EXTRA | MOST BEAUTIFUL CREEP
When you were here before
Couldn't look you in the eye
You're just like an angel
Your skin makes me cry
You float like a feather In a beautiful world
I wish I was special You're so fucking special
Sore ini, sambil duduk di atas kursi sebuah kafe berdesain minimalis-modern dengan pencahayaan serba kuning, Raya baru menyadari kalau suara bisa menjelma menjadi mesin waktu. Paling tidak, itu efek yang ditimbulkan oleh suara petikan gitar dari sesosok cowok jangkung yang tengah bernyanyi di atas panggung. Di bawah siraman cahaya lampu, Faris Rafandra terlihat amat sureal. Matanya terpejam, seperti mengiringi keindahan bayang-bayang yang dibentuk oleh lekuk pada wajahnya. Melalui melodi yang dimainkannya, ada sesuatu yang menelusup masuk ke dalam telinga Raya, beresonansi pada sebuah ruang kecil di sudut kotak ingatannya.
Lagu itu akan selalu punya makna tersendiri buat Raya. Bukan hanya karena liriknya yang menggambarkan masa-masa suramnya dulu, melainkan juga karena lagu itu adalah alasan kenapa Raya bisa melalui perjalanan dari kampus menuju tempat kosnya bersama Faris tanpa canggung. Lagu itu memuat kenangan tentang banyak orang di masa yang berbeda. Mulai dari Faris, Adrian, Hana hingga tentu saja, Jeviar.
"What's with that face?"
Raya tersentak ketika mendengar suara Faris. Dia pasti terjebak dalam lamunan selama beberapa lama, karena dia bahkan tidak sadar jika penampilan Faris sudah selesai dan kini cowok itu tengah menarik kursi di depannya. "Udah selesai?"
"Lo melamun." "Cuma mikir."
Faris terkekeh, batal duduk dan justru menyentil pelan dahi Raya dengan jarinya. "Jangan kebanyakan mikir. Nanti tau-tau botak. Heran deh, nggak waktu kuliah, nggak saat udah jadi wanita karir kayak sekarang, lo masih aja hobi ngelamun."
"Dan lo masih aja genit."
"Genit is my middle name, ma'am." Faris berujar. "Sebenarnya, nggak biasanya gue membawakan lagu itu. Kalau kata Opa-nya Cleo, Creep dari Radiohead itu terlalu emo dan nggak sesuai sama mood kafe ini. Tapi sore ini, anggap aja itu welcoming greetings dari gue buat lo."
"Am I the creepiest girl you've ever known?"
"Second to the creepiest." Faris mengoreksi. "Predikat cewek paling creepy masih dipegang oleh... you know who."
"Baru kali ini gue dengar ada cowok yang ngomongin cewek kayak lagi ngomongin Voldemort."
"Well, because she is both my mystery and misery." Faris tertawa kering. "Jadi ada angin apa tiba-tiba lo datang kesini?"
"Mau lihat lo manggung."
"Lo nggak pernah jago bohong, Raya Alviena. Dari dulu. Sekarang jujur sama gue, mau ngapain kesini? Lo jelas bukan tipe orang yang bakal ngambek karena gue nggak datang ke acara makan-makan weekend kemarin." Faris berkata lagi, kali ini menyinggung tentang acara makan-makan yang memang sempat digelar oleh Raya dan Je di apartemen baru mereka. Teknisnya, mereka berdua memang sudah tinggal bersama selama beberapa bulan terakhir di apartemen Raya, tetapi itu lebih karena Je tidak punya hunian sendiri di Jakarta mengingat pekerjaannya mengharuskannya lebih sering berada di Bandung. Setelah mereka menikah— sumpah, Faris masih merasa aneh memikirkan kenyataan kalau pada akhirnya Raya betul-betul menyerah pada seorang Jeviar Mahardika—mereka sepakat untuk mencari apartemen baru yang lebih luas.
Bagi Faris, itu adalah keputusan yang gampang ditebak. Raya masih saja Raya yang dulu, jenis orang yang tidak merasa nyaman berada di tengah banyak orang yang tak dikenal baik olehnya dan lebih individualistis. Sedangkan Jeviar... well, serupa dengan Raya, cowok itu tidak banyak berubah. Je tidak keberatan, dan lagi, dia memang berniat untuk resign dari tempatnya bekerja sekarang dan mencari pekerjaan baru yang memungkinkannya menetap di ibukota.
