[12] Assalamualaikum, Anabiya
Fauzan terdiam begitu kubilang mau pulang dengan kendaraan umum. Padahal maksudku mengatakan dia tak bertanggung jawab supaya dia ada inisiatif gitu mengantarkanku ke rumah. Karena dia yang menculikku ke tempat ini.
Masih aku tunggu.
”Mau pulang sekarang?” tanya Fauzan pada akhirnya.
”Iya.”
Dia masih berdiri di tempat. Apa aku begitu mengguncang perasaannya? Dia kelihatan seperti orang bingung.
Barangkali memang sudah malas meladeniku. Aku menuju pintu depan. Dibanding mencari taksi, aku menelepon Bang Aki saja.
”Bang Aki di mana?” Ketika menjawab telepon, terdengar suara klakson bersahutan. ”Jalan ke mana? Bisa mampiri Ana nggak?”
”Emang kamu di mana? Tadi Fauzan yang jemput kan?”
”Makanya! Bang Aki jemput Ana. Ngapain dibiarkan adiknya dibawa orang lain?!”
”Pulang dengan Ama, ya? Kamu di mana?”
Ama ke sini? Oh, tidak mungkin. Lebih baik naik taksi. Sampai di rumah dapat ceramah panjang Ama dibandingkan hal-hal tak terduga yang dipikirkan Ama.
”Iya. Ana aja yang telepon Ama. Bang Aki hati-hati di jalan.”
Selesai bertelepon, aku ternyata sudah tak sendiri di depan pintu. Fauzan juga berdiri di sebelahku.
”Pulang sekarang?” tanyanya.
”Iya!” Lama-lama kesal juga sama orang ini.
Fauzan tersenyum lalu mengunci pintu rumah.
”Mari.”
Dia menghelaku dengan mempertemukan telapak tangannya denganku. Capek berdebat, aku biarkan saja sampai dia lepaskan sendiri di mobil.
”Qiosya mana?” tanyaku yang baru ingat tidak melihat wujud anak kelasku itu di rumah Fauzan.
”Ada.”
Aku melirik ke Fauzan yang sedang mengemudi hadap ke depan.
”Nggak ada.”
Fauzan pun mengangguk. ”Qiosya tidak tinggal denganku.”
Tu-tunggu! Maksudnya gimana? Bukannya Fauzan papa Qiosya? Wali Qiosya. Papa tiri Qiosya. Astaga ayah macam apa si Fauzan ini?
”Qiosya sebetulnya tinggal di rumah kakek neneknya, bukan di sana hanya untuk main saja?”
Anggukan kedua kalinya dari Fauzan menciptakan pertanyaan lain.
”Kenapa di sana? Apa kamu pernah bertanya mungkin saja Qiosya ingin tinggal denganmu?”
Fauzan menatap jalanan tanpa menolehku yang mengajukan pertanyaan dengan nada naik beberapa oktaf.
”Sudahlah, Ana. Bahas yang lain saja.”
Fauzan tampak tidak terbuka masalah Qiosya. Ada dua alasan dia bersikap begini. Pertama mungkin karena sedang kesal akibat cerita panjangnya yang tetap kujawab dengan penolakan. Kedua karena Fauzan mungkin memang tidak ingin diinterupsi masalah kehidupan pribadinya. Hingga pada akhirnya tiada yang mengeluarkan suara sampai di rumah.
”Siang sekali baru sampai. Dari mana dulu?” tanya Ama menyelidik setibanya aku di rumah.
”Fauzan ada perlu bicara sama Ana sedikit.”
Ama menepuk lenganku. ”Kenapa tidak diajak singgah?”
”Nggak kenapa-kenapa, Ma. Orangnya sibuk tidak sempat duduk.”
Ama menutup pintu dan mengekor langkahku.
”Boleh Ama tanya sesuatu, Dik?” Ama ambil posisi duduk di ujung tempat tidur di kamarku.
Aku mencabut jarum dari hijab dan menusukkannya ke gabus. ”Nanya aja. Ama mau tahu soal apa?”
Kami saling melihat melalui cermin.
”Boleh Ama tahu alasan Adik menolak lamaran Fauzan?” Ama menatapku di balik cermin. ”Takut akan susah ke depannya kalau orang yang punya niat baik-baik malah Adik tolak.”
”Masa Ana terima-terima aja walau Ana nggak suka?”
Ama bergerak dan berdiri di belakangku. Ama menyentuh pundakku. ”Ama suka dengan laki-laki yang langsung-langsung, Dik. Apa yang Adik tidak sukai dari laki-laki seperti Fauzan?”
”Ma. Yang sudah lalu, biar berlalu. Alasan Ana sudah tidak penting.”
”Jangan lihat statusnya ya, Dik.”
