Bab 20
Dean menghela napas kesal saat melihat Elena di rumahnya sepagi ini. Ia baru saja bangun dan bersiap pergi saat kekasihnya muncul tanpa diundang. Apakah Elena tahu kalau ia tidak ingin diganggu pada hari libur? Tidak ingin bertemu tanpa pemberitahuan lebih dulu. Elena semestinya tahu hal itu tapi menolak untuk menerimanya.
"Sayang, udah rapi banget. Ada acara?"
Menuruni tangga dengan kedua tangan di dalam saku, Dean mendekati Elena. "Kenapa kamu datang tanpa memberi kabar?"
Pertanyaan Dean terdengar sangat ketus di telinga Elena. Ia melipat tangan di depan tubuh dengan mata memancarkan kekesalan. "Kamu aneh, Dean. Aku sedang ada di sekitar sini, sengaja datang ingin mengajakmu sarapan. Apakah aku mengganggumu?"
Keduanya saling pandang, Dean berusaha keras menahan rasa kesalnya. Minggu pagi pukul delapan dan Elena sudah muncul di rumahnya, tentu saja membuatnya sedikit terganggu. Dean turun hingga ke anak tangga terakhir, tidak menghampiri kekasihnya melainkan menuju meja makan dan mengambil air dalam botol kaca, membuka lalu meneguknya perlahan.
"Bukan terganggu tapi kaget aka kenapa kamu muncul tanpa pemberitahuan."
Senyum muncul di bibir Elena, menghampiri kekasihnya dan melingkarkan lengan di pinggang Dean yang kokoh. Ia begitu menyukai calon suaminya ini. Tampan, berwibawa, dan pekerja keras. Dean tidak seperti laki-laki kaya pada umumnya yang suka sekali menebar pesona pada lawan jenis. Justru sebaliknya, sangat menjaga jarak dan dingin pada perempuan yang tidak dikenal, hal yang membuat Elena merasa bangga dan sekaligus sangat dicintai. Meskipun sering kali Dean bersikap sangat menyebalkan padanya.
"Maafkan aku, tapi memang aku merindukanmu. Makanya sengaja pagi begini datang. Ayo, sarapan bersama. Mau pelayan yang masak atau makan di luar, aku nggak keberatan. Jam sepuluh nanti aku ada kerjaan di sekitar sini, kita masih punya waktu dua jam untuk berdua."
"Elena, aku nggak bisa," tolak Dean perlahan.
"Kenapa?"
"Sudah ada janji dengan anakku."
Terdengar langkah kaki menuruni tangga, Dustin muncul dengan wajah mengantuk dan rambut yang sedikit basah di bagian depan. Memakai kaos putih dengan celana jin belel, pemuda itu menatap sang ayah dan kekasihnya. Mengangguk kecil pada Elena.
"Tante, apa kabar?"
Dustin mengamati bagaimana sang ayah perlahan melepaskan pelukan Elena di pinggangnya. Menjauh untuk mengambil botol air mineral dan memberikan padanya. Ia merasa sebagai penganggu terutama saat melihat sikap Elena yang jelas-jelas tidak menyukainya.
"Kalian ada janji?" tanya Elena tanpa membalas sapaan Dustin.
"Ada janji dengan mamaku. Dia ingin bertemu Dustin." Dean yang menjawab.
Elena menatap Dean lekat-lekat, ada harap yang tidak dapat disembunyikan dari binar matanya. Ia hanya sekali bertemu orang tua Dean saat peresmian hubungan dan sampai sekarang belum pernah bertemu lagi. Bukankah ini seharusnya menjadi waktu yang baik bagi Dean untuk mengajaknya?
"Apakah aku boleh ikut?" tanyanya penuh harap.
"Bukannya kamu ada kerjaan jam sepuluh nanti?"
"Memang, tapi bisa diundur kalau memang kamu mengajakku."
Deana melayangkan pandangan pada anaknya dan terlihat wajah Dustin yang muram seketika. Ia menggeleng dengan tegas.
"Maaf nggak bisa ajak kamu."
Elena terbelalak. "Kenapa?"
"Mamaku ingin mengajak Dustin ke suatu tempat dan aku ke sana hanya mengantar saja."
"Bagus kalau begitu, kita tinggal saja anakmu di sana lalu kita pergi kemana gitu berdua saja."
