Dua Puluh Lima - Bintang

EDGAR

Setelah Hana terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya dan itu berarti yang gue maksud disini adalah dia berenti nangis, gue memutuskan buat nganterin dia balik ke kosannya. Dia diem sepanjang perjalanan, cuman nyenderin kepalanya ke kaca mobil sambil menatap ke kejauhan, yang terus terang aja bikin gue khawatir. Bukan apa-apa, Hana ini otaknya udah rada geser, jadi bakal mungkin aja begitu gue nurunin dia di kosan, dia bukannya akan langsung masuk cuci tangan cuci kaki gosok gigi terus bobo, tapi justru keluar, menyusuri jalanan dengan random. Sukur-sukur kalo nemu jembatan, jadi bisa lompat sekalian. Gila aja. Dia emang geser. Emang rese. Tapi dia tetep sohib gue dan... gue cuman nggak bisa aja ngeliat dia nangis sampe sesedih ini. Sesuatu yang alami menurut gue. Sikap gue yang protektif, yang nggak mau ngeliat dia terluka adalah sesuatu yang wajar, bukan berarti karena gue punya romantic interest tersendiri buat Hana. Tapi ya gimana sih.

Dia sohib gue.

Mau seluruh dunia menilai dia seperti apa, selamanya bagi gue Hana adalah orang yang nggak seharusnya dibikin sakit atau terluka, bahkan oleh Dio sekalipun. Karena dia sohib gue. Karena dari semua orang yang gue kenal, dia adalah salah satu yang lebih pantes untuk bahagia, untuk senyum daripada nangis karena sesuatu yang nggak seharusnya dia tangisin.

Hana masih aja diem begitu gue nurunin dia di depan kosannya. Mukanya masih pucat dan lembab, sementara matanya sendiri bengkak sampe nyaris nggak berkelopak karena kebanyakan mewek. Dia menggumamkan sesuatu ke gue begitu gue turun dari mobil untuk nganterin dia masuk, mastiin kalau dia nggak bakal ngelakuin hal bodoh, at least untuk malam ini.

"Lo ngomong apa?"

Dia nangis lagi. Fak. Gue salah ngomong apa lagi?

"Hana,"

"Gue tadi tuh bilang makasih." Dia terisak, ngapus paksa air matanya pake punggung tangan. "Budek lo kurang-kurangin dikit-lah, Tak." Katanya mengejek, masih sambil mewek. Ck. Kelakuan ama kata-kata bener-bener nggak singkron.

"Bego."

"Lo kali yang bego. Hiks."

"Yaudahlah terserah lo." Gue menatap dia sebentar, lantas dengan begitu aja, badan gue gerak dengan sendirinya untuk meluk dia. Sebelah tangan gue nepuk punggungnya pelan, sementara yang sebelah lagi ngacak rambutnya. "Lo bakal baik-baik aja, Hana."

"Kalau nggak ada elo? Emang." Jawabnya mencerca, masih dengan nada khas orang yang baru aja nangis.

"Monyet."

"Itu elo."

"Gue iyain aja deh biar cepet." Kata gue sambil ngelepasin pelukan, kemudian natap dia selama beberapa jenak, terus membungkuk sedikit buat nyium pipinya, di bagian deket telinganya. "Lo mau gue jemput besok?"

"Gratis?"

"Harus bayar. Pake cinta."

"Kalau itu sih gue juga udah ngasih tiap hari ke elo, Tak."

Gue mengangkat sebelah alis sambil senyum-senyum sok misterius. "Jadi... ini artinya... selama ini..."

"Ya enggaklah, tolo. Kalau itu yang lo maksud," dia nonjok bahu gue. "Maksud gue, belangsak-belangsak nggak jelas begini, lo tetep temen gue. Mana ada temen yang nggak sayang sama temennya. Ya kan?"

"Gue nggak tuh. Gue nggak sayang sama lo."

"Anjing lo."

Gue ketawa aja. "Iya. Gratis kok. Okedeh, sampe ketemu besok ya. Sana masuk duluan."

