[13] Lelaki Pengganggu

Aku sebenarnya nggak dekat-dekat amat sama Ellya, pacarnya Bang Akiting itu. Waktu SMA, golongan kami berbeda. Ellya masuk kategori selebnya sekolah karena dia cantik, pintar, aktif OSIS, dan terkenal di sekolah pastinya. Sementara Anabiya cuma siswa yang datang untuk belajar lalu pulang. Tidak punya banyak teman, apalagi ikutan organisasi. Mungkin Ellya kenal sama aku karena kami satu lokal waktu kelas sepuluh.

Bang Aki juga jadi naksir si Ellya itu pada masa yang sama. Maksudnya, mungkin Bang Aki pernah ketemu Ellya saat ke sekolahku pas lagi rajin caper. Ellya emang menonjol cantiknya. Siapa yang tidak kenal Ellya di SMA kami? Sekarang kalau ditilik ke belakang, Bang Aki beruntung sekali bisa nakhlukin si Ellya yang super cantik. Bang Aki padahal jelek.

Bang Aki dasar enggak tahu diri. Setelah Ellya menerima dirinya, merasa sok penting dengan mengabaikan anak orang yang sudah lama dia pepet. Punya abang nggak bersyukur dengan rezeki yang didapat.

Aku masih memandangi chat dari Ellya. Karena kami nggak dekat, aku pun heran sekali kenapa tiba-tiba Ellya ngadunya ke aku tentang Bang Aki. Ini pasti karena Bang Kiting sudah keterlaluan berbuat nakal kepada sang pacar.

Ellya
Gimana biar bisa ngomong baik-baik sama Uda Aki, Ya?
Pesan yang kukirim enggak pernah dibaca.
Makin ke sini, aku ragu dengan Uda.
Bantu aku ketemu Uda, Ya.

Sudah beberapa menit pesannya hanya kubiarkan centang biru. Kasihan Ellya. Ada masalah apa sih sama isi kepalanya si Dhakiy?

Anabiyanti
Datang aja ke rumah.
Orangnya ada kok.

Aku segera keluar kamar. Kulihat orangnya sedang main gitar di belakang.

"Halo, Anabiya. Nyanyi, Dik?"

Aku duduk di sebelah Bang Aki di atas kursi rotan. Bau tembakau bakar seliweran di udara.

"Mau mati muda, ya?"

Puntung rokok berserakan di lantai. Abunya gak dibuang pada asbak. Mengotori taplak meja.

"Jangan doa yang jelek." Bang Aki memetik gitar.

"Bang, Bang Aki nggak mau gitu cerita sama Ana?"

Gitar itu terhenti. Bang Aki kini sepenuhnya berfokus pada ucapanku.

"Masalah apa? Bang Pau-Bang Pau lagi? Masih nakalin kamu?"

Refleks kedua bola mataku berputar mendengar tebakannya. Lebih tepatnya dengan pertanyaan terakhirnya.

"Bukan!!!" Aku rasanya hampir menggertakkan gigi. "Tentang Bang Aki sendiri."

Bang Aki melafalkan o pendek. Dia kemudian memetik gitar lagi. Mungkin sudah tahu apa yang ingin aku bahas.

Kujatuhkan bom itu, "Sebentar lagi Ellya datang."

Tuh kan, gitarnya kembali diam! Bang Aki meletakkan alat musik itu ke sebelahnya, disandarkan ke lengan bangkunya.

"Bisa nggak usah iseng, Dik?"

"Iseng gimana sih? Pacar sendiri mau ke rumah, kok dibilang iseng. Kan ada Ana, Abang tidak bisa macam-macam dengan calon kakak ipar."

Bang Aku mendengkus. Ia berdiri. "Jaga diri di rumah. Abang keluar."

"Loh! Kenapa melarikan diri? Bang Aki!" teriakku.

Bang Aki itu .... Pertama kali dia mengumumkan bahwa Ellya menerima cintanya, Bang Aki terlihat bahagia. Kenapa semakin ke sini, mereka selalu punya masalah? Hubungan semacam apa yang mereka jalankan?

Pukul sebelas malam saat aku makan malam kedua, Bang Aki belum pulang. Aku masuk kamar lagi dan memutuskan terserah. Terserah dia mau pulang atau tidak.

