dua

Bab awal biasanya eke rajin up. Ini aja ampe 2 bab.

Udah mulai misuh, belum?

Ramein yang di KBM app, dong, bantu subscribe. Masih gratis, tenang aja. Biasanya  dikunci bab 20an.

***

Apakah dia mesti ke tempat itu sekarang? Peony sampai harus memegang gagang setir dengan kencang karena dia tidak yakin bisa menguasai dirinya dengan baik.
Tapi, dia sebatang kara di Jakarta. Bantuan siapa yang dia harapkan agar hati suaminya mau kembali kepadanya, agar rumah tangganya bisa terus berlanjut? Apakah dia mesti menghubungi Mama Syaidah alias ibu mertuanya?

Peony berusaha menahan senyum yang membuat rahangnya ngilu seketika. Sejak kapan Mama Syaidah mau membelanya?

“Menikahi kamu adalah hal paling bodoh yang pernah putraku lakukan seumur hidupnya. Pekerjaannya seret, rejekinya jadi kacau balau, dan kamu mandul! Entah apa dosa yang sudah kuperbuat di masa lalu.”

Dia juga tidak bisa mengganggu Mutia sahabatnya. Hari terlalu larut dan dia sadar, sahabatnya kadang teramat lelah bekerja.

Sudahlah. Hadapi saja dengan berani. Jika ini harus jadi akhir, maka kita akhiri dengan elegan. Di dalam sana, mungkin mereka sedang saling belai. Tapi, aku nggak boleh nangis. Biar perpisahan ini dia kenang sebagai hal paling menyebalkan di dalam hidupnya.

Sekali lagi, Peony menarik napas sebelum akhirnya dia menarik tas tangan kecil saat membuka pintu mobil. Peony harus berlari kecil meninggalkan parkiran hotel yang berisi beberapa biji mobil. Jarak dari parkiran menuju beranda depan sekitar sepuluh meter dan kepalanya sudah ditetesi rintik hujan yang sama tidak ramah seperti nasib kepadanya. Namub, Peony tidak peduli, sekalipun kemudian rambutnya menjadi basah dan bajunya menjadi lengket. 

Suasana dalam lobi hotel yang besar sudah dingin karena AC. akan tetapi, hujan telah membuatnya semakin dingin dan Peony sempat menggigil karenanya. Apalagi, saat itu hampir tidak ada orang. Ada seorang petugas yang memakai safari, menjaga lobi dan membantunya masuk sambil tersenyum ramah dan seorang resepsionis laki-laki berkemeja warna krim yang juga menyapanya dengan sopan.

“Melati hotel ada yang bisa dibantu?” resepsionis tersebut menangkupkan kedua tangan di depan dada dan Peony harus memulai negosiasinya malam itu. Dia sudah menonton banyak drama saat dia harus sendirian di malam hari dan paham, ada kerahasiaan yang mesti dijaga oleh pihak hotel akan identitas tamunya.

“Mau mengantarkan obat buat suami saya. Tapi, saya ketinggalan HP dan cuma dikasih tahu dia menginap di sini. Nggak ingat nomornya.” Peony memasang tampang sedih lalu menunjukkan sebuah blister obat yang masih penuh kepada pria di hadapannya itu, “Suami saya sakit gula. Kalau kambuh bisa bahaya …”

Dia bisa saja mengatakan penyakit lain. Akan tetapi, pada akhirnya Peony senang resepsionis itu mempercayainya. Setelah menyebutkan nama Ammar dan juga foto pria itu, dia kemudian berhasil mendapatkan nomor kamar yang disewa oleh suaminya. Saat sang resepsionis memberikan sebuah kartu agar Peony bisa naik menggunakan lift, dia mengucapkan terima kasih dengan bibir bergetar yang membuat pria itu berinisiatif menawarinya handuk yang segera saja ditolak oleh Peony.

“Saya nggak lama. Harus langsung pulang. Kasihan anak-anak di rumah …”

Dia tidak melanjutkan lagi. Bila sebuah kebohongan terus ditampal dan dipoles, maka akan menimbulkan kebohongan-kebohongan lain. Sudah cukup sampai di situ dia berimprovisasi. Biarlah sang resepsionis menyimpulkan sendiri. Yang pasti, dia tahu, ada hal yang mesti dia lakukan dengan segera dan dia tahu, apa pun hasilnya nanti, dia harus menguatkan diri.

Pintu lift tertutup dan Peony tertunduk memandangi ujung sepatunya yang sudah lebih dulu basah. Dia baru sadar menggunakan sepatu sandal bermotif kepala buaya yang amat terkenal saking dia merasa nyaman. Jelas sekali, amat tidak cantik dan feminin seperti Pinkan dan mengingatnya saja membuat dia ingin tertawa. Pandangan Peony kemudian bergerak ke arah kaca dalam lift yang menampilkan keadaan dirinya yang awut-awutan. Cekungan di bawah matanya tampak gelap dan mengingatkannya pada tokoh mistis zaman dulu. 

Apakah gara-gara ini Ammar meninggalkannya?

“Aku janji akan selalu ada di sampingmu walau peot dan kisut.”

Janji itu sudah patah saat Ammar tidak lagi rajin pulang ke rumah. Peony kemudian mengusap permukaan perutnya dengan amat pelan.

“Sabar ya, Dek. Kita ketemu Papa setelah ini. Kita harus kuat.”

