Bab 19

Amera menggigit ujung kuku yang dimanikur rapi, menatap nanar pada tumpukan berkas di atas mejanya. Pukul delapan malam dan ia menunggu kedatangan Prima dengan cemas. Setelah kedatangan Jeana ke kantornya beberapa hari lalu, gosip miring tidak hentinya datang menerpa. Orang-orang yang dulu memujanya, berubah perlahan menjadi musuh yang gemar mencaci. Mereka menyebutnya pelakor serta pembohong, tidak lupa dengan kata-kata berani memakan sahabat sendiri. Semuanya terjadi gara-gara Jeana. Bila itu belum cukup buruk, kabar kalau Prima akan mengajak Jeana menemui orang tuanya makin menambah kekesalan Amera.

Cinta itu buta, tidak ada yang bisa menduga kapan cinta itu muncul dalam dada. Pernyataan itu yang selalu ada dalam benak Amera setiap kali orang-orang berbicara tentang hubungannya dengan Prima. Bukan salahnya kalau laki-laki itu selama ini ternyata jatuh cinta padanya dan rela menunggunya sampai putus untuk bersama. Prima pula yang menawarkan bahu untuk bersandar, pelukan hangat saat dibutuhkan, serta kemesraan yang memabukkan.

"Bersamamu aku selalu menjadi lebih bergairah dan jantan."

Prima selalu mengatakan itu setiap kali mereka bercumbu. Amera ingat, ciuman pertama dilakukan di dalam mobil tepat setelah mengantar Jeana pulang. Kala itu mereka menonton film bersama-sama. Tanpa sepengetahuan Jeana, keduanya saling bergenggaman tangan di dalam gelap. Hingga akhirnya tidak tahan untuk bermesraan. Prima menghentikan kendaraan di pinggir jalan hanya untuk mencium Amera.

Apakah semua itu kesalahannya? Amera menolak mengakui karena bukan dirinya yang memulai melainkan Prima. Saat laki-laki itu tahu dirinya patah hati karena cinta, Prima terus melakukan pendekatan dan membuatnya tidak berkutik. Diam-diam tanpa sepengetahuan Jeana memberinya hadiah, perhatian, serta banyak hal lain yang meluluhkan hatinya. Percintaan pertama mereka dilakukan di sebuah hotel saat Jeana pulang kampung untuk menengok sang kakek yang sakit. Saat itu terasa sangat indah dan menyenangkan, percintaan dasyat yang memuaskan. Prima mengakui kalau saat bersama Jeana sama sekali tidak ingin menyentuh.

"Tubuhnya bau keringat, bibirnya kering, dan selalu mengunyah tanpa henti. Laki-laki mana yang suka dengan perempuan seperti itu? Kalau bukan demi kamu, aku nggak akan mau pacaran sama Jeana."

Rayuan Prima membuat Amera terhanyut dalam asmara dan memutuskan untuk menerima cintanya. Tidak peduli kalau harus main belakang tanpa sepengetahuan Jeana. Kini, setelah semua hal menjadi miliknya. Kala kesuksesan serta hal penting sudah berhasil didapatkannya, Jeana datang kembali dan menghancurkan semuanya.

"Sayang, kenapa melamun dari tadi? Aku ngetok pintu kamu nggak dengar?"

Prima muncul, duduk di samping Amera dan mengecup kepalanya.

"Kenapa baru sampai?" tanya Amera.

"Macet."

"Mampir kemana dulu?"

"Nggak ada, dari kantor langsung kemari. Ada apa?"

Prima melepas dasi dan jas, menyampirkan di sofa. Menggulung kemeja sebelum melingkarkan lengan untuk memeluk Amera. Mengernyit saat merasakan bahu kekasihnya yang kaku.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

Amera menatap kekasihnya lekat-lekat. "Orang tuamu akan datang?"

"Hah, bagaimana kamu tahu?"

"Kamu berniat membawa Jeana?"

"Eh, itu, karena—"

"Karena apa? Kita sudah bersama setahun lebih, dan sampai sekarang kamu belum memberitahu orang tuamu kalau sudah putuh dengan Jeana? Apa-apaan kamu ini?"

