Bab 9

Kejadian naas menimpa Jeana di hari penyerahan proposal. Sedari pagi ia sudah bersiap, menghapal dan memperdalam materi demi kesuksesan iklan ini. Ia tidak mau mengecewakan Dean yang sudah begitu baik dan percaya dengannya. Memakai pakain terbaik berupa setelan dengan blazer hitam, menyematkan pin bentuk mawar di dada, Jeana sangat berharap hari ini semuanya berjalan lancar. Sebelum ke kantor ia menyempatkan diri menelepon sang kakek dan mendapat kabar yang kurang mengenakkan.

"Kakek lagi nggak enak badan, udah dari kemarin tidur terus. Makan juga susah?"

"Nggak dibawa ke rumah sakit?" tanya Jeana dengan kuatir pada kerabat yang merawat kakeknya.

"Niatnya sore ini ke rumah sakit."

"Ada uang nggak? Aku tranfer kalau nggak ada."

"Kami butuh untuk ongkos dan biaya mondar-mandir kalau Kakek dirawat."

Tanpa banyak kata, Jeana mengirim uang untuk kerabatnya. Asalkan kakeknya sehat, ia rela mengeluarkan uang berapa pun itu. Setelah orang tuanya meninggal, disusul kemudian si nenek, ia hidup di bawah pengasuhan dan pengawasan si kakek. Saat memutuskan untuk kuliah ke luar kota, kakeknya pula yang banting tulang untuk membantu biaya. Meskipun Jeana sendiri tetap bekerja paruh waktu jadi guru les anak-anak SMP, tetap saja uang kiriman si kakek sangat membantu hidupnya. Lulus kuliah ia mencari kerja dan karena nilainya yang tinggi, mendapatkan beberapa tawaran kerja. Sampai akhirnya memilih di marketing iklan. Tadinya ia punya rencana saat menikah akan membawa si kakek tinggal bersamanya. Dengan begitu ia akan mengurus sendiri dengan bantuan perawat. Sayangnya rencana pernikahan batal.

Saat menyusuri gang menuju jalan raya, pikiran Jeana berkecamuk. Ia patah hati, sampai sekarang hampir setiap waktu asmanya kambuh. Marah terhadap Amera dan Prima. Laki-laki itu bahkan sampai sekarang tidak lagi mengubunginya, padahal mereka pernah berstatus sebagai tunangan. Jeana membuat rencana ulang, ingin mengambil kredit rumah dengan begitu bisa membawa kakeknya datang.

Tiba di kantor, Jeana dihadapakan pada situasi yang mengejutkan. Begitu ia tiba, mendapati kenyataan kalau Nail dan Amera sudah pergi ke kantor pusat PT. Real Food. Membawa serta semua berkas serta proposal dirinya. Mengambil begitu saja dari dalam laci dan tanpa ijin darinya. Untuk sesaat ia hanya bisa terdiam, dan mendengar perkataan Adelio serta Ida sambil lalu.

"Lo, sih, keras kepala. Coba nurut. Pasti lo bisa ikut mereka," kritik Adelio.

"Jeana, lo emang pintar tapi ingat, ketua tim itu Pak Nail. Lagi pula, direktur kita sendiri, Pak Firman yang secara khusus mengintruksikan buat Pak Nail sama Amera yang pergi." Ida memberi penjelasan tanpa empati pada Jeana yang kecewa.

Terkutuklah mereka! Hari yang sial!

Jeana tidak hentinya memaki hati, terduduk di kursi dengan lemas. Keinginannya untuk membuktikan diri sirna karena orang-orang tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa mereka mengambil begitu saja apa yang sudah dikerjakannya, tanpa pamit, tanpa rasa malu dan sama sekali tidak ada pertimbangan akan perasaannya. Padahal selama ini ia yang mengerjakan semuanya. Mengusap wajah dengan gemetar, semangat kerja Jeana menghilang. Ia berniat untuk pulang lebih cepat tapi sang direktur memanggilnya. Dengan langkah lunglai ia menuju kantor direktur.

"Jeana, aku tahu kamu pasti kecewa tapi bisa aku pastikan kalau apa yang dilakukan oleh timmu, aklu yang memerintahkan."

Jeana menatap lurus ke arah direkturnya. Firman adalah seorang pimpinan, sudah semestinya bersikap bijak.

"Kenapa, Pak? Proposal saya yang menyempurnakan."

"Memang kamu yang sempurnakan tapi anggota timmu yang mengerjakan. Lagipula, dengan adanya Amera yang luwes dan pandai dalam presentasi aku yakin pihak Real Food ada gembira, jika dibandingkan dengan kamu. Maaf, bukan body shaming tapi kenyataannya."