Sekitar lima menit duduk di atas tempat tidur, mataku belum juga bisa tertidur. Bang Aki kenapa sampai hampir tengah malam belum kembali? Pertanyaan itu berputar-putar di telingaku.

Ellya

Tadi Uda Aki menemui aku

Besok bisa bicara, Ya?

Anabiyanti

Oh sekarang Abang di mana?

Aku memiliki kekhawatiran kepada mereka.

Ellya

Tadi sudah jalan pulang

Belum sampai?

Aku mengembuskan napas yang tidak sengaja kutahan.

Anabiyanti

Mungkin sebentar lagi

Mau bicara apa?

Ellya hanya me-read pesanku. Kunanti beberapa saat, balasannya tak kunjung tiba. Justru pesan dari seseorang yang tadi sudah kulayani teleponnya yang datang.

Papanya Qiosya

Ana belum tidur, ya?

Buru-buru aku meninggalkan aplikasi perpesan dan menyimpan ponsel. Terserah dia akan berpikir aku tidak sopan. Justru bagus.

Aku tidak tahu pukul berapa jatuh tidur. Kesadaranku kembali ketika mendengar azan Subuh. Aku ke kamar mandi di luar kamar sekaligus untuk mengecek si Dhakiy. Bang Aki jadi pulang tidak, ya?

Aku segera menggeleng-geleng karena sedikit lagi terperosok pada lembah suuzon. Astagfirullah. Abangku orang baik-baik ... kok. Dia takkan tega meninggalkan adiknya yang secantik princess Disney ini sendirian di rumah. Aku cepat-cepat ambil wudu dan salat di musala dalam rumah, sekalian menunggu sampai Bang Aki datang jika dia benar pergi ke masjid.

Entah sejak kapan aku tertidur di atas sajadah. Waktu membuka mata, orang yang kutunggu sedang berjongkok menatapku. Aku segera duduk.

"Sejak kapan di sana?" Melihat posisinya melipat tangan di atas lutut.

"Sudah salatnya?" Bang Aki mengajukan pertanyaan lain.

Aku mengangguk. Lalu kedua jarinya menjepit hidungku.

"Abang!" protesku, mungkin hidungku memerah akibat ulahnya.

"Kamu tuh, ya, ketiduran di mana-mana."

"Salah siapa yang nggak pulang-pulang. Ana nungguin sampai tengah malam tau."

Bang Aki hanya tertawa. Dia pun berdiri.

"Giliran Abang tidur, ya. Ngantuk."

Aku mengejarnya, "Anterin Ana dulu!" Aku menarik ujung baju kokonya.

"Ada yang mau bantuin Abang. Dengan dia saja untuk hari ini. Abang tidur, ya, sarapannya ajak dia saja, Dik."

"Fauzan lagi? kan Ana sudah bilang ...."

Pintu tertutup di depan hidungku.

"Bang Aki!" Aku mengetok-ngetok kayu jati itu berkali-kali. Bukannya dibukakan, tanganku yang malah sakit.

"Dasar anak kecil! Bang Aki balas dendam 'kan?" Aku membuat dia harus bertemu Ellya.

Oh iya, Ellya ingin berbicara denganku. Apa lagi, ya?

Begitu aku selesai dengan penampilan rapi untuk akhir pekan ini, seseorang sudah muncul di pintu.

"Bu Ana!" seru Qiosya yang berdiri dengan papanya di ambang pintu rumah ini.

Senyumanku tidak boleh absen di depan siswaku yang manis ini. Namun, hanya di depan Qiosya. Fauzan kuabaikan keberadaannya. Walaupun aku tak menyuarakan penolakan untuk masuk ke mobilnya demi Qiosya.

"Bagaimana tidurnya tadi malam?" tanya Fauzan blak-blakan.

Hei, aku yang malu saat dia menanyakan hal pribadi itu di depan anaknya.

Aku melihat ke belakang, Qiosya sedang membaca buku. Anak itu tidak mengajakku berbicara sejak kami di kendaraan ini. Sama seperti Qiosya, aku memilih mengabaikan papanya juga.

Perjalanan dalam diam yang kami lalui ternyata tidak terasa lama. Tahu-tahu mobil ini telah berhenti di depan sekolah.

"Qiosya ayo kita turun. Terima kasih tumpangannya."

Aku hampir membuka pintu saat Fauzan menarik tanganku.