Hana ngangguk aja sembari melambaikan tangannya sementara gue balik jalan ke mobil. Gue diem sebentar disana sampe gue liat dia bener-bener masuk ke dalem kosannya, baru kemudian gue ngejalanin mobil gue ninggalin pelataran parkir kosannya yang luas. Besoknya, ketika gue ngejemput dia, ada bola tenis ngegantung di matanya. Muehehe. Bukan bola tenis beneran, tentu aja, maksudnya tuh kantong matanya gede banget gara-gara dia kebanyakan mewek. Gue langsung ngakak begitu dia masuk mobil, yang dia bales dengan nyubit lengan gue keras-keras.

Padahal kan nggak salah ya kalau gue ngakak?

Soalnya anak-anak sekampus juga pada ngakak begitu liat komuknya Hana.

Dan disinilah kita sekarang, ngumpul di kantin teknik seperti biasanya-mengingat diantara kita semua, anak teknik adalah yang paling mendominasi. Well, nggak juga sih. Anak-anak teknik kan cuman Hana, Jev juga Raya, jumlahnya sama kayak gue, Adrian dan Faris yang sama-sama anak seni-rupa-desain. Rama anak Bisnis nggak keitung dan jangan tanya gue soal tuh anak kedokteran karena gue lagi males bahas dia. Bagus banget dia nggak nongol sekarang, karena gue nggak yakin bisa nahan diri gue buat nggak emosi ke dia-dan percayalah, ribut di depan kawanan kambing meksiko ini sama sekali nggak bakalan asik. Tapi ya itu, lupakan fakultas, semua orang juga tau kalau kantek adalah tempat paling asik buat nongkrong mengingat posisinya yang strategis.

"Lo kenapa deh, Na?" Raya kembali nanya untuk yang kesekian kalinya. "Oy anak babi, jawab gue dong."

Hana menghembuskan napas. "Gue nggak papa."

"Ngaca dulu coba sebelum lo ngomong." Faris mencibir. "Komuk lo udah macem istri bang Toyib tau ngga. Nggak karuan. Berantakan. Kenapa sih? Si abang beneran nggak pulang-pulang?"

Rama dan Faris ngakak serempak sedetik berikutnya, cuman mereka langsung berenti ketawa begitu gue ngasih satu pelototan sangar ke mereka. Ya-ya, gue tau gue nggak seharusnya melototin mereka sampe kayak gitu karena mereka cuman bercanda, ditambah lagi mukanya Hana yang emang selalu jadi sasaran empuk buat dibully, tapi gue juga tau Hana lagi mellow abis sekarang dan ngingetin dia sama Dio bakal cuman bikin dia tambah sedih.

"Kenapa sih?" Raya masih keliatan penasaran, matanya menyipit ke Hana dengan kesel. "Lo nih kampret banget, Na. Cerita-lah, buruan."

"Nggak ada apa-apa."

"Oh cukup tau ya gue."

"Lah elo sendiri nggak cerita ke gue." Hana cemberut. "Impas dong."

"Cerita apa?"

"Lo ama nih curut satu," mata Hana pindah ke Jev, "Kalian udah baikan?"

Raya dan Jev berpandangan bentar, lantas Raya mengalihkan pandang lagi dengan jengah sementara Jev cuman berdehem aja. "Yaaaa... menurut lo aja gimana."

"Yaudah, kalau gitu jawaban gue juga... yaaaa. Menurut lo aja gimana."

"Yohana, nggak lucu."

"Lo liat dong muka gue, emangnya gue keliatan kaya lagi ngelucu? Gila kali lo."

Selama beberapa saat, kita cuman bisa jadi penonton debat kusir antara Raya dan Hana. Mereka saling nyerocosin sesuatu tentang basreng, tentang curhat, tentang aibnya Raya, tentang aibnya Hana dengan kecepatan turbo, yang bikin buat cuman gue, tapi Faris, Adrian, Jev juga Rama cuman bisa melongo.

"Dio, kan?" satu kalimat dari Raya mendadak bikin Hana bungkam seribu bahasa. "Bener kan tebakan gue. Ini semua gara-gara Dio."

"Lah emangnya lo diapain sama Dio deh, Na? Ditolak? Apa jangan-jangan dia udah sadar?" Rama ketawa geli. "Pelet lo kurang manjur kali, kudu diisi ulang."

