Bab 4
Dean berdiri menatap jendela yang basah karena hujan dengan ponsel di tangan. Ia baru saja menelepon kepala pelayan dan mendapat laporan kalau anaknya belum pulang. Tidak biasanya sampai terlambat begini. Ia menelepon berkali-kali tapi tidak diangkat. Lima kali panggilan dan akhirnya ia menyerah. Meletakkan ponsel ke meja lalu mengambil rokok. Ia menyalakan pembersih udara sebelum menyulut rokok. Tetap berdiri di tempatnya, menikmati kesendirian di tengah kekuatiran yang melandanya.
Terbilang sukses di usia muda, Dean memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang makanan. Serealnya menjadi katagori sarapan nomor satu, belum lagi susu, snack, serta minuman kemasan lain. Total ada lima perusahaan dalam satu grup. Ia berencana untuk mengembangkan perusahaan lain berupa waralaba minuman kemasan. Sedang dalam tahap negosiasi dengan investor.
Ia memiliki semuanya, uang, kekuasaan, serta kesuksesan. Sayangnya tidak berhasil dalam rumah tangga. Istrinya meninggalkannya bertahun-tahun lalu, tanpa memberi kabar di mana keberadaannya sedangkan anaknya tidak mau dekat dengannya. Dean selalu mencoba menjadi orang tua yang pengertian sayangnya tidak mudah mengasuh anak yang beranjak dewasa. Selalu berusaha untuk membuatnya marah, membangkang, dan juga membantah. Ia tidak habis pikir kenapa anak abege harus bersikap memberontak. Padahal kalau dipikir lagi, ia dulu juga begitu.
Satu panggilan masuk ke ponselnya, ia bergegas menerima karena berharap itu anaknya. Sayangnya bukan. Mengangkat dengan enggan, ia menyapa perlahan.
"Elena, ada apa?"
"Sayang, kamu di mana?"
"Di kantor."
"Sudah sore belum pulang?"
"Mungkin sebentar lagi."
Terdengar desahan lembut dari ujung telepon. Suara merdu kembali menyapa. "Bagaimana kalau kamu mampir ke bar? Kita bisa mengobrol sambil minum."
"Aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Harus pulang, si pemberontak kecil itu belum pulang sampai jam segini."
"Dean, kamu terlalu memanjakan anakmu. Dia sudah dewasa."
"Baru tujuh belas tahun. Apa yang bisa kita harapkan dari anak umur segitu?"
"Tetap saja menurutku kamu terlalu memanjakannya. Harusnya bisa lebih tegas. Kamu nggak mau mempertimbangkan usulku?"
"Soal apa?"
"Memasukkan anakmu ke sekolah asrama? Dengan begitu dia akan jadi lebih patuh dan teratur. Nggak bandel, nggak manja, nggak bikin kamu jantungan lagi."
Dean menolak dengan tegas usul Elena. "Tidak! Apa pun yang terjadi, anakku harus tetap di sampingku dan berada di bawah pengawasanku."
"Deaan, ini semua untuk kebaikan kalian, Sayang."
"Elena, sebaiknya aku pulang sekarang. Takut terjadi sesuatu di rumah. Nanti aku telepon kamu lagi."
"Oh, baiklah. Ingat, aku menunggumu di bar!"
Mematikan panggilan tanpa lebih dulu berpamitan, Dean menatap ponselnya sambil mengernyit. Tidak habis pikir dengan ide dari Elena. Setelah bersusah payah mengusahkan agar anaknya tinggal bersamanya, bagaimana bisa ia mendorong agar tinggal di asrama. Sungguh ide yang tidak masuk akal untuknya. Ia bahkan sedang berpikir bagaimana agar hubungannya dengan si anak membaik serta akrab, dan bukan malah ingin menjauh.
Setelah menghabiskan rokok, Dean memanggil sekretarisnya. Memberikan detil pekerjaan untuk esok, membuat rencana, dan setelahnya bergegas untuk pulang. Ia berjibaku dengan hujan dan kemacetan menuju rumah.
**
Ruang tamu terasa mencekam dengan situasi yang menyakitkan. Di luar hujan kembali turun dengan deras, menambah dramatis suasana. Napas Jeana perlahan kembali normal setelah menyemprot beberapa kali. Kekalutan yang dirasakannya membuat asmanya kambuh, ditambah dengan lelah karena berjalan cukup jauh serta hujan yang menerpa. Membuat rambut, tubuh, serta pakaiannya basah. Ia menatap tidak percaya pada Amera yang terlihat molek dalam balutan gaun tidur. Kemeja Prima terbuka, hingga menunjukkan dadanya yang bidang. Sebuah adegan mesum yang bagi sebagian orang dianggap hanya terjadi di sinetron atau film, nyatanya menimpa Jeana.
"Kenapa? Kalian berbohong?" Itu adalah kalimat pertama yang berhasil diucapkan oleh Jeana. Di belakangnya, Dustin mendekat. Seolah takut kalau dirinya tiba-tiba ambruk.
Prima hendak membuka mulut tapi Amera menggeleng perlahan. "Biar aku jelaskan padanya. Kamu diam saja dulu."
Perintah Amera diberi anggukan oleh Prima. Laki-laki itu menatap Dustin yang berdiri tepat di belakang Jeana. Berusaha mengingat apakah kenal dengan anak berseragam SMU itu tapi ternyata tidak. Siapa pemuda itu? Kenapa datang bersama Jeana? Pertanyaan itu bisa dijawab nanti, yang utama sekarang adalah masalah mereka harus diselesaikan dulu.
"Jeana, lo harus tenang lebih dulu dan dengarkan penjelasan gue," tutur Amera dengan nada lembut. Tersenyum manis pada Jeana seolah hal yang terjadi bukan masalah besar. "Semua ini terjadi dengan tiba-tiba. Maksudku hubungan gue dengan Prima."
