Dua Puluh Sembilan - Asing
RAYA
Setahun lewat dengan cepat.
Terlampau cepat. Dan semuanya nggak pernah sama lagi.
Ada yang berubah dari kehidupan gue—begitu drastis, jenis perubahan yang bahkan gue pikir nggak akan pernah bisa gue hadapi saking besarnya perubahan itu sendiri. Tapi surprisingly, gue bisa menghadapinya dengan baik, membuat diri gue berubah menjadi Raya yang bisa berkomunikasi di hadapan orang lain, hingga gue bukan lagi cewek yang bisanya cuman berada di sudut ruangan sambil membaca buku, tapi jadi cewek yang sekarang bisa memimpin diskusi apapun dengan baik atau berbicara di depan orang banyak tanpa masalah. Orang-orang mulai menyadari keberadaan gue, satu-demi satu pribadi yang baru berdatangan silih berganti, sebagian diantaranya datang untuk jadi saingan gue, teman, bahkan beberapa bilang kalau mereka sayang sama gue.
Tapi apakah gue bahagia?
Yes. I am happy right now. But I was happier.
Karena dari semua pencapaian yang udah gue dapet, dari semua tindakan yang entah bagaimana bisa membuat diri gue perlahan diterima di lingkungan sosial sekitar gue, dengan pandangan kagum dari mereka yang bilang mengagumi apa yang bisa gue lakukan, ada sesuatu yang entah bagaimana selalu terasa kurang. Dan gue tau sesuatu apa yang kurang itu, yang membuat pencapaian gue nggak terasa lengkap seperti yang seharusnya. Sesuatu yang kurang itu adalah keberadaannya.
Iya. Dia.
Gue nggak tau kapan persisnya itu dimulai, namun diam-diam dia menyelinap keluar dari hidup gue—atau justru gue yang mendorong dia keluar, memaksa dia pergi? Awalnya mungkin semuanya masih baik-baik aja. Gue pergi ke Jepang, karena akan terlalu egois buat gue kalau gue nggak ngambil kesempatan emas itu dan memutuskan terjebak di satu tempat yang sama seumur hidup gue hanya karena sikap childish yang jelas-jelas lebih mengutamakan perasaan daripada otak. Perasaan adalah tanda kelemahan, karenanya seberat apapun gue untuk pergi, terutama saat gue tau bahwa sedikit banyak kepergian gue mungkin akan membuat dia ngerasa sedikit kesepian, nggak ada jalan lagi bagi gue untuk mundur. Kita menghabiskan banyak waktu bareng sebelum gue pergi. Dia cerita tentang teman-temannya di teknik sipil, gue cerita tentang Hana ama Edgar yang entah bagaimana makin intim. Jujur, ada sesuatu yang hangat dalam dada gue tiap kali gue ngeliat Edgar ama Hana, saat mereka jalan dengan jari-jari saling terkait atau ketika Hana ngeledek Edgar yang bakal dibales pake jitakan pelan. Rasanya seperti gue ngeliat refleksi diri gue dan Jev disana. Sebuah versi lain yang jauh lebih bahagia, sebelum mereka mendapatkan konflik mereka sendiri.
Dunia ini emang panggung sandiwara kan? Semua orang punya skenario masing-masing, punya konflik masing-masing yang harus dihadapi. Seperti apa yang dibilang oleh Dewi Lestari, hidup ini bahkan jauh lebih mengerikan. Air mata adalah air mata. Dan darah adalah darah. Lo harus menanggung semua sakitnya sendirian, karena nggak ada satupun pemeran pengganti yang tersedia untuk menanggung rasa sakit lo. Manusia, emang organisme lemah yang diciptakan untuk melukai, maupun untuk terluka. Kita semua nggak bisa mengelak dari kodrat itu.
