Tiga Puluh - Kesatria
JEV
Masih aja senyap, dan gue benci situasi ini. Makin benci, karena udara jadi kerasa bener-bener tebal setelah Edgar ama Hana memilih untuk menyingkir, ngebiarin kita cuman duduk bersebelahan berdua di tengah kantin teknik yang sialnya sepi. Menit demi menit lewat dalam keheningan, sementara gue dan Raya sama-sama menunduk, menekuri layar ponsel masing-masing dalam diam. Sejujurnya, nggak ada apapun yang penting di ponsel gue. Paling banter juga cuman sebaris pesan pendek dari Salwa yang ngingetin gue supaya nggak lupa pergi ke mesjid tiap adzan kedengeran, sesuatu yang awalnya terasa mengganggu tapi entah kenapa mulai gue nikmati. Pertama kali dapet perlakuan kayak gitu, mau nggak mau gue membandingkan Salwa, bukan cuman dengan deretan mantan gue yang lain, tapi juga sama Raya.
Seorang Raya Alviena nggak akan mau repot-repot ngirimin pesan ngingetin gue buat solat, buat makan, atau buat mandi seperti yang biasa Salwa kerjain. Raya nganggep gue udah gede, udah tau apa yang harus gue lakuin buat kebaikan diri gue sendiri tanpa harus dia ingetin. Sekalinya dia ngingetin gue juga, cuman satu-dua kalimat bernada guyon yang bilang biar gue jangan brengsek-brengsek amat jadi cowok. Beda ama Salwa, yang mungkin kesannya jadi keliatan kayak lagi ceramah. Yah, well, mereka emang sangat berbeda, tapi gue peduli sama keduanya. Dan jangan tanya, siapa yang dapet porsi rasa peduli lebih gede, karena gue bahkan nggak tau harus jawab apa.
"Raya," akhirnya gue nggak tahan terus-terusan diem kayak gini. "apa kabar?" Pertanyaan bodoh, gue tau. Gue bahkan merutuki diri gue sendiri sedetik setelahnya. Anjir. Kenapa sih mulut gue nggak ngeluarin pernyataan yang lebih masuk akal dan nggak begitu keliatan basa-basinya kayak apa yang baru aja terlontar tanpa bisa gue tahan? Kesel. Tapi ya, kalau boleh jujur, gue sama sekali nggak berniat berbasa-basi. Gue nanya begitu karena gue emang beneran pengen tau kabarnya dia gimana, meskipun sedikit-banyak gue udah bisa menyimpulkan sendiri.
Dia udah jadi pribadi yang bener-bener beda. Nggak ada lagi gestur insecure dan resah yang kerap kali gue liat berkelebat di matanya saat dia jalan. Dia udah punya rasa percaya diri yang cukup, bikin sorot matanya nggak lagi dingin, tapi lebih terkesan tegas. Rambutnya ditata dalam potongan yang lebih rapi, bikin dia terlihat lebih dewasa. Dia jadi tampak sedikit lebih kurus daripada yang terakhir kali gue liat, sesuatu yang bikin gue harus mati-matian menahan diri untuk nggak ngegeret dia cabut ke Sushi Tei dan biarin dia makan sepuas yang dia mau disana.
"Baik." Raya senyum. Satu dekik yang gue rindukan kembali terlihat. "Lo sendiri? Gue udah denger dari Faris kalau lo punya cewek baru. Her name is Salwa, isn't it? Beautiful name. I bet she's just as wonderful as the sound of her name."
"Rays," gue memanggil. "Stop it."
"Loh, emangnya kenapa?"
"Let's just talk about you."
"Itu nggak adil. Yang bener adalah gue cerita, dan lo juga cerita. Sesuatu yang paling mencolok dan harus lo ceritain ke gue ya IPK lo yang katanya bagus abis di semester-semester terakhir ini. Juga Salwa. Dan setelah lo cerita, mungkin gue bakal cerita soal Jepang... dan Kenzo."
Gue benci denger nama itu.
"Gue nggak mau ngomongin Salwa."
"Kenapa?" sebelah alis Raya terangkat. "Bukannya dari dulu udah biasa banget buat kita untuk ngomongin tentang cewek-cewek lo... atau tentang cowok yang lagi gue taksir?"
