EXTRA | TRUTH OR DARE

RAYA

Sore lainnya yang patut disyukuri.

Ya, gimana gue nggak bersyukur coba? Di sore yang agak mendung kayak sekarang, gue lagi duduk di salah satu cafe favorit gue, bertemankan green tea latte yang masih hangat, juga novel favorit keluaran terbaru yang bertengger manis di pangkuan gue. Dan ah ya, jangan lupain sesosok manusia paling cabul yang sekarang lagi duduk di depan gue sembari menyedot iced Americano dari gelasnya. Matanya menatap serius, bukan kepada gue, tapi pada layar ponsel yang terpegang di tangan kanannya sekarang.

Satu-satunya hal di dunia ini yang bisa bikin seorang Jeviar Mahardika keliatan serius cuman tiga biji ; kerjaan, novel science-fiction teranyar dan segala tetek-bengek yang berhubungan dengan Star Wars. Gue menebak penyebab yang paling mungkin adalah pilihan yang ketiga. Alesannya klise. Di weekend seperti sekarang, dia nggak bakal mau repot-repot menyisakan space kosong di kepalanya buat mikirin kerjaan--dia orang yang profesional, gue harus bilang itu. Weekdays adalah saatnya dia kerja, otomatis yang bakal dia pikirin ya cuman kerjaan. Weekend adalah saat libur, dimana dia nggak seharusnya mikirin segala macem persoalan tentang konstruksi bangunan dan komposisi jalanan yang bikin mumet otak. Tapi yah, dia pernah ngaku sih kalau dia suka korupsi saat weekdays. Bukan korupsi duit, tapi korupsi pikirin.

Karena katanya, dia nggak bisa berenti mikirin gue.

Taik. Bullshit banget nggak sih? Haha. Tapi gue seneng, jadi ya gimana dong.

Pilihan yang kedua langsung gugur karena gue hapal persis jadwal terbit dari setiap novel bergenre science-fiction yang udah dia antisipasi abis-abisan. Dan nggak ada satupun dari novel itu yang bakal terbit atau udah terbit dalam waktu deket ini. Jadi yah, opsi yang tersisa ya tinggal opsi yang terakhir--meskipun menurut gue euforia Star Wars udah lewat abis.

But I love his serious-face too much. Who wont, anyway? Gue suka ngeliat ekspresinya yang kayak sekarang, ngeliat gimana ada kerutan samar di dahinya, sementara matanya memicing tajam tertuju ke satu arah. Ramnbutnya yang cokelat gelap terjatuh begitu aja di keningnya, sama sekali nggak terpengaruh sama kecenderungan eksekutif muda ibukota yang demen nata rambut pake pomade. Dia masih orang yang gue kenal dulu, anak teknik sipil yang kadang lupa mandi pas ngampus karena terlalu sibuk ngerjain tugas. Bocah berkemeja flannel yang kadang skip kelas cuman karena pengen gitaran sama Faris di kantin teknik.

Dia masih sama.

Masih Jev yang nggak pernah berhenti sayang sama gue.

Tiba-tiba dia ngangkat kepalanya, langsung menatap ke arah gue, membuat gue terkesiap. Damn it. Raya, bodoh. Gimana bisa gue ke-gap lagi merhatiin dia seakan-akan dia malaikat yang baru aja dibuang dari Eden? Kampret. Setengah mati, gue berusaha nyembunyiin muka merah gue dan memilih buat meraih cangkir teh Earl Grey gue. Setelah seruputan pertama, reaksi gue adalah mengeluh karena tehnya masih panas. Reaksi berikutnya adalah gue keselek, yang secara otomatis bikin tuh bocah satu langsung ketawa puas, walaupun diem-diem dia narik keluar tumbler air mineralnya dan digeser ke gue.

"Makanya, Ra, kalo mau minum tuh baca bismillah dulu kalik."

