Bab 21

Rumah yang terletak di pinggiran kota itu sangat luas, dengan pagar putih mengelilingi. Pepohonan rindang, tanaman dalam pot besar, serta beberapa binatang dalam kandang besi menabah kesan nyaman. Beberapa pelayan terlihat sedang bekerja, memberim makan kucing, burung, serta peliharaan lain di samping rumah. Ada juga yang sedang memangkas tanaman dan membersihkan halaman.

Di bagian kanan halaman, tepat di samping kolam yang jernis, Dean sedang bicara dengan ibunya. Sedari tadi ia mendengarkan dalam diam bagaimana ibunya berbicara dan mencermahinya, terutama soal pernikahannya dengan Elena. Ia memang mendengarkan tapi tidak benar-benar mencerna, karena sudah sering mendengar hal yang sama. Bukannya ia tidak menghormati sang ibu, tapi dengan duduk diam dan mendengarkan semua perkataan hingga tuntas adalah bentuk lain dari menghargai orang yang sudah melahirkannya.

Sesekali terdengar suara kucing mengeong dengan keras, mampu memecah perhatian Dean tapi hanya sekilas lalu perhatian kembali pada ibunya. Dustin pergi entah kemana, ia menduga anaknya sedang mengurung di diri lantai dua, dan sedang bermain game online.

"Mama nggak akan maksa kamu untuk menikah kalau memang kamu belum siap. Dean, kamu menduda sudah hampir 10 tahun, orang-orang sibuk menggunjingmu karena menganggap kamu patah hati terlalu lama semenjak Firly pergi. Mama sudah berusaha menangkis beragam isu dan cibiran itu saat kamu bertunangan dengan elena. Tapi apa yang terjadi? Sudah dua tahun kamu dan Elena berhubungan dan sampai sekarang nggak ada kejelasan untuk menikah? Kamu nggak cinta sama Elena?"

Pertanyaan sang mama membuat Dean sedikit tersentak, menghela napas panjang dan tersenyum kecil. "Di umurku ini memangnya cinta masih penting, Ma?"

"Loh, kamu itu bicara apa? Mau berapa pun umur kita, cinta itu elemen penting dalam hidup. Kamu pikir mama dan papamu akan bertahan sampai sekarang tanpa cinta? Deaan, kamu ini aneh, Nak."

Dean tercenung, memikirkan letak cintanya pada Elena dan entah kenapa merasa tidak menemukannya. Ia diperkenalkan pada perempuan itu oleh orang tuanya, awalnya pembicaraan tentang bisnis dan berlanjut pada kelanjutan hubungan. Desakan orang-orang tua di sekitarnya membuat Dean menerima ajakan untuk bertunangan tanpa banyak kata. Lagi pula saat itu ia sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun, sedang tidak mencintai perempuan mana pun dan akhirnya setuju meneruskan hubungan demi bisnis dan keluarganya. Orang tuanya memang mendukung dirinya bahagia dengan siapa pun itu, tapi tidak dengan anaknya. Bisa terlihat jelas kalau Dustin dan Elena kurang menyukai satu sama lain, bukankah itu berarti akan ada masalah kalau nanti ia menikah? Elena meyakinkan dirinya kalau setelah menikah dan tinggal bersama akan bisa mengambil hati Dustin, meskipun jujur saja Dean tidak yakin akan hal itu.

Bicara soal cinta, mendadak ingatan Dean tertuju pada seorang gadis yang sedang menghadapi masalah hati. Jeana bercerita, mempunya tunangan yang akhirnya dikhianati oleh temannya sendiri. Patah hati membuat gadis itu berubah, dari semula gemuk menjadi langsing. Kalau dipikir lagi kisah mereka nyaris sama, ia pun dikhinati oleh istrinya dengan laki-laki yang juga dekat dengannya. Luka hati, putus asa, menjadikannya laki-laki yang hanya sibuk bekerja dari pada mengurus soal cinta. Tanpa sadar Dean tersenyum karena mengingat Jeana dan persamaan hidup mereka. Gadis yang jauh lebih muda darinya, tapi kisah hidupnya tidak kalah pelik darinya.

"Dean, kenapa senyum-senyum?"

Teguran sang mama membuat Dean malu. Menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal dan berlanjut dengan mengusap leher belakang.

"Ma, nanti aku pikirkan soal pernikahan, menunggu sampai Dustin lulus mungkin."

"Kenapa menunggu Dustin lulus?"