"Itu udah biasa." jawaban gue membuat dia terdiam, dan sialnya, gue juga nggak tau gue harus ngomong apa. Semua kalimat gue seperti tertahan di tenggorokan, nggak mau keluar seakan lidah gue udah dicabut paksa. Goblok banget. Gue cuman bisa diem disana, sampe akhirnya gue berdehem pelan. Gue nggak menunggu selama ini cuman untuk ngeliat dia bertingkah dingin kayak es yang nggak mungkin lagi mencair. Gue pengen cerita banyak. Tentang betapa sepinya gue selama dia nggak ada disini. Tentang fakta bahwa keberadaan Salwa sekalipun nggak cukup-walaupun gue sama sekali nggak ragu kalau gue bener-bener sayang sama tuh cewek. Tentang gimana bingungnya gue saat enggak ada lagi pesan-pesan maupun komunikasi diantara kita, bikin gue bertanya-tanya kesalahan apa yang udah gue buat dan apakah gue masih pantes bahkan hanya sekedar untuk menanyakan kabar.
Tapi di atas semuanya, gue pengen meluk dia.
Pengen banget.
Biar paling nggak gue bisa bener-bener yakin, bahwa walaupun cuman sesaat, dia bener-bener ada di hadapan gue. Secara nyata. Bukan cuman suaranya dari gadget elektronik ataupun gambar virtual yang hanya datar saat disentuh.
Namun, apa gue masih berhak?
Gue nggak tau harus ngejawabnya dengan apa. Tanpa adanya Salwa maupun Kenzo, mungkin bakal gampang buat gue nemuin jawaban. Gue tinggal peluk dia, nyium aroma sampo bayi di rambutnya yang sekarang dipotong lebih pendek sambil bilang kalau gue kangen dia.
Dan sekarang gue bener-bener berharap, sangat berharap, bahwa bisa nggak untuk sebentar aja, satu-satunya yang tertinggal di dunia ini cuman gue dan dia? Jadi kita nggak perlu mikirin apa kata orang. Jadi gue nggak perlu mikirin perasaan Salwa, atau gimana reaksi Kenzo?
"Terus kita harus ngomongin apa, Jev?"
"Apapun. Tapi bukan tentang Salwa. Bukan tentang Kenzo. Apapun. Tentang lo. Tentang gue. Tentang kita." Gue menghela napas, menatap matanya yang keliatan cokelat saat terkena garis cahaya matahari.
Dia menggigit bibir. Sekilas. "Nggak ada yang bisa diomongin lagi tentang kita."
"Raya."
"Semuanya udah beda," dia tersenyum, entah gimana keliatan begitu hampa untuk gue.
"Don't you miss us?"
"Bakal bohong kalau gue bilang gue nggak kangen. Tapi semuanya udah berubah." Raya menghela napas. "Lo dan gue. We took different path, J. Namun bukan berarti kita harus musuhan kan? Selamanya, lo bakal selalu jadi temen terdekat gue yang paling gue sayang."
Gue hanya diam, mengamati cewek di depan gue dengan lekat. Kentara banget kalau tembok pertahanan yang dia bangun mulai runtuh perlahan-lahan. Dia menggigit bibirnya tanpa henti, matanya keliatan resah, dan ekspresi mukanya... gue cuman liat ekspresi itu di wajahnya tiap kali dia mau nangis. Dia bahkan menghindari kontak mata dengan gue. Kampret. Kenapa situasinya jadi super bangsat kayak gini sih? Kenapa semuanya jadi ribet? Oh, oke. Mungkin semuanya nggak akan seribet ini seandainya baik gue maupun dia lagi nggak sama orang lain. Tapi ya gimana? Satu tahun bukan waktu yang sebentar, terlebih dia pergi ke negara yang bener-bener berbeda. Dengan zona waktu yang sama sekali nggak sama. Satu tahun tanpa komunikasi, sementara temen-temen terdekat gue sendiri sibuk jungkir-balik nanganin masalah mereka masing-masing. Gue bukan tipikal cowok yang bisa nunggu. Satu-satunya kesalahan yang Raya (atau mungkin gue) buat adalah dia nggak ada disana ketika gue butuh dia. Salwa yang ada.