"Bacot lo." gue mengumpat begitu gue kelar dengan acara keselek gue yang sangat tidak elit. "Lagian elo. Katanya buru-buru cabut dari Bandung ke Jakarta buat ketemu gue. Nyatanya pas udah ketemu, malah didiemin gitu aja. Kenapa nggak lo ajak Kylo Ren sekalian aja buat nge-date."

"Cie, cemburu ya."

Oke, jawaban yang salah. Bisa nggak sih seorang Raya Alviena nggak tolol-tolol amat kalau berhadapan ama Jev Mahardika?

"Nggak."

Dia justru ketawa, sampe matanya keliatan kayak setengah terpejam dan lesung pipinya tercetak dengan dalam. Gue masih diem, belagak cemberut ketika dia nyimpen hapenya begitu aja sebelum akhirnya mencondongkan badan di atas meja, matanya menatap ke arah gue dengan sorot jenaka.

"Masa cemburunya sama hape sih, Ra."

"Siapa yang cemburu deh situ keGRan banget jadi orang."

Dia senyum. Kampret. Manis banget.

Bertahun-tahun dan gue nggak pernah terbiasa sama senyumnya.

Tolol.

"Sayang,"

"Teh gue panas loh."

"Yaelah," dia berdecak. "Masih aja nggak berubah ya. Nggak dulu, nggak sekarang, tetep aja galak."

"Nggak suka? Bodo amat."

"Lo nggak pernah berubah," dia nyengir. "Makanya sayang gue buat lo juga nggak pernah berubah."

Amboy.

"Hm." gue hanya bergumam samar sambil memainkan jari gue, secara nggak sengaja mata gue langsung tertumbuk pada sebentuk benda yang melingkar di salah satu jari gue. Iya, jari manis. Wow. Sampe sekarang tetep aja gue masih suka amazed sendiri sama keputusan yang udah gue ambil. Gue nerima cincin dari Jev, dan anak SD juga udah paham apa artinya. Artinya dia udah naik tingkat dari status dimana sebelumnya dia hanyalah pacar gue ke tahap yang lebih serius lagi. Tunangan. Tahap terakhir sebelum nikah. Dan gue nggak tau... Entah kenapa... Wow.

Dulu, gue nggak pernah kepikiran bahwa hari ini bakal dateng. Iya, hari dimana gue setuju untuk jadi milik seseorang. I am always mine before I'm ever somebody else's. Gue nggak terbiasa berbagi kepemilikan atas diri gue sama orang lain--ataupun memiliki orang lain secara utuh. Gue nggak pernah membayangkan bakal sampe di tahap ini bersama seseorang, karena bagi gue pernikahan, komitmen apapun itu cuman kerangkeng. Cuman sesuatu yang bakal bikin gue terbelenggu, bikin gue nggak punya kebebasan. Sesuatu yang gue hindari setengah mati karena satu-satunya hal yang gue junjung tinggi di dunia ini setelah kemanusiaan adalah kebebasan.

But he conviced me.

And I love him. Cukup dalem, sampe gue rela berbagi apa yang gue pikir nggak akan pernah mau gue bagi buat orang lain. Bahkan buat orang tua gue sekalipun. Kebebasan gue.

"Serius banget, kenapasih? Cincinnya gatel?"

"Nggak apa-apa." gue menatap dia lagi. "Nggak enak kan rasanya dicuekin?"

"Jadi lo beneran cemburu ama hape?"

"Ama Kylo Ren," gue jawab ngasal. "Ama Darth Vader. Ama Leia Organa. Ama Master Yoda. Dan segala macem karakter aneh yang lo puja setengah mati itu."

"Ye, lo belom ngerti aja. Coba lo turutin saran gue buat nonton episode Star Wars, paling nggak dari The Revenge of The Sith. Dijamin lo bakal jatuh cinta abis-abisan. Its a legendary saga, you know. Jauh lebih dulu muncul dibanding Harry Potter or even those trashy love story called Twilight."

"Gantengan Edward daripada Skywalker."

"Karena Luke bukan berlian berjalan." Jev ngangkat bahunya. "Enak banget si Bella. Kalo kekurangan duit belanja, suaminya bisa dikilo. Kan bercahaya bagikan berlian konon katanya."

