EXTRA | THE LOST PIKACHU
Jam digital di atas nakas masih menunjukkan pukul empat ketika gue merasakan sebentuk sentuhan lembut bermain di atas dahi kepala gue, mengiringi deru napas yang pelan. Samar, tapi terasa hangat setiap kali menerpa bagian belakang leher gue. Gue mengerjapkan mata, memiringkan badan gue ke sisi yang berlawanan secara tiba-tiba hanya untuk bertemu pandang dengan sepasang mata milik seseorang. Sepasang mata yang tetap terlihat teduh, bahkan dalam keremangan karena cahaya yang minim. Alis tebal menaungi matanya, membuat sorot irisnya yang gelap terasa sejuk. Gue menarik senyum samar, balik menyentuh ujung hidungnya dengan jari telunjuk gue.
"Hello, sleepy head." bisiknya.
"Seharusnya lo tidur, bukannya gangguin gue."
"Lima hari. Lebih dari seratus dua puluh jam. Lima belas kali jam makan." Gue mengernyitkan dahi. "Apanya?"
Dan dia tersenyum. Senyum yang masih sama. Seperti nggak pernah berubah bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. "Waktu yang harus gue lewati untuk ketemu sama lo. Do you think it's easy? Dan lo kira gue akan membuang terlalu banyak waktu untuk tidur?"
"Lo berlebihan. Emangnya Jakarta-Bandung sejauh apa sih?"
"Lo tau apa definisi jauh menurut gue? Definisi jauh menurut gue adalah ketika gue nggak bisa melihat lo dan mendengar suara lo secara langsung." Dia terkekeh, matanya masih tertuju pada gue seperti mampu menembus kegelapan. Gue selalu suka momen-momen ini. Dengan suaranya yang rendah, kita berkomunikasi dalam bisikan. Hingga bahkan mungkin cicak yang merayap di dinding nggak bisa mendengar. Hanya gue dan dia. Kita.
Gue tertawa, tapi dia enggak. Matanya tetap menatap gue dengan lekat. Lalu jarinya kembali memainkan helai rambut gue.
"Raya,"
"Em-hm?"
"Did you ever stop loving me?"
Sesaat setelah mendengar pertanyaannya, kening gue langsung berkerut. Ini adalah kali pertama Jev bertanya tentang sesuatu yang bisa membuat gue bingung. Biasanya, gue lah yang sering menanyakan pertanyaan aneh. Pertanyaan yang bagi sebagian besar orang mungkin bakal membuat mereka menilai gue sinting dan sukar dimengerti. Tapi setiap kali menghadapi pertanyaan semacam itu, Jev hanya akan tersenyum, kemudian mengetuk dahi gue dengan jarinya sambil bilang "don't be overthinking."
"Maksud gue," seperti bisa membaca ketidakmengertian (atau kelemotan gue), Jev langsung buru-buru menerangkan lebih detail. "After our split and stuffs... you were with him."
Him? Oh. Kenzo maksudnya.
"Nice question," Gue merespon cepat. "But I have same thing to ask. Did you ever stop loving me?"
"Ya, sayang?"
Dan segampang itu, napasnya seperti terhenti seketika. Kelopak matanya sempat melebar meski hanya sepersekian detik. Sejak dulu, gue tahu bukan orang yang bisa dengan mudah mengekspresikan isi hati gue pada orang lain. Termasuk sama dia. But I guess he knows how much I love him. So dearly. So deeply. Tapi tetap saja, setiap kali gue bersikap seperti ini, dia nggak pernah bisa menutupi keterkejutannya.
Namun kemudian, cowok itu justru mendengus pelan.
"Lo benar-benar tau kelemahan gue ya. Dan no, stop looking at me with those puppy eyes of yours."
"Enggak mau." Gue menggeleng-gelengkan kepala dengan sok imut. "Stop it or else--"
"Or what?"
"Or I'll have to kiss you. Roughly."
Secara refleks, gue memutar bola mata. "Sialan lo ya. Dasar PK."
"Boys will always be boys, sweetheart." Jev tertawa kecil. "Hm. Kembali ke pertanyaan lo. Did I ever stop loving you? I guess, no."
"Even when you were still with her?" "Her? Siapa tuh?"
"Salwa."
"Menurut lo aja gimana."
"Jahat!" Gue berseru secara refleks. "How dare you to play with that poor girl's heart."
"Loh, bukan gitu. Lo salah tangkep," Dia menyergah cepat. "I never stop loving you, because after our split, you're still my friend. And I cherished you as... my friend."
"Bulshit."