Dan salah satu orang yang gue kenal bilang, seseorang yang disayang bakal kalah sama seseorang yang selalu ada.
"Ah ya," Raya seperti baru teringat sesuatu, kemudian dia sibuk membuka tasnya, ngeluarin sebuah kertas gambar tebal-kayak sejenis A4-cover mungkin? Gue nggak tau. Sekilas gue ngeliat kilatan pensil dan warna biru yang lembut, lantas saat Raya meletakkan kertas itu di atas meja kantin, gue nggak bisa menahan diri untuk nggak terpana selama beberapa lama. "Buat lo."
"Gambar Doraemon?" kata gue dengan alis berkerut. "Lo jauh-jauh pergi ke Jepang setahun dan cuman ngebawain gue gambar Doraemon yang-tunggu, ini kenapa kepalanya mencong deh?" secara refleks, gue tertawa. Sesuatu yang akhirnya gue syukuri, karena tawa gue ikut menulari Raya. Dia cemberut, tapi diam-diam tertawa kecil sambil nendang kaki gue di bawah meja. Ah, my old Raya. Dia emang bener-bener nggak berubah.
"Ini gue yang gambar." Kata dia dengan senyum malu-malu yang bikin gue pengen nyubit pipinya. "Udah sekian tahun kita saling kenal, dan lo selalu ngegambarin sketsa Doraemon buat gue. Sekarang gantian. Yah tapi gue kan emang nggak bakat gambar."
"Coba gue tanya, yang arsitek kota siapa?"
"Gambar peta sama gambar kreatif beda ya. Nggak usah songong lo, calon buruh proyek."
Gue ketawa, lantas secara refleks mencondongkan badan buat ngejitak kepalanya. "Bacot."
Dia diam selama sepersekian detik, tapi kemudian ikut tertawa. Lalu begitu aja, tanpa kita sadari, pandangan mata kita beradu. Dia menatap ke gue, dan gue pun menatap ke dia. Tatapan itu bikin mau nggak mau semua memori yang pernah kita laluin bareng kembali tercetus, seperti lembaran film buram penuh kenangan yang diputar dalam ruang gelap.
Doraemon. Setan gledek. Toko buku. Guitar Hero. Konser Reggae. Asrama puteri gue. Beberapa mantannya. Keheningan. Air mata. Senyum. Piknik. Pantai. PMS. Kejutan ulang tahun. Kejadian di pagi lebaran. Semua itu berputar dengan begitu cepat, tanpa bisa gue tahan.
"Well," dia bergumam untuk memecah keheningan. "Gue denger dari Faris katanya IPK lo beberapa semester terakhir bagus mampus. Selamat ya. Kalau gitu, dalam waktu-waktu deket ini bakal mulai nyusun skripsi dong ya?"
"Yep. Ini tahun terakhir gue."
"Enak banget." Dia mencibir. "Exchange ama Internship bikin gue harus betah-betahin disini setahunan lagi. Duh sial, lo lulus duluan. Padahal dulu kan anak-anak sempet nebak lo bakal jadi mahasiswa abadi disini. Ternyata kaga. Hebat juga tuh cewek lo, bisa bikin playboy kacang macem lo insap."
Gue memandang dia dengan kerinduan tak terkata. "Tetep aja, nantinya juga bakal bagusan CV lo daripada CV gue. Dikit banget anak yang bisa ikut sekaligus Exchange ama Internship. Apalagi setahun. Rata-rata juga sebulan-dua bulan udah pada kelar. Tapi boleh lah, nanti kalo lulus tau-tau lo langsung jadi kepala Bappenas, bisa kali ya bagi-bagi proyek buat gue."
"Belom juga lulus udah nyari peluang nepotisme." Dia mengejek. "Mau jadi apa bangsa lo, nyet?" Omongannya terinterupsi ketika ponselnya mendadak bunyi, yang menimbulkan sedikit perasaan nggak suka dalam diri gue. Gue benci ketika perhatiannya teralih dari gue. Atau ketika ceritanya mendadak terhenti pas dia lagi ngomong. Gue selalu suka ngeliat dia bercerita. Bukan cuman mulutnya yang bersuara, tapi matanya ikut berbicara. Dia bukan tipe orang yang bisa ngambil hati orang banyak, tapi biarin dia cerita di tengah forum yang lagi rame, gue pastiin perlahan-lahan namun pasti, perhatian orang-orang akan teralih sepenuhnya ke dia. Dia nggak pernah nyadar, tapi gue selalu tau.
