[08] Kenapa Tidak?

Azan Subuh sedang bergema ketika aku keluar kamar lengkap dengan jaket dan kaus kaki. Rumah pada jam ini kosong kecuali aku tentunya. Ama, Apa, dan anak bujangnya yang kriwil sudah ke masjid. Jangan tanya aku. Bukan karena palang merah makanya tinggal. Aku memang tidak pergi berjamaah.

Dompet dan ponsel sudah aman berada dalam saku jaket. Aku pun berjalan santai keluar pagar dan merasakan udara pagi menyentuh lembut muka. Satu-satunya kulit yang tidak tertutupi pakaian hanyalah wajah. Namun, aku masih merasa begitu dingin walau sudah pakai jilbab tebal, jaket, dan kaus kaki. Mungkin beberapa menit sebagai pembiasaan bagi tubuhku yang paling malas keluar jam segini. Tak masalah masih bisa ditahan.

Langkah kaki perlahan membawaku teramat jauh dari rumah. Aku mengakali pegal dengan memberikan istirahat beberapa menit saat capek betul. Akhirnya aku tiba di pasar pagi. Tempat seperti ini sangat kuhindari karena kepadatan manusianya. Setelah kupikirkan semalaman, aku mau belajar untuk menaklukkan kecemasan itu. Laju kaki mengarah ke belakang pasar tempat biasanya menjual tangkapan laut. Dari baunya saja sudah kecium. Gak usah terlalu banyak pilih karena aku yakin hasil laut di sini semuanya segar. Aku hanya mau udang. Kuminta dua kilo.

Dengan membawa sekantung udang, kupilih yang ukuran sedang saja, aku pulang dengan rasa puas. Aku akan memasaknya sesuai selera yang tentu saja tetap tidak boleh memasukkan cabai dan keluarganya. Tiba di rumah hari sudah cukup terang. Artinya aku menghabiskan banyak waktu di luar.

”Ana! Dari mana kamu, Dik?” seru Ama yang baru sadar anaknya tidak berada di kamar.

Aku mengangkat kantung belanjaan.

”Apa itu?” tanya Bu Hasida heran.

”Udang. Ana dari beli udang.”

Siapa pun yang melihat wajahku akan menebak aku sedang senang. Tidak begitu dengan Ama.

”Di mana kamu beli?”

Hampir saja aku berkata sebenarnya, dengan lincah lidahku berbohong, ”Etek-etek yang menjajakan ikan. Itu, Ma, yang bawa baskom besar di kepala. Dia lewat waktu Ana duduk di ayunan depan TK.”

”Duduk di sana ngapain di sana?”

Aku berjalan ke belakang sambil menjawab Ama, ”Olahraga.”

Ama menemaniku berdiri di depan kitchen set. Aku membersihkan udang, Ama mengambil air hendak direbus.

”Masaknya diapakan, Na?”

”Biasa, Ma. Tumis kecap. Apa lagi?”

Ama menyalakan kompor. Begitu panci aman di atasnya, Ama bergabung denganku menguliti si udang.

”Mandilah. Biar Ama teruskan.”

”Ana saja.”

Udang telah bersih karena memang jumlah ekornya tidak banyak. Aku mencucinya sampai bersih. Ama kembali memintaku meninggalkan dapurnya.

”Ana bisa.”

Aku membawa daun saledri, daun bawang, serta bawang-bawangan ke kitchen island guna kukerjakan di sana. Kakiku sudah amat pegal berdiri. Lagian bekas jalan tadi juga masih terasa capainya.

Ama menaruh wadah berisi air biar gak bolak-bolak ke keran katanya untuk membasuh bumbu masakanku. Menyebutnya masakanku menjadi kebahagiaan tersendiri.

”Gak terlambat, Na? Udah terang sekali di luar.” Ama mengarahkan wajahnya ke jendela.

Aku pun mengalah. Dengan berat hati meninggalkan udang-udangku 

”Ana mandi dan bersiap. Tolong, Ma.” Aku melompat dari kursi.

”Au, bau apa nih?” Bang Aki menutup hidung, lalu dengan sengaja mengendus tubuhku.

”Bau Abang belum mandi ” Aku menarik rambut yang rasanya pengin aku cukur sampai licin.

”Amis, Na. Cie Ana masak.” Bang Aki menengok ke luar, ”Jangan bilang ini tanda-tanda bencana,” katanya sebelum merintih karena kakinya kuinjak.

