Tiga Puluh Satu - Pulang

RAYA

Gue jelas nggak siap untuk berita besar yang kata Jev bakal dia kasih tau ke gue. Bener-bener nggak siap, karena bahkan dugaan aja udah bikin gue ngerasa kosong, seolah ada yang menggerus jauh di dalam sana, bikin gue bolong di tengah-tengah. Goblok banget gue udah bilang iya-iya aja pas dia nelpon gue kemaren, ditambah lagi pake ketawa-ketiwi dikit seakan nggak terjadi apa-apa. Seperti hidup gue baik-baik aja, padahal kenyataannya nggak begitu. Salah satu alasan mengapa gue mutusin buat melupakan sejenak urusan kerjaan yang bikin pening kepala dan cabut ke rumah orang tua gue adalah karena serangkaian kejadian nggak enak yang baru aja gue alamin.

Gue putus sama Kenzo.

Iya, putus. Semuanya berlangsung begitu mudah, segampang nelen air putih. Sesuatu yang bahkan entah kenapa nggak gue sadari sepenuhnya karena terlalu mudah, bikin semuanya jadi kerasa kayak mimpi yang nggak nyata. Gue pikir gue bakal ngerasa sakit, kemudian hari-hari gue bakal penuh sama segala macem pikiran yang bikin sakit dan air mata yang nggak berenti kayak pas pertama kali gue menyadari gimana dengan pelan-pelannya Jev menghilang dari hidup gue, entah karena dia yang memang punya keinginan untuk pergi, atau gue yang mendorong dia untuk sepenuhnya lenyap tanpa jejak. Tapi ternyata nggak. Gue baik-baik aja. Gue masih bisa melihat matahari terbenam tanpa ngerasa sedih, nonton film komedi romantis di bioskop tanpa ngerasa kesepian, atau ngeliat rekan sekerja yang dijemput sama tunangannya tanpa rasa iri sedikitpun. Hidup gue baik-baik aja, kerasa normal. Tanpa adanya Jev, Hana, atau bahkan Faris dan Adrian di dalamnya. Mereka menghilang begitu aja, seolah mereka nggak pernah ada dalam hidup gue sebelumnya.

Gue baik-baik aja.

Tapi gue ngerasa hampa. Rasanya kayak gue bukan lagi manusia, tapi cuman robot. Robot yang tiap harinya diprogram untuk bangun jam lima pagi, lantas mengurung diri di bawah kucuran air hangat shower, mengenakan blazer untuk selanjutnya bergelut dengan kemacetan ibukota menuju tempat kerja. Nothing interesting. Semuanya sedatar permukaan teflon. Nggak ada gejolak, nggak ada rasa bahagia, atau rasa sedih yang berlebihan. Semuanya sederhana. Bahkan ketika Kenzo memutuskan untuk melepaskan gue karena dia pikir selamanya gue nggak akan pernah bisa sepenuhnya jadi milik dia, nggak ada secuilpun rasa sedih. Nggak ada air mata. Semuanya terlihat artifisial. Palsu. Kayak gue udah nggak punya perasaan.

Dan gue mulai berpikir kalau mungkin hati gue udah beneran mati.

Enam bulan tanpa Kenzo gue laluin dengan biasa aja. Satu dua rekan sekerja, beberapa orang dari departemen lain, pengusaha necis dengan dasi dan jas yang licin, sampai beberapa arsitek dan kontraktor yang gue kenal karena lingkungan pekerjaan gue yang emang nggak bakal jauh-jauh dari segala hal mengenai pembangunan datang silih berganti. Kebanyakan cuman jadi temen jalan. Cuman jadi penghibur sebentar ketika gue kesepian. Kita nggak pernah pergi lebih jauh daripada pergi ke Foundry begitu jam kerja selesai, lantas balik ke apartemen dalam keadaan setengah sadar, entah karena alkohol, atau emang gue udah terlampau lelah sama keadaan. Tapi kalau lo membayangkan gue melakukan sesuatu seperti free sex atau bahkan one night stand, well, lo salah. Sebesar apapun keinginan gue untuk bener-bener get lost, menjalani hidup dengan bebas tanpa mempedulikan norma, moral dan agama, selalu ada sebaris petuah yang entah mengapa sama sekali nggak bisa terlupakan, sekeras apapun gue mencoba.