"Lo bakal kemana abis ini? Jemput Salwa?"
Mau nggak mau gue ngangguk.
"Hm, padahal tadinya gue ada rencana mau ngajakin lo ke Bakmi Naga."
"Buat lo, bisa aja gue cancel. Lagian Salwa akan maklum kok. Gimanapun juga, dia paham kalau lo adalah sohib gue."
Raya ketawa. "Maunya sih gitu. Tapi Ken ngajakin gue main timezone."
"Timezone? Its not your thing, as long as I know."
"Dulunya gitu." Raya ketawa. "Tapi ternyata main di timezone seru. Gue suka main dance revolution-nya. Awalnya malu, tapi Kenzo seneng banget main itu. Lagian dari dulu juga kan gue udah suka nge-pump bareng Hana."
Gue nggak tau harus bilang apa. Ada sesuatu yang menyebar, mencengkeram perut gue dengan kuat. Nyeri.
"Mungkin lain kali ya, J." Panggilan yang begitu sederhana. Hanya Je. Diam-diam gue mengulangi itu dalam hati. Selama ini, nggak ada yang pernah panggil gue dengan sebutan sependek itu. Entah bagaimana, dia selalu punya cara untuk jadi spesial bagi gue. "See you." Katanya sambil tersenyum. Lebar, sampai dekik di pipi kirinya keliatan begitu nyata.
Gue masih bengong sementara dia mulai berjalan.
Ah, anjing.
Sedetik kemudian, gue nggak tau apa yang gue lakuin. Badan gue bangkit gitu aja dari kursi, bersamaan dengan mulut gue yang terbuka menyerukan namanya. "Raya!"
Dia menoleh. Nggak sempet ngejawab karena gue udah keburu menghambur ke arahnya dan menarik dia ke dalam satu pelukan. Dia jauh lebih rapuh dan kurus daripada ketika terakhir kali gue meluk dia. Tubuhnya sempat kaku, tapi kemudian tangannya terangkat dan dia balik memeluk punggung gue. Hanya ada hening, dan selama sebentar, dunia seperti menjauh pergi hingga yang tertinggal cuman kita berdua.
"Gue bakal selalu sayang sama lo." Kata gue, bergumam samar di deket telinganya. Aromanya masih sama. Aroma innocent yang nggak pernah berubah, sejauh apapun dia pernah pergi.
Raya nggak menjawab. Tapi lalu dia menghela napas berat di dada gue, yang membuat gue teringat pada hari-hari rumit saat kita masih SMA. Hari-hari setelah gue lepas dari Cleo. Setelah dia lepas dari Azka. Saat dia mendapatkan tatapan benci dari temen-temennya Cleo. Saat gue jadi sasaran cibiran banci temen-temennya Azka. Tangan gue bergerak tanpa sadar, membuat jari-jari gue terbenam di helai rambutnya sedetik kemudian.
"Gue pun begitu, J."
"Raya."
"Hm?"
"We will never be in different paths." Kata gue. "Kita akan terus bareng. Selamanya. Sebagai temen. Sebagai sahabat. Just promise me one thing. Jangan pernah menghilang lagi."
"Nggak akan."
"Jangan pernah menghilang lagi. Udah dua kali lo gini." Gue berujar. "Gue pengen lo janji. Bener-bener janji, kalau yang kemarin itu yang terakhir."
"Gue janji."
"Raya?"
"Iya?"
"Lima menit lagi." gue bernapas di rambutnya, memenuhi paru-paru gue dengan bau bayi yang selalu bisa bikin gue ngerasa nyaman. "Biarin gue begini lima menit lagi."
Dia enggak menjawab.
Tapi kita tetep begitu, untuk lima menit berikutnya.
Dan ketika itu, siapa Kenzo, siapa Salwa, jadi nggak penting lagi.
Karena saat itu, meskipun hanya sekejap, yang ada cuman kita.
Dia dan gue.