”Mandi sana!” kecamku padahal akulah yang seharusnya mandi dan membilas bau ikan. ”Tungguin, Ana udah kesiangan.”

Lalu yang aku lihat ketika keluar hendak berangkat adalah Qiosya dan papanya.

”Selamat pagi, Bu Ana.” Senyuman Qiosya menarik kedua sudut bibirku untuk tersenyum juga.

”Pagi.”

”Mari, berangkat, Na.”

Aku menoleh ke dalam, ingin berteriak memanggil Bang Aki. Apa dia tahu Fauzan akan mampir? Di mana orang itu? Kalau dia muncul, aku bisa beralasan berangkat dengan Bang Aki.

”Bu Ana.” Qiosya menyentuh tanganku. ”Mau ikut Oca di mobilnya Papa?” Pertanyaan Qiosya terdengar ragu.

Takut?

Aku mengangguk. Seketika Qiosya tersenyum lebar. 

”Ayo, Bu.”

Tanpa ke dalam lagi aku hanya berteriak untuk pamit kepada orang rumah.

Perjalanan diisi kesunyian. Aku memiringkan tubuh melihat Qiosya di bangku tengah. Anak itu sedang membuka buku pelajarannya. Pantesan dia tidak berbicara.

”Ada PR ya, Kak?”

Bahkan Qiosya tidak mendengar suaraku.

”Oca. Ditanya Bu Guru tuh.” Fauzan memanggil putrinya dengan suara lebih keras dariku.

Qiosya terdiam.

”Bu Ana nanya Oca.”

Qiosya melihatku, tampaknya memang tidak memperhatikan pertanyaan kami.

Kami?

”Qiosya memiliki PR?” ulangku.

”Nggak.” Qiosya menunduk lagi ke bukunya.

Aku pun menghadap depan lagi.

”Buku baru dibeli waktu itu,” jelas Fauzan.

Oh, masih baru. Jelas lagi semangat-semangatnya membaca.

”Gimana hari ini, Ana?”

”Apananya yang bagaimana?”

Fauzan tersenyum. ”Ana sudah merasa lebih sehat?”

Kuangguki sekali selagi Fauzan masih menoleh kepadaku.

”Bapak ke rumah?” tanyaku.

”Kemarin? Iya.”

Aku mengembuskan napas. ”Bukan mau nggak sopan, tapi sebaiknya kamu jangan ke rumah lagi. Nggak ada hal penting.”

Fauzan diam. ”Boleh minta waktu untuk bicara, Na?”

”Bicara aja. Ini kan lagi ngomong?”

Nyatanya Fauzan diam saja sampai tiba di tujuan.

”Oca duluan! Mau ke kelas sama Jihan.”

Fauzan mengulurkan tangannya kepada Qiosya di bangku tengah.

”Assalamualaikum, Papa.”

Detik itu juga ketika aku ingin membuka pintu, tapi ditahan oleh sang pemilik. Qiosya sudah berlari ke temannya yang bernama Jihan.

”Minta waktunya, Na. Ana yang menentukan tempatnya. Kalau tidak di rumah, di mana saja, aku janji tidak membuat Ana sampai capek. Hanya duduk, please?”

Fauzan mengikuti arah pandanganku kepada tangannya yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Dia pun segera melepaskannya.

”Mau ngapain lagi? Aku capek.”

”Bicara. Sebentar saja. Aku akan minta izin kepada orang tua Ana, aku pastikan Ana dizinkan sebelum pergi.”

”Aku nggak mau. Bicara-bicara apa lagi sih maksudnya? Memangnya sekarang bukan bicara? Aku udah terlambat.”

Lagi-lagi pergelanganku ditahan. ”Balas pesanku. Atau angkat telepon boleh, Na?”

Kalau ditolak, bisa-bisa aku masih di sini sampai besok pagi. ”Lihat keadaan. Aku sibuk.”

Fauzan akhirnya melepaskan tangannya dariku.

”Terima masih, Anabiya.” Senyumannya kelihatan lega.

”Makasih tumpangannya.”

”Bu Ana.”

Langkahku terhenti. Bel sudah bunyi sehingga keadaan sekolah sepi. Namun, ada yang juga baru sampai sepertiku.

”Pagi, Pak Andi.”

