Bab 6
Shock dengan apa yang terjadi, perubahan yang begitu cepat dalam hubungan membuat Jeana jatuh sakit. Asmanya memburuk dan kambuh berkali-kali dalam satu hari disertai batuk, keringat dingin hingga mual membaut Jeana tergeletak tidak berdaya. Harusnya hari ini ia masuk kerja untuk membuat proposal lanjutan bagi PT. Real Food, tapi kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk bergerak. Di kontrakan yang kecil, Jaena nyaris merangkak untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Dari mulai ke kamar mandi, sekedar menyeduh pop mi, atau pun mengambil obat. Ditambah dengan vertigo, membuat dunia Jeana seperti jungkir balik.
Tidak ada yang bisa menolongnya dalam keadaan seperti ini selain dirinya sendiri. Jeana menatap langit-langit kamar yang rendah dengan beragam perasaan berkecamuk di dada. Ingin sekali membawa dirinya ke rumah sakit tapi tidak ada tenaga melakukannya. Ia terlalu lelah, hatinya terlalu sakit, hingga merasa kalau dunia sangat kejam dan jahat padanya.
Jeana bukannya tidak ada uang, di tabungannya terisi cukup banyak simpanan. Tapi semua digunakan dengan sehemat mungkin demi membiayai hidup sang kakek yang ada di desa. Kakeknya yang sudah renta, diasuh oleh seorang kerabat dan Jeana lebih mengutaman kehidupan orang tua itu dari pada dirinya. Ia bisa saja menyewa rumah yang lebih bagus atau membeli mobil dengan cara mencicil seperti Amera, tapi tidak ingin melakukannya karena demi masa depan. Saat menikah nanti, ingin punya uang yang cukup sebagai bekal berkeluarga dan kini semua rencanya musnah.
Jeana kembali muntah, karena batuk berlebihan. Tubuhnya lemah dengan asma yang terus menerus terjadi. Ia memejam, meraih ponsel untuk mengecek sisa saldo bulan ini dan akhirnya memutuskan untuk ke rumah sakit. Mengendus tubuhnya yang bau keringat, ia memutuskan untuk berganti pakaian, cuci muka, serta membasuh tangan dan kaki. Memakai deodorant dan berjalan perlahan menyusuru gang untuk mencari taxi. Resiko hidup sendiri, saat sakit seperti ini pun harus tetap tegar.
Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Jeana tidak hentinya menerima pesan dari teman-teman kerjanya. Mereka semua menuntutnya untuk datang ke kantor atau paling tidak online untuk membahas masalah pekerjaan.
"Sakit lagi, lo? Asma? Makanya jangan gendut-gendut biar kagak asma!" Seperti biasa, Ida dengan ketikan kejamnya menghujat Jeana.
Nail menimpali tanpa rasa kasihan. "Jeana, kita lagi dikejar target dan lo sakit? Yang benar aja!"
"Bisa-bisanya lo sakit sekarang? Buruan ke kantor!" Adelio ikut mengirim pesan di grup.
Satu-satunya yang mengirim pesan dengan cukup beradab adalah Amera dan itu makin membuat Jeana sesak napas karena tahu betapa palsunya kata-katanya.
"Teman-teman, tolong jangan desak Jeana. Kalian tahu bukan kalau asma kambuh itu nggak nyaman?"
Pesan dari Amera mendapat reaksi yang mengesankan dari teman-temannya.
"Amera, lo jarang sakit tapi Jeana ini sering kali ngeluh gini," balas Ida.
"Amera jangan belain Jeana, mentang-mentang kalian sahabatan!" ucap Nail.
Masih banyak lagi pesan masuk dan makin riuh kepala Jeana. Akhirnya ia memutuskan untuk mematikan ponsel saat tiba di UGD. Kesehatannya jauh lebih penting sekarang dari pada celaan mereka. Nyawanya sedang terancam dan semua orang menekannya. Diperparah dengan kata-kata palsu Amera yang membuat semua orang makin membencinya, Jeana juga ikut benci dengan dirinya sendiri. Merasa terlalu lemah untuk berhadapan dengan mereka yang menekannya.
Perawat memintanya berbaring dan memeriksa tensi. Dokter datang, memberikan suntikan sekaligus meminta perawat memasang tabung oksigen. Selama satu jam berikutnya, Jeana berbaring untuk meredakan vertigo dan asma. Merenungkan nasibnya yang sial seperti ini.