Akhir pekan kemarin, Raya mengundang mereka semua untuk datang ke apartemen barunya. Setahu Faris, hampir semua teman-teman sepermainan mereka saat masih kuliah dulu turut datang. Mulai dari Adrian dan Azalea, Hana, Rama hingga Edgar dan Dio. Kecuali dirinya, tentu saja. Faris beralasan dia sibuk, namun sesungguhnya dia tau dia tengah menghindari sesuatu yang lain.
"Kenapa lo malah jadi melamun?" Raya berkata tiba-tiba seraya merogoh ke dalam tas tangan yang dia bawa dan mengeluarkan selembar undangan. "Gue kesini untuk nganterin undangan resmi, by the way. Karena lo nggak akan bisa masuk tanpa undangan."
"Oh, gue kira gue cukup menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa dan bilang kalau gue rekan satu almamater lo berdua."
"Ah, Kartu Tanda Mahasiswa. Gue aja udah nggak tau Kartu Tanda Mahasiswa gue ada di mana sekarang." Raya mengenang. "Time flies so fast, indeed."
"Indeed."
Raya diam sejenak. Keraguan sempat terbersit di wajahnya. Namun pada akhirnya, dia tetap bicara. "Dia bakal datang."
"Dia?" Faris pura-pura tidak mengerti. "Dia siapa?"
"Jangan pura-pura nggak tau."
"Gue beneran nggak—"
"Cleo bakal datang."
Damn, Faris merutuk dalam hati.
"Dia kelihatannya baik-baik saja. Cantik seperti biasanya, tapi nggak sekurus seperti yang gue ingat saat terakhir kali gue ketemu dia. Well, it was years ago. Tentu saja selalu ada yang berubah. Waktu selalu mengubah sesuatu, entah kita sadari atau nggak." Raya menjelaskan meski Faris tidak meminta. "Dia di Jakarta, sengaja terbang dari London. Gue nggak tau apa karena emang dia merasa sudah waktunya pulang, atau sengaja mengalokasikan waktu buat hadir di acara gue dan Je. Tapi yah, Cleo terlihat baik-baik aja."
"I'm happy for her."
"Don't lie to yourself, Faris. You care, more than you want to. Just let her know."
"Biar apa? Situasinya sudah seperti ini. Nggak akan ada yang berubah, Ra. Semuanya nggak guna."
"Because I know deep down inside, she still cares."
"Tunggu." Faris terlihat seperti baru menyadari sesuatu. "Kenapa gue merasa déjà vu dengan obrolan ini?"
Raya tertawa kecil. "Ternyata ingatan lo nggak buruk-buruk amat. Waktu gue di Jepang, lo pernah nelepon gue. Ingat? Waktu lo ngasih tau gue soal Je yang baru jadian sama Salwa."
Faris memandang Raya dengan mata memicing. "Women are scary."
"Lucu ya? Gimana keadaan berbalik total tapi obrolan kita waktu itu masih relevan dengan situasi sekarang. Dan gue rasa, saran gue tetap sama buat lo," Raya terkekeh. "Just believe in fate. If she destined to be in your life, then she will never go anywhere. Never in billion years, she'll become someone else's. But you know, Ris? Takdir nggak akan bekerja tanpa, at least, sedikit usaha."
Faris terdiam dan sesaat kemudian, ponsel Raya berbunyi. "Ah, dia udah sampe."
"Dia?"
"Dia." Raya mengulum senyum sambil menatap pada pintu kafe, membuat Faris langsung memutar tubuhnya dengan ekspresi panik—yang berubah drastis tatkala cowok itu menyadari jika sosok dia yang berada dalam pikirannya benar-benar berbeda dengan sosok dia yang dimaksud Raya. "Dia-nya gue. Bukan dia-nya lo."
"Honestly, kalau disuruh memilih antara Raya yang dulu dan Raya yang sekarang, gue lebih memilih Raya yang dulu. Lo lebih manis kalau lo nggak jahil kayak sekarang." Faris mendengus ketika Je melangkah melintasi ruangan besar kafe menuju tempat mereka duduk. Ekspresi khas orang yang baru saja menyetir Bandung – Jakarta tampak jelas di wajahnya. Dia lelah, namun terlihat senang.