"Jangan cemburu, darling. Itu sudah masa lalu kok. Yang penting sekarang kan..." tangannya masuk ke dalam selimut, mencari jemari gue dan meraihnya hingga gue merasakan samar denting dari dua cincin yang berbenturan. "How about you?"
"I never stop loving you," Gue diam sebentar. "... as a man." "Berarti lo juga jahat."
"Indeed."
Jawaban gue sepertinya benar-benar tidak diduga sama sekali olehnya. "Gue kasihan sama dia."
"Siapa?"
"Kenzo."
"Oh."
"Iya."
"Which is impossible."
Gue mengiyakan meskipun agak sedikit nggak rela. "Wow, apakah gue memang sehebat itu?"
"Lo tuh kayak lintah. Sekali nempel susah lepasnya."
Mendengar omongan gue, Jev tertawa. "Tapi kalian pacaran lama banget. Lebih lama dari...
Kita."
"Yes, and the breakup might be really painful for him."
Jev menggeser posisi berbaringnya sementara tangannya mulai terjulur ke balik punggung gue, menarik gue lebih mendekat. "Tell me about it."
"Do I really have to?"
"I insist."
Gue menarik napas, menatap matanya sekali lagi dan mmeutar kembali kenangan yang sebenarnya nggak pernah gue ingin ingat. Bukan karena itu menyakitkan buat gue. Tapi karena untuk pertama kalinya selama hidup, gue merasa sangat jahat telah melukai seseorang yang sudah bersikap benar-benar baik sama gue.
***
Year Ago.
Malam ini malam anniversary kita yang kedua--dan ketika gue bilang 'kita' maksudnya adalah gue dan Kenzo. Hari ini juga tepat sebulan setelah gue wisuda--dimana gue mengikuti gelombang wisuda yang berbeda dengan Jev meskipun kita lulus di tahun yang sama. Lucu, karena kita sama sekali nggak ketemu lagi. Dia langsung cabut ke Bandung seminggu setelah wisuda, karena udah ada sebuah perusahaan konstruksi disana yang nge-hire dia untuk jadi salah satu engineer mereka. Dia mungkin sering bilang kalau dia nggak pintar, tapi itu salah. Dia adalah insinyur terpintar yang pernah gue tau. Haha. Lebih lucu lagi, harusnya sekarang gue bukan mikirin dia, melainkan mikirin Kenzo, cowok yang berstatus pacar gue. Cowok yang kini duduk di hadapan gue dengan setelan bagus dan aroma parfum khas yang menguar.
What's not lovable in Kenzo?
Dia tinggi, mungkin tingginya sepantaran dengan Jev. Ah, lagi-lagi gue membandingkan mereka berdua. Betapa nggak adil buat Kenzo, karena sejak awal, isi pikiran gue nggak pernah jauh-jauh dari Jev, Jev dan Jev. Dia seperti mantra, menyihir habis segala hal dari dalam otak gue selain namanya. Bahkan, sebelum gue bisa melupakan namanya, gue udah melupakan nama gue sendiri lebih dulu. Tapi yah, begitulah. Kenzo tinggi. Dia pintar. Sangat pengertian. Meskipun dia rajin pergi ke gereja--kita berbeda agama--dia nggak pernah menghakimi pemikiran gue yang seperti nggak pernah berhenti mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Gue jahat. Gue menyiksanya. Dan dia juga bodoh. Karena udah membiarkan dirinya sendiri tersiksa karena gue, cewek biasa yang tolol karena nggak pernah bisa benar-benar melupakan seseorang yang nggak nyampe setahun pacaran dengan gue--meskipun teknisnya, gue dan Jev sudah saling mengenal lebih dari separuh masa hidup kita di dunia. Jika gue jadi Kenzo, gue nggak akan mau menghamba sama seseorang yang bahkan nggak pernah bisa melihat gue hanya atas nama cinta.
Bukan berarti gue nggak pernah mencoba untuk mencintai Kenzo. Tentu saja, dia adalah pilihan teraman buat gue. Dia sayang sama gue. Dia punya semua karakter dari jenis cowok yang akan gue pilih mendampingi gue semur hidup. Tapi, semua usaha gue nggak pernah berhasil. Gue nggak pernah bisa benar-benar mencintai Kenzo. Karena diantara semua kelebihannya yang menggunung, dia punya satu kekurangan.
Dia bukan Jeviar Mahardika.
"Raya," Kenzo meraih tangan gue, membuat gue langsung tersentak kaget. Bukan karena tangannya yang sangat hangat menyentuh kulit punggung tangan gue yang dingin. Bukan juga karena gue terlalu larut dalam lamunan gue sampai-sampai nggak menyadari apa yang dia lakukan. Tapi karena gue nggak menebak Kenzo bakal meraih tangan gue dengan begitu tiba- tiba. "What's inside your mind?"