"Diem lo Wardah bangsat."

"Edgar," Jev ngalihin pandang ke gue. "Lo pasti udah tau kan?"

"Waduh bos, lo menyimpulkan dari mana coba?"

"Karena lo nggak kepo kayak yang lainnya. Jadi lo pasti udah tau."

"Iya, gue tau. Tapi gue sendiri nggak ngerti situasinya. Gue bahkan bingung apakah gue harus ngadepin Dio buat minta penjelasan dia udah ngapainin anak babi garong kesayangan gue, atau langsung tonjok aja tanpa basa-basi."

"JANGAN." Hana motong sambil melotot galak ke gue. Bujubuset. "Jangan apa-apain Dio."

"Tapi ini kan nggak bisa dibiarin, kampret."

"Biasa aja bisakali, dodol." Hana ngegeplak pala gue pake tangannya, terus dia menghela napas dalam-dalam. "Nggak perlu ngapa-ngapainin Dio. Ini bukan salah dia. Guenya aja yang terlalu baper, berpikir kalau dia suka sama gue. Ya gitu. Lupain aja."

Raya mengerjapkan matanya dengan takjub. "Na... maksud lo..."

Hana ngacak rambutnya sendiri, terus dia menunduk, menopang dahi pake kedua telapak tangan. "Gue nyerah."

"Hah?" Adrian keselek minuman yang lagi dia teguk.

"Gue nyerah buat ngedapetin Dio." Hana mulai menggumamkan ikrar sakral yang bahkan nggak gue duga sebelumnya. "Gue nyerah. Gue nggak bakal lagi nyoba buat ngedeketin dia."

"ANJIR LO SERIUS?" Raya melotot nggak percaya, reaksi lebay yang sama sekali nggak gue duga bakal muncul dari dia. Sama aja kayak Jev, Rama dan Faris yang sama-sama menatap Hana dengan pandangan takjub bercampur bertanya-tanya. Gue sendiri kaget. Hana adalah pribadi paling pantang mundur begitu menyangkut soal cogan calon belahan jiwa imam masa depan sekaligus ayah dari anak-anaknya Dio Alvaro. Kalau sekarang dia bilang dia nyerah... entah kenapa rasanya bener-bener kayak bukan Hana.

Hana cuman ngangguk lemes, terus ngejatohin kepalanya gitu aja ke meja. Dalam posisi itu, matanya mengarah ke gue dengan jenis tatapan yang nggak biasa. Dan gue tau apa arti tatapan itu. Dia nggak mau gue ngelakuin sesuatu yang buruk ke Dio.

"Jam dua lewat delapan belas menit dua puluh empat detik," Rama ngeliatin jam yang nangkring di pergelangan tangannya. "Seorang Yohana Doang akhirnya menyerah buat ngedapetin Dio Alvaro. Catet waktunya, Ris. Buset ini sejarah penting untuk umat jomblowan jomblowati Indonesia tau."

Faris ngakak, disusul Rama dan Jev sesaat setelahnya.

Gue? Gue hanya menghela napas sambil tersenyum samar dan menganggukkan kepala ke Hana dengan gerakan yang nggak kentara. Hana keliatan lega, tapi dia sama sekali nggak ngangkat kepalanya dari meja, meskipun Raya mulai sibuk ngutak-ngatik rambutnya yang menyebar di meja biar dia ngangkat kepalanya dan menegakkan punggung.

"Sushi Tei deh abis ini. Gue yang bayarin."

"Kita semua?" Adrian ngangkat sebelah alis.

"Enak aja. Kalau lo semua, itu sama aja lo pada ngerampok gue." Gue mutar bola mata. "Khusus untuk menghibur Hana yang lagi patah hati aja. Makanan kalian ya tanggung jawab kalian lah, bray."

"Payah lo."

"Lah emangnya kalaupun gue yang neraktir, lo bakal bisa ikut heh?" gue ngeliat ke Rama dengan pandangan mengejek. "Lo kan harus ngurusin bocah ningrat kiriman eyang puteri lo itu."

"Monyet."

Gue ngakak.

"Na, gue traktir Sushi Tei mau nggak?"