"Dustin ingin kuliah ke luar negeri, bisa jadi karena merasa nggak nyaman karena aku akan menikah. Biarkan kami bicara dulu soal ini, Ma. Gimanapun Dustin lebih penting dari pernikahan atau hal pribadiku."

Mustika menatap anak laki-lakinya dengan tidak puas, ingin menyanggah perkataan Dean tapi memutuskan untuk tetap diam. Ia bisa melihat kalau kata-kata itu semacam penolakan halus untuk menikah lebih cepat. Sebenarnya Mustika sadar kalau anaknya yang akan menjalani kehidupan pernikahan nanti, jadi Dean berhak memutuskan untuk tetap berlanjut atau tidak. Sedangkan yang ia inginkan adalah kebahagiaan bagi anaknya yang sudah menduda sangat lama. Ia tidak suka melihat anaknya bekerja sepanjang waktu hanya untuk membunuh rasa sepi.

"Dustin nggak akur sama Elena?" tanya Mustika hati-hati.

Dean menggeleng. "Bukan nggak akur, Ma. Tapi mungkin perlu waktu untuk lebih kenal satu sama lain."

"Kalau begitu kamu harus sering ajak keduanya bersama. Entah makan atau bepergian. Mungkin kalau sering bertemu akan tahu sama lain dan jadi dekat nantinya."

"Iya, Ma. Kalau nanti ada waktu."

"Harus diusahakan Dean. Bersikaplah serius dengan pernikahanmu. Perkara Dustin biar mama yang bicara dengannya. Anak itu sudah besar, harusnya mengerti kalau papanya membutuhkan pendamping."

Dean tidak tahu apakah rencana mamanya akan bisa diterapkan dalam hubungannya, mengingat kesibukan luar biasa darinya dan Elena. Belum lagi Dustin yang selalu menolak ajaknnya. Urusan pertunangan dan juga anaknya, membuat Dean lebih pusing dari pada mengurus pekerjaan.

Keduanya mengobrol dan tidak menyadari Dustin yang sedang mencuri dengar dari ruang samping. Pemuda itu termenung mendengar percakapan nenek dan papanya. Rupanya selama ini sang papa memang sengaja tidak terlalu menganggap serius pernikahan karena memikirkan dirinya. Meski begitu Dustin menolak untuk mengakui kalau yang dilakukan papanya karena cinta. Ia yakin ada hal yang lebih penting dan lebih besar yang sedang di pikirkan papanya dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengannya. Meninggalkan ruang samping, Dustin duduk di ruang tengah. Meraih ponsel dan terbelalak saat melihat foto yang dikirimkan Rachel untuknya.

"Gimana? Cantik'kan kakak lo?"

Jeana tampil sexy dalam balutan gaun merah menyala dengan riasan yang sedikit tebal. Memang cantik tapi Dustin tidak menyukainya.

"Kenapa harus kayak gitu gaunnya? Kayak penyanyi dangdut mau manggung." Ia membalas cepat.

"Heh! Namanya juga sengaja mau cari gara-gara, yakali pakai gaun biasa aja."

Dustin berdecak tidak puas, melihat betapa pendek rok Jeana dan tali kecil dari gaun membuat seluruh kulitnya terekpos. Ia tidak yakin kalau keluarga Prima akan terkena serangan jantung saat melihat Jeana. Ia hanya berharap tidak ada kejadian yang akan membuat Jeana terhina.

"Rachel, lo hebat undah mau bantu Kak Jeana."

Pujian Dustin tak lama dijawab dengan satu pesan singkat oleh Rachel. "Traktir gue, ye. Lo dah janji!"

Dustin memikirkan sesuatu dan mengetik cepat. "Lo suka musik? Band indi suka nggak?"

"Mayan suka. Napa emangnya?"

"Hari Minggu, ayo, pergi nonton band ke taman hiburan. Gue yang bayarin."

"Asyik! Gue mau banget."

"Kasih alamat, ntar gue jemput dan kalau bisa pakai celana karena naik motor."

Dustin awalnya tidak akan menyangka kalau Rachel akan mengiyakan ajakannya. Mengingat tempat pertunjukan bisa jadi akan panas dan penuh sesak. Untuk Rachel yang terbiasa tampil cantik dan menawan, tempat itu belum tentu cocok. Di luar dugaan Rachel menyetujui ajakanya dan Dustin tanpa sadar tersenyum, mempertimbangkan apakah akan mengajak teman-temannya yang lain atau tidak. Sepertinya kali ini ia akan meninggalkan mereka semua dan hanya datang berdua ke pertunjukan.

