[05] Apa Judulnya?
Hal yang bikin aku hampir terjengkang pagi ini saat akan keluar rumah adalah kehadiran tamu yang tidak diduga. Aku harus berpegangan pada punggung sofa supaya dapat tegak dengan benar. Sosok yang berdiri di depan pintu terbuka itu jelas Fauzan. Oca Qiosya di sebelah pria tinggi tegap itu juga tersenyum seperti bapaknya. Hei, tolong jelaskan ini nyata atau ilusi?
”Assalamualaikum,” ucap yang tinggi.
”Assalamualaikum, Bu Ana.” Yang itu putrinya.
Si Qiosya itu harus tengadah, terlihat kesusahan dengan jilbabnya yang terlalu maju sampai nyaris nutupin mata. Gemas deh. Sebagai guru kelasnya yang baik, langkah kakiku maju mendekati Qiosya. Gerakan refleksku menarik puncak jilbab Qiosya membuat bapaknya sedikit menyingkir. Qiosya pun melempar senyuman lebar setelah mukanya kelihatan lebih banyak.
”Wa'alaikumussalam. Qiosya ada perlu apa, Kak, cari Bu Ana?” tanyaku lembut.
”Kata Papa berangkatnya sama-sama aja.”
Akhirnya, mau tidak mau, aku mengalihkan perhatian ke papanya Qiosya.
”Gak perlu repot. Bu Ana diantar abangnya Bu Ana.”
Tunggu, itu barusan aku bicara dengan Qiosya, tapi mataku kenapa melotot ke papanya?
”Kata Papa arahnya sama. Sekalian lewat. Ayo, Bu! Udah mau jam tujuh!” Pemilik suara yang bertekanan tinggi sudah menarik tanganku.
”Siapa, Dik?” Ama dengan tas bekalku membuat tarikan Qiosya terhenti.
”Murid Ana. Bang Aki?” tanyaku karena memang belum melihat si rambut kriwil itu sejak dia pulang dari masjid.
”Kan sudah pergi. Abang ke Bukittinggi, kamu lupa?” Ama menyerahkan tas itu padaku. ”Namanya siapa, Cantik?”
”Qiosya, pakai kiu, Nte. Bu Ana ayo, berangkat.”
”Bu, Ana boleh berangkat dengan kami saja?”
Ama langsung mengangguk, ”Boleh. Boleh. Ada lagi, Dik? HP, dompet sudah di tas?” tanya Ama.
Aku memeriksanya. ”Air minum?” Ternyata sudah dalam tas makanan.
”Ama nggak bisa antar Ana?” Kenapa bertepatan dengan Pak Ihsan yang terserang diare coba? Kalau Bang Aki absen, Apa yang tugas, dan kalau Apa juga berhalangan, biasanya Ama yang gantiin mereka.
”Kalau nggak merepotkan, Bu Ana boleh berangkat dengan Qiosya dan papanya. Kasihan Apa ditinggal sendirian.” Ama seolah menyerahkan tugasnya kepada bapak dan anak itu.
”Kan nggak sampai tiga puluh menit juga,” keluhku dengan suara pelan biar cuma Ama yang dengar.
”Sudah hampir jam masuk,” celetuk Fauzan, melihat pergelangan tangan kiri.
”Bu Ana.” Qiosya terdengar merengek. Anak itu kayaknya takut terlambat.
”Ya, berangkat. Ma, Ana pergi.” Aku mencium tangan Ama.
Qiosya diperintah bapaknya melakukan hal yang sama, menyalimi tangan Ama. Eh, Fauzan juga melakukannya.
Aku duduk di bangku tengah dengan beragam bawaan. Nasi dan air minum yang tidak pernah tinggal. Hari ini Ama bahkan menambahkan pisang rebus, terlihat saat aku memeriksa botol air minum. Qiosya yang baru keluar TK saja tidak membawa bekal ke sekolah.
”Yang cepat, Pa.”
”Iya.”