You're precious. Too precious to be broken.

Dengerin gue, Raya. Jangan pernah biarin laki-laki manapun ngerusak lo. Karena lo tau, lo nggak pantes dirusak. Lo beda sama cewek-cewek itu. Lo cewek baik. Lo bukan cewek liar. Lo cewek manis gue, dengan aroma kayak bayi. Selamanya lo bakal selalu dan harus selalu seperti itu.

Jaga diri baik-baik.

Nggak semua orang itu baik. Jangan gampang percaya sama orang.

Gimanapun, lo itu cewek. Gue cowok. Asal lo tau, cowok dilahirkan buat ngelindungin cewek. Terutama cewek yang dia sayang.

Gue sayang lo. Gue janji bakal selalu ada buat lo. Sampai kapanpun.

Ralat.

Gue mungkin ngerasa baik-baik aja. Tapi sebenernya, gue nggak pernah ngerasa bener-bener baik-baik aja. Gue mungkin terlihat datar, terlihat flat dalam keseharian. Persis robot yang cuman punya sirkuit dan rangkaian kabel listrik rumit tanpa hati apalagi jiwa. Tapi ada kalanya ketika gue balik ke apartemen gue, dengan badan yang capek dan keheningan yang menyiksa, menyekap hingga sesak, lantas ingatan gue bakal mulai membongkar satu persatu kenangan yang tersimpan, sekalipun gue lagi nggak pengen mengingatnya.

Kenangan selalu membuat seseorang lemah.

Kenangan itu sesuatu yang bikin sakit. Kenapa? Karena gimanapun juga, kenangan nggak akan pernah berubah. Berbeda dengan keadaan yang nggak pernah stagnan. Dan kita, manusia, selalu takut menghadapi perubahan. Selalu khawatir akan ketidakpastian. Padahal, apa yang pasti dalam hidup selain ketidakpastian itu sendiri? Nggak ada. Semuanya omong kosong.

Setiap kali mengingat dia, bantal gue basah.

Lalu perlahan gue mulai beradaptasi. Gue nggak bisa terus-menerus duduk di pojok, memeluk lutut lantas meneteskan air mata untuk dia yang bahkan nggak ada lagi dalam hidup gue. Gue mencoba untuk menenggelamkan diri gue dalam urusan kerjaan, apapun itu yang bikin gue bisa melupakan keadaan yang berubah begitu cepat. Gue mencoba menekankan bahwa dalam hidup itu, nggak ada yang selamanya. Gue terlahir sendirian, dan harus terbiasa dengan kesendirian. Ada kalanya itu berhasil. Ada kalanya enggak. Dan ketika itu nggak berhasil, gue bener-bener terkurung diantara ruang kangen gue sendiri. Kangen sama Hana. Sama Faris. Adrian. Rama. Edgar. Bahkan mungkin Dio yang lebih banyak diem. Dan tentu aja... kangen sama dia.

Kangen sama Jeviar Mahardika.

Jeviar Mahardika.

Siapa dia?