"Hmmm." Reaksinya biasa aja. Sumpah deh, dia nggak mungkin sesedih itu sampe nggak ngasih reaksi apapun pas gue bilang mau neraktir dia makan sushi kan?

"Sepuasnya."

Begitu denger kata tambahan tersebut, Hana langsung ngangkat kepalanya dari meja dengan kecepatan turbo. "Beneran?"

"Yaelah. Dasar kuli."

"Oke dah. Kemanapun kau membawaku, aku akan turut serta bersamamu, Batak Sayang."

"Yieks."

Hana ketawa. Dan yang lainnya juga ikut ketawa.

Gue menatap Hana, ngeliat gimana cara dia ketawa, dan gue berpikir bahwa betapa tawa lebih cocok terlihat di mukanya daripada air mata.

Dia emang nggak seharusnya tersakiti.

Tapi dari dulu, dia terlalu sering jatuh cinta sama orang yang salah.

Kapan dia bisa berenti jatuh cinta sama orang yang salah?

That question remains unanswered.

[][][]

JEV

Satu minggu berlalu dengan smooth, dan perlahan semuanya kembali lagi seperti semula-meskipun gue sendiri nggak ngerti gimana status antara gue dan Raya yang sebenernya. Tapi yah, gue sendiri memutuskan untuk nggak menuntut terlalu banyak. Gue tau Raya butuh mikir, butuh waktu sendiri, butuh untuk ngelewatin semua ini perlahan-lahan. Seiring dengan hari yang kita lewatin, gue mulai paham bahwa sebenernya masalahnya bukan ada di temen-temen gue, atau diri gue (walaupun bisa dibilang gue selalu jadi biang masalah dalam hidupnya dari jaman orok) atau pada sifat ansos Raya yang terlalu berlebihan. Masalahnya bukan disana, tapi satu ketakutan tuh cewek ke sesuatu yang sebenernya gue pikir nggak perlu ditakutin. Selama gue kenal dia, nggak pernah ada satupun dari temen-temennya, atau mantan-mantannya yang memperlakukan dia seperti yang gue lakuin. Bukannya GR. Bukan gitu, tapi emang kebanyakan orang dalem hidup dia tuh kalau nggak tipe-tipe manusia-manusia jelmaan anjing, pasti jelmaan babi kalau nggak jelmaan monyet. Belangsak dan brengsek semua. Tipe manusia bermuka dua yang muji di depan dan mencibir di belakang. Tipe orang yang bakal cuman dateng kalau ada maunya, lantas begitu keperluan mereka selesai, mereka bakal pergi gitu aja. Nggak ada pesan, nggak ada kesan, boro-boro nyapa kalau ketemu, tuh manusia-manusia jelmaan anjing-monyet-babi justru melengos sok nggak kenal. Tayi. Bukan salah dia kalau dia kemudian kehilangan kepercayaan sama orang lain. Termasuk gue.

Karena gue tau, satu-satunya orang yang dia percayai di dunia ini cuman dirinya sendiri.

Gue nggak tau apakah itu baik atau buruk, meskipun anjing, gue harus ngakuin kalau ada sedikit sakit yang samar ketika gue berpikir bahwa dia nggak pernah sungguh-sungguh percaya sama gue. Gue jadi ngerasa kalau gue nggak cukup pantes nyebut diri gue sendiri sebagai sohibnya-karena ya ampun, coba pikir, berapa belas tahun gue sama dia sampe sekarang dan dia nggak pernah bener-bener percaya gue setelah kenal gue selama lebih dari tiga kali periode pemerintahan presiden? Buset deh. Itu gue belangsak apa gue belangsak. Tapi di sisi lain gue juga ngerasa seneng, karena ketidakpercayaan membuat dia jadi nggak mudah berekspektasi sama orang, termasuk gue. Dan ketika lo enggak mengekspektasikan apapun dari orang lain, lo nggak akan mudah terluka.

Gue nggak mau maksa dia.