Kemudian dia cerita tentang cewek yang dia temuin saat dia pergi ke bukit tempat kita ngeliat bintang sendirian. Cewek itu namanya Salwa. Dia kuliah keperawatan di universitas lain, tapi suka dateng ke kampus kita buat nganter-jemput adik ceweknya yang maba di fakultas teknik. Gue nggak pernah sempet ketemu sama si Salwa ini, tapi dari cerita Jev, gue tau dia baik. Lagipula, dia anak keperawatan, dan yang muncul di bayangan gue adalah sesosok cewek lembut dengan tangan yang cekatan dan sorot mata penuh kasih sayang khas sorot mata seorang ibu. Jauh di dalam hati, ada setitik kecemburuan, tapi juga sebentuk kelegaan. Paling nggak, seandainya gue harus pergi, entah itu sementara atau selamanya dari hidup dia, dia nggak akan pernah kesepian. Akan ada cewek yang bisa dia cintai tanpa rasa sakit. Dan mungkin emang gadis bernama Salwa itu orangnya.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kebanyakan terasa begitu singkat, hingga hari keberangkatan gue akhirnya tiba. Kalau lo ngebayangin ada adegan dramatis macem Cinta yang melepas kepergian Rangga di bandara, lo salah. Gue bukan Cinta, dan Jev sama sekali nggak punya kesamaan dengan Rangga selain suka nenteng buku tebel kemana-mana. Hanya ada satu malam yang kita habisin buat movie marathon film lawas Clue yang selalu jadi favorit Jev, kemudian sebaris pesan teks sebelum gue cabut ke belahan dunia lain yang bahkan nggak pernah gue bayangkan akan pernah gue datangi.
Take care. Belajar yang bener ya.
Singkat.
Tapi getarnya terasa dalam dada. Dan gue menangis di ruang tunggu bandara karena itu. Kampret. Bahkan dalam situasi kayak gitupun dia masih sempet-sempetnya bikin gue pengen menangis dan tertawa disaat yang bersamaan. Entah hati gue yang emang terlalu lemah, atau dia yang emang terlalu brengsek. Satu-satunya brengsek di dunia ini, yang nggak diragukan lagi bakal selalu gue sayangi sampai kapanpun.
Komunikasi masih terus berjalan setelah itu. Tapi makin lama frekuensinya makin berkurang. Kebanyakan dia cerita tentang kesehariannya, tentang Rama yang kabur ke Jogja nyusulin cewek keratonnya yang mendadak pergi gitu aja dari Jakarta, tentang Faris yang tiba-tiba menghilang entah kemana atau Edgar-Hana-Dio-Rinjani yang makin rumit. Cerita tentang Hana dan Edgar udah gue denger bahkan sebelum dia ngomong. Hana selalu ngajakin gue facetime tiap kali dia pikir dia butuh temen buat melampiaskan unek-unek, dan harus gue akui kalau masalah yang dia alamin emang berat. Bahkan jauh lebih berat dari masalah gue, bikin dia sempet dimusuhi sama temen satu kelasnya. Gue benci tiap kali gue denger ceritanya, karena bagaimana bisa gue ngaku sebagai temennya ketika gue bahkan nggak bisa ngelakuin apa-apa untuk bantu dia? berasa useless, tapi dia terlalu jauh, dan satu-satunya bantuan yang bisa gue kirim cuman doa.
Lalu suatu hari, komunikasi itu terhenti.
Bersamaan dengan gue yang menemukan orang lain.
Enggak, dia bukan orang Jepang. Namanya Kenzo, mahasiswa blasteran Cina-Jawa yang ada di Jepang untuk belajar Teknik Lingkungan di salah satu universitas negeri. Dia dateng ke Jepang bukan atas beasiswa, tapi karena notabene kedua orang tuanya yang bisa dibilang sangat berada. Ada satu dekik di pipi kanannya, berlawanan dengan lesung pipi yang ada di pipi kiri gue. Kita sempet ketemu berapa kali setelah kelas masing-masing kelar, juga terjebak hujan barengan di pelataran kampus. Dia memuji sketsa yang gue buat untuk buletin kampus, dan gue memuji lesung pipinya yang sedikit banyak mengingat gue sama seseorang yang entah sejak kapan gue terbiasa melewati waktu tanpa kehadirannya. Lalu secepat itu, kita sering bicara, dan jatuh terlampau dalam pada tawa masing-masing.
