[11] Bicara Berduaan
Pagi tadi aku sangat lega karena Fauzan tidak datang. Pasti karena lamarannya kutolak.
"Mungkin Ana kaget, Kak. Sebaiknya kita langsung ke belakang. Makanannya sudah siap. Ayo ke ruang makan." Ama menjamu dua tamunya meski perasaan mereka mungkin merasa kecewa.
Baik Apa maupun Ama tidak menyerbuku apalagi mengomentari kenapa aku bersikap tidak sopan. Setelah makan bersama, aku langsung mengasingkan diri di kamar. Kudengar Fauzan dan ibunya masih bertahan sebentar dengan membicarakan hal-hal umum. Mungkin berupaya melupakan kejadian tak menyenangkan yang kuperbuat. Aku sangat yakin ketiadaan Fauzan pagi tadi berhubungan dengan yang semalam. Ternyata aku salah mengira. Fauzan benar-benar tak terduga.
"Mau apa lagi?"
Sekolah sudah sepi. Aku yang terakhir keluar dari ruangan guru. Siswa sudah dijemput orang tua wali. Kupikir Bang Aki-lah yang akan kulihat pertama kali setiba di lapangan parkir. Kebayang wajah kesalnya karena panggilannya tidak kurespon. Namun, aku tidak sampai memikirkan kalau sebenarnya Bang Aki menelepon untuk mengatakan bahwa dia tidak menjemput. Sebab kalau Bang Aki jemput, dia takkan diam saja di lapangan sendirian. Pasti menyusul ke ruangan guru atau tebar pesona ke perpustakaan. Kadang dia sampai lupa kalau ada kekasih yang harus dijaga perasaannya.
Sekarang aku baru menyadari kebodohanku yang tidak waspada. Fauzan tipe bapak-bapak adalah orang yang menggebu-gebu. Baru ketemu lagi, dia udah ke rumah untuk main dan ngajak ke sekolah. Langsung mengatakan akan menemui orang tuaku, bahkan sudah merebut hati Bang Aki. Mengajak jalan berdua dan besoknya ke rumah bersama ibunya. Gilanya, walau ditolak tetap datang lagi. Parah sekali.
"Menurut kamu?"
Orang aneh. Dia berdiri dari kap mobil. Lalu mengangkat ponsel ke depan.
"Ayo." Dan sekarang menggandeng bahkan menyatukan kelima jemarinya menarikku ke mobil.
"Apa-apaan ini?" Aku melihat sekitar yang sepi. Di jalan raya hanya mobil yang lewat. Tidak ada yang jalan kaki.
"Duduk."
"Aku akan pulang sendiri." Namun, Fauzan menghalangi di pintu. "Bisa minggir?"
"Enggak. Kamu tidak bisa ke mana-mana sendirian. Kalau kamu lari, mudah mendapatkan kamu lagi. Jadi, berhenti berpikir untuk pergi. Duduk yang cantik di bangku ini, Anabiya."
Apa yang dia ucapkan benar. Lari dan membuat keributan hanya akan membuat malu diri sendiri. Dalam beberapa detik aku berdiam diri, dia telah duduk belakang kemudi.
"Yaudah bawa aku pulang."
"Enggak. Kita harus bicara."
"Maumu apa lagi? Sudah jelas kan aku nggak mau sama kamu. Masih belum cukup terang bagi kamu kalimatnya? Nggak perlu bicara apa-apa lagi karena keputusanku sama."
"Sst. Kita bisa bicara baik-baik. Makan dulu, ya. Kamu pasti lapar."
Mobil mulai meninggalkan sekolahan.
"Terserah. Ngomong sana sendiri."
Terserah itu tidak disia-siakan oleh Fauzan. Aku melihat rumah minimalis satu lantai dengan cat putih gading. Rumah itu berpagar besi dicat hitam. Fauzan sendiri yang keluar untuk membuka gembok pagar. Masuk lagi ke mobil dan melajukan kendaraannya ke dalam.
"Rumah siapa?"
"Rumah kita."
Waktu kalimat itu terdengar, telapak tanganku juga secepat itu meluncur ke lengan Fauzan.
"Gak ada kita."
Fauzan tak tersenyum. Dia mengedik, memerintah agar aku keluar. Fauzan sudah menunggu di luar. Dia mengambil tas berisi makanan dari tanganku.
"Bisa jalan sendiri?" tanyanya.
"Gendong," ucapku dengan bernada dan berhasil, Fauzan kaget.
Mana berani dia.
"Rumahmu?"
Fauzan membuka kuncinya. Anehnya, kenapa malah dikunci dari luar?