Pak Andi mengangguk setelah sampai di sebelahku. Dia baru saja memarkir kendaraan yang terletak sebelum lorong kantor. Dia membersamaiku melangkah ke ruangan kantor.

”Kemarin Pak Andi yang mengisi kelasnya Ana? Aduh, makasih banget, Pak.” Aku tahu di grup kelas satu.

”Iya. Gak perlu terima kasih. Saya kemarin tugas piket, Bu An.”

Aku tertawa. Ya iya sih, tapi kan basa-basi dikit gak masalah.

”Iya udah terima kasihnya Ana tarik lagi, Pak An.” Aku mengambil sesuatu dari telinga guru PJOK itu.

”Ada apa?” tanya Pak Andi menyentuh dua kupingnya.

”Ambil ucapan terima kasih yang nggak diterima Pak Andi.”

Guru tinggi berpakaian kaus olahraga itu bergeleng-geleng.

”Sudah sehat, Bu?” tanyanya ketika memasuki ruangan.

”Alhamdulillah. Eh, udah sepi. Telat banyak nih aku.”

Seseorang muncul dari pintu perantara kantor dan tata usaha. ”An, sarapan!”

Aku hampir bertanya kenapa Pak Shirath ngajak makan.

Sorry, bukan Bu Ana. Mau gabung nggak, Bu An?”

Aku mengangkat tas makanan yang takkan pernah kutinggal ke mana-mana.

”Bawa aja. Makan dengan kita sekali-sekali.” Pak Shirath memutar-mutar kunci di tangan.

”Ana harus masuk kelas, Pak.”

”Yaah. Kalau gitu kita berduaan lagi, An. Kapan-kapan temani kami boleh kok, Bu An. Gak enak makan berduaan dengan Pak Andi terus.”

”Ana boleh ajak teman juga gak?” Aku mengambil kesempatan demi sahabat yang paling kusayang.

”Wah wah, ini ajakan makan di luar? Boleh sekali!” ujar Pak Shirath menepuk bahu Pak Andi yang dari tadi jadi tukang simak. ”Kapan, Bu?”

”Eh, beneran mau? Pak Andi gimana?”

”Terserah Bu Ana asalkan bukan mengajak Nova.”

Lantas aku tertawa yang benar-benar ketawa pagi ini mendengar nada sebal dari bibir Pak Andi.

”Bukan, bukan, kok, Pak. Teman Ana.” Aku melirik Pak Shirath. ”Yang ke sini di hari pertama sekolah. Dia yang minta tolong Pak Andi angkut Ana waktu pingsan,” jelasku.

Pak Andi cuma mengangguk.

”Milly?” tanya Pak Shirath dengan mata menghunusku.

”Ya, Milly,” ulangku dengan suara agak mengecil.

Reaksi Pak Shirath tidak seheboh tadi. ”Terserah Bu Ana saja. Kasih tahu saya kapan Bu Ana bisa.”

”Kak An!” teriakan Nova di pintu serta kedua bocah di kanan kirinya membuat perhatianku teralihkan.

”Mereka kenapa dijinjing kayak kantung belanjaan, Nov?” tanyaku. Tetap duduk di tempat. Lagian Nova juga bakalan membawa kedua anak itu ke hadapanku.

”Adu otot, Kak. Gak mau dengerin aku. Mungkin sama mamaknya nurut.” Nova merangkul kedua anak kelas satu itu mendekat ke depan mejaku.

”Aku ke kelas lagi deh. Takutnya terjadi pertumpahan cat jilid kedua. Kasus pertama, semangat, Kak!”

Pak Andi dan Pak Shirath keluar kantor sambil mengobrol. Namun, saat tiba di depan mejaku, Pak Andi meletakkan tangannya di pundak kedua anak lelaki itu.

”Yang akur. Dengarin kata Bu Ana. Oke?” tanyanya menepuk-nepuk punggung sang murid.

Dan di sinilah aku mendengar tangisan keluar dari bibir kedua anak lelaki yang pakaian olahraga keduanya sudah kotor. Ini mereka guling-gulingan di mana coba? Melihat seragam yang dikenakan mengingatkanku bahwa ternyata jam pertama mereka olahraga. Padahal Qiosya tadi memakai seragam yang sama. Kalau begitu aku tak jadi terlambat masuk kelas. Sudah ada Nova di kelas.

”Dia duluan yang dorong Haril,” adunya sambil menangis.

”Sepatu Amir diinjak Haril, Bu. Kotor semua. Amir nggak sengaja dorong Haril dikit!”