Karena dari semua orang yang pernah gue kenal, dia adalah salah satu orang paling rapuh yang pernah gue tau. Dia adalah paradoks yang nyata. Dia dingin, keliatan sombong dan nggak terjangkau layaknya utopia, seperti dia punya dunia sendiri yang bikin dia nggak ngebutuhin orang lain di sekitarnya, tapi sebenernya nggak begitu. Dia mungkin hidup di dunianya sendiri, tapi dunia itu begitu sepi. Jauh dalam dirinya, gue tau dia suka bertanya-tanya, apa yang salah dengan diri dia, kenapa dia nggak bisa seperti yang lainnya, yang nggak punya masalah untuk memulai komunikasi sama orang baru, yang nggak perlu ngerasa gugup tiap kali harus ngomong saat mesen makanan di restoran cepat saji. Dia bisa aja ketawa nggak jelas untuk sebuah jokes receh atau sesuatu yang sebenernya sama sekali nggak penting selama lebih dari lima menit, tapi dia bisa aja berubah jadi mellow pada detik berikutnya. Dia layaknya Monalisa karya Da Vinci. Atau emoji smiley sederhana. Rumit dan penuh dengan berjuta makna.

Dulu, waktu kita masih SMP, gue pernah mergokin dia ngelakuin sesuatu yang bener-bener bikin gue shock abis. She did something like self-harm. Tapi mungkin nggak sampe separah self-harm yang biasa dilakuin sama anak-anak bule di Benua Biru sana dimana mereka biasanya sampe berani nyayat nadi mereka sendiri tiap kali ngerasa stress. Saat itu gue nggak ngeliat dia selama beberapa hari, karena gue sibuk sama ekskul pramuka yang gue ikutin. Kejadiannya nggak lama setelah ulangan tengah semester, dimana gue denger-denger sih Raya dapet deretan nilai yang bukan cuman bagus, tapi cukup luar biasa buat gue si anak males yang buat ngitung luas segitiga aja kudu nyontek rumusnya dulu dari buku catetan. Nyaris semua mata pelajaran dia kena nilai sembilan, bahkan ada yang seratus. S e r a t u s. Kampret banget nggak sih. Dan dia sama sekali nggak bagi-bagi jawaban ke anak-anak sekelas pas UTS-termasuk ke gue. Bangke. Berasa nggak dianggap banget gue sebagai sohibnya dari jaman kita masih pake rok merah-eits maksud gue dia yang pake rok merah, gue mah pakenya celana merah.

Pas gue mergokin dia, tangannya udah pada biru semua gara-gara dia gigitin. Iya. Dia gigitin sumpah serem banget deh. Itu jenis gigitan dimana bekasnya nggak bakal ilang dalam seminggu, soalnya biru abis kayak orang abis ditonjokin atau dicubit pake tang besi. Gue kaget, dan gue masih inget banget apa yang gue lakuin sedetik setelah ngeliat dia kayak gitu.

"Anjrit, Ra! Lo ngapain!?"

Dia berpaling ke gue, keliatan kaget sekaligus panik. Dan dia nggak jawab apa-apa, sementara gue ngeliatin bekas biru di tangannya dengan pandangan ngeri. "Lo ngapain?!" gue masih kecil waktu itu, yaiyalah lo kira aja kita baru mau menjelang naik ke kelas tiga SMP coba aja lo pikirkan mana gue paham soal gangguan psikologis macem self-abuse.

Dia masih nggak jawab.

"Raya, lo ngapain? Kalau lo masih nggak jawab juga, mau nggak mau gue kudu bilang ke bokap-nyokap lo nih."

Dia menggigit bibir, kemudian memohon ke gue untuk nggak ngasih tau bokap-nyokapnya dia. Gue cuman bisa menghela napas, masih syok dengan apa yang baru aja gue saksikan. Lantas kita memutuskan untuk jalan menyusuri jalanan komplek, ke TK deket rumah, kemudian duduk bersebelahan di ayunan yang ada disana. Karena masih siang, tuh TK nggak terlalu rame. Nggak ada anak kecil dengan muka putih penuh bedak yang biasa meluncur di perosotan atau rebutan naik ayunan seperti yang biasa gue liat ketika hari menjelang sore. Sambil mengayun pelan ayunannya, akhirnya Raya cerita ke gue kalau dia nggak maksud ngelakuin semua itu. Dia cuman ngerasa kesel. Kesel banget bukan hanya sama lingkungan sekitarnya, tapi juga sama dirinya sendiri. Begitu kesel, sampe dia nggak bisa nahan diri buat nggak ngelakuin tindakan yang menurut gue sinting itu.