"Yeu, bacot. Gue demen ama Anakin doang."

"Kenapa?"

"Ganteng."

"Gantengan juga gue."

Gue diem. Makin tua GR-nya bukannya ilang tapi malah makin dasar. Yeu dasar tai idup. Tai idup kesayangan maksudnya.

"Kok diem sih?"

"Ya gue kudu ngapain, Gusti Pangeran?" gue balik nanya, nyolot, "Masa iya gue kudu kayang di atas meja."

"Hm,"

"Apaan lo ham-hem ham-hem."

"Main aja yuk."

"Maen ayam-ayaman pake jari?" gue mengangkat sebelah alis. "Nggak mau. Ntar gue kalah lagi kayak kemaren terus kena hukuman. Ogah."

"Yee, hukumannya cuman dicolek minyak kayu putih dikit doang juga."

"Tetep aja pedes."

"Pedesan juga kalo pake balsem geliga."

"Lo berani nyolek gue pake balsem gue musnahin ya semua koleksi action figures lo."

"Wedew, ampun Tuan Puteri."

"Pokoknya nggak mau main ayam-ayaman."

"Yaudah, apa dong?" Dia masang muka mikir. "Truth or Dare aja kali ya? Mainstream sih, tapi daripada bengong?"

Gue mikir bentar. "Nggak boleh curang ya?"

"Kapan gue curang, coba?"

"Sepanjang waktu."

Dia nyengir. "Namanya juga usaha."

"Bodo. Pokoknya kalo lo curang, gue ngambek sama lo seminggu."

"Cie, Raya Alviena udah jago ngambek."

"Cot."

"Deileh galak banget. Iya-iya. Yaudah. Berhubung cuman brdua, siapa yang mau mulai duluan."

"Hng," gue diem sebentar. "Yaudah, gue dulu."

"Tumben ngalah."

"Gue nggak mau dicap sebagai pasangan yang diktator."

"Lo nggak diktator kok," katanya santai. "Cuman tsundere aja."

"Ini lo mau maen apa mau ngedebat gue ya, Mas?"

"Jangan panggil gue 'mas', lo kira gue mas-mas warteg apa." dia berdecak. "Kalo mau sekalian aja panggil Kakangmas."

"Ew najis."

"Oke," dia berdehem, matanya menatap gue. Hm, kok jadi deg-degan macem mau ikut lomba tujuh-belasan ya? "Truth or Dare?"

Berhubung ini adalah giliran pertama gue dan gue masih mau main aman, lo-lo pada tau lah ya apa jawaban gue. "Truth."

"Bener ya? Nggak boleh boong."

"Yakali, judulnya aja udah 'Truth', bang."

"Kakanda kali maksudnya."

"Gue pake platform shoes loh hari ini. Cuman ngasih tau aja."

"Yaela, santai, Ra. Gue cuman bercanda." dia ketawa. "Seandainya kita nggak balik lagi. Lo nggak pernah punya kesempatan buat ketemu lagi sama gue. Begitupun sebaliknya. Kita nggak pernah komunikasi lagi, bener-bener lost contact seakan-akan udah menghilang dari kehidupan satu sama lain, apa yang lo pikir bakal lo lakuin saat ini?"

"Maksudnya, kalo hidup gue gue lewatin gitu aja tanpa elo, gitu kan?"

"Mungkin."

"Yaelah, pertanyaan lo ribet amat, bos." gue ketawa. "Who knows, mungkin gue udah jadi Nyonya Kenzo sekarang."

"Kan gue bilang tadi kalo lo nggak boleh bohong."

See? He knows me really well.

"Hehehe, serius amat sih, Mas." gue ketawa lagi. "I don't know. Mungkin gue bakal ngabisin waktu liburan gue bukan buat nongkrong nggak jelas di apartemen bareng bocah cabul kayak lo. Mungkin gue udah jalan-jalan ke Labuan Cermin, liat orangutan di Kalimantan atau bahkan snorkeling di Raja Ampat? I'll be a free traveler, going to every bautiful place. Nggak mikirin apa-apa lagi, karena nggak ada yang nungguin gue pulang."

