[09] Calon Menantu

"Adik! Adik! Ndeh baa kok naiak onda satinggi iko, Adik? Cameh Ama, Dik, a. Turunlah capek. Apa, tolongan Adik ciek tu ha. Mancaliak se Apa ko mah." (Adik! Adik! Kenapa naik motor setinggi ini, Adik? Ama khawatir. Cepatlah turun. Apa, tolong Adik. Masa cuma dilihat saja sih.)

Apa tergopoh membantuku turun dari sepeda motor. Hap! Kakiku sudah menginjak cor-coran jalan. Yah, rumah ini berdiri di kompleks yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Tinggal lurus saja, dari jalan raya kelihatan kok.

"Kenapa tidak minta Abang jemput?" Ama masih memprotes.

Aduh, Ama terlalu berlebihan. Aku jadi tidak enak dengan Pak Andi. Apa yang Ama takutkan? Aku cuma bisa meringis di depan Pak Andi. Nggak juga sampai meminta maaf. Halah, Pak Andi pasti memaklumi ibu-ibu kan memang suka mengomel. Apa juga sampai geleng-geleng setelah direpeti Ama. Kedua orang tuaku entah kenapa kompakan duduk di teras depan. Ketahuan deh aku dibonceng Pak Andi. Mana suara Ama agak-agak teriak. Ante Mal di sebelah jadi melongokkkan kepala di atas pagar. Sekalian aja seluruh tetangga tahu kalau begini.

"Siapo tu, Na?" tanya Ante Mal.

Nah, mulai.

"Oh, iko calon Ana? Urang ma?" sahut mamanya Icis, sekarang Icis kelas dua di SD-ku. (Oh, ini calon Ana? Orang mana?)

Cuma lewat, sempat-sempatnya ikutan. Pak Andi pasti nggak enakan mau pergi. Banyak yang penasaran dengannya. Haruskah aku tawari singgah? Bukankah nan sirah iolah sago, nan kuriak iolah kundi. Nan indah iolah baso, nan baiak iolah budi. Berarti aku harus berbasa-basa karena Pak Andi sudah berbaik budi mengantarkanku.

"Yuk, Pak Andi, mampir dulu." Undangan itu pun terucap.

"Singgahlah dulu, Ndi," tambah Ama.

Ternyata Ama tidak kesal kepada yang punya motor. Wajah Ama telah ramah seperti semula. Bahkan menarik tangan Pak Andi untuk meninggalkan kendaraan.

"Iya, Bu." Pak Andi kelihatan sungkan.

Ama memandu tamunya untuk duduk ke ruang tamu. Aku hanya memandang Apa dengan memelas. Tek Mal dan mamahnya Icis sedang merumpi. Waktu aku akan masuk, mereka masih sempat nambahin, "Alah ado calon Ana mah, makan randang awak sabanta lai ko." (Calon Ana sudah ada, berarti sebentar lagi kita makan rendang dong.)

"Hehe." Aku tertawa garing dan menarik lengan Apa masuk rumah.

Di dalam Ama sepertinya sudah mengajukan banyak pertanyaan kepada Pak Andi. Aku ke belakang aja untuk siapin Pak Andi minuman.

"Iya, Pak Solih Ama tahu mah. Tahun lalu Ama ikut ziarah dengan rombongan Pak Solih. Oh, di daerah itu rumah Andi." Suara Ama terdengar jelas sampai ke dapur.

Aku menuang sirup ABC ke gelas tinggi yang sudah kuisi es batu. Tiga gelas kuletakkan di atas nampan. Membawanya ke tempat Ama dan Pak Andi. Tak lupa segelas air putih untukku sendiri.

"Sudah lama Andi bekerja di SD 25?"

Aku duduk di sebelah Ama setelah meletakkan masing-masing gelas di hadapan pemiliknya.

"Adanya sirup, Pak An. Minum dulu," tawarku.