Lalu otak gue akan mulai memuntahkan banyak jawaban kayak banjir di musim hujan. Dia adalah seniman pertama yang gue kenal. Orang pertama yang membuat gambar sketsa secara pribadi untuk gue—gambar yang hingga sekarang bagi gue adalah gambar paling indah yang pernah gue terima. Dia adalah sohib gue, tameng yang akan melindungi gue dari apapun. Orang yang bakal selalu pasang badan buat menghindarkan gue dari rasa sakit. Orang paling males yang pernah gue kenal, sampe-sampe dia ngabisin waktunya tidur-tiduran di bawah pohon belakang sekolah beberapa minggu menjelang Ujian Nasional. Satu-satunya perokok brengsek yang nggak bisa gue benci. Tukang tawuran yang hobi bawa rantai sepeda motor di dalam tas sekolahnya tiap hari. Cowok yang seragamnya nggak pernah rapi. Cowok yang punya obsesi aneh buat science fiction dan Star Wars. Cowok yang setia jadi samsak tinju gue tiap PMS. Cowok yang mengenal gue jauh lebih baik ketimbang gue sendiri. Cowok yang selalu berjanji bahwa kita bakal bareng-bareng selamanya. Cowok yang gue tau nggak akan pernah menyakiti gue sampai kapanpun.

Cowok yang sekarang udah nggak ada lagi dalam hidup gue.

Gue mencoba menerima itu.

Tapi sialnya dia. Saat gue mulai terbiasa dengan keadaan, dengan semua kesendirian dan sepi yang ada, dia tiba-tiba muncul lagi. Dengan suara tawa yang masih sama yang bikin gue sadar kalau selama ini gue bener-bener kangen dia. Kangen banget, sampai ngedenger suaranya aja bikin gue pengen nangis. Makin pengen nangis waktu sadar apa yang mungkin akan menjadi ujung dari kita berdua.

Bahwa dia nggak akan pernah menjadi milik gue sampai kapanpun.

Gue benci berpikir pake perasaan, tapi sumpah, bener-bener nggak bisa. Mau dibilang kayak gimanapun, rasanya sakit banget. Terlalu sakit, bikin gue pengen goblok kalo nggak lupa ingatan aja sekalian. Tapi tololnya gue, gue bukannya langsung nutup telepon dan nolak ketemu, gue justru cuman ketawa kayak orang gila sambil nge-iya-in saat dia bilang dia mau dateng ke rumah gue untuk mengabarkan apapun itu yang menurut dia membahagiakan—sebuah hari besar yang konon pantang buat gue lewatkan.

Jeviar emang brengsek.

Dia nggak bosen apa nyiksa gue terus-terusan?

Tapi gue udah terlanjur bilang iya, dan hari ini adalah hari dimana dia bakal dateng ke rumah. Bahkan sejak buka mata di pagi haripun gue udah stress. Bolak-balik ke kamar mandi cuman buat ngecek penampilan di kaca, yang lantas bikin gue sadar kalau gue terlihat pucat banget. Pucat kayak orang sakit, hingga polesan peach lipstick pun nggak bisa membantu. Resah seharian, akhirnya gue ngambil keputusan impulsif untuk cabut gitu aja dari rumah saat sore menjelang, dengan cuman berbekal training panjang dan kaos putih bergambar Mickey Mouse. Anak kecil banget, tinggal tambahin poni dan tas dora, orang-orang nggak akan ngira kalau gue adalah pegawai institusi kepemerintahan.

Gue berjalan tanpa arah, tenggelam dalam pikiran gue sendiri, sampai kemudian gue sadar kemana kaki gue membawa gue. Perut gue terasa mual begitu sadar gue ada di seruas jalan kecil yang tentu aja bukan jalan biasa. Jalan itu adalah jalan kenangan. Jev biasa nyebut tuh jalan dengan sebutan Jalan Raya, diambil dari nama gue. Jalan itu adalah jalan deket sekolah SD kita, yang sekarang pun masih dipenuhi semak belukar dan pohon bambu di tepiannya. Tipikal jalan yang sepi saat siang dan menyeramkan ketika malam. Dulu, waktu pulang-pergi sekolah, kita selalu lewat jalan ini. Gue masih inget gimana kita mendiskusikan bekal sambil berjalan, dengan tangan saling tergandeng. Samar, ingatan akan semua percakapan anak kecil yang absurd itu kembali terngiang di telinga gue, bikin pandangan mata gue berkabut sejenak karena air mata yang ditahan.