Saat ini aku merasa lagi ada dalam gelembung. Suara-suara di luar terdengar samar. Tak mampu berpikir apa yang harus dilakukan karena tubuh tiba-tiba kaku. Sulit digerakkan. Jangankan untuk basa-basi menyapa Qiosya, menggerakkan kepala saja rasanya susah. Arah tatapku hanya tertuju ke Fauzan di depan sana yang sedang nyetir dengan santai. Bukankah anaknya suruh dia agar cepat?
”Kenapa, Na?” tanya Fauzan yang melihatku dari spion tengah.
Aku yang sejak tadi hanya digerakkan oleh kata-kata Ama, Qiosya, dan Fauzan hingga bisa duduk dalam mobil ini cuma diam. Apa jawaban untuk pertanyaan Fauzan barusan? Dia bertanya kenapa aku lihatin dia? Nanyaian apa aku ingin bilang sesuatu?
Fauzan justru tertawa kecil. Memangnya aku melucu?
”Matamu itu, Na.” Fauzan berusaha menjelaskan.
Kenapa dengan mataku?
”Kan nanyanya baik-baik, kok malah dipelototin?” jelas Fauzan.
”Nggak ada.” Aku menjawab pelan.
Untungnya roda empat yang Fauzan bawa akhirnya berhenti di depan gerbang.
”Yes! Belum masuk.” Qiosya berseru sembari membuka pintu. ”Aku mau ke kelas. Bu Ana, Oca sama Aqila. Dadah, Papa.” Anak itu berlari ke temannya yang juga baru saja tiba.
”Bisa, Na?” tanya Fauzan saat aku hendak membuka pintu.
”Bisa. Makasih.”
”Pulangnya dengan Qiosya lagi?”
Aku menoleh, ”Nggak.” Baru dua langkah aku ingat harus menyampaikan sesuatu.
Fauzan menurunkan kaca jendela.
”Ada yang ketinggalan?” tanya Fauzan.
”Jangan mampir lagi.”
Fauzan hanya menatapku. ”Ana ganti nomor?”
”Nomor apa?” Suara yang keluar dari bibirku terdengar ketus sekali. Rasanya aku tidak peduli walau dia adalah orang tua anak didikku.
”Nomor telepon. Di grup kelas satu, nomor Ana bukan yang lama.”
”Memang kenapa?” Lagi-lagi suaraku tidak bersahabat.
Fauzan menggeleng dengan diiringi senyuman, ”Nggak ada apa-apa.”
Berdiri sekian menit membuat tubuhku terasa ringan, seolah hanya karena angin bisa tumbang. Aku lalu menyentuh pintu mobil.
”Aneh. Pokoknya nggak mau tahu, jangan mampir-mampir lagi!”
Adanya Qiosya membuat aku nggak bisa menunjukkan rasa tidak sukaku secara berlebihan. Apalagi kalau diingatkan yang tadi, Qiosya hanya ingin ke sekolah secepatnya. Kalau aku mengulur-ulur waktu dengan menolak ikut mereka, dipastikan Qiosya tidak akan senang denganku. Gurunya sendiri yang bikin dia bisa-bisa telat masuk kelas.
Fauzan cuma angkat bahu dengan wajah menyebalkan. Dia kenapa sih? Fauzan yang ini beda dengan seniorku dulu. Ini tuh Fauzan yang menyebalkan atau aku yang bawaannya kesal melihat dia?
”Bel masuk tuh, Na. Mau diantar ke dalam?”
Aku seketika teriak, ”Nggak usah!”
Halaman depan telah sepi. Aku berjalan dengan perasaan heran campur kesal.
***
Kelas akhirnya berakhir juga. Hari ketiga kelas satu dimulai dengan drama tangisan dari Hakim yang ternyata lupa membawa kotak pensil. Hakim ingin pulang. Aku nggak ngizinin. Mau pulang cuma untuk ambil kotak pensil kok repot-repot sekali. Memangnya dia mau pulang naik apa? Dengan entengnya dia bilang diantar bu guru. Terus bu gurunya diantar siapa? Itu pertanyaanku dalam hati.
Kubujuk dengan meminjamkan pensil milikku. Penghapus juga. Dia bilang, mana pewarna warna hijau, kuning, cokelat, dan dia sebutkan warna lain sambil sesenggukan. Dengan alasan kita hari ini nggak membutuhkan pewarna, Hakim masih nangis. Akhirnya, aku duduk di sebelah Hakim sambil nepuk-nepuk punggung dan usap kepala anak itu. Begitu saja sampai dia lelah menangis.