Dia dijadiin bahan bully di sekolah.

Iya, dia dibully karena nilai UTS-nya yang bisa dibilang bagus tapi dia pelit bagi-bagi jawaban ke anak yang lain. Anak-anak mulai ngejekin dia, manggil dia dengan sejuta julukan aneh yang mengesankan bahwa bagi mereka, dia nggak pantes dapetin semua nilai itu. Lantas bukan cuman sampe disitu, mereka juga mulai menyoraki dia, mulai mencerca ketika dia lagi ngelakuin presentasi di depan kelas untuk sejumlah tugas mata pelajaran tertentu. Dan dari sana, menurut gue, adalah awal dari sifat ansos yang dia punya. Dipermalukan di depan umum membuatnya punya traumatik tersendiri untuk tampil atau menonjolkan diri di depan orang lain.

"Jev," dia bergumam begitu dia selesai cerita, sementara matanya sendiri udah berkaca-kaca, dan gue liat ada getar samar yang tertahan di bibirnya. "Apa yang salah dari gue? Kenapa mereka ngelakuin itu ke gue? Gue nggak pernah bikin salah apapun ke mereka kan?"

Gue menghela napas, menatap dia dengan lekat. "Lo nggak salah, Raya."

"Tapi kenapa?" dia menggigit bibirnya. "Kalau gue nggak salah... kenapa mereka begitu?"

"You," gue mendesah pelan. "are a terribly real thing in a terribly false world, and that, I believe, is why you are in so much pain."

Dia berpikir sejenak. "Jadi gue nggak salah?"

"Nggak, Raya." Gue tersenyum ke dia, yang bikin dia ikut melebarkan senyum, walaupun dengan perlahan. "Lo nggak salah. Jadi, jangan pernah ngelakuin hal kayak gitu lagi. Kalau gue liat ada bekas lebam atau bekas luka lagi di tangan lo, gue nggak bakal mikir dua kali buat ngelapor ke orang tua lo."

"Kalau misalnya gue jatoh gimana? Gue kan sering jatoh kali."

"Lah, lo kira gue nggak bisa ngebedain apa?"

Dia menghela napas, terus ketawa. "Gue janji."

"Janji dibuat untuk ditepati loh ya. Bukan dilanggar. Kecuali peraturan tuh baru wajib dilanggar."

"Yakali."

Dia cuman ketawa aja sambil setengah mencibir, tapi gue tau dia bener-bener menepati janji yang udah dia buat. Sejak hari itu, gue nggak pernah liat dia ngelakuin tindakan berbahaya itu lagi.

"Langitnya bagus." Suara gumaman seseorang mendadak menarik gue keluar dari lamunan gue, bikin gue otomatis langsung nengok ke sebelah gue. Disana ada Raya, tentu aja, lagi duduk dengan secangkir teh hangat di tangan dan mata yang terpaku ke langit. Sesuai dengan permintaan gue minggu lalu waktu gue ngasih surprise buat ngerayain ulang tahunnya, kita pergi ngeliat bintang hari ini, di sebuah jajaran perbukitan yang nggak begitu jauh dari kosan. Udara dingin, tapi yah, bukannya itu yang bikin jagung bakar juga teh panas jadi kerasa dua kali lipat lebih enak dari biasanya. Sekarang mungkin udah tengah malem, karena suasana makin hening, cuman sesekali kedengeran suara jangkrik di kejauhan atau gesekan daun yang ditiup angin. Satu-satunya manusia lain di sekitar sana selain gue dan Raya paling banter juga beberapa pasangan sejoli lainnya (hasek amat bahasa gue) dan pedagang jagung bakar.

"Hm. Gitu ya?"

Dia menghembuskan napas, terus ngalihin pandang ke gue. "Lah? Lo ngapa ngeliatin gue? Liat tuh ke atas tuh banyak bintangnya kan. Katanya lo kesini mau ngeliatin bintang."

"Abisnya yang di sebelah gue lebih menarik buat diliat daripada bintang."

