Bab 8
Dean menerima beberapa klien selama makan siang. Berbicara tentang bisnis dan kerja sama, hingga tanpa sadar perutnya berkriuk lapar. Setelah klien kedua pergi, ia meminta sekretaris memesan makanan untuknya. Baru satu suap muncul tamu yang lain, dan kali ini yang datang tidak dapat ditolaknya.
Elena muncul dalam balutan setelan gaya warna merah muda lembut. Perempuan cantik itu menyisir rambut berponinya dengan rapi. Terlihat begitu rupawan layaknya artis. Orang awam akan menduga kalau Elena adalah model alih-alih seorang pebisnis. Perempuan itu mengetuk pintu dan tersenyum pada Dean yang sedang makan.
"Sandri mengatakan kamu sedang makan. Takut kalau aku akan menganggumu. Sayang, sekretarismu itu lucu sekali."
Gaya bicara Elena menunjukkan kalau dirinya kesal karena dihalangi bertemu Dean. Bibir merahnya mencebik, meletakkan tas kulit buaya warna hitam ke atas meja, Elena menghenyakkan diri di kursi Dean.
"Kenapa makan sendiri? Harusnya kamu mengajakku makan bersama."
Dean menyumpit sushinya dan mengunyah perlahan. "Aku lagi pingin makan sushi dan kamu'kan nggak suka."
"Memang, kalori sushi sangat tinggi. Bisa bikin gemuk."
"Ya sudah, nggak bisa makan siang bersama kalau begitu!"
Elena merasa kesal karena Dean menolaknya dengan tegas. Padahal ia datang jauh-jauh di tengah kesibukan kerja hanya untuk bertemu Dean tapi ternyata penyambutannya tidak mengenakkan. Setelah sika sekretaris yang mengesalkan ditambah dengan Dean yang membuatnya makin jengkel.
"Kamu nggak perlu seketus itu, Dean," sergahnya kesal.
Dean menatap kekasihnya lalu mengangguk, mencoba memperbaiki sikapnya. "Maaf, aku sedang banyak pikiran hari ini."
Menghela napas panjang, kemarahan Elena mereda. Ia tersenyum kecil, memandang kotak sushi yang sudah kosong. Lega mengetahui kalau kekasihnya makan dengan lahap meski waktunya terlambat.
"Kita udah lama nggak ketemu. Telepon pun jarang."
"Waktu kita yang sulit untuk dikondisikan."
"Memang, apalagi sekarang anakmu sering bermasalah."
Dean mengangguk, menyetujui perkataan kekasihnya. Memang akhir-akhir ini Dustin sangat sulit untuk ditangani. Sering kali ia kehilangan sabar saat harus berhadapan dengan anaknya itu dan cekcok mereka sering kali menghabiskan waktunya.
"Namanya juga remaja. Memberontak dan suka membantah itu sudah biasa. Kita dulu saat remaja juga sama."
Pembelaan Dean pada Dustin membuat Elena tidak puas. Ia ingin mengatakan pada kekasihnya kalau dulu saat dirinya remaja sangat serius dalam belajar dan patuh pada peraturan orang tuanya. Kepatuhan itu yang membuatnya bisa seperti sekarang. Sukses dalam bisnis di usia muda dan disegani banyak orang. Harusnya Dustin bisa seperti itu, mengingat orang tuanya adalah pemilik perusahaan besar. Sayangnya anak laki-laki itu tidak bisa diharapkan.
Hubungan Elena dengan Dustin pun tidak bisa dibilang akrab. Meskipun tahu kalau Elena adalah calon istri sang ayah, tidak lantas membuatnya segan. Setiap kali mereka bertemu, Dustin hanya mengangguk kecil tanpa sapaan lalu menghilang dengan cepat. Tidak memberi kesempatan pada Elena untuk bersikap baik dan akrab. Sungguh, menghadapi anak remaja sangat melelahkan bagi Elena.
"Sayang, kapan kamu ke rumah? Orang tuaku ingin mengajakmu makan malam."
Dean mengernyit, memikirkan jadwalnya yang penuh. Undangan penuh harap dari Elena membuatnya kebingungan. Ia sudah menolak beberapa kali ajakan kekasihnya. Tidak bijak kalau menolak lagi.
"Aku usahan Minggu depan. Bagaimana?"
"Memangnya Minggu ini kenapa?"
"Pihak marketing sedang mengerjakan iklan sereal yang baru. Kamu tahu bukan kalau sereal adalah produk anadalan kami. Kali ini aku ingin turun tangan langsung untuk memastikan kalau mereka mengerjakan dengan benar."
Bicara tentang iklan membuat Dean teringat akan Jeana. Terlihat pucat, kelelahan serta kesakitan, Jeana menanggung sendiri penderitaan itu tanpa keluarga. Ia cukup terkesan dengan gadis itu karena menurutnya sangat berbakat. Sayangnya ada banyak kesedihan yang tersembunyi di balik senyum yang selalu tersungging di bibir. Jeana mengingatkannya akan masa mudanya dulu. Menggebu-gebu dan tekun dalam bekerja sampai akhirnya bisa seperti sekarang. Ia tidak sabar bertemu Jeana dan melihat proposal lanjutan dari gadis itu.