Bukannya nggak kepikiran minta dianterin oleh orang rumah. Alasan itu justru terlalu merepotkan orang tuanya. Sementara Hakim hanya butuh pensil serta penghapus dan sudah dia dapatkan. Sebelum Hakim menyerah, sang penyelamat datang. Mungkin nggak sabar menunggu Hakim yang belum juga tenang. Qiosya mendekati Hakim dengan kotak pensilnya yang lengkap.
”Ini aku pinjamkan punyaku. Kamunya nggak boleh nangis lagi. Kita mau belajar.”
Secara ajaib Hakim pun diam. Senyumnya mengembang melihat Qiosya yang emang hari ini imut sekali memakai jilbab merah dan kemeja batik merah. Qiosya yang tinggi dari Hakim terlihat seperti kakak ke adiknya. Setelah berhasil mendiamkan temannya, Qiosya duduk lagi ke bangkunya sendiri.
Kelas satu baru mulai belajar efektif hari ini. Astaga, menyudahi kelas terasa bagaikan menyudahi perang lalu mendapatkan kemerdekaan setelah proklamasi. Memang mereka semua manis-manis. Mereka bikin pengin aku nyubit pipinya yang chubby-chubby. Suara manja itu apalagi. Sayangnya, mereka menyerangku dengan pertanyaan dan keluhan setiap saat dan nggak pake antre. Serentak walau nggak sekelas langsung yang bicara. Setiap selesai memberikan satu mata pelajaran, aku akan ajak mereka nyanyi dan kasih cerita. Biar mereka nggak bosan dan aku pun juga.
”Ya ampun, Kak Ana!” Nova memelukku ketika kakiku menginjak ubin kantor. Mana lama sekali hingga aku sadar apa yang dia lakukan.
”Ngapain peluk-peluk ini?”
Nova melepaskanku, tapi tidak dengan lenganku. Dengan berlebihan dia menuntunku ke sebuah bangku. Dia berdiri di belakang dan memijat bahuku.
”Kak Sari harus melihat ini,” katanya. Ruangan kantor sepi, hanya ada Nova, Pak Andi, dan aku.
”Apa yang harus dia lihat?”
Pandangan Pak Andi, guru olahraga, teralihkan dari ponselnya kepada rekan sesama guru PJOK. Pak Andi ini mengajar kelas tinggi dan Bu Nova kelas rendah karena SDN 25 Partab memiliki dua rombel untuk masing-masing kelas. Padahal Bu Nova tomboy begini, tetapi dengan Pak Andi sesama guru mapel, sepertinya tidak seakrab denganku. Hah, kalau melihat mereka berdua, aku jadi nambah beban pikiran.
”Bu Ana jangan dikasih kelas satu. Ini baru hari ketiga. Gimana setahun lagi? Anak-anak apalagi, makin lama semakin aktif.”
”Semuanya sama saja. Akunya yang salah,” kataku nggak ingin terprovokasi. ”Doakan saja aku sehat ya, Nov.”
”Aku bisa bantu bicara dengan Bu Sari, Kak An.”
Kulihat Pak Andi melirik ke Bu Nova dengan tajam. Kalau ada yang mau dikomentari, lebih baik ngomong langsung daripada bersungut-sungut dalam pikiran. Ya kan?
”Eh, bengong!” Nova menepuk pundakku.
Pak Andi kini melihat kepadaku. Ketahuan kan aku lihatin dia dari tadi.
”Kalau Bu Ana merasa sanggup, Bu Nova kayaknya nggak perlu mempengaruhi Bu Ana segitunya.” Pak Andi kemudian menekur lagi ke handphone-nya.
”Kamu mana peduli, Pak. Aku bermaksud baik. Pak An nggak sayang Kak Ana, aku sayang beliau.”
Pak Andi mengembuskan napas kasar. Matanya tetap fokus ke ponselnya. Mungkin dia merasa sudah salah telah berkomentar sedikit.