Gue nggak pernah mendengar berita apapun lagi dari Jev.
Sampai suatu hari, delapan bulan setelah gue pergi, Faris menelepon gue, pake panggilan internasional. Dia bilang kalau dia nggak lagi di Indonesia sekarang, melainkan cabut gitu aja ke Brussel, entah untuk tujuan apa. Well, satu hal yang gue tebak adalah dia melarikan diri dari sesuatu. Tindakan klasik yang udah gue duga cepat atau lambat bakal dilakuin seorang Faris. Semenjak gue tau dari Adrian kalau sebenernya Faris udah lama banget suka sama Cleo, gue tau segala sesuatu diantara mereka semua nggak akan pernah lagi sama. Bukan berarti persahabatan antara Faris dengan Jev udah selesai, hanya saja, sulit bagi mereka untuk nggak saling memandang diri satu sama lain sebagai saingan. Sebagai salah satu pihak yang nggak terkena efek dari semua itu, gue merasa lega.
"Raya," dia memanggil nama gue dengan deru frustasi saat itu. Kentara banget kalau dia lagi stress abis, entah karena masalah apa, gue nggak tau.
"Hm?"
"Was it easy?"
"Apanya?"
"Ninggalin orang yang lo sayang." Faris menghembuskan napas. "Apakah semudah itu?"
"Kalau yang lo maksudkan adalah dia, Faris, lo harus tau satu hal. Gue emang sayang ama dia. Dan bakal selalu sayang. Tapi situasi diantara kita udah nggak sama lagi. Gue udah nemuin orang lain. Akan sangat jahat buat dia kalau gue masih memikirkan sesuatu yang udah lewat antara gue sama sahabat gue sendiri. Kalau lo tanya apakah itu mudah apa enggak, harus gue akuin semua itu nggak mudah. Tapi hidup harus terus berjalan, Ris. Kita nggak bisa stagnan. Kita nggak boleh terpaku sama kenangan."
"Lo udah nemuin orang lain?"
Gue menghela napas. "Jangan bilang-bilang siapapun. Lo tau laki-laki bukan prioritas gue. I'm complete on my own. Gue hanya suka dia. dan dia suka gue. Sesederhana itu."
"Lo udah nggak komunikasi lagi sama dia?"
"Udah tiga bulan."
"Pantes." Faris tertawa hambar. "Gue nggak ngerti. Gue pikir urusan gue adalah situasi paling dramatis di dunia ini. Atau apa yang terjadi antara Hana ama Dio juga Edgar dan Rinjani, tapi semua itu salah. Lo berdua lebih complicated lagi. Nggak ada kata putus, terpisahkan jarak, dan kemudian... apa ini semua klimaksnya? Tolol. Kita semua hidup dalam drama."
"Maksud lo apa?"
"Jev." Ada jeda sebentar. "Dia jadian sama Salwa."
Ada sesuatu yang menghantam di ulu hati dengan keras. Tapi kemudian gue mencoba menguasai diri. Gue menghela napas dalam-dalam, berusaha terdengar datar, seolah apa yang barusan dibilang Faris sama sekali nggak ngasih pengaruh apapun untuk gue. "I'm happy for him."
"Don't lie to yourself, Raya. You still care, more than you want to. Just let him know."
"Biar apa coba? Keadaan nggak akan pernah berubah. Useless."
"Because I know deep down inside he's still care."
"He's not. Apa yang dia liat dari gue?"
"Lo mulai lagi." Faris mendengus. "Awalnya gue nelpon lo cuman mau minta tips, tapi kenapa gue jadi greget ya ngomong sama lo? Pantesan Hana suka kesel sampe pengen ngejedukin pala lo ke tembok. Lo emang pinter akademis, tapi gobloknya banget-bangetan kalau udah ngomongin yang ginian. Hati nggak perlu alesan."