Gue nggak tau diri.

Gue nggak seharusnya berharap.

Siapalah gue selain sebagai kepingan kecil dari masa lalu yang bahkan nggak sepenuhnya indah? Terlalu banyak rasa sakit selama kita saling kenal, dan Jev, di luar semua kebrengsekannya yang bikin gue makin sayang, adalah orang yang nggak pantes tersakiti cuman karena seorang Raya Alviena. Lagipula, hey, gue nggak seharusnya sedih kan? Bukannya daridulu gue selalu berharap akan ada seseorang yang bisa dia cintai tanpa rasa sakit? Sekarang dia udah punya orang itu. Dan gue nggak seharusnya jadi baperan kayak gini.

Tapi lantas langkah kaki gue terhenti begitu aja, dengan tiba-tiba. Saat jari-jari gue menyentuh pelan batang belukar yang mungkin bakal bikin kulit gue gatel semaleman, ingetan itu mau nggak mau kembali terputar. Sebuah percakapan usang ketika kita masih SMP. Percakapan abege yang baru aja mengalami fase awal pubertas, saat hormon sedang meledak-ledak.

"Seandainya nanti lo nikah duluan," gue masih inget gue bilang gitu sambil iseng ngegunting asal kertas krep warna-warni di tangan gue. Waktu itu angkatan kita mau ngegelar pensi tahunan di sekolahan, dan gue bareng Jev kebagian ngurusin dekorasi. "gue bakal buka semua aib lo di depan isteri lo."

"Hm? The same goes with me."

"Gue nggak yakin gue bakal kawin."

"Yakin?"

"Ck. Look at me, Jev. Maksud gue, siapa yang mau sama nerd kayak gue? Ngebosenin. Anak-anak malah bilang gue serem karena gue lebih milih pacaran ama buku."

"Gue mau."

Selama sepersekian detik, gue sempet tercengang.

Lalu ekspresi serius Jev berubah jadi seringai. "Daripada lo jadi perawan tua. Lagian nyokap gue juga nggak bakal tega ngeliat lo sendirian terus."

"Dan lo bakal mau cuman karena nyokap lo?"

"Boleh aja. Tapi lo mau nggak dijadiin isteri kedua?"

Gue lempar dia pake gunting. "Bangke."

Dan dia ketawa. Begitu lebar, sampai kedua lesung pipinya terlihat jelas. "Lucu kali ya, seandainya, in the end, lo berakhir sama gue."

Gue keselek. "Ih amit-amit, kutukan kali. Lucu darimananya emang?"

"Lucu aja. Lo bakal ceritain aib gue. Gue ceritain aib lo. Terus malem pertama kita bakal diabisin buat main UNO kalo nggak uler tangga bareng."

"Nggak kebayang," kata gue sambil bergidik.

"Nggak usah dibayangin. Jalanin aja dulu."

Hening.

"Raya,"

"Hm?"

"Someday, you'll get married."

"Mungkin."

"No, its crystal clear. Gue bisa membayangkan gimana lo terlihat saat hari itu tiba. Lo pasti cantik, yang mana sangat jarang. Tersenyum bahagia, bersama orang yang lo pilih. Di hari itu, gue bakal jadi sahabat paling bahagia yang pernah ada."

"Ah masa?"

"Seorang sahabat bakal bahagia ketika sahabatnya bahagia. Gue bakal dateng ke acara kawinan lo. Begitupun lo. Awas aja kalo sampe enggak. Mana ada sahabat yang nggak ngehadirin kawinan sahabatnya sendiri."

"Liat nanti ya."

Dan Jev cuman ketawa ketika itu.