"Terima kasih banyak, Bu An. Sampai mana tadi, Bu? Oh iya, berapa lama Andi kerja di SD 25. Andi masuk awal tahun 2019. Sudah sekitar 4 tahunan Andi mengabdi di situ."

"Oh! Andi PNS? Berarti lebih dulu Andi dari Ana masuk P3K. Empat tahun yang lalu berarti Ana baru tamat kuliah, masih honor-honor di Jakarta."

Percakapan itu berlangsung dua arah. Baik Ama maupun Pak Andi tidak kehabisan bahan pembicaraan. Aku baru tahu sosok Pak Andi ternyata orang yang luwes dalam berbicara. Berbeda dengan di sekolah. Menurutku, Pak Andi adalah pemuda yang aktif di lingkungannya. Dia lebih leluasa dekat dengan para orang tua. Dia paham sekali bagaimana menarik hati orang-orang seumuran Ama. Menceritakan kampung halaman dan orang-orang di sekitar. Menceritakan pengalaman masa muda, itu sih Ama. Kalau Pak Andi, menceritakan masa-masa dia mencari kerja. Berapa kali dia harus mengikuti tes CPNS hingga sekarang lulus di sekolah kami. Tak ketinggalan membahas keadaan Kota Padang saat ini. Yang terakhir termasuk dalam pergibahan terhadap pemerintah kota, sehingga Apa pun ikut.

"Assalamualaikum!"

Wah, tidak terasa ternyata sudah pukul lima sore. Bang Aki muncul dari pintu dan terheran-heran melihat tamu kami. Kami yang menjawab salamnya bertepatan dengan meluncurnya pertanyaan dari Bang Aki. Tanpa menunggu kami selesai.

"Ada tamu nih. Apa kabar, Andi?" sapanya.

Bang Aki duduk di bangku yang tersisa, di sebelah Pak Andi.

"Alhamdulillah kabar baik, Da Ki."

"Siapa yang tanya kabar, An? Maksudnya apa yang membawa Andi ke mari? Baru sekali ini main ke rumah."

Pak Andi tertawa, kemudian baru menjawab, "Saya mengantar Ana, Da Ki. Kami tadi makan bersama Milly dan Bang Shirath."

"Shirath pun ikutan? Wah, seru!"

"Iya karena searah, Pak Shirath pulangnya dengan Milly."

"Milly Milly. Tadi berangkat dengan Ana naik mobil, pulang-pulang Ana disuruh dengan orang lain. Itulah sebabnya Ama terkejut melihat Adik dibonceng motor, kenapa tidak telepon Abang, untung Pak Andi hati-hati bawa motornya. Terima kasih banyak Andi sudah mau mengantarkan Ana pulang dengan selamat. Anak Ama ini tidak bisa naik kendaraan umum. Takut. Ama yang tidak membolehkan karena khawatir nanti ada apa-apa di jalan, kita tidak tahu."

Pak Andi tersenyum. Ada tawa terkulum disimpan Pak Andi ketika melihatku. Orang lain tidak melihat itu.

"Kalau seperti itu, Andi pulang dulu, Ibu, Apak, Da Aki, Bu An. Terima kasih banyak dan maaf merepotkan."

Setelah kepergian Pak Andi, Ama kemudian merangkul bahuku.

"Kenapa baru kali ini Adik memperkenalkan teman Adik ke rumah? Ama suka dengan Andi. Nama kalian sudah cocok. Pak An Bu An. Serasi itu, Dik."

"Ama jadi kayak Tek Mal dan mamanya Icis. Pak Andi itu hanya mengantar Ana karena kebetulan Milly bersama Pak Shirath."

"Tahun depan sudah 28 usia Ana. Apa salahnya mulai memikirkan pasangan? Ama sebenarnya tidak memaksa. Kalau Ana sudah ada yang Ana suka, katakan saja dengan Ama. Kita berkenalan dulu dengannya. Ana pulang dengan Andi membuat Ama punya harapan."