**

Jeana bersikap tidak peduli pada tatapan menuduh dan mencemooh yang dilontarkan kedua orang tua Prima padanya. Ia bisa mendengar isi kepala mereka tentang dirinya meskipun tidak terucap. Sama persis dengan apa yang diucapkan sang mama padanya kala pertama berjumpa. Kritikan tajam seakan hanya Prima laki-laki paling sempurna di dunia dan tidak sepadan bersanding dengannya.

"Anakkku mengatakan kamu adalah perempuan yang akan jadi istrinya. Apa pekerjaamu?"

"Tim pelaksana untuk proyek, Ma."

"Oh, gajimu besar?"

"Ya, cukup, sih."

"Cukup saja artinya nggak cukup. Kamu tahu apa posisi anakku bukan? Manajer! Artinya apa? Gajinya besar. Aku sudah menjodohkan Prima dengan beberapa perempua muda dan cantik dengan karir bagus. Entah kenapa apa dia memilihmu. Ngomong-ngomong pakaianmu nggak kayak anak muda pada umumnya. Apa kamu terlalu berhemat untuk hidupmu?"

"Bukan, Ma. Tapi—"

"Oh, kamu kegemukan, sih? Makanya pakaian yang modis dan cantik nggak bisa kamu pakai. Sayang, ya? Padahal masih muda!"

Saat semua hinaan itu terlontar dari bibir sang mama, Prima hanya diam mendengarkan dan sama sekali tidak berniat membela Jeana. Membuat suasana pertemuan menjadi kaku terutama setelah pembicaraan beralih pada urusan keluarga mereka dan Jeana hanya jadi pendengar. Duduk salah tingkah, tidak mengerti harus melakukan apa. Ia makan atau minum, maka pandangan tajam penuh kritikan akan tertuju padanya.

"Cemilan itu terlalu berminyak, minumannya juga manis sekali. Sadar diri, Jeana. Kamu mau nambah berat badan untuk membuat anakku kesusahan?"

Pada akhirnya Jeana hanya terdiam dan menunduk, tidak menyentuh apa pun yang dihidangkan selain buah dan sayuran. Itu berlangsung tidak hanya sekali tapi setiap kali Prima mengajaknya bertemu orang tua. Tapi kali ini berbeda, Jeana bukan lagi yang dulu. Perempuan lugu dan tidak percaya diri. Bertemu dengan Dustin dan Rachel yang banyak membantunya, juga Dean yang selalu memberinya semangat serta mengatakan kalau dirinya punya potensi, membuat percaya dirinya meningkat pesat. Tanpa mereka serta dokter yang pertama kali menasehatinya, bisa jadi ia akan tetap menjadi Jeana yang tertekan dan tertindas.

"Jeana, apa yang ka-mu pakai sekarang?"

Prima mendekat dan berbisik padanya. Jeana mengerling dengan genit. "Bukannya kamu selalu bilang suka cewek sexy? Aku sengaja loh pakai gaun ini buat kamu."

Prima meneguk ludah, menatap tubuh Jeana yang begitu menggoda. Meski awalnya terkejut tapi ia harus mengakui kalau Jeana sangat-sangat cantik setelah berubah drastis.

"Tapi, gaunnya terlalu terbuka."

"Begitukah? Aku pindah kursi kalau begitu. Biar kamu nggak lihat."

Jeana berdiri dan Prima dengan panik menarik pergelangan tangannya. "Jangan! Tetap duduk di sini saja!"

"Oh, kirain kamu nggak suka."

Jeana kembali mengenyakkan diri dan tersenyum. Padangannya bertemu dengan mamanya Prima yang melotot dengan bola mata seakan ingin meloncat keluar.

"Apa-apaan kamu, Jeana? Ke-napa berpenampilan memalukan seperti ini?"

Membalas perkataan perempuan itu Jeana hanya mengangkat bahu. "Apa kabar, Ma? Sudah lama nggak ketemu dan yang Mama ucapkan adalah kritikan untuk penampilanku? Hebat!"

Semua orang tercengang mendengar bantahan Jeana yang dianggap sangat berani. Mengangkat tangan Jeana memanggil pelayan dan memesan jus tanpa gula.

"Aku perlu minum, karena semua orang di sini sudah memesan minuman tapi melupakanku!"

Jeana mengakhiri kata-katanya dengan tangan terlipat di atas lutut.
.
.
Sudah PO?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top