Ah bodoh. Ngapain juga gue nginget momen yang justru bakal bikin gue ngerasa jadi orang paling jahat sedunia? Gue nggak bahagia. Dan sumpah, gue nggak pengen dateng ke hari bahagia dia. Nggak bisa. Karena gue tau, di detik pertama gue ngeliat dia berdiri di pelaminan, dalam balutan beskap bersama cewek lain di sampingnya, semua pertahanan yang gue bangun berbulan-bulan bakal hancur begitu aja tanpa sisa. Luluh lantak macem barusan kena terjangan angin Bahorok.

Sial. Gue nggak boleh nangis.

"Udah gue duga lo bakal ada disini." Sebuah suara bikin bahu gue tersentak kaget, lantas secara otomatis gue berbalik, dengan pelupuk yang masih digenangi air mata, hanya untuk mendapati sosok yang lama gue rindukan berdiri disana. Dia masih aja sama. Rambutnya agak sedikit lebih panjang, tapi tetep rapi. Terlihat setengah basah, dan samar ada aroma shampoo yang familiar menguap di udara. Kaos hitam bergambar Darth Vader terpasang di badannya yang entah kenapa keliatan jauh lebih tegap daripada yang terakhir gue liat. Ada jejak kehijauan di rahangnya, dan kumis tipis yang nggak kentara dari kejauhan. Dia diem disana, lantas senyumnya tertarik, memunculkan dua lesung pipi yang masih aja sama.

Setetes air mata jatuh begitu aja di pipi gue, bahkan tanpa gue sadari.

***

JEV

Ketika gue sampai di rumahnya, gue langsung disambut sama Andra yang masih sibuk nyantai di depan rumah sambil ngelapin motor gede kebanggaannya. Heran, kenapa dia cepet banget gedenya. Tau-tau udah jadi mahasiswa aja, udah mulai sibuk ama kegiatan ini-itu dan ngecengin cewek sana-sini. Gue sempet denger kalo katanya Andra bisa dibilang anak hits di kampusnya sekarang, beda jauh ama kakaknya yang semasa kuliah cuman bisa tenggelem di balik rak buku sampe-sampe nggak semua anak seangkatan tau kalau ada mahasiswi bernama Raya Alviena. Tapi entah kenapa, bagi gue, Andra selalu jadi anak-anak. Mungkin karena udah lama banget gue berperan kayak abang buat dia—jadi orang yang sering akur dan ngedengerin keluhannya buat kakak cewek tercinta yang emang menurut gue suka agak sedikit egois.

Andra langsung berenti ngelap motor begitu dia ngeliat gue.

"Eh, abang." Katanya sambil senyam-senyum. Well, garis mukanya nggak jauh beda sama kakaknya, kecuali fakta kalau dia punya lekuk hidung yang lebih mancung, meskipun tanpa lesung pipi. He's kind of good looking, dan cuman dengan sekali liat, gue bisa langsung tau kalau dia punya bakat playboy. Ah, Raya. Hidup dia emang ditakdirin gini kali ya. Dikelilingin sama playboy yang kecenya ampun-ampunan—termasuk gue masuk itungan tentu aja. Hahaha. "Nyariin kakak gue?"

Buset. Sangar abis. Lama nggak ngeliat, nih anak bener-bener udah jadi anak gaul asli.

"Yoi. Dia ada kan?"

"Tadinya ada. Tapi terus cabut pergi gitu aja. Nggak bilang juga mau kemana."

"Lah, kan gue udah telpon dia kemaren, bilang kalau gue mau dateng hari ini."

"Kayak enggak tau kakak gue aja. Tapi kayaknya sih dia perginya enggak jauh, soalnya cuman pake training belel sama kaos butut. Paling banter juga jajan somay di deket gerbang kompleks."

Kayaknya gue bisa menebak kemana Raya pergi.

"Yaudah. Gue nyari dia deh."

"Jalan kaki aja nih? Mobilnya mana?"

"Masih di showroom." Kata gue dengan jahil. Ya kali, masak iya cuman buat nyariin satu anak ilang aja gue kudu repot-repot ngeluarin mobil dari garasi.