"Really?" Jev memiringkan wajah. "Lo masih punya keluarga. Masih punya adek. Temen-temen. Even if you break up with Kenzo, I believe you'll find another man to replace his position."

"Like you?"

Dia diem.

Gue tersenyum. "Mr. Mahardika, you are not a replacement. You're not Kenzo's substitute. Honestly, you are my home. A reason, a place, and a pair of arms to come back after a really longggg and tiring journey."

Dia masih diem juga.

"Jangan keGRan," gue mengingatkan. "But I have to admit that if I dont have a chance to be with you again for the rest of my life.... Gue pikir gue bakal jadi orang yang tersesat."

"Harus nggak gue peluk lo sekarang?"

"Enggak." Gue ngejawab tegas. "PDA is not my thing, J. Lo tau itu dengan jelas."

"Well, my bad, then." dia mengedikkan bahu, tapi dari cahaya matanya, gue tau dia diam-diam tersenyum atas jawaban gue. "Giliran lo sekarang."

"Truth or Dare?"

"Truth."

"Ck, kenapa nggak pilih Dare aja sih?"

"Suka-suka gue dong, Nyonyah."

"Oke-oke." gue berpikir sebentar. "If I die first, what would you do?"

Hening. Dia terdiam lagi, tapi raut mukanya jelas menunjukkan kalau dia nggak nyangka gue bakal nanya yang kayak gitu. Beberapa detik lewat. Dan dia masih terus diam.

"J?"

"Buset dah, pertanyaan lo, kaga ada yang lebih masuk akal dikit apa."

"Itu udah paling masuk akal," gue muter bola mata. "Masih untung gue nggak nanya lo berapa kali coli sehari."

"Wo yajelas nggak bakal gue jawab. Itu mah rahasia perusahaan."

"Makanya. Udahlah, tibang jawab aja ngapa."

"Bisa ditunda nggak jawabannya?"

"Nggak. Jawab buru."

"Hm." Dia terdiam, matanya menatap gue dengan lekat. "If you die first... Gue nggak tau. Sampe sekarang pun sama sekali belom pernah kepikiran."

"Yaudah, mulai pikirin dari sekarang."

"Nggak mau."

"Yaudah, jawab aja keles."

"Nggak bisa."

"Waduh, Bung Mahardika."

"Gue serius, Ra."

"Jawab sekalimat doang kek, apa susahnya." gue menyentakkan kepala. "Apapun. Apapun jawaban lo. Terserah."

"Maybe... Well, I'd cry a goddamn river for you."

"And then?"

"Gue mungkin bakal menutup diri. Nggak tau harus ngapain, because losing you is like... Losing all of the reasons why I have to survive in this cruel world. Mungkin gue akan menulis banyak puisi. Kata-kata nggak jelas. Kemudian gue bakal dateng ke taman kota tempat kita biasa hangout. Duduk disana, ngeliatin burung dara yang mematuki jagung di tanah... Terus pulang... Kesepian... Dan ngulangin semuanya dari awal besok paginya."

"Gue seneng akhirnya gue tau."

"Ra?"

"If I die first," Gue terkekeh. "Lo nggak seharusnya menutup diri. I want you to open up to the world. Stay healthy. Eat your breakfast and lunch. Don't skip your dinner. Sleep well. And find another girl who is better than me."

"Ok," napasnya berubah berat selama sepersekian detik. "Sekarang bisa nggak kita berenti ngomongin ini? Gue benci ngomongin yang kayak beginian." Dia keliatan begitu nggak nyamannya dengan pertanyaan gue, dan gue agak sedikit menyesal. Kayaknya gue punya bakat jadi moodbreaker. Atau mungkin dia hanya terlalu trauma karena gue terlalu sering menghilang begitu aja, tanpa kabar, tanpa kesan apalagi pesan. Hanya menghilang, seakan-akan dia nggak layak dapet penjelasan. Well, meskipun sebenernya kenyataannya adalah gue yang nggak cukup layak untuk ngasih dia penjelasan.