"Amaaa. Ana belum pengin, Ama. Udah ah, Ana mau mandi sudah sore."

Setelah makan bersama, lalu salat Isya, aku ke kamar. Malas duduk bersama seperti biasa takut mereka membahas tentang Pak Andi atau jodoh lagi.

Sebuah panggilan masuk dari nomor yang baru-baru ini kusimpan membuat jantungku sempat berdegup. Oh, itu bukan karena berdebar ditelepon gebetan. Aku sangat terkejut karena tidak biasanya mendapatkan telepon dari cowok malam-malam. Biasanya dia hanya mengirimkan pesan.

"Sedang apa, Na?"

"Ini orang gimana, mulai telepon nanyanya sedang apa, bukannya ucap salam dulu."

Dari sini kedengaran derai tawa Fauzan yang renyah. Kurasa dia hanya sendirian di sana sehingga bisa tertawa sekeras itu di malam hari.

"Bapak lagi di mana? Nggak malu apa, nggak takut ketahuan ketawanya keras banget?"

"Abang jadi ingat Ana dulu orangnya seperti ini. Orang baru bicara tiga kata, Ana-nya sudah satu paragraf lebih. Ana menarik."

Astaghfirullahal'adzim. Benar juga kenapa aku bisa bicara sebanyak itu? Bukannya aku meminta dia mengucapkan salam? Kenapa pula aku bertanya dia sedang di mana? Aduh, Ana, rasa ingin tahumu memang tinggi.

"Ada apa?"

"Banyak apa-apanya, sih, Na. Mau mengajak Ana mengobrol tentang apa saja, mau mendengar suara Ana, mau ketemuan, tapi sudah malam. Jadi besok pagi saja, ya, ketemuannya."

"Nggak usah repot jadi sopirnya Ana. Saya sudah ada yang antar dan jemput. Nggak enak tahu dilihat oleh orang kenapa Ana bisa naik mobilnya Qiosya tiap pagi dan pulangnya. Nggak mau ada yang gosip."

"Memangnya Ana dengar ada yang bergosip? Tidak ada. Abang sudah bilang kepada Bang Aki kalau Ana nanti pulang perginya dengan Bang Fauzan. Bang Aki udah bolehin, Na."

"Kalian kenapa kompak sekali ingin menyengsarakanku? Udah pokoknya jangan jemput Ana."

"Ana gimana kalau besok Ana Abang jemput kita ke taplau? Ana juga yang menentukan Abang bawa Oca atau enggak."

"Aku enggak ingin ke mana-mana. Aku suka di rumah saja. Jangan bawa-bawa nama Qiosya biar aku setuju."

"Jadi besok Abang datang sendirian? Oke! Ana tunggu saja agak sorean. Abang jemput Ana setelah salat Ashar. Selamat malam, Ana. Assalamualaikum. Mimpi yang indah, Anabiya."

Fauzan menjelma jadi makhluk batu. Udah dibilang jangan mampir, malahan pukul 06.30 WIB sudah ada di depan rumah. Tersenyum dengan gembira bersama seorang putri yang amat jelita. Fauzan membawa sebuah paper bag yang mengeluarkan aroma sangat wangi ini.

"Untuk Ana," katanya.

"Ada Fauzan! Masuk, Jan! Masih lama waktunya sebelum jam berangkat. Ana-nya saja belum mandi tuh."

Bang Aki muncul-muncul malah mengizinkan Fauzan masuk. Dan yang dikatakan oleh Bang Aki itu benar. Aku telat bangun jadi jam segini belum mandi. Siapa yang bikin aku begadang? Iya yang di sana sedang tersenyum. Biawak.

"Oca boleh masuk, Om? Oca boleh mampir lagi? Ayo Oca tunggu di dalam aja. Assalamu'alaikum."