"Memang Qiosya biasa kamu kunci dari luar begini?"
Fauzan menutup lagi pintu di belakang kami setelah aku ikut masuk. Dia menaruh tas nasiku di meja sofa.
"Na, tunggu di sofa itu saja. Abang masak buat Ana, gak lama. Nggak usah khawatir, nila goreng bumbu tanpa lada tanpa sambal. Sayur bayam, oke? Sepuluh menit."
Heh?
Fauzan sudah tahu apa yang kumakan. Alih-alih mengajak makan ke rumah makan, dia memasaknya sendiri. Dia mengingat kalau aku lebih suka di rumah.
"Boleh lihat?"
Senyuman Fauzan terbit. Tangan ramahnya langsung menarik tanganku.
"Dengan senang hati, Anabiya."
"Tapi tangannya gak perlu seret-seret orang begini, Bapak."
"Nggak apa-apa, Ibu. Bapak nggak kuat-kuat seretnya."
Hah? Mungkin aku salah dengar.
Fauzan membuka lemari pendingin. Mengambil dua taperwer masing-masing warna ungu dan biru. Kedua taperwer diletakkan di atas kitchen set. Dia menaruh wajan di atas kompor lalu mencetek kompor. Fauzan menuang minyak goreng. Dia beralih ke taperwer ungu yang ternyata isinya adalah beberapa ekor ikan nila yang sudah dilumuri bumbu.
"Kamu bisa masak."
Fauzan lebih asyik dengan penggorengan. Tidak menghiraukan pernyataanku. Tungku di sebelah untuk memasak bayam bening.
Cetek.
Bapaknya Qiosya itu itu membawa sepiring nila goreng ke depan mejaku. Semangkuk bayam yang beraroma daun kunyit. Dia juga meletakan piring dan gelas. Kemudian duduk di sebelahku. Orang ini selalu lain dari manusia lainnya. Makan semeja itu berhadapan, bukan berdampingan.
"Ada baca-bacaan nggak nih?"
"Ada. Mantranya sebelum memasak Abang ucapkan tiga kali, 'Sehabis makan masakan ini, Ana akan minta dimasakin lagi.' Nah, dengan yang barusan jadi empat kali."
"Ch. Kurang kerjaan. Udah kerjaan Bang Aki diambil, sekarang tugas Ama juga mau diserobot."
"Iya," kata Fauzan. "Tanggung jawab Apa juga akan Abang ambil."
"Apaan sih, Bapak."
Fauzan terkekeh. Tangan ramahnya meraup kepalaku ke dadanya.
"Aww aww!" Fauzan gegas melepaskanku dan mengurusi lengannya sendiri yang aku garuk pakai garpu.
Setelah kayaknya baik-baik aja bekas garukan garpu itu, Fauzan tidak membahasnya sama lain.
"Nah, makan." Fauzan mengisi piring yang sudah ada nasinya dengan seekor nila. Dia akan mengambil sayur sebelum aku hentikan.
"Ana bisa ambil sendiri."
Masakan Fauzan tidak gagal. Gurih dan enak. Bayamnya manis dan segar. Seenak masakan Ama. Dia pun menanak nasi yang lembut. Halah, nggak perlu bertanya dia tahu dari mana cara memasakkanku. Bang Aki, siapa lagi? Dua orang itu kompak sekali. Mungkin setiap bertemu, mereka membahas diriku? Kok geli sih membayangkan mereka. Huwe.
"Kamu bisa lihat arah lain tidak? Jangan bikin Ana keselek! Mending Bapak juga makan biar mulut dan matanya tidak nganggur."
"Mata Bapak lagi kerja lihatin Ibu makan."
Blush. Asem, bapaknya siapa ini?
"Gimana masakan Bapak? Ibu suka?"
"Fauzan!!!"
Lelaki itu tertawa melihat wajahku yang memerah.
"Hati-hati, Bu. Nanti ketulangan."
"Mulutnya nggak usah cerewet."
"Bapak diam aja, Ibu komplen. Ngomong sedikit, dikatain cerewet."
"Kamunya emang diam, tapi matanya nggak diam."
"Maaf, udah bikin Ibu grogi dipandangi."
"Fauzan! Stres. Aku mau pulang."
"Dihabisin nasinya, Bapak--"
"Kamu bukan bapakku!"
"Memang bukan. Abang suami to be-nya Ana."
"Udah ditolak."
"Tidak apa-apa baru sekali. Masih banyak kesempatan untuk coba lagi. Bunda bilang, deketin dulu Ana-nya supaya gak ditolak lagi. Kemarin emang terburu-buru kayaknya."
