Bab 16

Di sekolahan ini tidak ada yang tidak mengenal Rachel. Dianggap sebagai salah satu cewek tercantik dan menjadi idaman banyak cowok. Selain cantik, Richel juga dianggap cukup pintar. Kesayangan teman-teman sekelas, guru, dan menjadi andalan sekolah untuk lomba tarik suara karena memang punya suara yang merdu. Semua orang ingin menjadi sahabatnya, ingin dekat dengannya, tapi tidak semua orang bisa karena Rachel juga pemilih dalam bergaul.

"Cewek cantik macam dia, wajar kalau maunya sama orang kaya doang!"

"Dari Jemi sampai Hassan, semua suka sama Rachel tapi dengar-dengar ditolak."

"Gilaa! Jemi yang bokapnya kerja di BUMN? Ditolak?"

"Yee, siapa juga yang nggak kenal Hassan? Bukannya dia influncer terkenal?"

"Wah, ini mah Rachelnya aja yang over proud. Bisa-bisanya dia nolak dua cowok keren itu?"

"Emang gila tuh Rachel. Merasa sok kecakepan!"

Rachel mendengarkan semua perbincangan sambil menghela napas panjang. Semua orang berusaha menyudutkanya soal pacar. Seolah di umur 17 tahun diwajibkan punya pacar, padahal ia sama sekali tidak memikirkan itu. Bagi sebagian teman-temannya mungkin apa yang ada di pikirannya terdengar kurang menyenangkan tapi ia tidak akan sekolah di tempat bergengsi dengan bayaran mahal kalau hanya untuk menjadi pacar cowok kaya. Ia punya cita-citanya sendiri, ingin mendapatkan apa yang diinginkan sendiri tanpa ada tekanan kalau harus punya pacar.

Sering kali ia merasa kalau hidup di tengah lingkungan keluarga yang penuntut dan menyebalkan, ditambah dengan keadaan sekolah yang menuntutnya menjadi serba sempuran, nyaris tidak ada celah untuk menjadi diri sendiri kecuali tentu saja di sore hari kala pulang sekolah. Sialnya, waktu untuk menjadi diri sendiri kini tidak lagi nyaman karena telah terendus oleh orang lain. Sialnya yang memergoki adalah Dustin. Salah satu cowok yang dianggap biang onar dan tukang membuat masalah di sekolah ini.

Bila Rachel dianggap primadona dan dibanggakan, maka Dustin sebaliknya. Di sekolah mengenal cowok itu sebagai salah satu jagoan dan tukang pukul. Selalu berkelompok dan tidak henti membuat masalah. Tidak terhitung jumlahnya Rachel melihat wajah Dustin babak belur. Dari selentingan yang didengarnya karena ribut dengan sekolahan lain. Ia bingung, apa yang harus diributkan di antara anak sekolah? Bukankah mereka sama-sama belajar demi cita-cita? Rachel merasa kalau dirinya berpikiran terlalu positif. Mungkin di luaran sana ada banyak anak sekolah dengan pikiran yang berbeda dengannya.

Saat ia bicara dengan Dustin di dekat toilet, ternyata ada yang melihat. Gosip beredar di antara beberapa orang dan bisa ditebak, semua membandingkan antara Dustin dengan cowok-cowok lain yang menyukainya. Mereka menganggap kalau Dustin tidak layak dijadikan pacar karena dari keluarga miskin, selain itu juga sangat bandel.

"Gila aja kalau sampai Rachel miih Dustin dibandingkan Jemi dan Hassan!"

"Cinta itu buta, Gaes!"

"Memang, tapi minimal tahulah mana yang layak!"

"Tahu, nih, Rachel! Harus sering dibisikin biar nggak salah pilih!"

Sekali lagi Rachel menahan rasa sebal karena urusan pribadinya menjadi urusan publik. Kalau pun ia ingin berpacaran, tidak seharusnya menjadi urusan orang lain. Ia bebas menentukan siapa yang ingin diajaknya berpacaran, siapa yang layak dicintai dan disandingkan dengannya. Ia berniat untuk ke perpustakaan, mengambil tas dan bergegas bangkit dari kursi. Tidak peduli pada sejumlah pertanyaan yang dilontarkan teman-temannya. Ia masih punya waktu dua jam sebelum pulang dan kembali bertemu dengan keluarganya yang menyebalkan.

"Rachel!"

Panggilan nyaring membuat langkahnya terhenti. Ia menatap Dustin yang melangkah cepat ke arahnya dan berniat untuk pergi. Rupanya keinginannya terbaca oleh Dustin.