"Wah, kalah dong sama Mas Kenzo. Terakhir dia kesini, dia bawa Alphard. Beli pake duit sendiri lagi." Andra ngeledek. "Sayang sih kakak gue bolot, jadi Mas Kenzo dilepasin gitu aja."

Wow. Ini berita baru buat gue. "Mereka putus?"

"Udah lama. Berapa bulan ada kali."

Gue terdiam sejenak. Raya dan Kenzo putus?

Kenapa timingnya bisa begini banget?

Yaelah.

"Yaudah deh. Gue nyariin Raya dulu ya."

"Yoi, bang."

Lantas gue cabut dari sana. Masih jalan kaki. Gue nggak tau Raya ada dimana, tapi feeling gue mengatakan dia ada di suatu tempat, tempat yang bukan aja penuh dengan memori berkesan buat dia, tapi juga buat gue. Dan ternyata tebakan gue bener. Begitu gue sampe di mulut jalan itu, gue ngeliat Raya di kejauhan, tepat berdiri di tepi jalan dengan tangan terulur ke belukar. Matanya menatap ke awang-awang, entah ada apa disana, dan selama sesaat, gue melihat sebentuk aura sendu. Dia menggigit bibirnya, lantas memunggungi gue dan tertunduk. Apa yang gue liat sempet membuat gue memperlambat langkah gue, tapi itu nggak bikin gue berhenti jalan mendekati dia.

"Udah gue duga lo bakal ada disini."

Dia terlihat kaget. Begitu kaget, tapi dia langsung berbalik dan melihat gue. Hening sejenak, kita hanya bertatapan dalam sunyi, hingga akhirnya gue tersenyum. Dia masih Raya yang sama. Masih Raya yang pucat, meskipun matanya udah menyiratkan rasa percaya diri yang sebelumnya nggak ada. Rambutnya dipotong rapi, sebahu, dengan layer dan tanpa poni. Pada awalnya, gue pikir dia bakal balik tersenyum. Tapi ternyata enggak. Di luar dugaan, setetes air mata justru jatuh di pipinya, lalu mulutnya berbisik pelan.

"Lo."

Apa gue barusan ngelakuin sesuatu yang salah?

"Raya, kenapa?" gue nanya sambil jalan makin deket, sementara dia langsung sibuk menunduk dan menyeka pipinya yang basah. "Lo kenapa deh?"

"Gu—gue nggak apa-apa." matanya menghindari mata gue. Rambutnya yang terurai bikin gue nggak bisa menerka ekspresi macem apa yang sekarang lagi bergelayut di wajahnya. "Lo... ada disini?"

"Gue tadi ke rumah lo. Tapi ternyata lo nggak ada. Iseng aja nebak, tapi ternyata beneran lo ada disini."

Raya tersenyum tipis, ada mendung di matanya. "Gue kangen tempat ini."

"Kalo sama gue? Kangen nggak?"

Dia terdiam. Lalu menggigit bibirnya pelan.

"Lo banyak salah sama gue loh, Ra. Sekedar ngasih tau aja."

"Salah apaan?"

"Lo ngilang lagi. padahal sebelumnya lo janji yang kemaren-kemaren itu yang terakhir. Terus..." gue menatapnya. "Udah berapa kali lo lupa ngucapin selamat ulang tahun ke gue."

"Gue ganti nomor. Gue nggak tau nomor lo." Katanya, keliatan banget dia ngerasa bersalah. "Lagian lo juga nggak pernah ngucapin selamat ulang tahun buat gue. Impas dong kita?"

"Kata siapa? Gue selalu ngucapin kali. Nggak pernah absen tiap tahunnya. Via Twitter. Via message facebook. Via email. Tapi nggak pernah lo bales. Heran deh, emangnya pegawai Bappenas semuanya sesibuk itu ya?"

Dia diem.

"Maaf."

"Jangan minta maaf. Bosen denger lo minta maaf mulu." Gue berujar. "Gue sih bakal selalu maafin lo, Ra. Tapi nggak tau deh sama Hana dan yang lainnya."