Perkataan Elena membuat Dustin kesal. Tidak ada penyebutan namanya, Elena hanya menganggapnya sebagai anak dari kekasih, bukan seorang manusia dengan kepribadian dan nama. Ia meninggalkan ruang makan, melangkah cepat menuju garasi.
"Daddy, jangan lama-lama. Sudah siang!"
Mengabaikan sopan santun ia berteriak keras dan menghilang di balik pintu. Tidak peduli kalau Elena merasa marah dan menganggapnya tidak sopan. Perempuan itu yang tidak mengerti bagaimana semestinya bersikap. Bukankah sebagai kekasih sudah semestinya berusaha mengambil hati keluarga calon suaminya? Sepertinya hal itu tidak berlaku bagi Elena. Bisa jadi karena merasa punya uang dan kuasa, Dustin bukanlah orang penting yang harus diperhatikan. Masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan, ia menyalakan musik dan menunggu sang ayah datang. Terheran-heran saat sang ayah datang lebih cepat dari dugaannya. Elena pun sama, muncul dengan wajah masam dan masuk ke mobil tanpa senyum. Mereka bertengkar rupanya.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintah Dean sambil memasang sabuk pengamannya sendiri.
Dustin melakukan apa yang diperintahkan sang ayah dalam diam. Menilik sikap sang ayah yang terlihat santai sepertinya hanya Elena yang marah.
"Daddy, boleh tanya sesuatu?" tanya Dustin saat kendaraan mereka melewati gerbang rumah.
"Ada apa?" Dean mengarahkan pandangan ke jalanan yang sepi.
"Daddy mengangkat pegawai baru?"
Dean menatap heran, tidak biasanya Dustin tertarik urusan perusahaan. "Pegawai baru diangkat oleh tim HRD. Kenapa?"
Dustin menggeleng. "Nggakm cuma tanya aja. Ada saudaranya teman mengaku diterima kerja di Real Food."
"Bisa jadi dia ikut seleksi. Kamu kenal secara pribadi?"
Dustin lagi-lagi menggeleng, teringat akan Jeana dan apa yang dikatakan sang ayah ada benarnya. Tidak mungkin sang ayah tahu soal kepegawaian, dan tidak mungkin juga mengenal Jeana. Sepanjang jalan mereka saling diam seperti biasa. Hubungan ayah dan anak yang kaku dalam komunikasi. Suara radio yang terdengar lirih menemani perjalanan yang panjang.
**
Jeana dibantu Rachel berdandan. Kali ini riasan dibuat sedikit terang dan tebal, sesuai dengan tema pakaian. Dustin mengatakan sedang ada urusan penting karena itu tidak bisa datang. Layaknya kakak dan adik, Jeana mengobrol akrab dengan Rachel dan merasa cocok satu sama lain. Siapa sangka, dibalik sikap Rachel yang ceria ternyata tersimpan kesedihan mendalam.
"Selama ini aku mengira kalau ibu tiri jahat itu hanya ada di novel atau drama, tapi ternyata benar adanya. Kamu kuat sekali, Rachel."
Rachel mengoles wajah Jeana dengan kuas besar, duduk berhadap-hadapan di dalam ruang tamu yang terang benderang.
"Mau bilang nggak kuat tapi harus kuat, Kak. Mereka pintar bersandiwara di depan papa, dan membuatku terlihat seperti pecundang. Nggak peduli apa pun yang aku lakukan, di mata sang ayah hanya ada adik tiriku yang cantik dan penurut sedangkan aku si anak pemberontak."
"Dustin bilang kamu di sekolah terhitung siswa teladan dan sering dapat penghargaan kalau ikut lomba."
"Hanya lomba tertentu tapi saudara tiriku, jauh lebih unggul dariku. Dia bisa semuanya dari musik, pelajaran, sampai olah raga. Definisi gadis sempurna."
Jeana meraih jemari Rachel dengan cepat dan menggeleng. "Kamu juga sempurna. Rachel, jangan sampai rendah diri karena orang lain. Kamu lihat apa yang terjadi padaku bukan? Merasa rendah diri pada akhirnya semua orang menginjakku. Kamu harus kuat dan tegar, apa pun yang terjadi."
Rachel tersenyum, mengangguk dengan terharu karena Jeana memperhatikannya. "Terima kasih, Kak."