Harus kuat. Itulah doa yang terus terucap dari bibir Peony hingga akhirnya lift membawa dirinya ke lantai lima. Di saat yang sama, jantungnya berdegup amat kencang, seperti bedug yang bertalu-talu saat malam takbiran. Tapi, jika pada malam itu, orang sukacita merayakan kemenangan, dia tahu, yang mesti dia hadapi malam ini adalah kekalahan.

Meski begitu, sekali saja, dia ingin melihat wajah pria yang amat dia cintai itu mengucapkan maaf dan minta ampun dan dia ingin sekali tahu, apa yang bakal diucapkan oleh suaminya jika tahu, selama ini Peony tidak mandul, seperti ucapan mertuanya.  

Peony keluar dari lift. Matanya menelusuri papan angka penunjuk di koridor. Kamar 501-510 berada di sisi kanan lift sedangkan 511-520 berada di sisi kiri. Di seberang lift juga terdapat lorong dan papan petunjuk menunjukkan angka 521-530 yang kemudian menjadi tujuannya.

Petugas resepsionis yang memberi kartu kamar menuliskan angka 526 di bagian depan kartu dan Peony hanya perlu mencari kamar baris ketiga karena kemudian dia sadar, antara kamar satu dan lainnya dibuat berhadapan. Begitu dia mendapatkan nomor kamar yang dimaksud, Peony mesti menyentuh dadanya sendiri yang kini berdetak makin kencang. Tangannya saja gemetar dan dia berusaha tidak pingsan ketika harus mengetuk pintu, saat yang sama ketika dia mendengar gelak tawa dari dalam dan dia kenal dengan suara suaminya sendiri.

Ya Allah, jika mesti harus selesai, jangan jadikan aku wanita hancur yang hina …

Seperti yang dia lakukan di bawah tadi, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu, Peony menarik napas panjang dan mengucapkan kalimat penguatan untuk dirinya sendiri. Di tangannya, dia sudah menyiapkan ponsel yang ketika berada di resepsionis tadi, disembunyikan di saku jaket yang dikenakannya sekarang. Peony sudah menyalakan kamera dan jika diperlukan, apa yang akan dia saksikan saat ini akan menjadi bukti di depan pengadilan.

Bismillah

Ketika ujung telunjuknya menyentuh permukaan daun pintu, Peony sempat memejamkan mata dan menahan napas, seolah takut untuk melihat apa saja di depan matanya saat ini. Tapi, sejurus kemudian, dia memaksa dirinya untuk melihat. Dia tidak boleh melewatkan sesuatu apa pun, meski itu akan melukai batin dan dirinya sendiri.

Gelak tawa dari dalam kamar serta merta terhenti dan Peony tahu, dia harus menyiapkan diri. Apalagi, dari dalam terdengar suara seorang perempuan bertanya, “Siapa, Hun?”

Jelas itu suara Pinkan. Peony pernah mendengarnya saat Mutia memata-matai suami sahabatnya itu dan dia tidak bisa merasa lebih pedih lagi. Dieratkannya pegangan ke ponsel tepat satu detik saat dia sadar, lubang pengintip di depan pintu bakal memberi masalah.

“Room Service.” Peony mengubah suara dan mengetuk lagi dengan nada tidak sabar. Dia menyembunyikan diri di balik dinding, jauh dari jangkauan penglihatan lubang intip dan bersiap-siap begitu tuas handle pintu ditarik dari dalam.

“Kami nggak pesan …”

Yang membuka adalah Ammar Bimantara, suami Peony Eden. Pria itu hanya memakai celana pendek alias celana kolor yang Peony ingat, dia cuci dan setrika sambil menyenandungkan doa untuk keselamatan dan kesehatan suaminya. Begitu melihat istrinya berdiri di depan pintu dengan senyum tipis dan mata berkaca-kaca, dia diam tidak bergerak sama sekali.

“Ngapain room service ke sini, Hun?”

Suara Pinkan terdengar dan dia berjalan menuju pintu dengan memakai jubah tidur dari satin tipis yang melorot. Rambutnya tergelung asal menampakkan kulit leher yang putih mulus. Bibirnya masih berpulas lipstik dan dia penasaran karena tidak ada suara dari luar.

Begitu melihat Peony berdiri dalam diam dan Ammar menjulurkan tangan kanan sebagai tameng agar sang istri tidak menyerang Pinkan, Peony hanya membalasnya dengan senyum tipis.

“Anniversary kita hari ini tampaknya menjadi akhir dari rumah tangga kita, Mas. Terima kasih buat tujuh tahun yang sia-sia. Sampai ketemu di pengadilan, supaya perzinahan kalian selesai sampai di sini. Halalkan dia, gauli dia dengan layak.”

Dia tahu, seharusnya dirinya marah, mengamuk, menampar atau menjambak, dan menyeret tubuh si jalang yang tidak tahu malu merebut suaminya. Tapi, Peony juga tahu, semarah apapun dirinya, tetap saja, yang akan dilindungi oleh pria itu adalah si murahan, bukan dia, istri sahnya dan hal yang terakhir yang dia lakukan adalah berbalik dan meninggalkan tempat itu meski Ammar berkali-kali memanggil namanya dan berusaha mengejarnya dari belakang.

Lihat? Tidak sesusah itu, kan? Setelah ini kita akan segera pergi, Sayang. Kita akan pergi jauh. Suatu hari nanti, kamu akan menemui ayahmu. Tapi, tidak seperti ini. Suatu hari, dia akan memohon dan saat itu, gantian kita yang akan membuatnya menyesal pernah meninggalkan anak dan istrinya demi wanita lain.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top