Ia cukup pintar, dengan kemampuan dan kreativitas di atas rata-rata. Semua itu tenggelam hanya karena fisiknya yang dianggap tidak ideal. Semua penghakiman serta kata-kata dengki dari teman-temannya sudah biasa diterima, meskipun menyakitkan tapi dianggap hanya bercanda. Sedangkan apa yang terjadi dengan hubungannya bersama Prima, sama sekali bukan bercanda. Hingga peristiwa itu terjadi sampai sekarang Prima belum menghubunginya bahkan untuk meminta maaf. Jeana menghela napas panjang, menggenggam masker oksigennya. Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang sudah berselingkuh dan mengaku tidak pernah mencintainya?
"Aku mendekati kamu demi Amera."
Kalimat itu lebih menyakitkan bahkan dari saat jarinya teriris pisau. Jeana tidak mengerti apa salahnya sampai orang-orang tega berbuah jahat padanya. Padahal selama ini ia selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain hingga nyaris tidak memperhatikan diri sendiri.
Setelah berada di UGD selama beberapa jam dan dokter menyatakan dirinya sudah cukup sehat untuk pulang, Jeana melewati lorong rumah sakit dengan tertatih. Memutuskan untuk duduk di bangku dekat tempat parkir demi memulihkan tenaga. Ia merasa sangat lemas karena belum makan sedari pagi. Ia memikirkan untuk ke kantin atau sekedar membeli kue.
"Kenapa kamu ada di sini?"
Teguran maskulin membuat Jeana tersentak. Ia menyipit, dan menutup mata dengan jari untuk melihat dengan jelas siapa yang menyapanya. Keterkejutan melandanya seketika.
"Pak Dean?"
Dean menatap Jeana yang pucat dengan bekas infus di punggung tangan dan plastik obat tergeletak di samping. Perempuan muda itu terlihat lelah dan kusut masai. Apakah dia sakit begitu parah sampai-sampai melamun di tempat seperti ini?
"Kamu sakit?"
Jeana mengangguk malu dan salah tingkah. Tidak menyangka akan kepergok Dean di tempat seperti ini. Lebih tidak menyangka lagi karena Dean mengenalinya dan mau menyapa dengan ramah seakan mereka teman lama.
"Asma kambuh, Pak."
"Nggak opname?"
"Nggak, Pak. Tadi sudah dirawat di UGD."
Keduanya saling pandang dan Jeana menunduk. Berharap kalau Dean cepat pergi. Bukan karena dirinya tidak ingin berlaku tidak sopan tapi rasanya sangat canggung bicara dengan orang seperti Dean di tempat seperti ini. Sebuah mobil sedan hitam mendekat dan berhenti di depan mereka. Si sopir berseragam keluar untuk membuka pintu.
"Kamu pulang ke arah mana?"
Pertanyaan Dean membuat Jeana mengedip bingung. "Jalan Sriwijaya, Pak."
"Oh, kebetulan. Aku akan mampir ke area sana. Ayo, naik. Aku antar kamu."
Tawaran yang sungguh tidak disangka-sangka dan membuat Jeana menggeleng seketika. "Terima kasih, Pak. Tapi saya nggak mau merepotkan."
"Nggak repot. Kamu cukup naik dan tidak usah berdebat!"
Sebuah ajakan yang mengandung perintah, membuat Jeana tidak kuasa menolak. Ia naik dengan ragu-ragu dan malu-malu. Berusaha untuk tetap tenang meskipun duduk bersebelahan dengan seorang direktur utama dari perusahaan besar. Bahkan dalam mimpi sekalipun tidak pernah terbersit hal seperti ini. Saat kendaraan melaju mulus meninggalkan rumah sakit, jantung Jeana berdetak cepat. Menunduk sambil meremas kantong berisi obat-obatan. Dean sibuk menerima panggilan dan ia berusaha untuk tidak menguping, meskipun sulit melakukannya karena duduk bersampingan.
"Kamu punya asma?"
Dean mengawali obrolan, dijawab Jeana dengan anggukan. "Iya, Pak."
"Alergi atau bawaan?"
"Bawaan, dari kecil saya sudah punya asma."
"Biasanya kambuh karena apa?"
"Tidak pasti, Pak. Kadang panas, debu, atau kelelahan."
"Kalau begitu kamu harus menjalani hidup dengan gembira, biar asma kamu nggak kambuh."
Jeana mengerjap, lalu menghela napas panjang. Tentu saja ia juga ingin menjalani hidup dengan gembira tapi bagaimana caranya? Terutama setelah sekarang hubungan cintanya hancur. Tidak yakin lagi akan ada kegembiraan dalam hidupnya. Sebenarnya mudah saja mengatakan kalau akan ada cinta yang baru setelah yang lama hancur tapi bukankah itu hanya sekedar basa-basi dan penghiburan untuk diri sendiri. Nyata patah hati bukankah hal yang menyenangkan untuk dirasa. Jeana mengusap perutnya dengan malu saat berkriuk nyaring.