"Ini ada roti untuk sarapan," katanya menyerahkan kantung berlogo toko rotinya.

"Berikan kepada Qiosya saja," tolakku.

"Oca sudah ada sendiri. Yang ini khusus untuk Ana," imbuhnya.

"Khusus?" Aku melirik tangannya yang terulur. "Ada peletnyakah?"

Fauzan lantas tertawa. "Nggak ada. Ana nggak perlu dipelet atau diguna-guna sudah suka Abang."

"What? Hei, pede sekali Anda, Bapak."

"Oh, belum? Sebentar lagilah. Aku yakin," ujarnya dengan nada sombong.

"Lanjutkan halunya, Bapak. Rotinya enak, sih, jadi makasih udah dibawakan," ujarku mengambil apa yang sudah dia bawakan secara khusus itu.

"Terima kasih terus, terima akunya kapan?"

"Hiduplah dalam tanda tanya."

"Sagan kalau indak ado Ana di sinan." (Malas kalau tidak ada Ana di sana.)

Pintu penumpang di sebelahku diketuk. Orang itu mundur setelah melakukannya, memberikan spasi saat aku membuka pintu. Penolongku dari Fauzan. Akhirnya, aku merutuki diri sendiri yang bodohnya malah meladeni Fauzan. Kan hampir saja aku terlambat.

"Qiosya laporan katanya Bu Ana masih di mobil," jelas orang itu tanpa aku tanya.

"Oh, iya." Aku tak tahu akan menanggapi apa lagi.

Pak Andi pun menyamakan langkahnya yang panjang denganku.

"Mendengar petuah orang tua untuk anaknya." Aku menjelaskan apa yang tiba-tiba lewat dalam otakku. Demi orang di sebelahku ini agar dia tidak memikirkan hal-hal di luar nalar. Yang aku tidak akan menyukai apa pun itu.

Pak Andi mengangguk dengan senyuman tipis.

"Pak Andi duluan saja. Susah kalau mesti menyamakan langkah dengan Ana yang seperti siput jalannya."

"Tidak apa-apa. Susah-susah juga akan saya usahakan menyamakan langkah kita."

Aku mengangguk tidak berniat mendebatnya.

Pak Andi langsung ke bagian tata usaha, sementara aku ke kantor guru. Sesaat duduk, bel masuk bergema seantero sekolah. Pekerjaan akan kumulai. Sebelum itu, aku mengambil waktu beberapa menit untuk memakan bekal dari Fauzan. Ada note di dalamnya. Aku sudah menghabiskan satu roti, semoga ini betulan aman.

Rotinya diterima, orangnya juga diterima ya, Anabiya.

~Pau~

Astaga, Fauzan! Aku segera meremas kertas itu. Melihat ke sekeliling, tidak ada yang memperhatikanku. Wajahku mungkin saja sudah memerah sekarang. Dia sendiri yang melabeli dirinya dengan nama Pau. Aku sungguh malu. Dia pasti memintaku untuk mengingat kelakuanku dulu sewaktu kuliah.

Papanya Qiosya

Semangat, Anabiya

Pesan itu terbaca begitu saja. Aku takkan membukanya. Malu sekali.

"Bu Ana! Kapan kita belajarnya?"

Siswaku kelas satu sepertinya tidak sabar ingin belajar. Aku pun melupakan apa pun tentang Fauzan. Kami menuju kelas bersama. Dio namanya, dia bersama Qiosya. Ya, anaknya Fauzan. Agak susah melupakan bapaknya jika di depanku nanti ada anaknya sampai waktunya pulang.

Semangat, Ana!

Kata-kataku sendiri justru mengingatkanku kepada papanya Qiosya.

Aku merangkul kedua bahu anak di sebelahku.

"Dio tadi diantar siapa?" Kucoba mengalihkan pikiran.

"Dio berangkat sendiri naik sepeda."

"Rumah Dio dekat?"

Seterusnya Dio mulai bercerita sampai kami tiba di kelas satu.

Hari itu aku berhasil membuang pikiran tentang Fauzan. Lalu, di waktu jam pulang, Bang Aki sudah duduk di halaman untuk menjemputku. Dia tidak sendiri, Fauzan di sebelahnya. Mereka seperti beberapa waktu lalu, duduk di bawah pohon berduaan.

"Ama sudah pulang?" tanyaku begitu tiba di belakang Bang Aki.