"Gue sibuk... nggak ada waktu."

Gue diem.

Begitupun dia.

Lantas gue berdecak pelan. "Masih aja sama kayak yang dulu."

"Apanya?"

"Lo." Jawab gue singkat. "Jangan terlalu fokus sama kerjaan sampe lupa ama kehidupan sosial lo sendiri. Jangan bilang kalau sampe sekarang juga lo belom punya temen yang bener-bener klop. Jangan bilang kalau lo nonton film di bioskop sendiri atau pergi makan siang sendiri."

Dia diem.

"Gila ya, Raya."

"Apa sih."

"Nggak papa." Gue memandangnya sebentar, lalu dengan begitu aja, gue melupakan akal sehat. Gue meraih tubuhnya ke dalem pelukan gue, mendekapnya erat seakan gue takut dia pergi lagi. Seperti gue pikir dia akan menghilang lagi. Mata gue terpejam saat aroma familiar itu kembali menyapa indera penciuman gue. Aroma minyak wangi bayi yang samar. "Gue kangen sama lo."

"Gue juga," dia berbisik parau, bikin gue berpikir kalau dia bakal balik meluk gue, tapi ternyata enggak. sedetik kemudian, dia justru mendorong gue menjauh, bikin gue otomatis langsung bertanya. "Kenapa?"

Dia keliatan bingung dan kesal disaat yang bersamaan. "Nggak seharusnya lo meluk cewek lain seerat itu, Jeviar."

"Hah? Emang kenapa deh?"

"Lo pura-pura bodoh atau lo emang beneran belom insyaf?" dia keliatan makin jengkel. "Sumpah deh ya. Lo tuh bentar lagi udah mau nikah, masih aja nggak tobat juga, lo nggak kasian apa sama—"

Hah?

Nikah?

Raya mabok ganja apa gimana?

Siapa yang mau nikah?

Gue?

Astaga.

Dia kenapa sih.

"Tunggu deh. Siapa yang mau nikah emang?"

"Hah?" dia terperangah. "Ya lo lah, pea. Masih nanya lagi."

"Apaan. Kapan gue bilang gue mau nikah?" Gue mengerjapkan mata. "Raya, lo sakit ya? Apa gimana? Apa otak lo jadi sama gesernya kayak Hana? Kalo mau ngarang tuh yang masuk akal dikit."

"Apaan? Lo beneran mau nikah kan?"

"Nikah apaan? Nikah sama sapi betina? Gimana gue mau nikah lah calonnya aja kagak ada."

Raya melongo. "Ih anjir. Ih apaan sih. Pacar lo gimana? Si Salwa?"

Yaila. Salah paham dia. "Salwa udah pergi. Lama banget. Setahun ada kali. Gue jomblo sekarang."

"Ee banteng. Gue nggak percaya."

"Serius wih. Gue terlalu sibuk sama kerjaan. Begitupun Salwa. Kita nggak ada waktu pacaran, lalu semuanya jadi hambar, dan yaudah, kita saling melepaskan gitu aja. Daripada nantinya ada yang tersakiti."

Raya makin melongo. "Terus... yang undangan... itu undangan siapa? Masak iya lo mau sunat dua kali?"

"Undangan? Undangan apaan—oh undangan!!" gue berseru sambil ngeluarin selembar kertas bergambar merpati dari saku jaket gue. Ada inisial nama dua orang di atasnya, tercetak pake tinta perak. "Ini mah undangan punyanya Hana! Dia yang mau nikah, sist. Bukan gue."

"HANA?!! ANJIR DEMI APA HANA MAU NIKAH!!!? SAMA SIAPA? EH ANJIR HANA NIKAH AMA NI ORANG????" Raya langsung histeris sambil sibuk merhatiin dua inisial di atas permukaan undangan. "Eh gila. Nggak percaya amat."

"Namanya juga kekuatan cinta."