Memangnya Ama nggak masalah kalau anak Ama yang gadis ini dapat bekas orang? Okelah status Fauzan di negara masih lajang. Statusnya secara agama tetap saja duda, Ma. Aku ingin menyuarakan hal itu. Dan ... orang itu sudah meninggalkanku demi almarhumah istrinya. Kalau istrinya masih hidup, dia nggak akan mencari Ana.
”Nggak, Ma. Ana cuma nggak bisa suka sama Fauzan. Ana suka dengan orang lain.”
Apa? Aku mengatakan apa barusan? Ya salam. Kenapa akhirnya aku seperti gadis malang yang berharap lamaran orang, tapi malah dilamar orang lain? Pintar sekali kamu, Anabiya.
”Adik suka orang lain? Adik sudah punya seseorang yang disukai? Kenalkan Ama, Dik.”
***
Aku melewatkan waktu salat Asar akibat ketiduran. Entah kemana ibu, ayah, dan kakakku tidak membangunkanku. Saat membuka mata sudah pukul setengah enam. Tak ingin meninggalkan kewajiban, aku cepat-cepat ambil wudu dan salat dengan segera. Seusai ibadah, keluar kamar mencari orang rumah. Di dapur hanya ada hidangan. Orang yang memasaknya entah berada di mana. Keluar mengecek kendaraan, mobil yang biasa dipakai Bang Aki belum terparkir. Hanya ada sepeda motor matic.
Udah mau Magrib, Bang Aki juga belum pulang? Ke mana dia?
Aku menutup dan mengunci jendela. Memeriksa semua pintu. Ada pintu yang tidak terkunci, yaitu pintu keluar di belakang rumah. Hampir saja aku mengunci seseorang yang tengah bertelepon di atas kolam. Kalau begitu, mobil sedang dipakai Ama dan Apa. Lalu mereka ke mana sesore ini?
Aku kembali ke kamar untuk mengambil handphone. Penasaran ingin mengetahui ke mana kedua orang tuaku.
”Ada apa, Dik?” tanya Ama.
”Apa Ama pergi ke mana? Cuma ada Bang Kiting di rumah.”
”Ama di kampung melayat Uniang, Dik.”
”Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Pantesan Ana nggak ketemu Ama Apa bangun tidur. Hampir nggak salat Asar karena si Da Ki sibuk teleponan di belakang rumah.”
”Iya. Ama juga sudah pesan sama Abang. Kalau Adik bangun, bilangin Ama pulang kampung.”
”Ama menginap di rumah Nenek? Menginap sajalah, Ma, udah Magrib. Ana nggak kasih izin Apa nyetir mobil malam-malam.”
”Iya iya, Dik. Ama Apa besok ke Padang lagi. Hati-hati di rumah, ya.”
”Ama juga sehat-sehat di sana. Maafin Ana nggak ikut mengantarkan kepergian Uniang.”
”Adik sudah makan?”
”Belum. Baru saja selesai salat Ana. Ana udah di dapur ini, Ma. Ama masak banyak sekali.”
Aku membuka tudung saji yang setelah diperhatikan ternyata berisi ayam panggang, nila goreng tepung, tempe bakar, dan sayur bayam, serta ada sepiring kecil sambal hijau.
”Ama masaknya seakan untuk stok dua hari. Rencananya Ama pulang lusa atau besok, Ma?”
”Besok, Sayang. Lagi pula itu tidak banyak, Dik. Ama tidak tenang kalau Adik tidak berselera makan.”
”Anaaaaa!!!”
”Ama!” Teriakan kencang Bang Aki yang menyebut namaku membikin aku pun latah memanggil Ama.
”Abang, Dik?” tanya Ama ketika Bang Aki duduk di hadapanku di seberang meja. Matanya jelalatan ke arah makanan buatan ibu kami.
”Jangan bertengkar selama Ama tinggalkan, ya.”
Aku melirik ke arah Bang Akriting yang tersenyum dan mengangakan mulutnya ke arahku. Benar-benar tidak ada malunya orang itu. Suka bikin wajah jeleknya menjadi tambah jelek.
”Nanti Ama telepon Dhakiy untuk memberikan sepatah dua patah kata jilid kedua.” Aku mengangkat wajahku, seolah Bang Aki bisa mendengar kata-kata Ama barusan.
”Besok Ama telepon lagi, ya. Jaga diri gadis Ama Sayang.”
”Ama juga. Salam untuk Apa.”
”Lama-lama aja di sana, Ma. Ana katanya belum sukses belajar mandiri. Mau coba lagi. Jilid kedua.” Bang Aki menimpali.
”Kamu jangan macam-macam dengan Adik. Jaga Adik baik-baik, Aki!” Ama berpesan. Kebetulan aku sudah me-loud speaker telepon itu beberapa saat lalu.