Aku menggeleng-geleng. Mulai mendamaikan dua anak yang sebenarnya manis ini jika sedang nggak menangis.

Bacakak, An?” tanya Kak Sari yang baru masuk kantor. (Bertengkar, An?)

”Tadinya. Sekarang sudah baikan, Kak. Iyakan, Amir Haril?” tanyaku kepada mereka yang masih saling bermaafan sambil usap-usap pipi yang terus dialiri air dan hidung yang becek.

”Sudah baikan,” kata Amir.

”Iya,” sambung Haril.

Dan begitulah, mereka kupersilakan kembali ke lapangan bersama guru olahraga.

”Tuh, bisa jadi guru kelas satu. Sudah ASN harus siap diminta apa saja, ya kan?” kata Kak Sari tersenyum.

***

”Pak Andi boleh anterin Ana pulang? Kami tadi diantar abangnya Ana. Abangnya Ana sekarang nggak bisa menjemput. Yakan, Na?”

Waduh! Milly nggak bilang-bilang niatnya mau modusin Pak Shirath. Terus aku dikorbankan di sini? Rencana makan siang juga kan dariku? Berapa banyak lagi kulakukan untuk bantu Milly sih?

”He-eh iya, tapi Pak Andi kalau misalnya ada kepentingan lain, nggak apa-apa Ana pulang sendirian.” Bukan sendirian. Pastinya setelah mereka semua pergi, aku akan menelepon Bang Aki atau Apa.

Lagian Milly, masa nggak puas sejak ketemu Pak Shirath, sudah memonopoli pembicaraan dengan laki-laki setampan pangeran Arab itu. Aku harus serba canggung dengan Pak Andi. Untung lelaki itu beda dengan di sekolah. Sedikit lebih banyak bicara. Dia yang banyak membuka topik, hingga aku tinggal menanggapi pertanyaannya saja. Kalau dipikir-pikir, kami jadi seperti double date. Mana aku tidak kepikiran sebelumnya. Main ajak aja.

”Bang Shi, Milly bareng, ya.”

Sebetulnya Milly dan Pak Shirath itu bertetangga. Entah mereka kenal sejak kapan, di mana, dan dari mana Milly bisa suka kepada pegawai tata usaha sekolahku itu. Kalau karena tampang, wajar sih Milly suka. Cuman gini, ya, Milly itu sangat selektif sejak dikhianati sang mantan tunangan. Tapi ketika berhadapan dengan Pak Shirath, seperti yang tidak pernah mengalami putus cinta. Malahan kelihatannya Milly putus urat malu. Apakah aku dulu seperti Milly? Semoga tidak!

”Ayo, Bu Ana. Bang Shi, hati-hati. Mari, Milly.”

Nah, nah. Kenapa bapak guru olahraga ini pakai gandeng tanganku? Tunggu. Tempat ini memang cukup ramai, tapi bukan yang seramai pasar pagi juga. Aku masih bisa jalan sendiri dan kenapa dia .... Duh, ini refleks atau sengaja sih, Pak? Mau diingatkan takut dia malu. Semoga nggak ada yang mengenaliku.

Milly Sapu-Sapu
Annabel! Cerita kenapa Pak Andi gandengannya mesra gitu?
Nasib Bang Pau gimana?

Pesan itu terbaca ketika aku sudah berada di tempat duduk belakang sepeda motor Pak Andi. Aku segera menyimpan tanpa sempat membalas. Sekarang yang harus kupikirkan adalah bagaimana caranya sampai dengan selamat menunggangi kendaraan setinggi ini.

”Maaf, Bu Ana. Harus naik motor. Adanya cuma ini.” Pak Andi memutar tubuhnya ketika menyerahkan helm untukku.

”Nggak masalah, Pak. Malahan makasih mau angkut Ana pulang. Hehe. Jalannya pelan, ya, dingin.”

Syukurlah kami berangkat dari rumah sehingga aku masih sempat mengganti rok sekolah dengan celana panjang. Tapi aku malu! Tolong jangan sampai ada yang mengenaliku sepanjang jalan sampai ke rumah. Ini pengalaman pertamaku dibonceng motor oleh laki-laki. Awas kamu, Milly!!!

***

Bersambung ....

4 April 2023

Relaaaa nggak Bang Paaau lihat Ana boncengan sama Pak Andi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top