"Drop that topic. Gimana kabar Hana dan yang lainnya, paling nggak sebelum lo kabur ke Brussel untuk urusan yang kayaknya udah gue tau apa."
"Makin memburuk. Hana mewek mulu. Edgar nggak ngerti harus ngapain. Dio makin sibuk ama diktatnya. Rinjani ama temen-temennya, yah lo tau lah kelakuan mereka gimana. Sejujurnya, gue ngerasa kasian abis sama Hana. Juga ama tuh Batak satu. Pengen deh gue kunciin Rinjani beserta geng porongnya di dalem kelas penuh uler sanca. Tapi karena gue belom pengen masuk penjara, yah gue nggak bisa ngapa-ngapain. Abis bekingan si Rinjani anak eksis semua."
"Kalian juga kan anak eksis."
"Jev bukan lagi anak eksis. Begitupun dengan Adrian yang gue nggak ngerti kenapa mukanya jadi menghilang kesegarannya. Aries emang penghisap kehidupan. Rama ya udah lo tau sendiri gimana kelakuannya. Dia kabur ke Jogja gitu aja, nggak bilang-bilang, buat ngejar tuh matahari senja kesayangannya."
"Matahari senja kesayangannya?"
"Si cewek keraton."
Gue ketawa. "Oh."
"Raya," Faris tiba-tiba memanggil. "Gue boleh minta saran nggak?"
"Apa?"
"Gimana caranya ngilangin sakit karena kangen sama orang yang seharusnya nggak lo kangenin?"
Gue terdiam sejenak. "Just believe in fate. If she is destined to be in your life, then she will never go anywhere. Never in billion years, she'll become someone else's."
"Raya."
"Apalagi sih?"
"Thanks."
"Yep."
"Take care ya."
"Lo juga."
Dan disanalah sambungan telepon kita diputus. Bodoh. Raya emang selalu bodoh. Jev jadian sama Salwa. Gue sama Kenzo. Terus apa bedanya? Terus apa masalahnya? Gue menghela napas panjang. Gue baik-baik aja. Gue akan selalu baik-baik aja. Seperti apa yang tadi gue bilang ke Faris kan? Mungkin gue emang nggak ditakdirin untuk berada dalam hidup dia. Mungkin ini semua akhirnya, bahwa andil gue dalem hidupnya cuman sampe sini. Nggak ada yang abadi di dunia ini, apalagi sesuatu yang serapuh persahabatan, yang bisa terhapus karena jarak, atau karena cinta yang nggak seharusnya ada.
Gue baik-baik aja.
Tapi gue tertidur dengan bantal yang basah malam itu.
[][][]
"Are you alright?"
Suara Kenzo membuyarkan lamunan gue, bikin gue secara otomatis nengok ke dia. Melamun di tempat seperti ini adalah sesuatu yang fatal, karena pada detik berikutnya, kaki gue terpeleset dari pijakannya di permukaan berkapur yang licin. Gue mungkin udah nyusruk ke tanah dan berpotensi jatuh bergulingan beberapa meter ke bawah kalau Ken nggak dengan cepat mengulurkan tangan, meraih salah satu lengan gue, dan menarik gue ke arahnya segampang narik boneka kain. Gue menubruk dadanya. Keras. Bikin muka gue memerah meskipun seharusnya gue merasa kedinginan di tempat yang kayak gini.
"Ceroboh banget sih." Ken menggerutu. "Di tempat kayak gini, kamu nggak seharusnya melamun kayak gitu. Ini di gunung loh, Ra."
Gue nyengir. "Maaf."