Gue menggelengkan kepala gue cepat-cepat. "Bukan apa-apa."
"It's him again, isn't it?" Kenzo balik bertanya, dan baru saat itulah gue melihat ada sorot pahit yang membayang di kedua matanya. Caranya menatap gue membuat gue kehabisan kata-kata, dan sepertinya kebisuan yang ada justru terasa menegaskan semuanya. Cowok itu menunduk, lantas mengeluarkan sebuah tawa muram. Dia jadi terlihat menyedihkan, seperti sedang mentertawakan dirinya sendiri. Gue benci itu.
Karena gue adalah penyebab mengapa dia jadi terlihat begitu menyedihkan "Kenzo, look,"
"No need to speak," Kenzo memotong ucapan gue sambil merogoh saku jas yang dia pakai. Setelan resmi yang baru gue sadari terlihat jauh lebih mentereng daripada setelan yang biasa dia pakai saat pergi ke kantor. Sebentuk firasat buruk menyelinap ke dalam benak gue, dan jantung gue terasa luruh ke perut ketika dugaan gue benar. Kenzo mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru. Cowok itu membukanya tanpa melihat reaksi gue, mengekspos cincin emas bermata berlian di dalamnya.
"Kenzo," Dia tahu benar ketakutan gue pada sesuatu yang bernama pernikahan. Dan nggak peduli berapa kalipun dia berkata bahwa gue bisa tenang hidup bersamanya, atau bagaimana dia bilang dia rela pindah agama demi gue atau berapa banyak dia menyebut nama gue dalam malam-malam sepi ketika saat kita mengobrol dinihari karena nggak sempat bertemu sebab kesibukan masing-masing, dia nggak pernah berhasil.
"I was going to ask you to be my companion for the rest of my life," Kenzo menghela napas. "Tapi kayaknya itu nggak mungkin, ya?"
"I don't wanna hurt you," "Too bad, you did."
Lagi-lagi, Kenzo berhasil membuat gue terbungkam. Bahkan untuk bicara pun, gue udah nggak punya hak. Gue menunduk, membiarkan pandangan gue menusuk lantai yang bersih dan tepi meja berpelitur yang selalu tampak seperti baru. Yah, kemewahan adalah sesuatu yang patut harap ditemukan di restoran dengan fasilitas sky dining kan? Namun, gue nggak bisa menutupi kegugupan gue. Pelan-pelan, jari gue mulai naik ke paha, saling meremas dengan bagian rok gaun malam yang gue pakai. Kenzo langsung menyadarinya, karena cowok itu meminta gue menatap padanya, dan begitu gue mengangkat wajah, dia sedang tersenyum lembut.
I really am the biggest fool ever.
Bagaimana bisa gue menyia-nyiakan laki-laki sebaik ini, yang udah siap membuang segala yang dia punya untuk gue, hanya demi seorang cowok yang bahkan rimbanya aja udah gue nggak tau berada dimana? Kalau udah begini, gue jadi berpikir, mungkin seharusnya sejak awal, gue nggak pernah bertemu sama orang itu sama sekali. Like the hell, orang itu bahkan belum tentu masih inget gue. Dia udah bahagia di luar sana, sama cintanya yang lain. Gue hanya kepingan masa lalu yang memang sudah seharusnya terlupa. Disini, gue justru mendorong satu-satunya orang yang mungkin bisa jadi kesempatan buat gue untuk bahagia menjauh hanya karena dia.
He is, indeed, my deadly addiction. "Gue iri sama dia."
"Hah?"
Bodohnya, hanya reaksi itu yang bisa gue tunjukkan sebagai respon spontan. "Jeviar Mahardika."
"Oh."
Kenzo melukis segaris senyum tipis yang terkesan sedih di wajahnya. Cahaya lampu bernuansa kuning dan background titik-titik sinar serupa kunang-kunang beraneka warna dari bangunan dan gedung pencakar langit kota Jakarta menjadi background di belakangnya. Indah dan terkesan sureal. Dia seperti pangeran dari negeri peri yang terletak begitu jauh. Datang dari mimpi. Menjanjikan kebahagiaan. Tapi gue justru mematahkan hatinya dengan begitu purna.
"Gue iri sama dia. Banget." Kenzo berdehem. "Karena bahkan setelah semua yang terjadi, setelah semua apa yang gue lakukan, dia tetap punya tempat yang lebih besar di hati lo daripada gue."