”Terserah kamu, Bu.” Pak Andi berkata pelan.
Aku yang duduk berhadapan dengan Pak Andi tidak lagi memperhatikan lelaki itu. Sepertinya dia sudah tidak memusingkan perdebatan dengan Nova. Perdebatan itu biasa terjadi jika berada dalam satu ruangan. Mereka selalu berada dalam kubu yang berlawanan di setiap topik. Semoga saja ketika aku belum datang, mereka berdua nggak saling memiting.
Setelah kondusif, aku membuka kotak nasi.
”Pisang, Bu Nova,” tawarku.
Kalau untuk makan nasi, aku memang tidak pernah basa-basi ngajak siapa pun ikut makan. Makan sudah sama dengan bernapas. Masa aku juga menawarkan orang lain untuk bernapas bareng?
”Bu Ana memang terlihat letih,” ucap Pak Andi membuatku menoleh ke arahnya.
Aku mengangguk. ”Sebetulnya iya.” Aku melihat ke Nova, ”Tapi masih sanggup, nggak perlu bawa-bawa orang lain dalam masalahku.” Aku lanjut makan. Kali ini Ama memasakkan ikan bakar.
Tak sengaja saat aku sedang megang sendok dengan mulut sudah terbuka, pandanganku memergoki seseorang melihat ke arahku. Padahal, kami sudah diam cukup lama. Ngapain Pak Andi melihatku lagi?
”Makan, Pak?” tanyaku dengan mulut penuh nasi. Barangkali aroma ikan buatan Ama ini mengganggu indra penciuman guru lelaki itu.
”Teruskan,” katanya. Lalu berjalan keluar membawa ransel.
”Pulang?” tanya Nova.
Pak Andi tidak melirik apalagi menjawab.
”Jemputan Kak An tumben lama?” kata Nova.
Dia mengingatkanku untuk segera mengirim pesan kepada Ama. Namun, sebelum mengetik, suara sepatu mendekat.
”Bu Ana, yuk kita pulang bareng.”
***
”
Traktir, Mil.” Aku duduk menyandarkan punggung pada kursi di toko roti ini.
Sepulang sekolah, Milly datang mengajakku makan di tempat ini lagi. Kata Milly karena dia bisa makan bareng aku kalau kami nongkrongnya di toko roti.
”Tenang. Aku juga dapat diskon, Na, makan di sini.” Milly malah cekikikan. ”Lekas, pesan apa pun yang kamu inginkan.”
Aku menyipitkan mata. Jangan-jangan dia ke sini sekaligus untuk bantu promosi tempat ini. Milly enak sekali hidupku.
Begitu roti-roti wangi itu datang, aku langsung mencabik satu roti untuk dimasukkan ke mulut.
”Na! Sorry! Bang Millo giginya copot, aku harus nemenin Bang Millo sekarang ke dokter gigi.”
Aku cepat-cepat berdiri, merelakan roti yang baru kumakan sedikit. ”Aku?”
Milly melesat begitu cepat ke pintu keluar. ”Semua sudah dibayar. Makan aja!”
”Bukan masalah bayaran. Gimana aku pulang?”
”Ngapain naik taksi!”
”Nggak aman kamu di mobil sendirian dengan orang asing. Kamu nggak ingin ketemu Abang, Apa dan Ama lagi hah?”
”Apa salahnya kamu sabar, tunggu sampai Abang jemput!”
Ana, ini tempatnya beda. Padang sangat aman, Na. Kamu juga sudah lebih sehat. Kamu bisa melakukan apa saja sendirian.
Pikiranku bertarung antara kemarahan Bang Aki dan menguatkan tekad untuk lebih mandiri. Bukankah ini waktunya untuk menjadi Ana yang bebas sekali lagi? Pergi ke mana saja sendirian, melakukan apa saja sendirian dengan kedua kaki dan tangan.
”Ana.”
Suara bernada lembut itu membuat pikiranku yang sedang bertikai akhirnya berdamai. Suara-suara dalam kepalaku yang ribut berganti menjadi bisikan, ”Kok bisa ada Bapak di sini?”
***
Bersambung ....
Sumsel, 31 Maret 2023
Masih lancar puasanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top