"Jev."

"Iya, Rays?"

"Nama gue Raya, jangan lo plesetin jadi merek produk keripik." Dia mendengus. "Kalau mau liatin gue, ngapain jauh-jauh kita kesini, dodol? Mending di kosan aja kali."

"Jadi kalau di kosan boleh?"

Mukanya memerah. "Ya bukan gitu juga maksud gue."

"Terus maksud lo apa?" gue ketawa. "Aih, mukanya merah. Lo mikirin apa sih sebenernya, Ra?"

"Bacot ah diem. Gue mau liat bintang." Dia kembali menatap ke atas, ke langit yang emang lagi cerah banget karena sekarang emang lagi masa-masa musim kemarau. Nggak banyak awan mendung di langit, jadi bintang maupun bulan yang cuman separoh bisa keliatan jelas. Cahayanya yang samar, terangi malam, menciptakan bayang-bayang di beberapa tempat.

Kita diem selama beberapa saat. Sampe kemudian dia menyeruput tehnya, lantas, secara nggak sengaja, matanya kembali terpaku ke gue yang masih aja lebih memilih ngeliatin dia daripada ngeliatin langit bertabur bintang di atas kita.

"Jev, jangan kayak tokai kuda deh. Berenti liatin gue."

"Gue kan punya mata, Ra."

"Ya tapi liatnya ke atas kali, ngapain liatnya ke gue." dia mendesis, keliatan banget mukanya lagi ngerasa bête abis. Gue suka ekspresinya yang kayak gitu, bikin gue pengen narik lehernya, lantas menghela napas di helaian rambutnya. Sial. Tapi tentu aja gue harus menahan diri, nggak peduli seberapa besar keinginan gue buat narik dia ke dalam pelukan. Gue nggak bisa ngambil resiko melangkah terlalu jauh. Enggak, kalau resikonya dia bakal menghindari gue lagi kayak kemaren-kemaren. Kejadian kemaren-kemaren udah cukup bikin bukan hanya dia, tapi juga gue tersiksa.

"Daripada liat ke masa lalu yang nggak penting, mending gue ngeliatnya ke masa depan gue aja."

"Hah? Lo ngomong apa? Nggak kedengeran."

Berhasil ngegombalin seorang Raya Alviena mungkin bakal jadi keajaiban dunia kesekian.

"Emangnya lo nggak tau kalau bintang itu cahaya masa lalu?"

"Hah? Maksudnya?" dia nanya sambil ngunyah jagung, bikin gue berdecak. Sambil nahan senyum geli, gue ngulurin tangan buat ngebersihin bekas butiran jagung yang nempel di sisi kiri bibirnya. Mukanya langsung memerah, tapi nggak lama. "Maksudnya cahaya masa lalu apa?" Duh. Mulai kepo dia.

"Gue pikir lo pinter."

"Kalau gue pinter, emangnya gue harus tau segala hal apa?"

"Ck. Jadi gini, lo tau kan kalau bintang itu jaraknya ribuan tahun bahkan bisa aja jutaan tahun cahaya dari Bumi? Itu artinya, waktu yang dibutuhin bintang itu buat terlihat sama kita yang di Bumi adalah ribuan tahun atau bahkan jutaan tahun cahaya. Ibaratnya, sinar matahari yang biasa menerpa kita tiap hari aja termasuk sinar masa lalu, karena butuh delapan menit kecepatan cahaya buat sinar matahari untuk sampe ke Bumi. Apalagi bintang. Sedangkan umur bintang sendiri itu nggak lama. Semakin terang dia, berarti suhunya semakin panas. Dan semakin panas suhunya, berarti semakin cepet dia bakal meledak, jadi blackhole di ruang angkasa." Gue menjelaskan. "Cahaya bintang yang kita liat sekarang... mungkin bintangnya sendiri udah nggak ada. Karena cahaya itu cahaya ribuan atau bahkan jutaan tahun yang lalu, yang baru sampe di Bumi sekarang."

"Boleh juga lo kalau udah bahas yang kayak ginian." Dia ketawa, ngetuk pelipis gue pake jarinya. "Isinya materi novel science-fiction semua ya?"