"Kenzo,"
"Do you remember our first encounter that morning in Shibuya?" Dengan terpatah, gue mengangguk.
"You looked like a little candy. With those yellow raincoat and transparant umbrella. Like a lost Pikachu trying to find its way home." Dia berhenti sejenak, seperti memutar ulang kilas balik itu dalam sinema di ruang kepalanya. "Sejak saat itu, gue menyukai hujan. Dan Shibuya. Because they remind me of you."
Gue masih nggak mengerti.
"Believe me, I tried so hard to be your new home. To be that suicidal Pikachu's shelter. To cherish you, and give you another purpose to live this sick world. Because of me. But I guess I was wrong. Right from the start, your heart belongs to another."
"Kenzo, gue minta maaf."
"No need to say sorry, Raya."
"Tapi,"
"Penilaian gue ke lo masih sama. Lo adalah cewek yang... gue nggak tau bagaimana harus menggambarkannya. You're fierce, but fragile at the same time. Strong but weak. Pretty confident but insecure. Lo seperti paradoks. Dua sisi yang berlawanan dalam satu jiwa. But still, out of all people in this world, I believe you deserve to be happy. And to be loved by someone that you love. That someone, surely, is not me."
"Lo salah."
"Raya, gue punya satu permintaan. Hanya untuk hari ini. Malam ini." Kenzo berbicara dengan serius. "Can you be mine for a day?"
Semuanya berjalan begitu cepat. Begitu dramatis. Malam itu bukan tanda dari kekalahan Kenzo atas Jev, melainkan akhir dari apa-apa yang sudah dia perjuangkan untuk tetap bersama gue. Dia sudah tau itu sejak lama, hanya mungkin baru malam itu hatinya bisa benar-benar menerima. Kita bersikap seperti layaknya pasangan. Kita berdansa. Saling bergandengan tangan. Makan dan bercakap-cakap tanpa terjadi apa-apa. Sampai kemudian ketika malam merambat menuju larut dan ruangan restoran itu sudah mulai kosong, Kenzo mengajak gue turun ke lobi gedung.
Cowok itu melepaskan genggaman tangannya yang erat pada jemari gue, kemudian menunduk dan memberikan sebuah kecupan di pipi gue.
"I hope my little Pikachu finds her way of happiness."
"Lo juga."
"As long as you're happy, I'm sure I can be happy." Dia tertawa. "He is a lucky bastard."
"Who?"
"That jerk." "Why?"
"Because you love him that deep." Kenzo berkata lagi, kali ini sembari menyelipkan sebuah kotak mungil ke tangan gue. Sebelum gue bisa bicara atau mengembalikan kotak itu padanya, Kenzo sudah lebih dulu berlalu menjauh, bertepatan dengan mobilnya yang berhenti di depan pintu. Petugas jasa valet keluar dari sana, dan Kenzo langsung menggantikan tempatnya setelah memberikan uang tip.
Gue menghela napas, memutuskan menelepon adik gue untuk menjemput. Sambil menunggu Andra, gue terduduk di lobi dan membuka kotak mungil itu. Di dalamnya ada sebuah gantungan kunci berbentuk karakter Pikachu, juga sepucuk surat. Isinya singkat, tapi cukup untuk membuat gue merasa sebagai perempuan paling culas sedunia.
Dear Raya,
Thank you for giving me such a happy ending
Thank you for letting me hold you like more than a friend For the last time
Because you've granted my wish, then let me give you an advice
Call him, and finish what both of you started
It's not good to leave something important remains unsaid
If you do that, there is a chance for you to be completely happy
Because someone as precious as you doesn't deserve to be "just" happy
Much love,
Kenzo
***
J E V I A R
I pity that Kenzo guy. Really.
But at the same time, I feel so lucky. I'm lucky to have her. I'm lucky that she fell in love with me so deeply. Too deep, even another man who is more in anything than me had no chance to steal her heart.
"Makanan lo ada di meja, bukannya di depan lo."
Suara Raya yang terdengar jengkel membuyarkan lamunan gue. Sekarang adalah jam makan siang, dan karena gue sudah bosan makan PHD ataupun makanan order lainnya, gue memutuskan menarik cewek ini keluar dari sangkar nyamannya. Raya sempat protes, tapi setelah dia tau kalau gue yang akan mengorbankan diri nyetir hari ini, dia pun nggak keberatan. Hari ini hari Sabtu. Meski begitu, restoran tempat kita makan nggak begitu ramai.
"You're not a food, but you still look edible." Gue terkekeh. "If you know what I mean." "Makin gede kenapa otak lo makin rusak ya, Pak?"