"Hello, " Je menyapa sambil membungkuk, mencium pipi Raya sebelum menarik kursi dan melirik pada undangan yang tergeletak di atas meja. "Aduh, kan gue udah bilang, Kampret satu ini nggak usah dikasih undangan. Belum tentu juga dia mau datang. Kemarin aja waktu ada acara di apartemen baru kita dia nggak datang."
"Nggak usah berlagak ngambek. Itu nggak cocok buat lo."
"Intinya Faris pasti nggak bakal datang." Je ngotot. "Apalagi kalau lo udah kasih tau dia soal Cleo yang fix banget bakal datang."
Wajah Faris berubah masam.
"Dia tetap harus datang." Raya menyahut dengan tenang. "Karena kalau dia nggak datang, gue yang bakal obrak-abrik kantornya." Saat ini, Faris memang bekerja di sebuah biro iklan ternama asal New York yang kini memiliki kantor di Jakarta. Namun di waktu senggangnya, Faris masih kerap datang ke kafe milik Kakek Cleo, di mana dia akan memainkan sejumlah lagu, entah itu diiringi oleh home band kafe atau dengan petikan gitarnya sendiri.
"Nggak perlu. Gue pasti bakal datang."
"Gitu ya. Raya cuma perlu sekali ngancam lo dan lo langsung kicep gitu. Mana motto kita bersama yang katanya Bros before Hoes?"
"No. Gue memastikan bakal datang bukan karena gue takut sama ancaman calon bini lo ini. Tapi karena..."
Salah satu alis Je terangkat sementara matanya menyorot tidak suka ketika mendapati bagaimana Faris menatap Raya dengan teramat lekat. "Karena?"
"Because she is my most beautiful creep." Faris masih saja menatap Raya dan sengaja mengabaikan death glare yang kini Je layangkan padanya. "Whatever makes her happy. Whatever she wants. She's so fucking special. And I wish I was special."
Senyum hangat merekah di wajah Raya, diikuti oleh semburat merah yang menyebar di wajahnya. "Thanks, Ais."
"Enough with this shit." Je mendesis seraya bangkit dari kursi dan menarik lengan Raya untuk ikut beranjak dengan gaya posesif yang membuat Faris merasa geli. "She is my soon-to- be wife, Mr. Rafandra. Tolong jangan seenaknya menyebut dia spesial."
"Can't help it. Because Raya is indeed special." Je mendelik. "Lo mau ngajakin gue adu jotos ya?"
"Cut the crap already." Raya memotong cepat sebelum segalanya berubah menjadi serius, meski sebetulnya dia sangsi itu bakal betul-betul terjadi. "Itu lirik lagu, Je. Lagunya Radiohead yang judulnya Creep. Lagu itu punya makna tersendiri buat gue dan Faris."
"Wow, romantis banget." Je menukas sinis.
Raya terkekeh. "Jangan ngambek. Seperti apa kata Ais tadi, lo benar-benar nggak cocok berlagak ngambek kayak gitu. Mending kita cabut. Gue kepingin makan pecel lele bareng lo dari kemarin.
Je masih bergeming.
"Gue perlu memohon nggak nih?"
"Nggak perlu." Katanya sebelum meraih lengan Raya dan membawanya berlalu dari tempat itu.
Faris mengamati kepergian kedua sahabatnya masih dengan senyum merekah di wajah.
Tapi kemudian dia dibikin merenung, tenggelam ke dalam sudut kenangan paling usang yang selama bertahun-tahun belakangan tak pernah lagi dia usik. Ada banyak memori yang menerjangnya tanpa ampun, seperti genangan air di musim hujan. Mereka semua berbeda- beda tapi intinya selalu sama; semua fragmen masa lalu itu selalu terkait pada sesosok gadis dengan satu nama, Cleo Belani Adinata.
Katanya, akan ada sebuah masa ketika kamu jatuh terlalu dalam pada seseorang sehingga kamu menyesal membiarkannya masuk, ada lalu meninggalkan bekas dalam hidupmu. Buat Faris, orang itu adalah Cleo. Jika saja dia punya kuasa memutar balik waktu, mungkin Faris akan memilih untuk tidak pernah mengenal gadis itu sama sekali.
Bels, benak Faris berbisik pelan saat dia meraih undangan pernikahan yang ditinggalkan Raya di atas meja sebelum turut beranjak dari kursi kafe yang dia duduki.
Am I your most beautiful creep?
I don't care if it hurts
I don't want to have control
I want a perfect body
I want a perfect soul
I want you to notice
When I'm not around
You're so fucking special
I wish I was special
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top