"Kan gue masih sodaraan sama Keppler."

"Najis." Dia mencibir, tapi kemudian terdiam bentar. "Jadi bintang yang paling terang itu bintang yang paling cepet mati? Padahal seandainya gue jadi bintang, gue pernah berkhayal kalau gue bakal jadi bintang yang paling terang."

"Ngapain jadi bintang yang paling terang?"

"Karena mungkin gue bisa jadi pelita dalam kegelapan? Kayak Sirius? Katanya kan nggak peduli seburuk apapun keadaan di atas sana, cahaya Sirius bakal selalu keliatan."

"Lo nggak perlu jadi Sirius. Kalau mau jadi bintang, jadilah kayak Big Dipper."

"Apa bedanya Big Dipper sama Sirius?" dia nanya dengan polos sambil menyesap tehnya, terus dilanjutin dengan ngegerogotin batang jagung bakarnya. Bikin gemes banget kalau dia udah kayak gitu, macem marmut lagi menggerogoti biji kenari.

"Big Dipper bukan cuman pelita dalam kegelapan." Gue berujar. "Tapi juga penunjuk jalan pulang. Bukan cuman penerang langit malam, tapi juga pemberi arah untuk mereka yang tersesat."

"Buset. Lo ahli banget urusan yang beginian."

"Ceileh. Jangan ngerasa takjub dulu. Kalimatnya gue dapet search dari Google kali."

"Yaelah tayi."

Gue ketawa. Dan dia bales ketawa sesaat sebelumnya. Entah kenapa, ngeliat dia ketawa kayak gitu udah cukup buat gue. Rasanya kayak semua beban gue keangkat, rasanya kayak untuk pertama kalinya, gue berharap gue bisa menghentikan waktu, tepat sekarang, disini, ketika gue dan dia ada dalam posisi sedeket ini. Gue pengen momen ini nggak pernah berakhir, tapi yah, nggak ada satupun yang selamanya di dunia ini kecuali kata selamanya itu sendiri.

Gue nggak tau kata apa yang tepat digunain untuk menggambarkan situasi antara gue juga Raya saat ini, tapi apapun itu... berada disini sekarang... bercanda sama dia dan ketawa seakan nggak ada apa-apa, itu udah cukup buat gue.

Karena dia adalah Big Dipper untuk gue.

Dia bukan cuman pelita dalam kegelapan, tapi juga penunjuk arah bagi gue untuk menemukan jalan pulang.


Bersambung.

[][][]

a/n : hi. sorry for late update.

Haha. Pas ngetik bagian bully itu... wkwkw jadi pengen nangis gue. Yeps. Itu beneran. Dulu gue orangnya sangat normatif, bahkan gue nggak bakal mau nyeberang kalau bukan di zebra cross wkwkwk nyebelin emang. Masa-masa SMP gue terhitung berat hehehe. Gue nggak punya temen deket, dan ketika gue bilang gue nggak punya temen deket, itu artinya emang hampir nggak ada sama sekali. Kecuali J. Mungkin itu kenapa dia punya kesan tersendiri buat gue. Dia selalu ada, tapi dia nggak pernah bilang 'Kalau sukses inget-inget gue ya ren' macem temen-temen gue yang sekarang. Dia selalu tau kalau gue nggak bakal ngambil suatu tindakan sampe selesai. Phew. I think I didnt grow up really well lol kalo lo pembaca gue di fb dari jaman-jaman awal gue nulis pas SMP, lo bakal tau kalau gue nggak pernah ngupload foto bareng temen, atau update lagi jalan bareng temen. Thats because I didnt have any back then, except one girl friend from my elementary school, and him. Pas SMA gue sekelas lagi sama beberapa temen SMP gue dan salah satu dari mereka yang cowok sempet bilang, 'Gue nggak ngira kalau ternyata lo bisa juga begini. Gaul sama cowok. Gaul sama yang lain.'. Ya bayangin aja dua tahun sekelas dan nggak semua dari mereka pernah ngobrol sama gue--I mean, bahkan sedikit say hi aja nggak pernah. Parah banget kan wkwk.
Thanks buat doanya juga, Hana udah dapet PTN gaes.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top