ini.

"Iya, saya kenapa-kenapa."

"Cerita aja."

"Udahlah, Kak. Masalahnya udah berlalu juga."

"Tapi udah selesai?"

"Sepertinya belum."

"Memangnya ada masalah apa?"

"Hmm...."

Terdengar krasak-krusuk di seberang sana. Sepertinya Aksa sedang bersiap-siap hendak pulang.

"Kita sambung lain waktu aja ya kak."

"Kenapa?" Lelaki itu merespon cepat.

"Kak Aksa kayanya mau pulang. Pasti capek."

"Gapapa. Saya dengerin. Pakai headset kok."

Kiana bungkam. Ia bingung hendak bahagia, atau malah sedih. Ia bahagia melihat kedekatannya dengan Aksa saat ini. Jujur, ini adalah mimpinya dulu. Tapi bagian sedihnya, lelaki itu sedang menanyakan tentang masa lalunya. Dimana masalah itu ada sangkut pautnya dengan alasannya memilih resign.

"Halo? Saya lagi gak ngomong sendiri kan?"

"Iya, Kak."

"Berat ya, masalahnya? Sampai bingung mau cerita gitu."

"Aku takut."

"Kenapa? Mereka main hukum?"

"Bukan. Aku takut sama penilaian Kak Aksa ke aku setelah dengar cerita ini."

Aksa bungkam. Selanjutnya terdengar bunyi mesin motor yang menyala. Ternyata lelaki itu sudah tiba di parkiran.

"Kalau kamu gak nyaman, gapapa. Saya gak akan maksa lagi."

"Tapi aku tetap pengen cerita."

"Aku pengen Kak Aksa tau." Lanjut Kiana dalam hati.

"Okey. Saya dengerin."

"Aku pernah dituduh selingkuh dengan Pak Bayu, atasanku. Dia suami dari wanita tadi siang."

Kiana bungkam. Saat ini ia sedang sesenggukan. Mengingat kejadian lama itu membuatnya kembali sakit hati.

"Satu-satunya kontak fisik yang pernah dia lakukan waktu itu cuma gak sengaja meluk. Lebih tepatnya, dia jatuh pas aku lagi kerja di depan komputer. Saat itu aku cuma pegawai kafe biasa, tapi kebetulan beliau minta tolong editin file laporan persediaan barang pokok. Posisinya aku lagi duduk di depan komputer, dan dia berdiri di samping. Pas lagi ngejelasin, dia mendekat, tapi gak sengaja dia malah jatuh ke aku. Sumpah itu bukan pelukan. Tapi rekan yang lain malah anggap macem-macem. Sampai gosip ini beredar. Bukan cuma dari mulut ke mulut. Gatau kenapa, potongan rekaman cctv kejadian itu langsung menyebar, sampai semua karyawan tau. Sehari setelah kejadian, istrinya datang ke kafe marah-marah. Beberapa rekan lainnya kasian dan nyuruh aku sembunyi di dapur. Aku gak bisa ngebayangin gimana kalau aku benar-benar berhadapan dengan istrinya waktu itu. Tremornya masih kerasa sampai sekarang. Aku denger jelas omongan kasar istrinya yang ngira aku jalin hubungan diam-diam sama suaminya."

"Besoknya, aku memilih resign lewat chat. Aku gak punya nyali untuk balik kerja lagi. Udah banyak yang mikir enggak-enggak tentang aku. Berita itu nyebar ke temen-temen kosan. Aku dijauhin. Gaji juga gak dibayar."

"Padahal kalau dipikir-pikir, aku bisa aja ngelawan. Dan bicara sesuai fakta, kalau aku gak ada hubungan apapun sama suaminya. Asal Kak Aksa tau, Pak Bayu itu emang bukan laki-laki baik. Gak adil emang. Padahal dia sering bercanda sama karyawan perempuan di sana, bahkan sampai megang-megang. Sebenarnya itu bisa aku jadikan pembelaan, dan jadiin boomerang untuk pak Bayu. Tapi kalau aku ngelakuin itu, rumah tangga mereka pasti bakalan retak."