Qiosya menghela tangan bapaknya ke arah dalam, mengikuti Bang Aki yang lebih dulu menuju ruangan makan.

"Ayo, Na, mandi."

Kata-katanya barusan membuatku terkejut. Terasa wajahku menghangat. Jangan sampai warnanya berubah merah makin malu aku.

Berjalan cepat melewati Fauzan, aku berbisik sambil menahan kekesalan, "Apa sih maksudnya nyuruh orang mandi? Sok akrab."

Semoga tidak ada yang melihat tangan ramah Fauzan sudah mengusap-usap puncak kepalaku. Dasar biawak.

"Tangannya," geramku sebelum benar-benar meninggalkannya menuju kamar.

Mandiku sebenarnya tidak bisa cepat-cepat, tetapi kalau waktunya kepepet bisa mandi dalam dua menit. Tinggal siram dan pakai sabun pada permukaan badan yang penting-penting saja. Dalam lima menit aku sudah bisa keluar kamar, walaupun belum pakai bedak. Masalah jilbab juga mudah, sambil jalan bisa aku lilit-lilit dari kepala ke leher. Jangan sampai Fauzan ngomong sesuatu yang merugikanku. Apalagi dia dengan Bang Aki sudah kongkalingkong. Nggak tahu apa saja rencana mereka untuk menjerumuskan hidupku. Entah untuk tujuan apa.

"Nte Qiosya boleh nggak berangkatnya dengan Bu Ana setiap hari? Biar di jalan ada teman mengobrol sambil belajar. Kalau ada PR, Oca bisa tanya dengan Bu Ana. Boleh nggak, Nte?"

Qiosya gemas sekali.

"Boleh, Oca boleh berangkat dan pulang dengan Bu Ana. Justru, eh, jangan panggil Ante, panggil nenek saja. Justru Nenek bahagia karena ada Oca temen ngobrolnya Bu Ana. Bu Ana itu tidak berani sendirian, harus ada teman ngobrolnya."

Ama benar, tapi itu dulu ketika awal-awal aku memiliki sakit lambung. Setiap sendirian, aku seperti mendengar sesuatu yang menakutkan. Entah apa dan dari mana. Aku tidak paham. Tetapi akhir-akhir ini aku tidak lagi mendengarkannya. Seiring kesehatanku yang mulai membaik.

"Rumah Bu Ana enak, ya, Pa, rame. Orangnya baik-baik."

Komentar Qiosya mengingatkanku pada kejadian beberapa hari lalu. Saat kami dengan Milly di kolam renang belakang. Anaknya Fauzan ini anak yang butuh teman. Mungkin nenek dan kakeknya memang jarang bermain dengannya, serta omnya sibuk.

"Qiosya kan ada Papa. Qiosya bisa bercerita yang banyak dengan Papa. Qiosya juga boleh main ke sini. Nanti Bu Ana mengajak Tante Milly supaya ramai."

"Papa benar, Pa. Bu Ana orang baik. Makasih ya, Bu Ana. Kata Papa, Bu Ana boleh sering-sering ke toko roti. Bu Ana boleh makan roti apa saja seperti Oca."

"I-iya boleh juga."

"Kalau Bang Aki boleh juga tidak ke toko rotinya Qiosya?"

Sudah om-om inginnya dipanggil abang. Nggak sadar umur emang itu orang.

"Papa kalau Om Daki boleh tidak?"

Qiosya masih ingat nama yang kusebutkan ketika perkenalan di kelas hari pertama. Daki.

Dengan santainya Fauzan menjawab, "Khusus untuk Om Daki bayar."

Qiosya berdiri dari bangku. "Papa ayo berangkat. Nanti kita terlambat. Kalau Bu Ana-nya juga terlambat, siapa yang akan menghukum, Pa? Kalau Oca yang terlambat, tapi Bu Ana juga terlambat, siapa yang hukum Oca, Pa?"