"Mau berkali-kali pun kamu coba, hasilnya sama. Jawaban Ana mutlak."
Meladeni Fauzan sambil makan, bikin aku cepat kenyang. Daripada mendengarkan dia, aku menghabiskan ikan yang mubazir kalau disisakan. Aku membawa piring ke kitchen sink waktu Fauzan bilang tidak usah dicuci.
"Aku cuma meletakkan aja kok."
Lalu ke ruang tamu untuk mengambil tas nasi. Penting diterapkan kalimat, sudah makan pulang.
"Eits, mau ke mana? Duduk." Fauzan menarik tanganku. Dirampasnya tas nasiku untuk diletakkan ke meja. "Ana juga, mau didudukkan atau duduk sendiri?"
Aku memilih single sofa. "Kamu di seberang?" tunjukku kepada sofa yang berhadapan.
"Ngomong. Katanya mau bicara. Habis itu, aku ingin pulang."
Raut santai Fauzan lenyap. Matanya menyorot ke dalam mataku. Selagi Fauzan belum mengucapkan sepatah kata, aku tak gentar menatapnya juga. Wajah dewasa milik Fauzan sebetulnya berlipat kali lebih tampan dari yang kutahu. Sebagai pria, Fauzan memiliki bibir merah alami. Hidungnya mancung dan alis memanjang yang membuat Fauzan semakin mirip Rizky Nazar. Dia juga punya tahi lalat di hidung.
"Maafkan Abang, Na."
Pengembaraanku di wajah Fauzan terhenti. Aku tak jadi tersesat karena kata-katanya menyentak lamunanku.
"Maaf? Buat apa maafnya?"
Sementara aku yang mengecewakan Fauzan dan ibunya tadi malam, tidak terniat meminta maaf.
"Ana marah karena Abang meninggalkan Ana."
Impianku menjadi pasangan Fauzan. Fauzan Alfajar melebihi cita-cita dalam hidupku. Setiap memandang Fauzan, aku merasa kebahagiaan pasti akan kudapatkan. Wajah yang selalu tebar senyum sopan dan tutur kata yang terlalu manis itu memperdaya. Mendekati Fauzan membuatku bersemangat setiap hari. Fauzan adalah laki-laki pertama yang menetap dalam hatiku. Karena Fauzan, aku berani bermimpi dan memiliki keinginan sendiri. Karena Fauzan juga, seluruh impian itu runtuh. Apalagi dia memotong dahan ketika tunas telah tumbuh lebih tinggi. Tanaman yang kupupuk itu mati. Aku tak ingin menanamnya lagi di kemudian hari.
”Abang seharusnya tidak melakukannya kepada Ana. Maaf, Ana.”
”Sudah lama. Aku tidak berhak marah kepada orang lain.”
”Aku akan menjelaskannya. Aku minta Ana memberikan waktu untuk mendengar. Walaupun tetap saja itu salah. Abang sudah melukai perasaan Ana.”
Fauzan berdiri dengan lututnya di sebelah kakiku. Posisi Fauzan mengingatkanku pada acara maaf-maafan saat lebaran. Ketika aku duduk di depan orang tua dan mencium tangan Ama dan Apa. Fauzan melakukannya. Tangannya yang lebar itu menahan kedua tanganku, menggenggam dengan segenap kekuatan. Tak dapat kutarik apalagi kujauhkan. Kesalahan terbesarku adalah merasakan jantungku berdegup lebih cepat saat kedua tanganku berada dalam genggaman tangannya yang hangat.
”Abang menyayangi Ana dari dulu sampai saat ini.” Fauzan menengadah untuk menatapku.
”Waktu itu Abang sungguh-sungguh ingin kita menghabiskan hidup berdua, membangun keluarga kecil dengan Ana. Namun, kepulanganku ke kampung halaman Bunda ....” Fauzan menunduk dalam-dalam.
Fauzan terlihat bukan hanya merasa bersalah, dia keliatan ... bersedih. Lalu ketika matanya berkontak denganku, aku melihat ada penyesalan. Benarkah pengamatanku ini? Keterdiaman ini bikin aku nggak sadar kalau baru saja Fauzan mencium jari-jari kedua tanganku yang posisinya masih dalam genggamannya.
Aku menarik tanganku. Ingin, tapi tidak bisa. Melihat mata Fauzan, aku tak dapat mengatakan apa-apa. Jangankan untuk memberontak, bilang ’lepaskan’ saja, bibirku kelu.
”Aku selalu berandai-andai saat itu, bahkan sampai sekarang.” Fauzan tersenyum, tetapi senyum getir. ”Andai aku dari keluarga berkecukupan.”