Kiana bercerita dengan menggebu-gebu. Ia menarik napasnya kuat, lantas mengembuskannya perlahan. "Yang bikin aku kecewa, Pak Bayu sama sekali gak merasa bersalah. Dia gak membantah tuduhan itu, dan gak jelasin apapun ke istrinya. Seolah aku emang pelakor. Aku yang berbuat jahat. Dan aku yang ngerusak rumah tangga mereka. Sumpah, aku gak ngerti lagi."

"Tapi yang aku liat tadi, kayanya rumah tangga mereka udah baik-baik aja. Ya walaupun aku agak risih ketemu sama istrinya."

"Menurut Kak Aksa gimana? Maaf ya, Kak. Malam ini aku terlalu cerewet."

"Setelah dia jatuh ke kamu, apa yang kamu lakuin saat itu?"

"Langsung ngedorong lah. Yakali diem aja. Kalau bisa balik ke masalalu, mungkin aku milih nonjok dia aja sekalian!"

"Harusnya kamu turun tangan, ngerekam balik kejadian setelah moment jatuh itu. Sebenarnya ini bisa aja diomongin baik-baik ke istrinya. Kalau kamu resign mendadak, apalagi setelah kejadian istrinya marah-marah, dia pasti mikir kalau kamu emang punya hubungan khusus sama suaminya."

"Bener sih, Kak. Tapi aku emang udah kehilangan akal waktu itu. Kejadiannya terlalu cepat, sampai aku gak bisa ngendaliinnya."

"Besok-besok kalau lagi ada masalah, cerita ke saya aja. Kalau saya denger cerita ini versi istrinya Pak Bayu atasan kamu, mungkin saya bakal berpihak ke dia."

"Hah? Kok Kak Aksa ngomong gitu? Kak Aksa nyalahin aku ya?"

"Bukan. Di setiap masalah, pasti tiap individu punya sudut pandang masing-masing. Di sini saya liat kamu gak ngebela diri kamu sendiri. Malah pasrah, terpaksa ngalah dengan cara resign. Orang yang nyebarin potongan video itu yang malah ngerasa menang karena berhasil bikin kamu out dari sana."

Kiana bungkam, Aksa benar juga. Tapi bagaimana lagi, situasinya benar-benar terjepit, Kiana tak punya siapa-siapa untuk tempat mengeluh. Dia berani mendatangi Rosa, tetangga sebelahnya, itupun saat ia sudah mengirimkan kabar resign pada atasannya.

"Kak Aksa salah. Alasan aku resign bukan karena itu aja."

"Terus? Karena capek?"

"Bukan."

"Terus? Cerita aja, biar saya kasih kesimpulan."

"Enggak, ah. Daritadi aku ngomong mulu. Capek juga."

"Lah? Ngomong doang capek?"

Kiana tertawa.

"Saya udah sampai rumah."

"Oh ya? Yaudah aku matiin ya. Selamat istirahat Kak Aksa."

"Iya, kamu juga ya."

"Okey."

"Tunggu."

"Kenapa kak?"

"Lain kali, ceritain sambungan yang tadi ya."

Mendengar itu Kiana tertawa. Aksa juga sama. Entah kenapa malam ini Aksa sukses memunculkan kembali kupu-kupu di perut Kiana.

Sudah cukup rasa geli di perutnya. Kiana memutuskan panggilan telepon sepihak. Selanjutnya ia tersenyum sendiri, sambil memandang langit-langit kamarnya.

Ia pikir mendengar masalalunya tadi Aksa akan menjudgenya. Ternyata, lelaki itu malah memberi masukan padanya.

Ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Kiana lantas membukanya.

Melihat siapa pengirimnya, senyum Kiana kembali terangkat.

***

TBC!

GIMANA DENGAR PART INI?

JANGAN LUPA TINGGALIN VOTE DAN KOMENTAR YA:)

SEE YOU NEXT PART👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top