[][][]
Suatu hari, di sebuah negeri di batas garis cakrawala,hiduplah seorang Putri yang begitu dingin. Seisi desa menganggapnya aneh,karena dia selalu mengurung diri di balik tembok istananya yang sepi. Mereka mulai berbisik-bisik tentang sang Putri. Dikata sang Putri adalah Putri yang jahat, yang akan mencungkil mata anak-anak yang bermain di halamannya tanpa izin. Lalu menyimpan mata itu dalam toples. Ada juga yang bilang sang Putri terlalu sombong akan kecantikan yang dia miliki, sehingga dia mengurung diri dalam istananya karena mereka tidak cukup pantas melihat kecantikannya. Sebenarnya tidak seperti itu. Sang Putri tidak membuka pintu istananya karena dia berpikir kalau istananya tidak seindah yang seharusnya. Dia khawatir orang-orang akan mencibir istananya, atau yang lebih buruk, merusaknya.
Mereka semua menjauhi istananya. Dan itu membuat sang Putri sedih. Tanpa orang-orang tau, sebenarnya sang Putri amat kesepian.
Semua berubah ketika suatu hari, seorang Kesatria datang. Kesatria itu tampak begitu mempesona dalam baju zirahnya, tapi jauh lebih mempesona saat dia membuka helmnya, lantas dia tersenyum. Ada lesung pipi di wajahnya yang membuat semua gadis di desa jatuh hati. Tidak terkecuali sang Putri, meskipun sang Putri tidak punya keberanian untuk melangkahkan kaki keluar dari istananya untuk mendekati sang Kesatria. Kesatria pasti sudah mendengar hal-hal buruk tentangnya dari warga desa.
Tapi pada satu ketika, sang Kesatria menyelinap masuk ke balik tembok istananya. Sang Putri sudah akan mengusirnya, tapi sang Kesatria justru mengeluarkan buku sketsanya dan mulai melukis. Dia melukis gambar favorit sang Putri. Kucing biru dengan antena di bokong namun tidak memiliki telinga. Lalu tiba-tiba saja, mereka bicara banyak di depan api unggun seperti sahabat yang telah lama mengenal. Mereka menghabiskan berjam-jam yang terasa begitu singkat, hingga matahari terbenam dan Kesatria harus pulang.
Mereka saling melambaikan tangan.
Dan sang Putri tidak tau, bahwa ketika itu, si Kesatria telah jatuh hati pada senyumannya.
[][][]
Karena bujukan Kesatria, perlahan namun pasti, sang Puteri mulai berani melangkahkan kaki keluar dari pintu gerbang istananya. Di hari pertama sang Putri menatap dunia luar, mereka pergi ke tepian sebuah jurang. Di seberang jurang itu, ada kolam luas dimana para satwa hutan biasa berhenti untuk minum dan beristirahat sejenak. Tapi untuk sampai ke seberang, mereka harus meniti sebuah jembatan. Sang Putri langsung terdiam. Dia tidak pernah pergi sejauh itu. Meniti jembatan adalah sesuatu yang baginya berbahaya. Bagaimana jika dia jatuh? Bagaimana jika jembatannya tidak mampu menopang beban tubuhnya?
"Mengapa kau tidak melangkah?" Kesatria bertanya saat dilihatnya sang Putri hanya mematung.
"Bagaimana jika aku jatuh?"
Kesatria tersenyum, hingga kedua lesung pipinya terlihat. "Kau tidak akan jatuh." Bisiknya.
"Aku tidak yakin."
"Kalau begitu, kau bisa memegang tanganku. Aku tidak akan membiarkanmu terjatuh. Aku akan membantumu sampai di seberang."
Ragu-ragu, sang Putri memegang tangan Kesatria.
Dan diam-diam, dia mengakui kalau apa yang dikatakan Kesatria benar. Seperti ada keberanian yang membantunya maju, karena sang Putri yakin Kesatria akan selalu ada disana. Menjaganya.
Rasanya, bersama Kesatria, sang Putri tidak perlu takut menghadapi dunia.