"Maybe because I have sexiest girlfriend in the world?" "You're wrong."
"Oh, I'm sorry, babe. I meant, sexiest fiancee."
Raya keselek. Sama aja kayak dulu. Dan reaksi gue pun nggak berubah. Gue tertawa seraya menggeser gelas minum ke dekatnya. Cewek itu mendelik, meneguk air dingin dalam gelasnya dengan cepat. Tapi batuk-batuknya masih sesekali terdengar.
"Gue ke toilet dulu, oke? Awas ya kalau lo kabur." Gue berujar sambil mendorong kursi gue mundur, lantas berlalu ke toilet. Seorang pramusaji yang berdiri di balik meja konter melirik sekilas pada gue dengan jenis tatapan yang bisa dikategorikan super flirty. Bukannya gue GR loh ya, cuma ya begitulah. Gue mengabaikannya. Sorry, ladies, but like I said before, I have sexiest fiancee in the world by my side.
Gimana ya. Menurut gue, seksinya cewek tuh bukan dari pantatnya. Atau dari bemper depannya. Bukan. Tapi dari kepalanya. And Raya is that kind of someone who can make a butterfly or even a sentence look so artsy and beautiful.
Toilet sepi, dan gue mengucap syukur dalam hati. Bukannya apa-apa, tapi kalau cewek pipis kan dalam bilik-bilik tertutup, sementara cowok tuh pipisnya langsung di sederetan urinoir yang kagak ada tembok pembatasnya. Bukan, gue bukannya krisis kepercayaan diri karena otong yang mini. Sori-sori ya. Gue pede-pede aja kok pipis di urinoir, bodo amat mau rame atau enggak. Cuma gue rada trauma sama urinoir, soalnya bukan sekali dua kali gue jadi korban maho genit yang suka lirik-lirik terus tau-tau minta nomor telepon pas udah kelar pipis.
Gue masih straight. Gue nggak napsu sama batang. Dan gue nggak akan pernah jadi gay kecuali Raya transgender jadi cowok which is mustahil. Kalaupun terjadi, itu bisa bikin Bumi gonjang-ganjing dan jadi keajaiban dunia nomor sekian.
"Jeviar Mahardika, is it?"
Gue baru melewati pintu toilet setelah mencuci tangan ketika suara seorang laki-laki terdengar, secara otomatis menginterupsi langkah gue. Gue menoleh, hanya untuk mendapati sesosok cowok tinggi berkacamata yang menatap gue dengan pandangan penuh arti. Dia mengernyit sebentar, seperti sedang meneliti gue sebelum akhirnya menarik sebentuk senyum yang nggak begitu kentara. Duh, nyet. Nggak usah senyum kayak gitu kenapa. Creepy banget. Gila ya, apa gue harus nulis gede-gede di jidat gue keterangan kalau gue straight?
Eh, tapi btw dia tau nama gue dari mana? "Ya? Anda siapa ya?"
Positive thinking. Sapa tau ada hubungannya sama kerjaan.
"Selow aja." dia menatap gue. "Did you come here with your girlfriend?" Hah? Apa sih kok kepo banget? Serem, anjeng.
"It's none of your business but well, she is my fiancee."
Kelopak matanya melebar, meski cuma sepersekian detik. "Oh. I see. You're a lucky man."
"I know."
"Dia kelihatan happy."
"Maksud lo?"
"Cewek lo." jawabnya. "Gue turut senang. Congratulations." dia meneruskan ucapannya, kemudian berjalan melewati gue begitu saja. Gue mengernyit, menatap punggungnya sejenak lalu memanggil.
"Tunggu."
Cowok itu berhenti melangkah, lantas kembali berbalik. "Lo kenal sama gue? Atau lo kenal sama cewek gue?" "Not really, but can you tell this to her?"
"Apa?"
"Tell her, someone is happy that finally the lost Pikachu is no longer lost." Lalu tanpa menunggu reaksi gue, cowok itu berlalu pergi.
Gue berpikir sebentar hingga sebuah kesadaran menghantam benak gue.
Well, gue rasa gue tau siapa dia.
Too bad, dia udah cabut duluan. Seandainya dia mau menunggu gue paham sedikit lebih lama lagi, gue mungkin sudah bilang sama dia kalau dia nggak perlu khawatir. Kalau Raya akan tetap baik-baik aja sama gue. Kalau gue nggak akan pernah membiarkan dia menghilang lagi dari hidup gue seperti waktu itu.
Karena gue akan selalu ada di sisinya. Sampai kapanpun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top