"Kamu belum makan?" Dean bertanya.
"Sudah, Pak."
Perutnya berkhianat dengan berkriuk lebih nyaring kali ini. Jeana menunduk makin dalam. Dean meminta sopir berhenti di restoran fast food, memesan ayam goreng dan sup dari drive thru dan memberikan pada Jeana.
"Makan yang banyak, kamu harus sehat lagi. Ingat, ada iklanku yang harus kamu rampungkan."
"Terima kasih, Pak."
Mau tidak mau Jeana merasa terharu, di saat kesulitan seperti ini orang yang membantunya sungguh tidak disangka-sangka. Bukan teman atau kerabat, tapi orang lain yang sama sekali tidak ada hubunga apa pun dengannya. Rupanya Tuhan merasa kasihan dengannya karena itu mengirimkan Dean sebagai penyelamat di situasinya yang sedang sulit seperti sekarang.
Dari pembicaraan yang dicuri dengarnya, Dean datang ke rumah sakit untuk menjenguk seorang kolega. Nasib baik mempertemukan mereka, setidaknya itu menurut pemikiran Jeana. Bisa jadi Dean hanya sekedar berbuat baik pada orang yang sedang sakit.
"Jeana, itu namamu bukan? Barangkali aku salah ingat."
"Benar, Pak. Nama saya Jeana."
"Presentasimu kemarin bagus, dan aku juga sudah melihat beberapa iklan yang kamu kerjakan. Aku optimis kalau iklan kali ini akan menarik bagi masyarakat dan meningkatkan daya beli."
"Saya akan berusaha sekuat tenaga, Pak. Agar tidak mengecewakan Anda."
"Sebelum kamu berjanji padaku, satu hal yang kamu harus lakukan adalah satu, Jeana."
Jeana mendongak dan pandangan mereka bertemu. Dean yang punya tatapan setajam elang seakan ingin mempengaruhi Jeana melalui binar matanya. Tanppa sadar Jeana meneguk ludah.
"Ya, Pak?"
"Jaga kesehatanmu. Tidak peduli betapa besar ambisimu, seberapa kreatif otakmu, kalau tubuhmu tidak sehat maka semuanya tidak akan sejalan."
Sebuah kata-kata sederhana tapi mengena, Jeana tidak bisa menahan rasa haru. Kalau tidak karena rasa malu, bisa jadi ia akan menangis dengan kencang sekarang ini. Untungnya ia masih punya rasa malu dan tidak melakukannya meskipun menerima kebaikan yang bertubi-tubi dari orang yang baru dikenalnya.
Menengok masa-masa ke belakang, Jeana sekarang menyadari satu hal penting. Dulu saat Amera sakit, ia akan menengok dan merawatnya tapi kalau keadaan berbalik, dirinya akan berjuang sendirian. Amera akan menggunakan segala macam alasan untuk menghindarinya. Dari mulai jadwal rapat serta pekerjaan yang menumpuk. Pernah satu kali saat dirinya sakit, tanpa sengaja tahu kalau Amera justru ke bar bersama teman-teman lain alih-alih menjenguknya, perempuan itu pandai berkrelit.
"Gue sebenarnya nggak mau, tapi terpaksa. Mereka ngancem kalau lo bakalan dipotong gaji."
"Apa urusannya gaji gue sama mereka?"
"Nggak tahu! Denger-denger Nail dekat sama HRD. Ya sudah, demi biar gaji lo aman, gue ikut aja."
Saat itu Jeana sangat bodoh, dan mudah begitu saja percaya dengan perkataan Amera. Dipikir lagi memang dirinya yang tidak pandai menilai orang. Terlalu dibutakan oleh kebaikan Amera yang ternyata adalah palsu. Saat kendaraan berhenti di depan gang, Jeana membungkuk untuk mengucapkan terima kasih pada Dean.
"Pak, saya terbantu sekali hari ini. Terima kasih banyak."
Dean mengangguk dari dalam mobil. "Lekas sembuh dan kembali sehat, Jeana."
Dengan perasaan berdebar yang aneh, Jeana menatap kendaraan Dean yang menjauh. Laki-laki kaya raya tapi bersikap sangat lembut serta perhatian padanya. Jeana merasa kalau istri Dean pasti orang yang sangat beruntung karena punya suami yang begitu baik. Menghela napas panjang, ia membalikkan tubuh dan menyusuri gang yang ramai menuju kontrakannya. Menyadari kalau nasibnya tidak akan sebaik istri Dean, karena laki-laki yang dicintainya sedang mempermainkannya.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 25.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top