Apa yang dia bilang barusan emang bener. Kita lagi ada di gunung sekarang. Gunungnya nggak terlampau tinggi, cuman gunung yang biasa didaki para pemula minim pengalaman, itupun udah cukup bisa bikin gue ngos-ngosan meskipun kita belum sampe puncak sama sekali. Gue nggak pernah naik gunung sebelumnya, juga nggak pernah terpikirkan akan melakukan itu, tapi pada akhirnya, disinilah gue sekarang. Ken adalah salah satu dari sedikit orang, selain Jev, yang bisa bikin gue tercebur paksa mencoba berbagai pengalaman baru. Beberapa bulan setelah gue balik dari Jepang, Kenzo balik, muncul tiba-tiba di depan pintu rumah gue dan ngajakin gue naik gunung. He's crazy, but not as crazy as him.
"Raya," Ken berbisik, selama sebentar ngeliatin gue dengan ragu. Matanya yang nggak lebih sipit dari mata gue keliatan penuh dengan gejolak emosi. "Its all about him again, isn't it?"
"No." gue menjawab tegas, meskipun gue sendiri nggak yakin. "Tapi ini Desember, Ken. Hari ini hari ulang tahunnya. Aku nggak bisa nggak berpikir tentang dia. Maaf. Tapi tentu aja aku inget dia bukan secara romantis, kalau itu yang kamu pikirin." Masih nggak yakin, karena ketika mengingat gimana hampir dua tahun yang lalu gue memegang cupcakes dalam kamar kosnya yang gelap mendadak bikin gue pengen nangis.
"Then wish him a happy birthday."
"Nggak ada sinyal disini." Gue ketawa.
"Coba kirim aja." Kenzo tersenyum, bikin satu lesung pipinya kembali terlihat. "Kalau emang Tuhan menghendaki, pesannya bakal nyampe kok. Ada nggak ada sinyal."
"Oke." Gue senyum, lantas mengetikkan satu kalimat pendek di kolom chat Line yang entah sejak kapan sekosong itu. Lantas setelah men-tap tombol send, gue kembali menatap Kenzo. "Ken, wanna hear something?"
"Tell me."
"Anata ga ireba shiawase desu."
Senyum Kenzo melebar. "I know, baby. I know."
Gue balik tersenyum ke dia, sebelum akhirnya mengubah arah badan gue, menghadap ke jurang yang seakan nggak berujung, menatap pada pepohonan dan garis yang menghijau di kejauhan. Lantas pada matahari dan sinarnya yang redup. Pada Edelweiss yang merunduk dalam diam. Lalu gue menunduk, ngeliat ke layar ponsel gue dan tersenyum samar saat menyadari kalau pesan Line gue gagal terkirim. Mata gue bergerak membaca tulisan itu sekali lagi.
O-tanjoubi omedetou gozaimasu. Itsumo taisetsu ni omotteruyo.
Dan gue menghapusnya.
[][][]
JEV
Welcome again, campus life.
Ada yang beda dalam awal semester ini. Mungkin karena ini adalah semester baru yang gue mulai dengan kehadiran seorang Salwa di samping gue. Atau mungkin karena di semester ini, seseorang yang telah lama hilang sosoknya dari hidup gue bakal muncul kembali. Gue udah denger dari Faris dan Adrian kalau dia udah nemuin orang lain, seseorang dengan lesung pipi dan lidah yang jago melafalkan kosakata mandarin. Gue seharusnya ngerasa seneng, tapi ternyata enggak. Bukan berarti gue cemburu. Gue sayang Salwa, dan dia terlalu berharga untuk jadi pelarian orang brengsek kayak gue. Tapi Raya udah terlalu lama ada di hidup gue, dan membayangkan kalau pada akhirnya posisi gue terganti oleh orang lain... I don't know, it doesn't feel right.
"Harusnya kita bikin welcoming party buat dia!" Hana berseru sambil menatap gue lekat, sementara Edgar di sampingnya cuman geleng-geleng kepala. Mungkin lelah ngeliat kelakuan ceweknya yang bahkan nggak pernah bener walaupun udah setahun lebih berlalu.
"Na, santai dong."