Jeana menatap nanar pada perempuan cantik yang selama ini dianggap sahabatnya. Ternyata persahabatan sekian tahun menguap begitu saja karena pengkhinatan.
"Kenapa Prima? Ada banyak laki-laki di dunia. Kenapa harus dia? Amera, lo tahu Prima siapa?"
"Jeana, jangan menyalahkan Amera. Hubungan ini dilakukan dengan suka rela. Kalau mau menyalahkan orang, salahkan aku!" sela Prima.
Menahan air mata yang hendak keluar, Jeana menggeleng cepat. Ia harus kuat, tidak boleh ambruk di tempat ini. Tidak boleh lemah meskipun kakinya terasa lemas. Kenyataan yang menghantamnya memang menyakitkan tapi bukan berarti akhir dunia.
"Prima, kamu sungguh tidak tahu malu. Bertunangan denganku tapi tidur dengan sahabatku!"
"Kamu salah, Jeana. Aku memang bertunangan denganmu tapi sedari awal, aku nggak pernah cinta sama kamu," ucap Prima dengan ketegasan mutlak. Menatap Jeana yang terbelalak tanpa goyah. "Kamu harus tahu cerita yang sesungguhnya agar kamu nggak salah paham."
"Cerita apa lagi yang harus aku tahu? Tentang kalian yang berselingkuh? Kalian yang membohongiku? Selama ini aku mengira kalau Amera adalah sahabat dan saudaraku. Kamu, adalah belahan jiwaku, Prima. Kenapa jadi begini? Kenapaaa?" jerit Jeana sedikit histeris. Ingin menumpahkan perasaan yang menggumpal dalam dada.
Amera mendekat, mengulurkan tangan ingin memeluk Jeana tapi Dustin menghalanginya. "Tetap di situ. Jangan mendekat!"
Amera melotot pada pemuda yang tidak dikenalnya dan berani menyuruh-nyuruhnya. Mengabaikan rasa kesal, ia menghela napas panjang dan bersidekap. "Jeana, demi persahabatan kita yang sudah berjalan bertahun-tahun, gue memutuskan untuk terus terang sama lo!" Kata-kata Amera terhenti saat Prima menghampiri dan memeluk bahunya. "Sejujurnya Prima suka sama gue sudah dari lama. Karena gue punya pacar, dia hanya bisa berharap dalam diam. Saat tahu kalau lo naksir dan suka sama dia, Prima menerima karena tidak enak hati menolak. Sekarang setelah gue putus, Prima datang menyatakan cinta karena memang tidak bisa membohongi hati nurani. Maafkan dia, Jeana. Orang jatuh cinta tidak bisa berencana."
Jeana menghela napas panjang, mendengar tutur kata Amera. Semudah itukah mereka mematahkan hatinya? Padahal selama ini ia selalu berusaha untuk bersikap baik, untuk mengerti, dan menjaga sahabat serta tunangannya. Tapi ternyata kebaikannya tidak membuat mereka sadar tapi justru mengkhianatinya.
"Seharusnya dari awal kamu nggak tunangan sama aku, Prima," ucap Jeana dengan getir.
Prima menggeleng. "Aku sudah berusaha menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya tapi kamu nggak mau ngerti! Kamu selalu merengek ingin bertemu. Merayu dan bersikap baik yang membuat hati iba. Bagaimana bisa aku bicara jujur, coba katakan padaku? Memangnya kamu bisa kalau aku bilang nggak cinta sama kamu tapi sama Amera?"
"Jadi, semua ini salahku? Kalian yang berkhianat dan aku yang salah?" teriak Jeana.
"Jeana, jangan mendramatisir keadaan. Semua akan baik-baik aja kalau lo bisa mikir dengan tenang. Coba lo pikir selama kita temenan, mana pernah gue nyakitin hati lo? Gue selalu ngebela lo dari orang-orang reseh. Tapi, untuk sekarang dengan terpaksa gue minta maaf karena nggak bisa bohong. Gue cinta sama Prima, Jeana."
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan, Jeana yang patah hati dan hancur lebur hanya bisa terisak. Ia benci dengan sikapnya sekarang, menangis di depan para pengkhinat. Tapi air mata turun dengan sendirinya dan tidak terbendung. Jemarinya mengusap cincin pertunangan dari Prima. Ingin melemparkan cincin itu ke muka Prima tapi sesuatu menahannya. Tidak akan semudah ini mereka menyakitinya.
"Kaak, kamu nggak apa-apa?"
Suara Dustin membuat Jeana tersadar kalau di ruangan ini ia tidak sendirian. Ia menatap bunga dalam genggaman Dustin dan juga bubur yang dibelinya untuk Amera. Merenggut dua barang itu dari tangan Dustin dan melemparkan ke arah Prima. Bunga mengenai lengan Amera sedangkan bubur nyaris mengenai wajah Prima tapi luput dan jatuh ke lantai.
"Amera, kamu gilaa!" teriak Prima saat melihat Amera mengernyit kaget.
Jeana menghela napas panjang lalu tertawa keras. Tawanya tidak terhenti bahkan saat air mata bercucuran. Ia menertawakan nasibnya yang seperti pengemis di hadapan Prima dan Amera. Membalikkan tubuh, ia bergegas keluar dengan Dustin mengikuti dari belakang. Mereka kembali sepayung berdua, menyusuri jalanan yang basah oleh hujan. Tangisan Jeana tidak mudah dihentikan, dan Dustin pun hanya memegangi payung tanpa berkata apa-apa. Hujan, air mata, dan pengkhianatan, Jeana merasa hari ini adalah hari apesnya.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 15.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top