[][][]
Beberapa bulan kemudian, semuanya mulai berbeda. Sang Putri tidak lagi sering mengurung diri di balik tembok istananya. Dia jadi lebih banyak tersenyum. Dia jadi lebih berani. Dan sejujurnya, itu membuat Kesatria merasa senang. Sejak hari pertama mereka bertemu, Kesatria telah jatuh hati pada senyum sang Putri. Sesuatu yang akan selalu menjadi favoritnya. Dan tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Kesatria, selain melihat sang Putri tersenyum seperti itu. Kesatria bahkan bersedia melakukan apa saja asalkan sang Putri tidak kehilangan senyumnya.
Namun suatu hari, sesuatu terjadi.
Sang Putri bercerita tentang Pangeran dari Antah-Berantah yang dia temui. Sambil tersenyum lebar, sang Putri tidak berhenti bercerita tentang Pangeran itu. Sangat panjang. Sangat lama. Namun Kesatria dengan sabar mendengarkan semuanya.
Hari itu ditutup dengan tanya tak terjawab dari Kesatria.
Bukankah Kesatria menyukai senyum sang Putri?
Tapi kenapa?
Kenapa melihat sang Putri tersenyum karena orang lain terasa begitu berbeda?
Mengapa terasa sakit sekali?
[][][]
Tanpa Kesatria tau, sang Putri sesungguhnya sangat menyukai mata Kesatria.
Dia suka bagaimana mata itu tertuju padanya dengan penuh perhatian, seringkali disertai senyum yang membuat kedua lesung pipi Kesatria tercetak makin dalam.
Namun, sang Putri tidak pernah mengerti mengapa pada suatu hari dia menangis saat Kesatria menatapnya, lalu tersenyum padanya, namun sambil bercerita tentang Putri cantik lain yang dia temui saat dia pergi berkuda. Rasanya tak tertahankan.
Tidak bisakah sang Putri jadi satu-satunya Putri dalam hidup Kesatria?
[][][]
Hari itu adalah hari yang buruk.
Sang Putri jatuh sakit. Tubuhnya panas sekali, dan dia tidak berhenti mengigau. Suaranya bergema di lorong istananya yang dingin. Dia hanya terbaring di atas ranjang, dan selama itu, Kesatria selalu berada di sisinya. Kesatria mengenggam tangannya, menyentuh pipinya, berdoa dalam hati agar kehidupan tidak direnggut dari sang Putri. Lalu dia tersadar. Dia tidak akan merasa sebegitu takutnya seandainya sang Putri tidak seberharga itu untuknya, bukan?
Apakah dia khawatir karena sang Putri adalah sahabatnya?
Atau justru ada sesuatu yang lain. Mungkin... karena dia bukan hanya jatuh hati pada senyum sang Putri, namun pada segala apa yang sang Putri miliki?
Kesatria meragu.
Tapi semuanya berjalan begitu saja. Seperti semesta telah menentukannya. Kesatria menunduk, mencium dahi sang Putri, tepat ketika sang Putri akan terbangun. Lantas mereka bertatapan. Dalam diam. Tanpa suara. Tidak ada kata.
Namun keduanya mengerti.
Mereka telah saling jatuh cinta.
[][][]
Cinta.
Sesuatu yang sama sekali asing. Sang Putri tidak mengerti apa itu cinta. Dia hanya tau bahwa dia senang ketika Kesatria memandangnya seperti dia adalah pusat dari dunia. Tapi lalu suatu hari mereka bertengkar. Semua itu karena Kesatria mulai tidak bisa menata hidupnya. Hari-harinya hanya dihabiskan di istana sang Putri, tanpa melakukan sesuatu yang berguna. Orang-orang mulai bergunjing, berkata kalau Kesatria bukan lagi Kesatria. Dan itu membuat sang Putri merasa bersalah.
Sang Putri akhirnya mengusir Kesatria pergi. Lantas dia mengunci gerbang, sampai-sampai Kesatria tidak bisa lagi melewatinya. Tanpa ada pilihan lain, Kesatria dipaksa pergi. Sang Putri tidak menahannya, sekalipun air matanya jatuh dengan deras saat punggungnya tersandar ke pintu depan.
Sejak saat itu, sang Putri membenci cinta.
Cinta tidak seharusnya ada.
Tapi sang Putri tidak pernah bisa berhenti membenci Kesatria.