Selama menyelesaikan proses make-up, Jeana sibuk menerima beberapa pesan di ponselnya. Dean yang mengabarinya tentang update grup musik jazz dan meminta pendapatnya soal lagu.
"Menurut saya lagu ini terlalu pop untuk dikatakan jazz."
"Sepakat, aku pun merasakan hal yang sama."
"Pak Dean hari Minggu nggak jalan-jalan?" tanya Jeana iseng.
"Nggak, aku lagi kumpul keluarga."
Rasa iri menyeruak dalam dada Jeana mendengar tentang keluarga. Rasanya akan sangat menyenangkan bila punya keluarga besar yang memperhatikannya. Saat kakek masih hidup, ia masih sering bertemu beberapa kerabat dan sepupu, sekarang keakraban menghilang seiring berjalannya waktu. Satu pesan dari Amera mengalihkan kesedihan Jeana. Ia tersenyum puas saat menerima pesan itu.
"Gendut, Prima ajak lo karena nggak mau bikin orang tuanya kaget. Ingat, jangan macam-macam lo ntar!"
Ia bersikap bijak dengan tidak membalas pesan dari Amera. Saat ini mantan sahabatnya pasti sedang gundah. Bagaimana rasanya menjadi kekasih tapi tidak dianggap? Apa yang dirasakan Amera hanya sedikit dari penderiataannya. Akan ada pembalasan lebih kejam kelak.
"Jeana, gue yakin lo merasa bangga sekarang. Jangan senang dulu. Kata Prima orang tuanya nggak suka sama lo! Jangan percaya diri dulu, Jeana. Prima hanya bersikap baik bukan buat lo tapi buat orang tuanya!"
Amera salah kalau berpikir ia akan bersikap baik pada orang tua Prima. Ia memang tidak akan macam-macam tapi satu macam saja yang akan mengguncang mereka. Selesai make-up, Rachel membantunya memakai gaun dan menatap rambutnya. Mengucapkan beribu terima kasih pada Rachel yang sudah membantunya. Selesai semua ia menaiki taxi menuju restoran yang akan menjadi tempat pertemuan. Prima menelepon, untuk memastikan kalau Jeana datang dan ia menjawab dengan enggan.
"Sudah di taxi."
"Ingat, jangan bicara hal yang bukan-bukan."
"Misalnya soal kamu tidur dengan Amera?"
"Jeanaa! Aku pringatkan kamu—"
"Kamu yang harus tutup mulut Prima. Kalau mau ini berhasil. Kalau terus menerus mengancamku, lebih baik kita batalkan saja."
"Jangaan!" teriak Prima dengan panik. "Aku salah, okee. Yang penting kamu datang, aku percaya kamu akan bersikap baik."
Jeana mematikan panggilan tanpa basa-basi berkelanjutan. Merasa muak dengan sikap laki-laki yang selalu berusaha menekannya. Hubungan mereka sudah berakhir tapi Prima masih juga tidak sadar akan hal itu. Laki-laki itu dan keluarganya harus diberi pelajaran agar tidak lagi meremehkan orang.
Keluar dari taxi, Jeana melangkah gemulai masuk ke restoran Jepang. Pelayan menyambutnya dan mengantar ke ruang VIP. Beberapa pengunjung laki-laki yang dilewatinya tidak dapat mengalihkan pandangan mereka dari Jeana. Penampilannya hari ini memang sangat menarik perhatian. Ia membuka pintu, mengedarkan pandangan pada Prima dan kedua orang tuanya lalu menyapa ceria.
"Apa kabarnya Mama dan Papa? Aih, senangnya ketemu kalian lagi?"
Prima terperangah, begitu pula orang tuanya. Menatap Jeana yang muncul dalam balutan gaun merah sebatas paha berlengan pendek dengan bahan lentur dan menyala. Sepatu hak tingginya juga berwarna merah dan make-up di wajah sangat tebal. Meski begitu, kesan sexy dan cantik terlihat jelas. Prima bertanya dengan tergagap.
"Jeana, kamu pa-kai apa?"
Jeana mengenyakkan diri di samping Prima, menyilangkan kaki hingga seluruh betisnya terlihat dan mengedipkan sebelah mata. "Halo, Darling! Kangen aku?"
.
.
Tersedia di google playbook, dan cerita ini sedang PO.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top