"Gimana gue bisa santai?!!! Plis udah lama banget gue nggak ngeliat tuh kutu kupret satu!!" suara Hana justru makin gede. "Gimana kalau kita bikin welcoming partynya di kosan lo aja, Jev? Itukan tempat sejuta kenangan buat lo berdua!"
"Hana," Edgar memotong. "Jev udah sama orang lain sekarang. Begitupun dengan Raya."
"Yah terus? Emangnya gue nyuruh nih cowok bolot satu ngawinin Raya? Kaga kan? Kita cuman mau bikin welcoming party. Titik."
"Gue sih terserah."
"Yakin nih Salwa nggak bakal ngamuk?"
Gue menyesap jus jeruk gue. "Dia bukan cewek kayak gitu."
"Ya-ya, terserah." Edgar mengibaskan tangan. "Weits. Tunggu bentar. Panjang umur dia, tuh orangnya lagi jalan kesini. Itu Raya kan ya?"
Omongan Edgar bukan cuman bikin kepala Hana seliweran kesana kemari macem soang lagi mencari sasaran sosor, tapi juga bikin jantung gue kayak berhenti berdetak selama beberapa saat. Gue bahkan sempet nggak berani berbalik, sampai akhirnya rasa penasaran menguasai gue, bikin gue mau nggak mau nengok ke belakang. Dan bener apa yang dibilang Edgar. Dia ada disana, lagi jalan. Rasanya kayak nggak ada yang berubah dari dia, selain rambutnya yang kini udah terlihat jauh lebih rapi dan mukanya yang memucat. Ada beberapa yang berbeda, tapi selebihnya dia tetap Raya. Raya Alviena yang gue kenal. Gue cuman bisa terdiam, sampai akhirnya jeritan heboh Hana menyadarkan gue.
"RAYAAAAA!! ANJING LO YA, KENAPA BARU NONGOL SEKARANG?!!! BUKANNYA LO UDAH BALIK DARI BULAN-BULAN KEMAREN?? DASAR TEMEN DURHAKA!!!" Hana langsung hiperaktif macem knalpot bajaj, nggak peduli gimana orang-orang di kantin ngeliatin dia dengan lekat. Tuh cewek bangun, lantas jalan dengan cepet menuju Raya dan menubruknya ke dalam sebuah pelukan. Pemandangan klasik. Raya cuman ketawa, sementara Hana sibuk nagihin oleh-oleh. Gue sama Edgar? Jadi penonton yang cengo.
Semenit kemudian, dia menarik kursi yang ada di sebelah gue—karena itu kursi satu-satunya yang kesisa—lalu duduk dengan salah tingkah. Gue membisu, menatap dia dengan rindu dalam diam.
"Hai. Apakabar semuanya?"
Edgar nyengir. "Yah menurut lo aja."
"Kayaknya baik."
"Semuanya perlahan membaik, Raya." Edgar bilang tiba-tiba. "Nggak ada kebahagiaan yang abadi. Begitu pula kesedihan."
"Idih najis." Hana berkomentar.
"Najis juga lo demen kan."
"Iyain aja deh biar cepet."
Dia tersenyum, lalu dia melirik gue, bertepatan dengan gue yang melirik ke dia. Tokai laler. Kenapa bisa timingnya nggak pas gitu sih. Dia terdiam, begitupun gue. Nggak ada senyum, nggak ada tawa, apalagi sapa. Hanya hening yang bikin baik Edgar maupun Hana mengangkat alis. Gue menghembuskan napas, dan tanpa gue perlu bicara, gue rasa kita berdua sama-sama udah tau apa jawabannya.
So we're back to the way we started. As strangers.
Bersambung.
[][][]
a/n : Dum dum dum
Soal ending, masih ada dua pilihan ending. Apakah happy atau sad.
Terserah kalian :P
Okedeh. thankyou udah nyimak sampe sini. Ah ya, pengisi konten multimedia hari ini adalah Raya, dan backsoundnya adalah lagunya Laluna yang Selepas Kau Pergi.
Gue nggak bisa lama-lama karena besok bakal ada acara, so see you in the next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top