Mengapa hati harus tercipta dengan begitu rapuh untuk sesuatu yang tak kasat mata?
Mungkin hanya Langit yang bisa menjawabnya.
[][][]
Pintu itu selalu terkunci.
Sang Putri mengurung diri di dalamnya, tidak membiarkan siapapun masuk. Hari-hari lewat dengan kemeranaan, sementara Kesatria hanya bisa menatap dari kejauhan. Mereka jadi seperti tidak pernah mengenal, dan orang-orang mulai bergunjing lagi. Kesatria membenci orang-orang karenanya. Mereka tidak tau apa-apa. Mereka tidak punya kuasa untuk berpendapat tentang sang Putri. Mereka tidak mengenalnya.
Tapi siapa dia untuk berkata seperti itu?
Sang Putri bahkan menutup pintu untuknya.
Dan Kesatria tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya.
Begitu sakit, hingga dia ingin lebur bersama galaksi.
Menjadi serbuk bintang.
Karena paling tidak, bintang akan berada jauh lebih dekat dengan sang Putri dibanding dirinya yang sekarang.
Karena bintang selalu menjadi pelita.
Satu-satunya teman untuk Putri yang kesepian.
[][][]
Hari yang ditakuti oleh sang Putri akhirnya tiba.
Dia sudah menduga, bahwa kelak suatu hari nanti, Kesatria akan menemukan Putri yang baru. Putri dengan istana yang lebih indah, dan senyum yang lebih menawan. Ah, siapalah ia? Hanya seorang Putri dengan kastil dingin dan senyum yang beku disekap kesedihan.
Dia tidak akan pernah cukup pantas untuk Kesatria.
Karenanya dia tidak pernah berharap mereka bisa merajut lagi kenangan yang sempat terputus. Karenanya dia hanya bisa bertanya pada bintang di gelapnya malam mengenai keadaan Kesatria, tiap kali dia diserang oleh serbuan rindu. Dia sudah mempersiapkan diri untuk hari itu. Tapi kenapa ketika harinya tiba, rasanya masih saja sakit? Seperti ada seseorang menggerus lubang dalam dadanya, menjadikannya kosong tanpa isi.
Mata yang basah itu menatap lagi pada kertas perak yang diselipkan di bawah pintu gerbang istananya.
Kertas perak itu adalah undangan.
Undangan baginya untuk merayakan hari bahagia Kesatria.
Bersama Putri yang lain.
[][][]
RAYA
Tiga tahun berlalu.
Dan gue masih aja Raya yang dulu. Raya yang cuman bisa berjanji, tapi nggak mampu menepati. Gue lost contact lagi ama dia. Ya, lo pasti tau siapa dia yang gue maksud. Pas dia wisudaan, kita masih ada komunikasi. Gue masih dateng, walaupun bukan gue yang berdiri di sampingnya waktu dia ngambil foto. Tentu aja. Gue nggak cukup berhak untuk jadi pendamping wisudanya. Yang berhak itu Salwa, karena dia selalu ada. Beda sama gue. Yah, mereka emang serasi. Siapalah gue? Sampai kapanpun juga, gue bakal selalu menjadi Upik Abu. Lo tau, Upik Abu yang berjodoh sama Pangeran, cuman ada dalam dongeng. Dan ini semua bukan dongeng.
Lalu dia mulai sibuk. Kelar lulus, IPKnya yang bagus bikin dia bisa langsung magang di perusahaan konstruksi terkenal. Batu loncatan yang bagus. Posisinya makin naik karena etos kerjanya yang bisa dibilang professional, dan dalam sesaat, dia menjauh. Gue nggak menyalahkan dia, karena dunia kerja itu sendiri sibuk dan melelahkan. Gue sendiri sibuk buat Tugas Akhir gue, yang disusul proses nyusun skripsi. Waktu pelan-pelan membuat kita jadi jauh lagi, dan ketika tiba saatnya buat gue untuk wisuda, gue terlalu canggung bahkan hanya untuk nanya apakah dia bisa dateng atau enggak.
Semuanya berjalan begitu cepat.