"Astaga. Masih nggak nyangka."

Gue cuman ketawa ngeliat gimana telitinya dia mengamati undangan di tangannya. Matanya melotot sampai ke bukaan maksimal, meskipun nggak gede-gede banget karena ya gimana, matanya aja rada sipit gitu. makin lama gue menatap dia, semakin gue menyadari satu hal.

Gue kangen dia. Kangen banget.

"Raya?"

"Hm?"

"Lo harus kasih gue kompensasi karena lo udah ngelewatin empat kali ulang tahun gue tanpa bilang apa-apa."

"Apaan? Kan gue udah minta maaf."

Gue diem.

Dia menghela napas. "Yaudah. Apa?"

"Tiga permintaan?"

"Lo kata gue jin ifrit." Dia memutar bola mata. "Tapi yaudah. Tiga. Apaan? Traktir di HokBen?"

"Bukan."

"Yaudah apa."

"Gue mau nanyain tiga hal."

"Jangan coba-coba ngorek rahasia negara ya."

"Enggak. Pokoknya lo harus jawab jujur."

Dia menyipitkan matanya. "Waduh gue curiga kalau udah kayak begini."

"Hahaha, seriusan enggak bakal macem-macem. Cuman mau nanya tiga hal aja kok. Deal?"

Raya berpikir sebentar, lalu katanya, "Deal."

"Oke." Gue mengamati dia, puas-puasin memandang dia, mulai dari helai rambut, sepasang matanya, sampe ke ujung lekuk dagunya. Dia masih aja sama. Masih Raya yang gue kenal. Masih Raya yang gue rindukan. Dan bakal selalu gue sayang. "Pertanyaan pertama, lo kangen gue nggak?"

"Idih, pertanyaan apaan tuh."

"Jawab aja buruan. Inget, lo udah janji bakal jujur."

Raya menghembuskan napas, seperti mengeluh, tapi kemudian dia menjawab. "Bakal bohong kalau gue bilang gue nggak kangen lo."

Gue nyengir.
"Apaan lo nggak usah cengar-cengir. Jelek! Udah buruan lanjut ke pertanyaan berikutnya!"

"Hm. Buru-buru banget. Tapi yaudah." Balas gue. "Lo... enggak. Raya Alviena masih sayang apa enggak sama Jeviar Mahardika?"

Pertanyaan gue bikin dia terdiam. Lalu perlahan, mukanya memerah.

"Pertanyaan apa tuh nggak mutu banget."

Gue ketawa. "Jawab buruan."

"Males ah! Nggak gini juga kali mainannya! Skip pertanyaannya! Gue nggak mau jawab."

"Raya,"

"Bodo!!" Mukanya makin merah, bikin gue gemes pengen nyubit pipinya atau minimal ngacak rambutnya. Tapi gue mencoba nahan diri, sambil masih ketawa.

"Gue anggap itu jawaban iya."

"Whatever. Terserah lo aja, kampret."

Muehehe.

"Pertanyaan berikutnya buruan sebelum gue kehilangan kesabaran!"

"Hm. Oke. Yang terakhir nih." Gue menatap dia, dengan dalam, dengan serius, tanpa tawa. Sikap gue bikin dia ikut-ikutan tercengang, dan keheningan mengisi jeda waktu diantara kita selama beberapa jenak. "Bisa nggak kita, lo dan gue, mulai dari awal lagi?"

Dia nggak langsung menjawab.

Tapi dari tatapannya, gue udah tau apa jawabannya.

Dan gue langsung tersenyum.

Sementara wajahnya memerah.

Bener apa kata orang.

Dia adalah yang terbaik yang pernah gue kenal. Dan yang terbaik, akan selalu pulang. Karena jauh di dalam, tanpa dia sadari, dan tanpa gue sendiri sadari, dia selalu menjadi milik gue.

Waktu bisa aja fana.

Tapi kita, sampai kapanpun, akan selalu abadi. 





***

to be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top