Untuk pertama kalinya, gue sadar kalau gue udah terlalu sering nyakiitn dia selama beberapa tahun terakhir.

"Your turn," dia senyum lagi, bikin gue lega. "Truth or Dare?"

"Dare."

"Wow, got some guts, hm?"

"Biar nggak bosen aja."

"Kalau gitu," dia menyeringai, dan firasat gue jadi nggak enak. "I dare you to kiss me."

"J, seriusan dong,"

"... On the lips."

Fak.

"Ini tempat umum, loh. Kalau gue perlu ngingetin."

"Ye bodo. Puguh itu, mumpung kita lagi main Truh or Dare." dia mengerling dengan centil. Wadoh, sialan emang nih bocah kuda liar satu. "Ayo lakuin."

"Hukum gue aja deh."

"Nggak. Nggak ada hukum-hukuman. Tadi aja gue udah jawab pertanyaan lo. Jadi sekarang lakuin."

"Je,"

"Jangan jadi pengecut, soon-to-be Mrs. Mahardika."

"Fine." Gue menyerah, memutuskan untuk bangkit dari kursi gue dan melangkah ngedeketin dia. Dia tertawa sambil menepuk pahanya, nyuruh gue duduk disana yang gue bales dengan cibiran. "Wow. Lo bener-bener menyeberang batas."

"Gue sih ogah ciuman berdiri."

"Kampret lo ya."

"Tapi tetep yang tersayang kan?"

Gue membuang napas kesal. Yaudah. Untuk hari ini gue biarin lo menang ya, kancut. Awas aja ntar. Sup ayam lo gue bubuhin lada biar mojrot sekalian lo di toilet. "Oke." kata gue, sembari duduk dengan jengah di pangkuannya. Kita beruntung--atau cuman gue beruntung karena cafe langganan kita nggak begitu rame. Suasana yang mendung mengesankan hujan lebat bakal turun, yang pasti bakal bikin orang mikir-mikir buat pergi keluar. Yaiyalah, apa enaknya terjebak hujan besar di tempat umum? Mendingan nongkrong di rumah sambil order McD dan nonton Netflix.

"Just do it,"

Gue mengeluh pendek, lantas membungkuk, mencium singkat bibirnya dan baru berniat narik kepala gue menjauh ketika tangannya lebih dulu bergerak. Dia menahan tengkuk gue, bikin gue nggak punya pilihan lain selain tetap diam sementara bibirnya mulai bergerak. Well, he is still my lovely good kisser. It was sweet, long and warm. Kepala gue terasa kebas ketika dia narik wajahnya menjauh, meskipun nggak bener-bener jauh karena gue masih bisa ngerasain terpaan napasnya di atas bibir gue.

"I did it," Gue berbisik. "Now let me go."

Tapi dia malah diem, lantas pada detik berikutnya, tangannya merengkuh gue ke dalam pelukan.

"I wont let you."

"Jev, please ya,"

"You won't die first," dia mendekap gue makin erat. "because I won't let it happen."

Oh-my. Jadi dia masih mikirin pertanyaan gue yang tadi?

"Itu cuman pertanyaan sepele, Jev."

"Tapi itu nggak sepele buat gue." dia menunduk, hidungnya terbenam di bahu gue. "I will never let you go that easy, you know?"

Gue cuman diem.

"Jangan pernah nanya kayak gitu lagi, oke?"

Gue menghela napas. "Understood."

"Good girl." dia ketawa.

"Udah kan? Kalo udah, tolong ya Mas-nya lepasin. Panas nih."

"Elah, bentar lagi."

"Je,"

"Lima menit lagiiiiiii. Okeokeoke?"

Gue membuang napas pendek, nggak berontak.

Yakali, emangnya gue pernah bisa nolak kalo dia udah pake nada melas kayak gitu?

Ck. Nyebelin.

Tapi ngangenin.

Well, cant help it, because he is, indeed my home.

A place for me to come back after a long and tiring journey

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top