Jeana sudah tahu kalau selama ini Firman pilih kasih, tapi tidak menyangka kalau dirinya akan mendapatkan perlakuan yang buruk secara terang-terangan. Ia menjadi salah satu pegawai teladan di sini, mendedikasikan diri pada pekerjaan dan demi kemajuan perusahaan, tapi ternyata kalah hanya karena tidak cukup cantik. Manusia-manusia kejam ini menghancurkan hatinya.

**

Nail dan Amera mendapat jadwal untuk bertemu Dean sore hari. Mereka sengaja pergi dari kantor lebih awal karena tidak ingin bertemu dengan Jeana. Menghabiskan waktu untuk menunggu di sebuah kafe, keduanya mengubah sedikit proposal milik Jeana. Terutama mengganti nama kreator menjadi nama mereka dan juga mendalami materi. Amera berusaha keras untuk mengingat semuanya, di bawah bimbingan Nail yang secara terang-terangan sangat mendukungnya.

"Kamu hebat, Amera. Bisa menghapal semua dengan cepat."

"Semoga penampilanku nanti nggak mengecewakan!"

"Tentu saja, tidak! Aku yakin kamu bisa!"

Pukul dua sore, keduanya meninggalkan kafe menuju kantor PT. Real Food. Setibanya di sana mereka diminta datang ke ruang rapat, dan menunggu Dean di sana.

Di ruang kerjanya, Dean sedang menelepon beberapa klien. Sandri masuk dan memberitahu kalau pihak marketing sudah datang. Ia bergegas pergi ke ruang rapat bersama staf terkait, tidak sabar ingin bertemu dengan Jeana dan menanyakan kabar gadis itu. Saat membuka pintu, yang dilihatnya justru orang lain dan itu membuatnya heran.

"Kemana Jeana? Kenapa hanya kalian yang datang?"

Nail dan Amera bertukar pandang. Secara spontan Amera memasang senyum di wajah. Tidak dapat menahan rasa terkesannya saat melihat sosok Dean yang tinggi dan tampan.

"Perkenalkan nama saya Amera. Biasanya saya yang presentasi dari tim kami."

Dean mengibaskan tangan sambil menggeleng. "Kenapa kalian seenaknya saja mengganti tim?"

Pertanyaan kali ini membuat Nail gelagapan dan senyum lenyap dari bibir Amera.

"Pak, bukan begitu. Tapi, Amera le-bih pengalaman dalam memberi penjelasan."

"Hanya memberi penjelasan. Semua orang bisa melakukannya setelah menghapal, tidak perlu orang khusus," tukas Dean dengan dingin. Kekesalan melandanya seketika. "Aku menginginkan Jeana yang presentasi karena dia menguasai materi dan bisa memberikan solusi atas semua pertanyaan dan permintaanku."

Amera menggigit bibir lalu membungkuk kecil. "Pak, tolong beri kami kesempatan. Kami yakin tidak akan mengecewakan."

Dean mengalihkan pandangan dari Nail ke arah Amera. Mengerti kenapa Jeana digantikan perempuan ini. Semua orang pasti mengira kalau yang terpenting adalah wajah rupawan dan body menawan. Mereka mengecilkan Jeana yang jelas-jelas ahli di bidangnya. Tindakan ini menimbulkan rasa marah dalam diri Dean.

"Aku akan menelepon Pak Firman dan mengajukan pembatalan kerja sama!"

Nail dan Amera terbelalak. "Pembatalan? Apakah ka-mi bersalah, Pak?" tanya Nail dengan terbata.

Dean menyipit. "Kalian tentu saja bersalah sudah menyepelekan perusahaanku. Untuk iklan ini aku berani menggelontorkan uang yang tidak sedikit dan apa balasannya? Kalian membuatku kecewa!"

Meninggalkan ruangan sambil bersungut, Dean memberi perintah pada sekretarisnya untuk menghubungi Firman.

"Katakan pada mereka, jangan main-main dengan kita. Kalau tidak bisa memberikan tim dan orang yang terbaik, lebih baik batal kerja sama!"

Sandri mengangguk. "Baik, Pak."

Dean tidak habis pikir dengan tindakan orang-orang itu, dan merasa kalau mereka sudah membuang waktunya. Demi iklan ini ia rela menunda waktu untuk bersama Elena dan kenyataan yang didapat sungguh mengesalkan. Tidak ada salahnya menjadi gemuk asalkan pintar dan punya kemampuan, Dean merasakan tusukan rasa kasihan untuk Jeana yang tidak terlalu dikenalnya.
.
.
.
Di Karyakarsa bab 40.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top