"Rachel, jangan coba-coba kabur. Gue butuh bantuan lo!"

Rachel berdecak, menunggu Dustin hingga mencapai tempatnya. Dengan tas di tangan ingin bersedekap layaknya boss bicara dengan anak buah tapi sayangnya sulit melakukannya.

"Apaan? Gue punya salah apa?"

Dustin berdiri tepat di hadapannya, menatap tajam dengan bola matanya yang sedikit kecoklatan. Dari jarak yang begini dekat, Rachel menyadari betapa jangkungnya Dustin. Wajahnya pun terhitung tampan meski meski tertutup rambutnya yang sedikit panjang. Rachel berdecak, merasa aneh pada diri sendiri karena tanpa sadar terpesona dengan Dustin.

"Rachel, gue butuh bantuan lo!"

Rachel melongo. "Hah, maksudnya?"

"Gue tahu rahasia lo?"

"Soal apa?"

"Soal make-up dan semuanya. Gue tahu lo lebih suka tampil polos dari pada pakai bedak tebal kayak sekarang. Nggak masalah, buat gue dua-duanya oke. Tapi gue butuh bantuan lo!"

Rachel mendongak dengan kesal. "Kenapa gue harus bantuin lo?"

Dustin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit salah tingkah saat bicara dengan Rachel. "Gimana ngomongnya, ya? Sebenarnya gue juga nggak suka bilang gini tapi kalau lo nggak mau bantuin gue, ya, terpaksa foto-foto lo saat nggak pakai make up beredar."

Rachel menghentakkan kaki ke lantai, dan melotot. Dustin mundur seketika, mengangkat dua tangan. "Ups, jangan ngamuk. Lo kalau marah hilang cantiknya.

"Dustin, lo berani ngancam gue?"

"Yah, anggap aja gue berani!"

"Lo nggak ada hak buat ngancem gue!"

"Memang, tapi gimana, dong. Gue butuh bantuan lo, Rachel. Gimana kalau kita ganti ancaman dengan permohonan. Gue harap lo mau bantu gue karena cuma lo yang bisa. Please, Rachel!"

Awalnya Rachel mengiyakan karena penasaran, apa yang membuat seseorang seperti Dustin memohon. Ia memutuskan untuk membantu, terutama saat Dustin memintanya membawa seluruh perlengkapan make-up dan saat bertemu dengan Jeana, kebingungannya mulai mencair.

"Rachel, bantu kakak ini dandan dengan cantik. Tolong kami, ya?"

Kata-kata 'kami' membuat Rachel berpikir kalau ada hubungan istimewa antara Dustin dan Jeana. Ia memutuskan untuk membantu terutama karean Jeana sangat baik dan sopan.

"Rachel, aku pasrahkan hidup dan matiku padamu."

Pertama kalinya Rachel membantu orang lain dengan kuas dan make-up. Selain itu juga membantu memilih pakaian. Pendapatnya sangat dihargai oleh Dustin dan Jeana dan itu sesuatu yang menyenangkan. Saat Jeana tampil menawan dalam riasan dan gaun pilihannya, orang yang pertama kali berteriak adalah Dustin.

"Kak, kamu cantik sekali! Rachel benar-benar hebat dengan sentuhan jarinya!"

Setelah Jeana pergi, Dustin mengajaknya makan di sebuah restoran fastfood dan dari situlah kisah tentang Jeana menjadi topik bahasan. Ternyata kisah hidup Jeana cukup memilukan dan pandangan Rachel terhadap Dustin berubah.

"Lo baik banget mau bantu Kak Jeana."

Dustin menggeleng. "Bukan gue yang bantu tapi lo, Rachel. Harus gue akui, lo emang pintar."

Setelah mengobrol selama beberapa jam, Rachel menyadari kalau Dustin ternyata teman yang menyenangkan. Mereka bicara apa saja tentang musik, trend fashion, dan make up. Dustin bahkan mendengarkan setiap pertanyaannya dengan antusias. Membuat Rachel merasa sangat dihargai.

**

Jeana duduk di samping Nail yang terus menerus mencuri pandang ke arahnya. Sebenarnya bukan hanya Nail yang begitu, semua orang yang ada di ruangan melakukan hal yang sama padanya. Mereka menatap dengan curiga bercampur heran, melihat kemuculan Jeana dalam penampilan yang berbeda. Dalam hati Jeana bersorak karena kejutannya berhasil.