”Insya Allah, Ma.” Bang Aki tersenyum lebar lalu menjulurkan lidahnya kepadaku. Dia mengambil dua sendok besar nasi ke piringku.
”Abang! Kebanyakan itu!” teriakku. Langsung mematikan panggilan telepon. Kemudian kukembalikan lagi separuhnya ke piring lain.
”Banyak-banyak makan, Na. Biar larinya bisa kencang.”
Aku menatap heran Bang Aki dengan kata-katanya. Perlunya apa aku harus jago lari?
”Banyak makan daging dan sayur. Cabe mau?” tawar Bang Aki.
”Bang. Ama bilang, jaga Ana. Bukannya bikin Ana kena sakit perut.”
”Abang cuma nanya kali, Dik. Kamu mau apa tidak. Kalau nggak mau, semua ini untuk Abang.”
”Makan saja sendiri, Bang.”
”Belum laper. Kamu aja makan sendirian.” Saat dia bicara begitu, seekor ikan nila sedang dia ccemili dengan lahap.
Memangnya laki-laki kalau dengan keluarganya nggak bisa jaga image, ya? Bang Aki terlalu ancur-ancuran di rumah. Padahal jika kami di luar, banyak yang suka pada Bang Aki. Ada yang curi-curi pandang dan ada yang menatap secara nyalang.
Karena Bang Aki kelihatannya suka nila, aku memilih ayam panggang. Sayur bayamnya kusendok banyak-banyak. Kusisakan untuk dua kali makan lagi. Untuk pukul tujuh dan sepuluh malam sebelum tidur.
”Dibawa Fauzan ke mana, Dik?” Bang Aki menyandarkan punggungnya di bangku. Kedua tangannya terlipat di dada.
Aku menelan.
Oh, baik. Jadi kami akan membahas hal ini. Bagus sekali. Aku memyendok sesuap lagi dan minum.
”Ke rumahnya.”
Bang Aki hendak mengulang kata-kataku, melukiskan keterkejutannya. Namun, aku cepat-cepat menyela.
”Abang bisa berhenti kerja sama dengan Fauzan untuk ganggu Ana? Abang tahu kalau Ana udah nggak ada rasa sama Fauzan. Ana nggak suka, Bang.”
”Di rumahnya ada siapa aja?”
Aku tertawa tawar. ”Nggak ada orang lain selain Ana dan dia. Bang Aki pun ikut rencananya, kan? Adiknya sendiri dibiarkan dibawa orang lain ke rumahnya.”
”Dia nggak berbuat aneh-aneh?”
Lihat sendiri wajahnya. Bang Aki tidak seratus persen memercayai Fauzan. Sedikit banyak aku bersyukur.
”Pokoknya sudah cukup kerja kelompok Bang Aki dengan Fauzan. Ana nggak akan ikut Fauzan lagi. Ana tunggu Bang Aki datang jemput walau sampai sore sekali pun. Harus dengan Bang Aki Ana pulang.”
”Ana yakin dengan keputusan Ana? Ana benar-benar sudah tidak suka Bang Pau lagi, Dik?”
Aku menggeleng. ”Ana sudah lama move on, Bang. Abang pikirin hubungan Bang Aki dengan Ellya saja. Ana sangat menikmati kesendirian Ana. Nggak perlu Bang Aki jodoh-jodohkan Ana lagi seperti ini.”
”Tipe cowok Ana yang gimana sih, Dik?” Bang Aki sudah mengubah ekspresi santai. Muka jailnya dimulai kembali.
”Daki stop! Kayak punya telinga cuma jadi pajangan.”
Setelah itu, aku mengunci bibirku. Lelah sendiri kalau mendengar celotehan Bang Aki. Mendengarkan benar-benar menguras batin. Selesai makan, aku ke kamar. Siap-siap untuk mandi dan salat Magrib. Terdengar seruan pamitan Bang Aki hendak ke masjid.
”Kunci aja dari luar!” Dan aku juga mengunci kamarku. Nanti saja keluar kamar pukul tujuh untuk makan malam pertama.
Sedang membuka mukena terlihat cahaya dari ponselku. Aku pun melihat apakah ada pesan atau telepon. Mungkin saja Ama.
Papanya Qiosya
Anabiya
Papanya Qiosya
Sudah selesai?
Pintar sekali, Fauzan. Pertanyaan pancingan. Berharap aku menjawab 'sudah selesai apa?' karena ketikannya yang nggak jelas sekali.
Tampaknya sepintar-pintarnya aku, lebih lihai Fauzan. Dia langsung melakukan panggilan telepon. Aku mengabaikan sampai mati sendiri.
Papanya Qiosya
Abang ke rumah Ana, ya?
Akhirnya, aku menelepon Fauzan daripada dia benaran datang.
”Apa lagi, Paujan?”
”Assalamualaikum, Anabiya.”
***
Bersambung...
OKI, 30 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top