"Dean, kamu itu dirut. Masa hal begitu harus turun tangan langsung?"
"Untuk sekali ini aku ingin terlibat sepenuhnya."
Jemari Elena tergenggam di bawah meja. Sikap Dean yang bersikukuh meresahkannya. Seharusnya tidak begini. Mereka adalah sepasang kekasih, sepakat akan melakukan penjajakan sebelum menikah. Sudah satu tahun bersama dan Elena merasa masih belum bisa menjinakkan perasaan kekasihnya. Ia berumur 33 tahun dengan karir cemerlang dan datang dari keluarga pengusaha. Semestinya Dean bangga memilikinya karena di luar sana ada banyak laki-laki yang antri untuk mendapatkannya. Kenapa dalam hubungan ini seakan dirinya yang berharap?
Memilih untuk bersikap lebih sabar, Elena bangkit dari kursi. Mendekati Dean dan memeluknya mesra. Membungkuk untuk meletakkan kepalanya di bahu yang kokoh. Tersenyum saat jemari Dean mengusap rambutnya.
"Aku akan mengalah kali ini, karena demi bisnismu. Minggu depan tepati janjimu, Sayang."
Dean mengangguk. "Aku berjanji Minggu depan akan bertemu Papa dan Mama."
Cukup puas dengan janji kekasihnya, Elena memutuskan untuk pergi. Tentu saja ia tidak akan membiarkan Dean berkelit, apa pun alasannya. Bahkan kalau bocah nakal itu menghalangi, ia akan singkirkan. Sudah satu tahun ia menunggu Dean mengajukan lamaran dan tidak bisa menunggu lebih lama. Kali ini ia akan memastikan Dean menikahinya, apa pun yang terjadi.
**
Perselisihan antara Jeana melawan teman tim yang lain, menjadi gosip hangat di kantor. Terutama saat tahu kalau persahabatan Jeana dan Amera juga retak. Tidak ada yang menyangka kalau persahabatan yang terjalin begitu erat selama bertahun-tahun ini ternyata rusak. Banyak spekulasi beredar kalau pertengkaran Jeana dan Amera dipicu olen presentasi dengan PT. Real Food. Keduanya sama-sama ingin menjadi inisiator. Tidak ada yang mau mengalah, bahkan Jeana yang selama ini terkenal selalu mengutamakan Amera pun sepertinya enggan melakukannya. Tidak ada yang tahu kalau masalah mereka karena ulah salah satu pihak.
Teman-teman tim tentu saja lebih berpihak ke Amera karena menganggap Jeana bersikap kejam dan tidak masuk akal. Padahal semua orang menginginkan hasil terbaik untuk tim dan sikap Jeana dirasa sangat ambisius serta menjengkelkan.
Amera dengan wajah polos dan sikapnya mudah memanipulasi orang, berpura-pura sedih dan menangis saat bicara tentang Jeana. Berharap kalau sahabatnya itu kembali bersikap baik seperti dulu dan mengumbar kesedihan di depan banyak orangp
"Padahal gue pingin melakukan sesuatu yang baik untuk Jeana. Bagaimanapun kami bersahabat." Amera terisak dengan cukup keras. "Setelah gue sembuh dari sakit, satu hal yang sangat gue idamin hanya kembali berteman dengan Jeana tapi dia menolak."
Jeana memutar bola mata saat mendengar pembelaan Amera. Awalnya ia mencoba untuk tidak peduli apa pun yang dilakukan Amera, karena fokusnya sekarang adalah merampungkan proposal lanjutan demi Dean. Nyatanya mantan sahabatnya itu tidak hentinya mengusiknya.
"Jeana, nggak boleh gitu jadi orang. Sok amat lo! Kalau nggak ada Amera, lo nggak punya teman," cela Ida dengan sengit.
"Lebih baik gue nggak ada teman," tukas Jeana singkat.
"Hei, lo mau jadi batu? Emang lo nggak sadar kalau selama ini Amera yang bikin lo punya kehidupan sosial? Ngajak lo jalan, belanja, senang-senang. Masih aja lo nggak bersyukur!"
"Ida, kalau buat lo Amera itu sahabat sempurna, kenapa nggak lo akrabin dia?"
Ida membuka mulut untuk membantah kata-kata Jeana lalu menutupnya lagi. Ia bergumam perlahan, tidak punya waktu untuk berteman dan bersosialisasi, mengatakan senang persahabatan Jeana dan Amera. Alasan yang dibuat-buat karena Jeana pun tahu Ida tidak mau repot-repot menghadapi sikap Amera yang selalu ingin dimengerti dan diutamakan. Berwajah cantik dengan tubuh aduhai, Amera mudah menarik perhatian lawan jenis dan itu bukan sesuatu yang diinginkan semua orang. Hanya Jeana yang sanggup pada awalnya sampai kini kedoknya terbongkar.