"Tanya sama Bu Ana saja. Papa belum kenal guru-guru di sekolah Oca. Bu Ana sarapannya sudah belum? Udah bisa berangkat?"

***

Seperti yang dikatakan oleh Fauzan dalam telepon, dia akan menjemputku sendirian tanpa Qiosya setelah salat Ashar. Dia salatnya pukul berapa sih? Ketika dia tiba, aku dibangunkan Ama karena masih terlelap dalam tidur siang yang kesorean.

Aku mandi dan salat Ashar hingga pukul 04.30. Fauzan dengan Ama sedang berbincang di teras ketika aku telah siap.

"Tidak apa-apa, berangkat sore. Sekalian menikmati keindahan sunset. Ana belum pernah keluar Magrib untuk melihat sunset ke pantai. Asalkan jangan ditinggalkan salat Maghribnya. Masjid kan banyak di pantai."

Ya Tuhan! Kenapa Ama malah mendukungku pergi dengan Fauzan? Aku tidak habis pikir Ama itu kenapa?

"Kok Ama mengizinkan anak gadis Ama pergi sore sampai malam dengan laki-laki, sih Ma? Ama seharusnya melarang."

"Kenapa harus Ama larang? Memangnya kalian akan melakukan hal-hal buruk? Enggak kan, Dik. Jadi, kenapa Ama harus melarang?"

"Di sana nanti tidak tahu apakah ada yang bisa Ana makan atau tidak. Ama tetap bawakan nasi untuk Ana. Kalau Ana mau makan yang lain, ya silakan. Nasinya bawa lagi ke rumah. Kalau mau dikasih ke kucing juga tidak apa-apa."

"Ana seperti anak PAUD tahu, Ma, pergi dibekalin oleh ibunya. Kayak Qiosya nggak sih, Pak?"

Fauzan hanya tersenyum lembut menanggapi kalimatku. "Kita bisa berangkat belum, Na, udah semakin sore."

Aku pun mengangguk dan berjalan keluar pagar menuju mobil Fauzan. Tepat sebelum aku masuk, muncul seseorang dari sebelah rumah.

"Bukan yang kemarin, Na. Calon Ana kemarin yang naik motor agak kurus dari yang ini."

"Memang beda orangnya dan Ana nggak pernah bilang kalau yang kemarin itu calonnya Ana."

"Oh jadi yang ini calon Ana."

"Tek--"

"Insya Allah. Doakan kami, Bu," ujar Fauzan menyambar ucapanku.

"Iya. Cepatlah, Na, udah berapa umur Ana sekarang. Reman-teman Ana pasti sudah banyak yang menikah. Etek seumuran Ana dulu juga sudah menikah. Sudah punya satu anak."

"Terima kasih, Tek Mal, sudah mendoakan Ana yang baik-baik. Ini udah sore jadi Ana permisi dulu. Takut nanti tiba di sana sudah terlalu malam, sunset-nya tenggelam. Assalamualaikum."

Pintu mobil tertutup. Kendaraan roda empat ini berjalan. Fauzan langsung kucecar, "Tidak ada gosip. Lalu yang tadi itu apa, Abang Fauzan?"

Wajah Fauzan berbeda ketika dia tiba di rumahku tadi. Kini sedikit pun tidak ada senyuman di wajahnya. Fauzan memegang kemudi dengan kuat. Barangkali dia sedang tersinggung oleh perkataan Tek Mal. Namun, perkiraanku salah. Begitu Fauzan membawaku duduk di bangku batu pinggir pantai, pertanyaan yang ditanyakan Fauzan adalah siapa yang kemarin naik motor ke rumahku?

"Siapa, Na? Sudah ada yang datang ke rumah Ana."

Gumaman Fauzan tidak kujawab karena itu sangat menguntungkan. Fauzan tidak akan ke rumah lagi untuk mengantar-jemput atau sekadar telepon.

***

Bersambung...

9 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top