Ia melirik Amera yang sedari tadi dengan terang-terangan menatapnya. Ida dan Adelio pun sama, keterkejutan terlihat jelas di wajah mereka. Amera membuka mulut seolah ingin mengajaknya bicara dan Jeana dengan sengaja memalingkan wajah. Enggan untuk menatap apalagi bicara dengan Amera untuk sekarang ini. Akan ada waktunya ia membuat perhitungan dengan perempuan itu. Ia harus menahan diri lebih dulu.

Setelah berhasil membuat mereka terperangah dengan penampilannya, kali ini Jeana memikirkan kata-kata yang tepat untuk diungkapkan. Orang-orang yang sekarang berada di sini, turut andil dalam menghancurkan karir dan hidupnya. Mereka tidak sadar karena merasa selama ini terbiasa menindasnya. Jeana menangkupkan kedua tangan di atas pangkuan, menunggu salah satu dari mereka mengajaknya bicara. Berapa lama ia tidak datang kemari? Nyaris satu tahun dan menurutnya cukup aneh mereka tidak membuang barang-barangnya.

"Jeana, apa kabar lo?" tanya Nail perlahan tapi cukup nyaring untuk didengar seluruh ruangan.

Jeana mengangguk. "Kabar baik."

"Lo kemana aja? Menghilang."

Tersenyum pada Nail, Jeana mengangkat bahu. "Nggak kemana-mana, ada di kota ini."

"Lo kerja di kantor lain?"

"Belum, mungkin sebentar lagi."

"Berarti selama ini lo nganggur?" celetuk Ida setelah pulih dari kekagetannya.

Jeana hanya tersenyum, tidak ingin menanggapi pertanyaan Ida. Sedari dulu perempuan itu gemar menyudutkan dan mencelanya hanya demi mendapatkan perhatian Amera. Tidak akan terjadi lagi hal seperti itu karena Jeana tidak akan tinggal diam kalau mereka menyudutkannya. Tidak puas karena diabaikan, Ida menuntut jawaban.

"Banyak duit lo! Nganggur setahun masih bisa hidup. Bisa mengubah penampilan juga. Jangan-jangan karena tunangan lo yang kaya itu bantuin?"

Menatap Ida lekat-lekat, Jeana mengernyit. "Bisa nggak lo tutup mulut, Ida? Jangan ikut campur hal yang bukan urusan lo!"

Ida melongo. "Apa? Gue cuma—"

"Nggak ada cuma-cuma! Lo sama gue bukan teman akrab apalagi saudara! Nggak ada hak lo ikut campur hidup gue!"

"Tapi—"

"Ida, diam!" bentak Nail pelan. Melayangkan tatapan penuh peringatan pada Ida. "Sebentar lagi Pak Firman datang. Sebaiknya kita nggak usah berdebat."

Ida berdecak tidak puas, ingin membatah perkataan Nail tapi diurungkan saat menangkap tanda samar dari Amera. Ia masih tidak percaya dengan perubahan diri Jeana, terlebih dengan sikapnya yang kini cenderung berani dan kurang ajar. Sepertinya ada yang berbeda dari perempuan itu selain bentuk tubuh yang kini menjadi langsing. Menunggu sampai pertemuan ini selesai, Ida berniat mengajak Jeana bicara sekali lagi. Rasa penasarannya belum terpuaskan.

Di kursinya Amera mengamati Jeana lebih dalam dan intens. Sesuatu mengusiknya saat melihat Jeana sekarang. Langsing, cantik, dan bugar, persis saat pertama kali mereka mulai berteman. Tidak ada lagi Jeana yang penggugup dan gemuk, berubah menjadi perempuan yang penuh percaya diri. Apa yang sebenarnya terjadi? Patah hati membuat mantan sahabatnya itu berubah drastis. Apakah Jeana berniat merebut Prima kembali? Dalam kebingungan, Amera tanpa sadar terkesiap saat mendengar pintu dibuka. Firman dan jajaran petingi perusahaan muncul. Mengangguk pada semua orang yang ada di ruangan hingga pandangannya tertuju pada Jeana.

"Oh my god, apakah ini Jeana?"

Jeana yang berdiri dari tempat duduknya mengangguk dengan senyum tersungging. "Apa kabar Pak Firman?"

Firman mengangguk antusias dengan wajah berbinar. "Aku senang melihatmu, Jeana. Apakah kamu akan kembali ke posisimu di perusahaan ini?"

"Sayangnya, tidak."

"Kamu nggak mau kembali, kenapa?"

"Karena bukan di sini tempat saya."

Jawaban tegas dari Jeana membuat semua orang tercengang. Tidak ada yang bicara bahkan Firman pun kehilangan kata-kata. Untuk sesaat ruangan diselimuti keheningan pekat.

Versi lengkap tersedia di google playbook dan karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top