Pengalaman intern dan exchange gue bikin gue nggak terlalu sulit dapet kerja-di samping dua dari famili dekat gue sendiri punya posisi yang cukup tinggi di Bappenas. Gue mulai sibuk dengan segala tetek-bengek urusan kerjaan yang nggak kalah hecticnya kayak masa-masa kuliah, dan bam, dia jadi terlupakan.
Meskipun sesungguhnya gue nggak pernah bener-bener lupa.
Meskipun diem-diem gue selalu nungguin berita terbaru dari dia. Apapun itu.
Dan suatu hari, kabar itu emang dateng. Dalem bentuk sesuatu yang nggak gue duga. Saat itu adalah libur tahun baru. Gue memutuskan untuk balik ke rumah, karena selain kangen masakan nyokap, gue pengen ngelupain kerjaan walaupun hanya sejenak. Sesuatu yang bittersweet sih, karena apa yang ada di rumah maupun jalan-jalan kompleks mau nggak mau membuat gue teringat lagi sama dia.
Lantas tiba-tiba telpon rumah berdering di suatu pagi.
"Halo?"
"Raya?" suaranya langsung bikin gue terdiam kaku.
"Ng... ya?"
"Ini Jeviar." Bego. Tanpa dia ngomong juga gue udah tau. Gue nggak akan pernah bisa lupa sama suaranya. Nggak akan pernah.
"Iya?"
"Susah banget ngehubungin lo."
"Gue... ganti nomor."
"Iya, tau kok. Ampe Hana aja kesel, kok tiba-tiba lo ngilang gitu aja kayak lenyap dari peradaban." Dia ketawa. Suaranya terdengar jauh lebih dewasa. "Bisa ketemu?"
"Bisa aja sih. Emang ada apa?"
"Ada sesuatu yang mau gue sampein." Dia ketawa. Sumpah kangen banget sampe mau nangis. "Tentang hari besar yang nggak boleh nggak dihadirin ama seorang sahabat."
Cukup.
Gue udah nebak kemana arah semua ini.
Dan gue nggak mau denger.
Tapi anehnya, gue justru jawab dengan datar. "Oke."
Raya Alviena bener-bener mau bunuh diri.
Bersambung.
[][][]
a/n : Hai semua.
Maap lama nongol duh lagi sibuk banget deh buset. Kaderisasi udah mulai dan urgh, tugasnya lumayan. Yang bikin tekanan sih sebenernya soal komdisnya huhu sebenernya gue tau sih mereka akting dan emang tugasnya gitu yha namanya juga komdis pasti kan ngegalakin maba, padahal aslinya mah yaila koplak-koplak juga kan biasanya (karena ada teori makin galak seorang komdis biasanya dia makin asik) tapi tetep aja wa anaknya gasuka dibentak jadi yha gimana dong???????? Kezel gituloh kalo dibentak maavkand :(:( tapi yha qu pahamlah soalnya dulu juga mereka pasti digituin ama kaka kelas kan u.u Ini juga lagi belajar menikmati prosesnya huff doakan yah semuanya lancar untuk proses kaderisasi, dan doain juga angkatan gue bisa diterima dengan baik sama semua warga kampus yha namanya juga anak baru kan masih canggung sumpahdeh butuh Hana banget :(
Tapi malah Hana mulu yang curhat ke gue :(
Masa malem-malem nelpon gue cuman gara-gara takut jam arab di rumahnya mati sendiri, terus ada suara ketok-ketok ama langkah kaki deh horror pisan euy gitulah pokonya mah atuh kan wa di semarang mau setannya sampe masuk kamar wa bisa apa coba semarang serang kan jauh :( wkwkw intinya gitu deh. Kangen sama semua temen-temen. Saama kalian juga. DAN INI TANGGAL TUA YA AMPUN KEMANA SAJA DUIT DI REKENING MENGALIR kalo inget nominal yang udah diabisin tuh pengen kubur diri aja rasanya kalian yang masih SMA, nikmatin dah. Jangan buru-buru mau kuliah aja sumpah dah enakan SMA. Banyakin selfie ama temen-temen deh ciyuz ish aku rindu kamarku :(
Oke. Ini nggak penting.
EBS nanti ya pas libur idul adha doh pahami aque karena q pun banyak tugas hikz hikz
Bye.
OH YA PENGISI KONTEN MULMED SI FARIS YA wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top