Entah kenapa aku ikut bersedih mendengarnya. Belum saja Fauzan bercerita, aku sudah merasakan kefrustrasiannya.
”Ayah sudah lama meninggalkanku dan Bunda. Bunda tidak memiliki keluarga di sini. Bunda orang luar, dibawa Ayah ke kampungnya. Keluarga bako mengurus hidup mereka sendiri-sendiri hingga Bunda semakin terasing di kampung. Bunda mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja di parak orang. Paman Son, kakeknya Qiosya adalah saudara angkat Bunda, tapi nasib Paman Son lebih baik dari Bunda. Menikah dengan Tante Sisil dan memiliki dua anak, Cakra dan Zikya. Sejak SMP, aku bersekolah di Padang sekaligus membantu toko mereka. Ya, benar, Ana, keluarga mereka yang membiayai pendidikanku, walaupun aku bekerja untuk mereka. Uang dari bekerja kukirim untuk Bunda. Karena bekerja dan tinggal dengan keluarga Paman Son, kedua anaknya Cakra dan Zikya, kami pun berteman. Waktu SMA, Cakra sekolah di Yogya, begitu juga Zikya tiga tahun kemudian. Tinggallah aku sendirian di rumah Paman ketika anak-anaknya sekolah hingga kuliah di Yogya. Cakra sampai bekerja dan jarang pulang. Paman dan Tante Sisil memercayakan Zikya kepada kakaknya. Namun, pulangnya Zikya membawa kabar buruk. Dia harus menikah karena mengandung. Dia tidak ingin mengatakan siapa lelaki itu. Dan satu-satunya orang yang dapat menjaga nama baik keluarga mereka adalah aku.”
Fauzan terlihat kusut. Tangannya semakin kuat menggenggam tanganku, di atas kakiku.
”Aku tidak bisa memilih masa depanku sendiri, Ana. Sempat ingin pergi dengan tidak tahu diri, tapi Bunda memohon. Bunda ingin aku membalas budi kepada keluarga mereka.”
Aku percaya semua yang Fauzan katakan. Namun, ....
”Aku minta maaf. Sekali lagi maafkan Bang Fauzan, Na.”
”Baik. Aku terima maafmu.” Aku menarik napas. ”Sudah kan?”
Fauzan hanya menatapku. Akibat bercerita panjang, kayaknya dia kurang cepat tangkap.
”Lepasin tanganku, antar aku pulang.”
”Na?” Tampaknya dia tidak terima.
”Aku udah duduk manis mendengarkan sampai selesai. Sekarang aku capek, benar-benar capek asal kamu tahu. Aku ingin istirahat. Tidur. Mataku ngantuk.”
”Kamu nggak paham.” Fauzan menggeleng. Dia berdiri memukul udara dan berteriak.
Heh? Dia bisa marah juga rupanya. Marah ke aku bukan?
”Anabiya. Aku pergi karena alasan itu. Bukan karena keinginan aku.”
”Ya tahu.”
”Lalu?” Fauzan yang sedih waktu bercerita udah hilang. Sekarang adalah Fauzan yang ... menyeramkan. ”Kamu tidak memaafkanku.”
”Aku maafkan. Aku turut prihatin dengan kondisimu. Tapi ya sudah, sekarang semuanya udah selesai. Kamu udah bahagia dengan pilihanmu. Ana juga udah melupakan kamu.”
”Itu bukan pilihanku, Ana.” Fauzan mengeraskan rahangnya. ”Kamu pilihanku. Aku memilih Ana.”
”Aku enggak. Aku tidak mengubah keputusanku apa pun yang terjadi. Aku enggak mau menerimamu. Sekarang dan seterusnya. Sampai di sini paham?”
”Kenapa?” lirihnya.
”Kenapa aku harus menjelaskannya?”
”Setelah kamu tahu alasanku, kamu masih tidak ingin memahaminya. Kamu kecewa karena aku lebih memilih meninggalkanmu waktu itu.”
”Ya. Kamu tidak bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan hanya karena kamu butuh. Haha. Memangnya kamu hebat sekali? Selesai balas budi, sekarang kamu datang lagi untukku. Terus kamu pikir aku Ana yang dulu, yang bodoh sampai menangisimu berhari-hari?” Dan merasa rendah diri bertahun-tahun. Kamu tahu apa, Fauzan? Enak banget hidup sepertimu.
”Besarkan anakmu dengan baik. Dia tanggung jawabmu sekarang. Jangan sibuk menyesali masa lalu.”
Aku mengambil tas makananku.
”Aku pulang naik taksi. Kamu, tidak bertanggung jawab.”
***
Bersambung...
14 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top