Kemarahan Amera membuat Prima menghela napas panjang. Ia menggeleng lalu menyandarkan kepala ke sofa. "Jangan marah dulu, Sayang. Niatku memang ingin bicara dengan mereka soal kita."

"Kalau begitu kenapa harus membawa Jeana menemui mereka?"

"Karena mereka yang meminta untuk bertemu. Bisakah kamu mengerti posisiku? Kondisi kesehatan mamamku sedang nggak baik. Bagaimana kalau drop cuma gara-gara aku ngasih tahu kalau hubunganku dengan Jeana berakhir?"

"Omong kosong!" sergah Amera panas. Hatinya sakit mendengar pembelaan Prima yang dirasa tidak masuk akal. "Kamu selalu mengaku nggak ada rasa cinta untuk si gendut utu! Tapi, saat harus bicara tegas malah nggak mampu. Napa? Karena si gendut udah langsing makanya nolak putus?"

Prima melongo bingung. "Kamu bicara apa, Amera? Jangan menuduh sembarangan."

"Buktinya memang begitu, Prima. Alasanmu nggak mau ngasih tahu orang tua karena nggak mau kehilangan si gendut itu bukan? Bilang aja kamu masih cinta!"

"Ngawur kamu!" Prima bangkit dari sofa, enggan melanjutkan perdebatan yang membuat lelah. "Aku sudah bilang kalau semua demi kesehatan orang tuaku. Terserah kamu percaya atau nggak. Amera, aku nggak suka sama perempuan yang suka merengek!"

Meraih dasi dan jas di sofa, Prima berpamitan pulang. Amera menatap nanar pada laki-laki yang menghilang dalam kegelapan. Ia berteriak keras, untuk melampiaskan kekesalannya. Semua orang sedang memusuhinya dan Amera merasa kalau dunia dipenuhi oleh orang-orang brengsek!

**

Jeana menatap penuh kagum pada Rachel. Gadis itu memakai seragam yang sama dengan Dustin meski begitu terlihat sangat cantik.

"Rachel, kamu cantik sekali!"

Pujian Jeana membuat Rachel tersipu-sipu. "Makasih, Kak."

"Benar loh, aku aja yang cewek terpesona, gimana cowok? Ya nggak, Dustin?"

Dustin mengangkat bahu dengan acuh tak acuh, tidak mengerti bagaimana menanggapi perkataan Jeana. Tanpa diberitahu pun ia tahu kalau Rachel cantik dan itu bukan rahasia lagi.

"Idih, kamu mah nggak asyik. Nggak ada reaksi!" ujar Jeana dengan gemas, memukul pundak Dustin perlahan. Sesuai janjinya, hari ini ia mengajak Rachel dan Dustin makan bersama. Membiarkan mereka memilih restoran dan ia menuruti saja saat kedua remaja itu ingin makan burger. Ia sedang diet dan menghitung kalori dengan cermat, tapi karena sedang senang dan ingin merayakan, tidak masalah sesekali makan berat.

"Apakah kejutan Kakak berhasil?" tanya Rachel sambil menyesal sodanya.

Jeana mengangguk, mengambil satu potong kentang goreng dan memasukkan dalam mulutnya. "Sangat berhasil. Bossku menawarkan gaji dua kali lipat, mantan sahabat yang juga pelakor itu terdiam melihatku."

"Kakak nggak tampar wajahnya?"

"Ada niat tapi aku tahan. Jujur saja sebenarnya ingin membuatnya babak belur tapi aku memikirkan cara lain untuk balas dendam."

"Lebih elegan?"

"Tentu saja!"

"Lebih sadis?"

"Jujur, iya."

"Aku sepakat dengan Kakak. Cara elegan tapi sadis memang diperlukan untuk balas dendam."

Dustin menatap ngeri pada dua perempuan di hadapannya. Mereka bicara soal balas dendam dengan panjang lebar seolah itu hal biasa. Dengan senyum tersungging di bibir, keduanya merencanakan hal hal kejam untuk menuntaskan sakit hati. Dustin tanpa sadar bergidik, mengingatkan diri sendiri untuk tidak membuat marah Jeana maupun Rachel, bila tidak ingin bernasib buruk.