Fauzan berdiri begitu juga Bang Aki.

"Hai, Ana." Itu Fauzan.

"Dibalas sapaan abangnya, Dik," kata Bang Aki dengan nada menasihati.

"Dhakiy." Aku menggertakkan gigi.

"Ama Apa sudah di rumah belum?"

"Sudah. Jam sepuluh sampai. Makan apa tadi?" tanya Bang Aki.

Aku akhirnya terpaksa melirik ke Fauzan sebentar. "Roti."

Bang Aki menyerukan o yang panjang. "Udah dibekali makanan, kok masih jutek sih, adik Abang?"

"Bang Aki amnesia atau gimana?" tanyaku di balik gigi-gigi yang terkatup. Bukankah sudah kuperingatkan untuk berhenti?

Bang Aki mengepitku ke ketiaknya. Kupaksakan untuk terbebas darinya. Hei, aku malu kalau siswaku melihatnya.

"Pulang, yuk." Aku menarik lengan Bang Aki agar tidak berlama-lama di sekolah. Lagian aku sudah ada janji dengan kekasih pria keriting ini untuk menemuinya pukul dua.

"Ana pulang dengan Abang, ya."

Yang barusan itu bukan aku yang mengucapkan, tapi Bang Aki kepada Fauzan. Ya, dia seakan lagi minta izin.

"Cepetan, Bang."

"Dadah, Bu Ana!" Qiosya melambai-lambai. Dia sudah berdiri di sebelah papanya beberapa saat yang lalu.

"Dah, Qiosya." Aku tidak perlu berteriak seperti anak kelas satu itu.

"Pulang, Bu Ana?"

Kami berpapasan dengan Pak Andi yang duduk di motornya dengan mesin motor yang hidup di tengah lapangan.

"Andi! Po kaba?" seru Bang Aki.

"Baik, Da." Pak Andi mengulas senyuman.

Bang Aki tak kalah lebar senyumannya.

Mereka berdua terlibat pembicaraan seru tentang bola. Aku diabaikan di bawah terik matahari siang ini. Mesin sepeda motor milik Pak Andi bahkan sudah dimatikan. Percakapan yang mengasyikkan itu entah kapan akan berakhirnya. Aku sampai tidak tahan lagi berdiri di antara mereka yang melupakan bahwa aku ada. Secepatnya aku melangkah ke gerbang.

Anabiya

Jemput sekarang di depan sekolah bisa, Ell?

Aku sengaja bersembunyi ketika Bang Aki akhirnya menyadari bahwa aku sudah tidak bersama mereka. Bang Aki takkan membiarkanku bila dia tahu aku keluar dengan Ellya kekasihnya.

Mobil Bang Aki melewati tempatku. Aku bernapas lega. Pak Andi sudah lebih dulu pergi selesainya mereka ngalor-ngidul. Satu yang kulupakan karena memang sengaja melupakan kehadirannya. Fauzan belum pulang juga. Sekarang,mobilnya berhenti tepat di depanku yang duduk di depan gerobak gorengan.

"Dapat!" ucapnya begitu turun dari kendaraannya. "Sekarang Ana yang jaga."

Dih, dikira sedang main petak umpet. Tapi dia memang benar karena kucing-kucingan dengan Bang Aki. Dan aku tidak menghiraukan bercandaannya.

"Papa dengan Bu Ana nggak mau pulang?" Qiosya turun setelah papanya. "Oca lapar," keluhnya. 

Pasti dari tadi Qiosya menunggu papanya yang menungguku sedang menunggu Bang Aki. Pada akhirnya, aku tidak bisa mengusir Fauzan dan Qiosya sampai Ellya datang dengan sepeda motor matic-nya.

Aku sangat bersyukur dengan kedatangan Ellya. Namun, tidak begitu dengan setelahnya. Apa yang dikatakan Ellya siangnya memenuhi isi kepalaku sampai malam.

"Da Aki nggak mau menikah sebelum kamu."

"Da Ki selalu menomorsatukan kamu dalam keadaan apa pun."

"Sudah ada yang melamarmu 'kan? Kenapa kamu tolak? Kamu mau Da Ki selamanya punya perasaan yang terlarang?"

***

Bersambung ...

Sumsel, 20 Mei 2023

Maaf ya kalau lama Ana belum update 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top