Ruang kerja yang terasa panas karena orang-orangnya yang tidak menyenangkan, membuat Jeana lebih banyak menghabiskan waktu di tangga darurat saat jam istirahat. Menikmati bekal yang dibawanya, sambil berkirim pesan dengan Dustin. Anak remaja itu lumayan menyenangkan untuk diajak bercanda dan mereka sepakat akan makan bersama Minggu depan. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Dustin lagi.
"Lo di sini?"
Jeana mendesah jengkel, saat melihat Amera menuruni anak tangga menuju ke tempatnya duduk. Padahal ia sedang menikmati kesendiriannya dan sedang tidak ingin diganggu.
"Makan apa lo? Bawa bekal dari rumah? Palingan nasi uduk langganan lo itu!"
Jeana memutuskan untuk pergi, tidak ingin terlibat dalam percakapan yang tidak ada manfaatnya dan hanya membuat marah. Merapikan kotak, mengelap bibir dengan tisu dan bangkit dari anak tangga tempatnya duduk.
"Hei, mau kemana lo? Emangnya nggak lihat kalau gue lagi ngomomg?" sentak Amera gusar. Berkacak pinggang dengan wajah merah padam. "Kenapa lo jadi belagu gini, Jeana. Lo lupa kalau kita temenan? Sengaja banget lo mau bikin gue malu? Kenapa? Merasa tersaingi?"
Terhenti di tengah anak tangga, Jeana menoleh pada Amera. Kata-kata kasar dan keras yang sekarang terlontar dari bibir Amera, tidak pernah tertuju padanya. Biasanya selalu digunakan untuk memaki para laki-laki yang dianggap menyebalkan oleh Amera. Para laki-laki yang tergila-gila, dan hanya dimanfaatkan berupa harta oleh Amera. Kali ini makian itu justru tertuju padanya. Sungguh ironis memang.
"Kenapa gue harus tersaingi sama lo?" ucap Jeana tidak kalah ketus. "Jatuh harga diri gue bersaing sama pelakor macam lo!"
Amera menyipit, menaikkan dagu dengan sikap angkuh. "Oh, jadi lo masih sakit hati karena Prima? Kenapa harus marah sama gue? Yang mau dan kecintaan itu Prima. Salah sendiri lo jadi cewek gendut dan jelek! Mana mau Prima yang manajer itu punya pacar macam lo!"
Jeana memejam, berusaha untuk tetap tenang. Makian dan hinaan yang dilontarkan oleh Amera seharusnya tidak menyakitinya. Meskipun tetap saja dadanya terasa sakit. Rupanya seperti ini isi hati Amera yang sesungguhnya. Penuh tipu daya dan kepalsuan yang licik. Entah kenapa Jeana dulu buta pada perempuan itu hingga bersahabat bertahun-tahun lamanya. Ia membuka mata, menghela napas panjang berkali-kali agar tenggorokan dan dadanya tetap lega. Tidak boleh kena serangan asma di sini atau Amera akan makin menjadi mencacinya.
"Gue nggak pernah ngejar Prima duluan, dia yang dekati gue!" ucapnya dengan bibir gemetar. Menatap Amera yang melotot.
"Lo aja yang kepedean, Ndut! Prima ngejar lo karena pingin dekat sama gue. Itu yang dia bilang selama ini. Lo nggak tahu'kan kalau selama beberapa waktu Prima berusaha untuk deketin dan dapetin hati gue. Lo pikir Prima cinta sama lo makanya mau tunangan? Kagak, anjir! Dia bahkan punya niat mau selingkuh sama gue kalau terpaksa nikah sama lo!"
Jeana ternganga lalu menggeleng cepat. Di hadapannya bukan lagi Amera yang pernah menjadi sahabatnya melainkan perempuan murahan yang sedang mengobral dirinya tanpa tahu malu.
"Menjijikan! Lo ngomong layak cewek murahan!"
Amera mengangkat bahu hingga dadanya yang berbalut kemeja ketat membusung. "Sorry, nyatanya memang Prima tergila-gila sama tubuh gue. Dia juga bilang, jijik sama lo, Ndut!"
"Lo yang menjijikan! Perempuan sampah!"
"Eh, berani maki gue! Lo nggak sadar, kalau nggak ada gue di samping lo. Kagak ada orang yang mau dekat-dekat sama lo. Udah gendut, bau, penyakitkan pula!"
Meski darahnya mendidik oleh amarah, Jeana berusaha untuk tetap tegar. Dadanya mulai sesak dan ia tidak boleh jatuh di tempat seperti ini. Tidak ingin memberikan kepuasan pada Amera untuk memakinya. Memutuskan untuk pergi, ia menaiki tangga dengan cepat. Ingin segera menjauh dari perempuan jahat dalam wujud manusia yang selama ini mengaku sebagai sahabatnya. Tiba di ujung tangga, ia membuka pintu dan tersengal sambil bersandar pada dinding. Mengambil pereda asma dan mengisapnya. Ini baru permulaan. Jeana yakin kalau teror Amera akan terus berlanjut dan sepertinya ia dipaksa untuk melawan.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 35.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top