"Sebenarnya ada satu cara balas dendam yang baik, Kak. Tanpa perlu menumpahkan darah dan mengeluarkan banyak tenaga."

"Apa?"

"Bertemu kekasih baru dan tunjukkan kalau Kakak bahagia."

"Ah, itu hal cukup sulit malah karena menemukan kekasih baru."

"Kenapa? Belum ada incaran?"

Pertanyaan Rachel membuat Jeana tersipu, teringat akan Dean dan juga percakapan intens yang dilakukan mereka hampir setiap hari. Entah siapa yang memulai kini antara dirinya dan Dean tidak canggung lagi berkirim kabar lewat pesan. Mereka kadang membahas hal-hal ringan tentang musik dan prospek akan datang ke konser bersama membuat dadanya berdebar.

"Sejujur ada, tapi—"

Jeana tertawa dan mengerling ke arah Dustin yang mendengarkan percakapan dirinya dan Rachel dengan serius.

"Tapi apa, Kak?" desak Dustin ikut penasaran.

Jeana berdehem. "Karena kurang sepadan, seenggaknya aku merasa begitu. Laki-laki itu terlalu wah untuk aku yang gini dan yah, gimana bilangnya?"

"Nggak pede?" tebak Dustin.

"Anggap saja begitu."

Melihat wajah Jeana memerah, Dustin menggeleng. Bertukar pandang dengan Rachel yang kebingungan.

"Semangat, Kak. Aku yakin kalau jodoh nggak akan kemana!" Rachel memberi semangat.

"Aduh, aku bingung gimana caranya semangat ini. Tapi, yah, nanti aku akan tetap semangat. Ngomong-ngomong, kalian bantu aku cari pakaian. Besok aku akan ketemu orang tua Prima, dan harus tampil maksimal."

"Maua cari pakaian yang gimana?" tanya Dustin.

"Yang megah dan keren. Rachel harusnya tahu."

Pertama kalinya Jeana belanja diikuti oleh dua remaja. Biasanya ada Amera yang menemani tapi ujung-ujungnya dirinya dipaksa untuk mengikuti kemauan sahabatnya itu. Awalnya mungkin memamng mencari pakaian untuknya tapi pada akhirnya Amera yang belanja lebih banyak dan ia akan mengikuti sambil membawa barang-barang dalam kantong.

Ia teringat bagaimana dulu Amera memilih pakaian untuknya, dengan dalih untuk menutupi bentuk tubuhnya yang gemuk, maka pakaian yang dibeli tidak jauh dari kemeja atau kaos. Dipikir lagi dirinya memang terlalu bodoh hingga mudah untuk dikibuli. Terlalu percaya kalau persahabatan antar mereka itu tulus sampai-sampai menerima semuanya tanpa penyangkalan. Selembar kain robek pun akan dianggap bagus olehnya bila Amera yang memilih. Jeana menyadari dirinya memang setolol itu.

"Heh, warnanya terlalu terang."

"Dustin ini keren tahu nggak?"

"Modelnya terlalu terbuka."

"Lo kolot amat jadi cowok."

"Apa nggak kependekan roknya?"

"Dustin, mending lo nunggu di luar aja. Berisik aja dari tadi!"

Jeana menikmati perdebatan antara dua remaja di hadapannya. Melihat bagaimana mereka memilihkan pakaian untuknya. Harus diakui kalau selera Rachel memang sangat bagus, semua pakaian yang dipilih untuknya sangat modis, terutama gaun untuk menemui orang tua Prima. Ia yakin seratus persen kalau gaun itu akan membuat orang tua Prima terbelalak, bisa jadi akan mengusirnya saat itu juga. Jeana tidak sabar membayangkan reaksi yang akan diterimanya.

"Primaa, lo harus bayar dulu sebelum ajak gue ketemu orang tua lo!" Ia mengirim pesan pada Prima dan menerima sejumlah uang di rekeningnya.

"Jeana, mulai kapan kamu jadi matre?"

Balasan Prima membuat Jeana tergelak. "Semenjak gue tahu kalau harga pakaian bagus itu nggak murah!"

Jeana tersenyum, menatap gaun merah menyala yang akan dipakainya nanti.
.
.
.

Bagi yang suka buku bisa mulai PO.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top